Seni &Sosbud





  1. Mempelajari Kearifan Lokal Wong Samin & Wong Sikep,

    Sepenggal Hegemoni Manifesto Politik (3)

     


  2.  

    Mempelajari Kearifan Lokal Wong Samin & Wong Sikep,

    Sepenggal Hegemoni Manifesto Politik (2)

     

  3.  

    Mempelajari Kearifan Lokal Wong Samin & Wong Sikep,

    Sepenggal Hegemoni Manifesto Politik (1)

     


Jumat, 22 Juni

2012


Gunung Merbabu dan Atribut Warga Sekitarnya


Prifile G. Merbabu dari Arah Barat
 
Gunung Merbabu berada di perbatasan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Salatiga. Nama Merbabu sendiri  berasal dari kata "maharu = meru" (gunung) dan "abu" (abu) yang berarti gunung yang berwarna abu-abu karena pada saat meletus seluruh permukaan tanahnya tertutup oleh material abu vulkanik dan berwarna abu-abu








  • Memahami Bahasa Politik

    Pembaca yang budiman, bilamana anda melihat siaran TV dengan acara perdebatan politik maka anda akan disuguhi istilah-istilah politik yang notabene mengambil istilah asing yang sulit difahami bagi telinga khalayak. Baik pembicara maupun yang diwawancarai menggunakan bahasa diplomasi yang terkesan berbelit-belit. Selengkapnya dapat di-Klik pada judul tsb diatas.


  • 
    Mahapatih Gadjah Mada




  • Gelar Dalam Masyarakat Jawa                                                                                     Artikel ini saya kutip 100 % dari http://www.wikipedia.org/. Sebelumnya memang saya dapat tulisan dari sepuh.blogspot, tetapi disana tidak mencantumkan sumber tulisan sehingga secara etika penulisan naskah tidak valid terkesan subjektif dan  legitimasinya sangat rendah. Penasaran terhadap judul artikel, saya coba membuka wikipedia, ternyata sudah tertulis disana. 
    Berikut saya tulis Pengantar untuk mengarahkan pemikiran secara garis besar tentang perolehan gelar "kebangsawanan" dan status sosial. Silahkan dibaca selengkapnya, klik judul diatas...




  •            


     





  • Paromosastro = Tata Bahasa = Grammar




    Para sutersna Basa Jawi, kepareng matur mbok menawa sutersna kabeh wa bil khusus ingkang ngancik yuswa sepuh apa maneh pilenggahe ana sak njaban bebrayan masyarakat Jawi, mbak menawa isih pada kelingan piwulange Ibu/Bapak Guru.

    Tulisan iki kaserat saka situs Buku Piwulang Basa Jawi lan situs-situs ingkang magepokan ing babagan piwulang basa Jawi sarto pangeling-eling duk nalika semana aku antuk piwulang Basa Jawa nalika ing pasinaon SMP Negeri Blabak udakara tahun 1972 -1974, yaiku ingkang asma Ibu Dra. Marfuah (almh). Kaleresan bejo-bejaning awak, aku tansah antuk angka 9 - 10 ana ing saben ulangan piwulang Basa Jawi. Sumonggo disimak kanti dipun pencet... JUDUL ing nginggil....





  •  





  • Alam Pedesaan & Keluarga di Dsn Margowangsan Slideshow:     Penayangan slideshow Dusun Margowangsan Kec. Sawangan, Kab. Magelang - Jawa Tengah dan alam sekitarnya. Silahkan Klik Judul diatas... 
  • "Garebeg” berasal dari kata “Ha + ng + Garubyug” atau Hanggrubyug menjadi “Anggrubyug” yang kemudian untuk memudahkan lafal masyarakat menyebut "Grebeg" berarti berkerumun atau menggiring massa untuk tujuan tertentu.








    •  Edisi Basa Jawa "Cangkriman"
    •   
    •  
    • MERAPI MELETUS
      Antara Mitos, Fakta Sejarah dan Kawruh Ngelmu Kawaskithan Jawi yg Menyerempet Syirik Secara Islam ....
    • Alamat Kantor Pelayanan PLN

      Margowangsan, Sebuah Palagan Tak Dikenal



      Ilustrasi pembakaran perkampungan (bukan situasi sebenarnya kurban pembakaran Belanda th 1947)
      Introduksi



      Tulisan ini terisnpirasi dari tayangan salah satu Stasion TV Swasta yang menayangkan kisah perjuangan masyarakat yang berjudul “Membuka Tabir antara Karawang dan Bekasi”. Gigihnya perjuangan dan gugurnya ribuan pahlawan tak dikenal di daerah tersebut, seharusnya Negara memberikan suatu apresiasi perhatian khusus kepada masayrakat dan lokasi peristiwa, apakah berupa monumen perjuangan atau bentuk lain, justru terlupakan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.



      Sejarah mencatat bahwa pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, secara defakto masyarakat telah tertanam bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 telah terlahir Bangsa Indonesia. Setiap orang yang tinggal di wilayah Indonesia teguh mempertahankan kemerdekaannya dari kolonisasi oleh Bangsa Belanda dan bertekad mandiri, apapun resiko yang akan terjadi kedepan.



      Bagi Bangsa kolonial, baik Belanda, Inggeris dan Jepang hanya mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia setelah ada perjanjian dan diakui kesepakatan kemerdekaan. Beberapa kali Konferensi atau Perjanjian antara Pemerintah Belanda dengan Aktifis Indonesia dan terakhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag th 1949, bahwa bahwa Bangsa Indonesia tetap pada pendiriannya ingin mandiri, merdeka terlepas dari kekuasaan bangsa lain. 

      Akal bulus Belanda untuk tetap menancapkan kuku kekuasaan dengan menundukkan bangsa Indonesia telah dimulai sejak Perjanjian Giyanti (1779) dengan hegemoni kekuasaan menentukan pilihan Bupati di seluruh wilayah Mataram, jaman Perang Diponegoro yang berakhir dengan "penipuan" perundingan/penangkapan Pangeran di Kota Magelang yang melibatkan laskar pemuda dari daerah Kab. Magelang sebagai pengiring sang Pangeran. Pemerintah Belanda merasa kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Indonesia yang bergerak massif dan sporadis. Perang atau “clash” pasca proklamasi semakin sengit.



      Pemerintah Hindia Belanda pun tidak menyerah begitu saja. Pemerintah Belanda justru banyak merekrut putera-putera pribumi untuk berperang melawan bangsanya sendiri (politik adu domba).





      Perjuangan Anak Cucu Laskar Mataram



      Dusun Margowangsan dan sekitarnya hanya berjarak 15 Km dari Kota Magelang, Ibukota Karesidenan Kedu pada jaman penjajahan Belanda, jika ditarik garis lurus.



      Masyarakat Sawangan – Magelang khususnya Dusun Margowangsan dan sekitarnya sudah mengenal kelicikan Belanda sejak adanya intervensi Belanda dalam Perjanjian Giyanti. Dengan dalih mendamaikan, tetapi akal bulus untuk menguasai daerah Pesisir Utara Jawa dan Penguasa Rujukan setiap pengangkatan Bupati di daerah kekuasaan Mataram menjadi catatan tipu muslihat Belanda yang tidak bisa dihapus begitu saja dalam ingatan setiap warga setempat.

      Puncak kebencian masyarakat setempat kepada Belanda adalah tipu muslihat Belanda yang menangkap Pangeran Diponegoro pada saat Perundingan di Kantor Karesidenan Kedu di Magelang. Pengawal setia Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirdjo akhirnya pun juga tertangkap di daerah Sawangan. Namun para pengikutnya tidak tinggal diam. Sampai kapan pun Belanda akan mendapat serangan dari para sahabat dan anak keturunan Sang Pangeran. 
       

      Konon menjelang clash kedua tahun 1949 Belanda merencanakan penyerangan massif di beberapa kota besar pusat-pusat perlawanan rakyat kepada Pemerintah Belanda seperti di Ambarawa, Surabaya, Magelang, dll untuk menunjukkan eksistensinya sebagai Pemerintah Hindia Belanda yang masih eksis di negeri ini. 
      Tidak luput daerah kantong kekuatan perlawanan rakyat Kecamatan Sawangan yang berpusat di Dusun Margowangsan menjadi salah satu sasaran penyerangan, tepatnya dengan membumihanguskan ruma-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Laskar Kemerdekaan.



      Kenapa Margowangsan...



      Pertama, Dusun Margowangsan dan sekitarnya sebelum Perang Diponegoro sudah dihuni oleh tokoh Mataram pasca Perjanjian Giyanti dari keluarga dan sahabat Paku Buwana-III dan Pangeran Sambernyowo yang notabene merupakan kelompok yang menentang isi perjanjian. Intervensi Belandan pada Perjanjian Giyanti isinya banyak merugikan Pemerintahan Mataram dari sisi politis maupun penguasaan wilayah. Artinya, sudah ada bibit turun-temurun bahwa nenek moyang masyarakat Dusun ini “Anti Belanda”. Dalam perkembangannya, pemuda-pemuda dari dusun ini bersama dengan Laskar dari beberapa tempat sering melakukan penyerangan ke Tangsi-tangsi tentara Belanda di Kota Magelang. Secara tidak langsung mereka para pemudanya terdidik berpolitik untuk memerangi Pemerintah Belanda.



      Kedua, Pasca Peperangan Diponegoro yang berakhir dengan drama perundingan tetapi justru Belanda mengkhianati dengan menangkap Pangeran Diponegoro, adalah awal dari perasaan dendam kusumat. Otak culas Belanda mengkhianati suatu perjanjian tidak bisa dihapus dan semakin membakar semangat untuk menggangu Tangsi-tangsi Belanda di Kota Magelang. 
      Tercatat keluarga dan Sahabat Pengeran Diponegoro banyak yang tinggal domisili di sekitar kawasan ini Mis : R. Djojonegoro, R. Dirgonegoro, Ny. Suntiaking, R. Adinegoro, dll yang hidup bersama masyarakat pedesaan dengan menyamarkan nama dan identitasnya. Anak cucu mereka ini secara turun temurun gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan berbagai bentuk partisipasinya.



      Ketiga, Dusun Margowangsan adalah Pusat para gerilyawan tangguh dan mumpuni dalam bertempur. Dari Dusun ini banyak lahir Tokoh-tokoh sakti, pemberani dan didukung oleh pengaruh yang kuat di masyarakat dan kaya secara materi. Banyak rumah-rumah tembok besar dan pekarangan luas yang menggambarkan kekuasaan materi melebihi Dusun-dusun di sekitarnya.



      Pasca proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia merintis kekuatan rakyat dengan membentuk satuan keamanan yang berasal dari pemuda laskar, banyak pemuda dusun ini yang mendaftar menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebelumnya anggota TKR juga sudah ada yang menjadi KNIL pada penjejahan Belandan dan Heiho pada jaman penjajahan Jepang. Kelompok ini sangat militan dan aktif melakukan penyerangan ke Tangsi Magelang. Tercatat beberapa pemuda anngota TKR di Dusun Margowangsan seperti : Tamyis, Hilal, Sapar, Pawiro, Suwito, Ahmad, dll. Mereka adalah para Laskar tangguh yang diincar untuk dihabisi Belanda.





      Belanda Membumihanguskan Dusun Margowangsan



      Pemuda laskar yang tergabung dalam TKR mencium adanya rencana gerakan Belanda yang akan membumihanguskan Dusun Margowangsan. Tiga hari sebelum penyerbuan Warga pedusunan sudah lari mengungsi. Sebagian besar mereka mengungsi ke Desa Jati yang berjarak sekitar 5 Km kearah Timur laut Dusun Margowangsan dan sebagian kecil mengungsi di lobang di tengah aliran irigasi Bendungan Kali Krasak yang mengeruk lahan bukit cadas.



      Pada suatu hari (lupa tanggal dan bulan) tahun 1947 datanglah tentara Belanda ke Dusun Margowangsan mencari Tokoh-tokoh Pemuda yang diduga sering melakukan penyerangan ke Tangsi Belanda di Magelang. Boro-boro menangkap otak pelaku gerilya (ekstrimist), Belanda tidak menemukan satu orang pun yang tinggal di Dusun ini. Semua rumah sudah ditinggal mengungsi oleh penghuninya.



      Kemarahan Belandan karena tidak menemukan ekstrimis, maka mereka membakarnya sebagian rumah-rumah yang dicurigai tempat persembunyian ekstrimis. Tercatat rumah yang dibakar sebanyak 49 (empatpuluh sembilan) rumah dari 78 total rumah di Dusun Margowangsan.

      Peristiwa pembakaran rumah Dusun Margowangsan tidak berdiri sendiri. Pasti ada informasi spionase sebelumnya. Para Pemuda Laskar pun bekerja siang malam mencari spion dibalik pembakaran rumah oleh Belanda. Tertangkaplah seorang warga penghuni dusun yang kebetulan dari etnis “Ambon” dan diadili secara adat dengan segala sangsinya.



      Sudah barang tentu pembakaran rumah bagi warga Pedusunan yang termasuk golongan masyarakat mapan secara sosial ekonomi merasa terpukul. Rumah-rumah gedung megah dengan pekarangan luas hangus seketika. Banyak warga khususnya para kaum wanita yang stress, jatuh sakit dan meninggal akibat “peristiwa bumi hangus tahun 1947”.



      Mereka ingin melupakan peristiwa tersebut diatas. Seluruh dinding dan fondasi rumah dirobohkan. Hanya satu gedung yang ditinggalkan sebagai kenangan yaitu Rumah Mbah Karto Dimedjo yang terletak di sebelah timur selatan jalan yang dibiarkan tetap berdiri menyisakan kenangan kekayaan masa lalu.





      Ketegangan Berlanjut



      Margowangsan adalah Pusat transaksi tradisional yang berupa Pasar Besar Ngesengan. Peristiwa 1947 bagi Belanda bukan titik terakhir. Belanda mengincar tokoh-tokoh militan dari Dusun ini dan Belanda mengirim mata-mata.



      Para laskar pun sudah berpengalaman menghadapi situasi perang. Mereka terdidik sejak dari kecil secara alami. Suatu hari tertangkaplah Spion (mata-mata) Belanda dan langsung dikubur di sebelah selatan Pasar. .





      Implikasi Sosial Ekonomi bagi Masyarakat Pedusunan



      Secara kebetulan penangkapan dan pembantaian Spionase Belanda oleh Pemuda Laskar yang dikubur di dekat Pasar Ngesengan. Secara psikologis massa di pasar terpengaruh oleh peristiwa kematian “rojopati” seorang spion Belanda dengan segala bentuk berita yang berkembang. Secara tidak disengaja bahwa pengaruh peristiwa tersebut diatas membawa perkembangan massa yang semakin hari semakin surut minat para pembeli dan penjual yang datang ke Pasar.



      Terakhir penampakan 2 (dua) Los Pasar masih terlihat pada tahun 1970, 1 Los Pasar berubah menjadi Gedung Sekolah Dasar, 1 Los Pasar Gudang Garam berubah menjadi Pos Pelayanan Malaria dan akhirnya mati sama sekali setelah Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto mulai membangun Rumah Dinas Camat, Markas Sektor Polisi, Markas Komando Rayon Militer, Rumah Dinas Dokter berikut Paramedis dan Lokasi Pengungsian Kurban Letusan Gunung Merapi.



      Tempat penguburan Spionase Belanda walaupun tanpa nisan, namun penduduk terdekat (Mbah Sri Help dan Mbah Peni) yang notabene justru Rumah Orngtuanya menjadi salah satu kurban kekejaman Pemerintah Belanda, justru tergerak hatinya untuk selalu membersihkan kubur pemakaman di Belakang Gedung Pengungsian Kurban Merapi, hingga sekarang.



      Perang melawan Pemerintah Belanda berlangsung ratusan tahun. Tidak terhitung berapa harta menjadi terbuang hangus terbakar, berapa ribu nyawa masyarakat pribumi melayang menjadi kurban perlawanan, berapa tetes airmata tercurah akibat kehilangan harta benda miliknya dan nyawa sanak saudaranya. Biarkan negara tidak mengenalnya, biarkan rezim tidak mencatatnya, PAHLAWAN KEMERDEKAAN TAK DIKENAL adalah syuhada sejati. Biarlah anak cucu yang menikmati perjuangan para Pahlawan yang telah mendahului kita, amin.







      Sumber berita :

      Kisah ini dihimpun oleh saya sendiri (Agus Prasodjo, 56 th) yang mendengar para Pelaku Sejarah yang bertindak sebagai Laskar Pemuda, pemilik rumah kurban pembakaran dan penduduk pedusunan yang ikut mengungsi dari penyerangan Belanda yang usianya sudah diatas 70 tahun, bahkan sudah ada yang 85 tahun.

      1. Anonim (…...), Cerita turun temurun sesepuh Dusun Margowangsan
      2. Pak Samidi (1995), Kisah kegigihan pemuda Margowangsan dalam bergerilya di Tangsi, Mgl
      3. Pak Suryadi Achmad (2016), Berita WA Kisah Pengalaman Bumi Hangus Dusun Margowangsan.




      Margowangsan Karang Abang (Lautan Api), Sebuah Palagan yang Terlupakan




      Introduksi



      Tulisan ini adalah Fakta Sejarah bukan Fiksi. Saya menulis kisah ini karena terisnpirasi dari tayangan salah satu Stasion TV Swasta yang menayangkan kisah perjuangan masyarakat yang berjudul “Membuka Tabir antara Karawang dan Bekasi”. Gigihnya perjuangan dan gugurnya ribuan pahlawan tak dikenal di daerah tersebut, seharusnya Negara memberikan suatu apresiasi perhatian khusus kepada masyarakat dan lokasi peristiwa, apakah berupa monumen perjuangan atau bentuk lain, justru terlupakan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.



      Sejarah mencatat bahwa pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, secara defakto di dalam diri masyarakat telah tertanam bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 telah terlahir Bangsa Indonesia. Setiap orang yang tinggal di wilayah Indonesia teguh mempertahankan kemerdekaannya dari kolonisasi Bangsa Belanda dan bertekad mandiri, apapun resiko yang akan terjadi.



      Bagi Bangsa kolonial, baik Belanda, Inggeris dan Jepang mereka hanya mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia secara de-yure (formal) setelah ada perjanjian dan diakui kesepakatan kemerdekaan. Beberapa kali Konferensi atau Perjanjian antara Pemerintah Belanda dengan Aktifis Indonesia dan terakhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag th 1949, bahwa bahwa Bangsa Indonesia tetap pada pendiriannya ingin mandiri, merdeka terlepas dari kekuasaan bangsa lain. Walaupun secara de yure Indonesia merdeka tahun 1949, tetapi dalam diri setiap warga Indonesia tetap mengakui secara de fakto bahwa Indonesia merdeka sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

      Akal bulus Belanda untuk menancapkan kuku kekuasaannya untuk menundukkan bangsa Indonesia telah dimulai sejak Perjanjian Giyanti (1779) dengan hegemoni kekuasaannya dalam menentukan pilihan Bupati di seluruh wilayah Mataram. Juga dalam Perang Diponegoro yang berakhir dengan "penipuan" perundingan/penangkapan Pangeran di Kota Magelang yang melibatkan laskar pemuda dari daerah Kab. Magelang sebagai pengiring sang Pangeran. Pemerintah Belanda merasa kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Indonesia yang bergerak massif dan sporadis. Perang atau “clash” yang terjadi pasca proklamasi semakin sengit.



      Pemerintah Hindia Belanda pun tidak menyerah begitu saja. Pemerintah Belanda justru banyak merekrut putera-putera pribumi untuk berperang melawan bangsanya sendiri (politik adu domba).




      Perjuangan Anak Cucu Laskar Mataram


      Jika ditarik garis lurus Dusun Margowangsan dan sekitarnya hanya berjarak 15 Km dari Kota Magelang, Ibukota Karesidenan Kedu pada jaman pendudukan kolonial Belanda.



      Masyarakat Sawangan – Magelang khususnya Dusun Margowangsan dan sekitarnya sudah mengenal kelicikan Belanda sejak adanya intervensi Belanda dalam Perjanjian Giyanti dan drama Perundingan Perundingan antara Pemerintah Belanda dan P. Diponegoro di Kantor Karesidenan Kedu di Magelang. Pengawal setia Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirdjo akhirnya pun juga tertangkap di daerah Sawangan. Namun, para pengikutnya tidak tinggal diam. Pada waktu-waktu tertentu para sahabat dan anak keturunan Sang Pangeran melakukan penyerangan secara gerilya ke tangsi-tangsi Belanda di Kota Magelang. 
       

      Konon menjelang clash kedua tahun 1949 Belanda merencanakan penyerangan massif di beberapa kota besar pusat-pusat perlawanan rakyat kepada Pemerintah Belanda seperti di Ambarawa, Surabaya, Magelang, dll untuk menunjukkan eksistensinya sebagai Pemerintah Hindia Belanda yang masih eksis di negeri ini. 
      Tidak luput daerah kantong kekuatan perlawanan rakyat Kecamatan Sawangan yang berpusat di Dusun Margowangsan menjadi salah satu sasaran penyerangan, tepatnya dengan membumihanguskan ruma-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Laskar Kemerdekaan.



      Kenapa Margowangsan...



      Pertama, Dusun Margowangsan dan sekitarnya sebelum Perang Diponegoro sudah dihuni oleh tokoh Mataram pasca Perjanjian Giyanti dari keluarga dan sahabat Paku Buwana-III  yang notabene merupakan kelompok yang menentang isi perjanjian. Artinya, sudah ada bibit turun-temurun bahwa nenek moyang masyarakat Dusun ini “Anti Belanda”. Dalam perkembangannya, pemuda-pemuda dari dusun ini bersama dengan Laskar dari beberapa tempat sering melakukan penyerangan ke Tangsi-tangsi tentara Belanda di Kota Magelang. Secara tidak langsung mereka para pemudanya terdidik berpolitik untuk memerangi Pemerintah Belanda.



      Kedua, Pasca Peperangan Diponegoro yang berakhir dengan drama pengkhianatan dengan menangkap Pangeran Diponegoro, semakin memperruncing perasaan dendam kusumat. Otak culas Belanda mengkhianati suatu perjanjian tidak bisa dihapus dan semakin membakar semangat menggangu Tangsi-tangsi Belanda di Kota Magelang. 

      Tercatat keluarga dan Sahabat Pengeran Diponegoro banyak yang tinggal domisili di Margowangsan dan sekitarnya, mis : R. Djojonegoro, R. Dirgonegoro, Ny. Suntiaking, R. Hdinegoro, R. Dipokusumo, dll yang hidup bersama masyarakat pedesaan dengan menyamarkan nama dan identitasnya. Anak cucu mereka ini secara turun temurun gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan berbagai bentuk partisipasinya.



      Ketiga, Dusun Margowangsan adalah Pusat para gerilyawan tangguh dan mumpuni dalam bertempur. Dari Dusun ini banyak lahir Tokoh-tokoh sakti, pemberani dan didukung oleh pengaruh yang kuat di masyarakat serta kekayaan secara materi diatas rata-rata kekayaan masyarakat pedesaan di sekitarnya. Banyak rumah-rumah tembok besar dan pekarangan luas yang menggambarkan kekuasaan materi melebihi Dusun-dusun di sekitarnya.

      Pasca proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia merintis kekuatan rakyat dengan membentuk satuan keamanan yang berasal dari pemuda laskar, banyak pemuda dusun ini yang mendaftar menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebelumnya anggota TKR juga sudah ada yang menjadi KNIL pada penjejahan Belandan dan Heiho pada jaman penjajahan Jepang. Kelompok ini sangat militan dan aktif melakukan penyerangan ke Tangsi di Magelang. Tercatat beberapa pemuda anngota TKR di Dusun Margowangsan mis : Tamyis, Hilal, Sapar, Pawiro, Suwito, Ahmad dan masih banyak lagi. Mereka adalah para Laskar tangguh yang diincar untuk dihabisi Belanda.





      Belanda Membumihanguskan Dusun Margowangsan



      Pemuda laskar yang tergabung dalam TKR mencium adanya rencana gerakan Belanda yang akan membumihanguskan Dusun Margowangsan. Tiga hari sebelum penyerbuan Warga pedusunan sudah mengungsi. Sebagian besar mereka mengungsi ke Desa Jati yang berjarak sekitar 5 Km kearah Timur laut Dusun Margowangsan dan sebagian kecil mengungsi di lobang di tengah aliran irigasi Bendungan Kali Krasak yang jalurnya melewati lahan cadas.



      Pada suatu hari (lupa tanggal dan bulan) tahun 1947 datanglah tentara Belanda ke Dusun Margowangsan mencari Tokoh-tokoh Pemuda yang diduga sering melakukan penyerangan ke Tangsi Belanda di Magelang. Boro-boro menangkap otak pelaku gerilya (extreemist), Belanda tidak menemukan satu orang pun yang tinggal di Dusun ini. Semua rumah sudah ditinggal mengungsi oleh penghuninya, tidak tahu warga lari kemana.



      Kemarahan Belanda karena tidak menemukan ekstrimis, maka mereka membakarnya sebagian rumah-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyiannya. Tercatat rumah yang dibakar sebanyak 49 (empatpuluh sembilan) rumah dari 78 total rumah di Dusun Margowangsan. Tercatat 4 (empat) unit Rumah Mbah Supo yang notabene merupakan rumahnya Mbah Tamyis salah satu Anggota TKR dibakar tetapi khusus rumah khusus Mbah Supo utuh, berkat kesaktian yang dimiliki beliau. Semua rumah yang dibakar terindikasi sebagai rumah-rumah para pemuda Laskar yang aktif sering melakukan penyerangan ke Tangsi Belanda di Magelang, seperti sudah ada ditandai oleh mata-mata Belanda.
       

      Peristiwa pembakaran rumah Dusun Margowangsan tidak berdiri sendiri. Pasti ada informasi spionase sebelumnya yang sampai ke telinga Belanda. Para Pemuda Laskar pun bekerja siang malam mencari mata-mata "spion" dibalik pembakaran rumah oleh Belanda. Tertangkaplah seorang warga penghuni dusun yang kebetulan dari etnis “Ambon” dan diadili secara adat dengan segala sangsinya di Rumah Mbah Supo.



      Sudah barang tentu pembakaran rumah bagi warga Pedusunan yang termasuk golongan masyarakat mapan secara sosial ekonomi merasa terpukul. Rumah-rumah gedung megah dengan pekarangan luas hangus seketika. Banyak warga khususnya para kaum ibu-ibu yang stress, jatuh sakit dan meninggal akibat “peristiwa bumi hangus tahun 1947”.



      Mereka ingin melupakan peristiwa tersebut diatas. Seluruh dinding dan fondasi rumah dirobohkan. Hanya satu gedung yang ditinggalkan sebagai kenangan yaitu Rumah Mbah Karto Dimedjo yang terletak di sebelah timur selatan jalan yang dibiarkan tetap berdiri menyisakan kenangan kekayaan masa lalu.





      Kontribusi Perjuangan Berlanjut


      Margowangsan sebagai Dusun sekaligus Pasar pusat transaksi tradisional yaitu Pasar Besar Ngesengan. Peristiwa pembakaran tahun 1947 bagi Belanda bukan titik terakhir. Belanda mengincar tokoh-tokoh militan dari Dusun ini dan Belanda mengirim mata-mata.



      Para laskar pun sudah berpengalaman menghadapi situasi perang. Mereka terdidik secara alami sejak dari kecil. Suatu hari Para Laskar berhasil menangkap mata-mata Belanda yang tengah beroperasi dan langsung dieksekusi dan dikubur di sebelah selatan Pasar. Kuburannya masih ada dan dipelihara oleh salah seorang warga hingga sekarang.

      Perjuangan pinisepuh dalam kontribusinya ikut berperang melawan penjajah menginspirasi generasi berikutnya untuk tetap berkontribusi dalam perjuangan membela keamanan negara
      Dusun Margowangsan pada jaman kemerdekaan dikenal sebagai basis koordinasi para Laskar untuk menghadapi clash Belanda. Tercatat dalam ingatan pinisepuh, bahwa salah satu rumah dekat Masjid tepatnya rumah Bapak Guru Saljum yang dikenal sebagai salah satu anak keturunan R.Djojonegoro (adik tiri P. Diponegoro), kemudian di rumah Bpk. Suparman (Bulu - Podosoka) digunakan sebagai basis TKR dan Laskar dari berbagai daerah. Pada jaman perjuangan, beberapa petinggi negeri dahulu pernah bermarkas di dua rumah ini a.l Sarwo Edhywibowo (alm) mantan Pangkostrad, R. Sudharmono (alm) mantan Wapres RI, dll.
       
      Jangan disalahkan bilamana anak-anak muda baik laki-laki maupun perempuan banyak yang mendaftarkan diri masuk lembaga kemiliteran dan sebagian terjun ke bidang politik dan bertugas di Pemerintahan. 



      Implikasi Pembakaran Dsn Margowangsan bagi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Pedusunan


      Secara kebetulan penangkapan dan pembantaian Spionase Belanda oleh Pemuda Laskar yang dikubur di dekat Pasar Ngesengan. Secara psikologis massa di pasar terpengaruh oleh peristiwa kematian “rojopati” seorang spion Belanda dengan segala bentuk berita yang berkembang. Secara tidak disengaja bahwa pengaruh peristiwa tersebut diatas membawa perkembangan massa yang semakin hari semakin surut minat para pembeli dan penjual yang datang ke Pasar.



      Terakhir penampakan 2 (dua) Los Pasar masih terlihat pada tahun 1970, 1 Los Pasar berubah menjadi Gedung Sekolah Dasar, 1 Los Pasar Gudang Garam berubah menjadi Pos Pelayanan Malaria dan akhirnya mati sama sekali setelah Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto mulai membangun Rumah Dinas Camat, Markas Sektor Polisi, Markas Komando Rayon Militer, Rumah Dinas Dokter berikut Paramedis dan Lokasi Pengungsian Kurban Letusan Gunung Merapi.



      Tempat penguburan Spionase Belanda walaupun tanpa nisan, namun penduduk terdekat (Mbah Sri Help alm dan Mbah Peni) yang notabene justru Rumah Orngtuanya menjadi salah satu kurban pembakaran Pemerintah Belanda, justru tergerak hatinya untuk selalu membersihkan kubur pemakaman di Belakang Gedung Pengungsian Kurban Merapi, hingga sekarang.



      Perang melawan Pemerintah Belanda berlangsung ratusan tahun. Tidak terhitung berapa harta menjadi terbuang hangus terbakar, berapa ribu nyawa masyarakat pribumi melayang menjadi kurban perlawanan, berapa tetes airmata tercurah akibat kehilangan harta benda miliknya dan nyawa sanak saudaranya. Biarkan negara tidak mengenalnya, biarkan rezim tidak mencatatnya, PAHLAWAN KEMERDEKAAN TAK DIKENAL adalah syuhada sejati. 
      Semoga  anak cucu para pejuang dapat menikmati jerih-payah perjuangan para Pahlawan yang telah mendahului kita, amin. 

      Legi Rembesing Madu...
      Bibit dan Bobot nama besar ketokohan seseorang akan menurun pada generasi berikutnya, entah generasi yang keberapa nama besar yang bersangkutan akan menitis.
        
      Tercatat nama-nama tokoh besar lahir dari Kawasan ini yang tampil diberbagai bidang pemerintahan maupun non pemerintahan dan mulai tahun 1970 hingga saat ini, antara lain :   
      • Mbah Sosro, Wedana Klaten thn 1960-an, asli Margowangsan;
      • Mbah Kardanun, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Magelang thn 1955-an, asli Margowangsan;
      • Drs. Suparman, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Magelang thn 1970-an, asli Bulu - Podosoka;
      • Kolonel Sugito, Perwira TNI AU (thn 1990-an), asli Margowangsan;  
      • Kolonel Murwani Korp Wanita Angkatan Darat (KOWAD) 1980-an, asli Margowangsan
      • Letnan Kolonel Polisi Moh. Juweni (alm) thn 1990-an, asli Mudal;
      • Mayor Polisi Sunarno (alm) thn 2010-an, asli Margowangsan;
      • Kolonel Lilik Sudaryati (alm) Korp Wanita Angkatan Darat (KOWAD) thn 2010-an, asli Margowangsan;
      • Majend Herindra tahun 2015-an, asli Penggaron - Desa Gondowangi 
      • Tahun 2000-an hingga saat ini Pejabat Negara, Profesional, Tokoh Agama bermunculan yang tidak ditulis satu per satu disini    


      Merdeka negriku, damai sejahtera nan sentausa rakyatnya......insya allah. 







      Sumber berita :

      Kisah ini saya himpun dari pitutur, cerita turun temurun para Pelaku Sejarah yang bertindak sebagai Laskar Pemuda, pemilik rumah kurban pembakaran dan penduduk pedusunan yang ikut mengungsi dari penyerangan Belanda yang pada saat ini (tahun 2016) usianya sudah diatas 70 tahun, bahkan sudah ada yang 85 tahun.

      1. Anonim (…...), Fakta dan Cerita turun temurun sesepuh Dusun Margowangsan
      2. Pak Samidi (1995), Kisah kegigihan pemuda Margowangsan dalam bergerilya di Tangsi, Mgl
      3. Pak Suryadi Achmad (2016), Berita WA Kisah Pengalaman Bumi Hangus Dusun Margowangsan.