26 Agu 2010

Dusun ngGelap yang Aku Kenang

Assalamu'alaikum wr. wb.

Dusun Gelap atau orang setempat menyebut ngGelap (ater-ater hanusworo "ng" menunjukkan tempat dan kata dasar "Gelap") bukan berarti dunia gelap (jw : peteng), tetapi lebih mendekati harfiah Jawa Pegunungan yang berarti "petir". Lintasan listriknya disebut k "thathit" atau kilat. Penggunaan kata samber nggelap berarti  disambar petir.


Rumah Nenekku dan perumahan pada sebagian warga
dgn karakter atap genteng, lantai tanah, gebyok kayu besiar (sengon)



Dalam ingatanku kampung yang terletak di kaki Bukit Kuli (baca ngGunung Kuli), yang berada di Desa Poodosoka Kec. Sawangan Kab. Magelang ini, adalah sebuah kampung tempat ibuku dilahirkan dan tempat aku dikala kecil bermain bersama teman sebaya, walaupun sifatnya hanya secara kebetulan menengok famili ke kampung tersebut. Kampung ngGelap yang berada di ketinggian ± 700 M dpl, jenis tanah lempung Latosol kuning hitam, curah hujan kurang dan sering terjadi kekeringan pada saat kemarau panjang.

Pada masa kecilku tahun 1970-an, matapencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah petani lahan kering atau tegalan, berternak sapi dan sebagian lagi pedagang . Kenanganku pada masa kecil tidur di Rumah Nenekku terasa tinggal di gurun pasir. Jika musim panas dengan rentang waktu cukup panjang, tanah kering berdebu, matahari mengenai kulis jadi bersisik, persediaan air di Sungai Gono ± 3 Km di sebelah barat laut kampung mengering, Kali Nongo ± 2 Km di sebelah timur kampung  semakin lama semakin mengering juga. Panas matahari di musim kemarau hanya terasa pada tengah hari. Selebihnya waktu panas sinar matahari terkalahkan dengan angin dingin pegunungan. Warga setempat terlihat selalu mengenakan sarung yang tampak membalut tubuh bagian atas biar pun di siang bolong. 

Tidur di dipan panjang (amben) terasa udara dingin di malam hari menusuk tulang walaupun sudah berselimut sarung dan tikar. Sanitasi pada saat itu masih sangat kurang, situasi ekonomi masih sangat terbatas sehingga belum ada upaya mengalirkan air dari mata air pegunungan ke kampung. Kondisi masyarakatnya sangat-sangat tradisional. Sesaji bakar kemenyan masih dilakukan di lokasi-lokasi angker seperti kuburan, mata air tempat warga kampung mandi dan "ngangsu" mengambil air untuk minum.

Iklim di daerah tersebut sampai kearah puncak G. Merbabu bisa dibilang beriklim kering. Pada musim penghujan, hari-hari hujan hanya berjalan sangat singkat, kalau musim kemarau sangat panjang dan kandungan kelembaban udara . Sungai-sungai kering di musim kemarau dan banjir di musim penghujan. Kesulitan air pada musim kemarau menyebabkan sanitasi kurang diperhatikan pada masa itu. Nah, bagaimana saat itu aku menengok famili di kampung seperti itu? Wah, sulit diceriterakan khususnya pada saat buang hajat, harus menggunakan teknologi khusus "peper". Tetapi kondisi sekarang sudah berubah lebih baik, tidak ditemukan lagi teknologi kuno tersebut karena warga membuat pipa saluran air dari mata air di Dusun Clebung Gunung yang jaraknya sekitar ± 4 Km dari kampung.

Perasaan sangat bertolak belakang jika dibandingkan kampung tempat kakekku di Margowangsan yang dikelilingi sawah dan sungai di sebelah utara dan selatannya dengan aliran air yang tidak pernah kering. Sudah sewajarnya kebiasaan di kampungku Margowangsan yang buang hajat tinggal nangkring di K. Krasak jika bermalam di rumah nenekku di ngGelap aku harus berlari menuju Kali Nongo yang berjarak ± 2 Km sambil menahan "ngampet" agar barang tidak keluar di jalan demi membuang segumpal barang. Kenangan ini tak terlupakan sepanjang sejarah. Bagaimana jika sakit perut di malam hari? Atau di siang hari tetapi di tengah perjalanan ternyata tidak kuat menahan sakit perut? Situasi demikian harus mencari tempat yang rimbun agar tidak dilihat orang yang biasanya di tegalan atau kebon kosong. Terus pakai apa mencucinya, sementara tidak ada air tersedia cukup. Air hanya untuk memasak di dapur dan memasak nira menjadi gula merah. Kejadian ini ternyata warga setempat sudah terbiasa dan bukan barang baru lagi, sehingga sudah jamak "bau wangi" selalu mewarnai di setiap akses jalan dari dan menuju kampung tersebut yang dihiasi pepohonan tanaman tegalan.

Dari kiri, Mbah Ramli (alm), Mbah Siti (adik nenek) dan Ibu saya (Tarmini)


Dusun ngGelap juga menyimpan kenangan mistis, karena kampung yang berdekatan dengan G. Kuli dipercaya warga (pada masa itu) sebagai bukit tertua di Tanah Jawa dan mempunyai hubungan erat dengan kehidupan Nyi Roro Kudul. beberapa kejadian mistis a.l,  jika pada suatu saat ada Burung Merpati terbang malam dan arahnya ke selatan, maka warga mempercayai burung merpati tersebut adalah merpati Gunung Kuli yang melapor ke Nyi Roro Kidul bahwa akan ada musibah penyakit (pandemi). Jika suatu saat terdengar "lampor" atau suara gemuruh seperti ramainya orang di pasar melintas diatas langit, maka akan ada anak kecil yang akan meninggal dibawa oleh pasukannya Nyi Roro Kidul.

Kakekku yang bernama mBah Ali adalah pedagang sapi yang meninggal akibat dampak sceenering (penurunan nilai) mata uang rupiah dan nenekku yang merupakan kerabat dari Kopen Desa Podosoka. Beliau meninggalkan tegalan cukup luas namun tidak meninggalkan ilmu kepada ibuku karena sekolah paling tinggi di kampung itu hanya sampai Kelas 2 SD. Masih bersyukur ibuku punya bakat berdagang sehingga hidupnya tidak terlalu kesulitan.

Jika dilihat dari kondisi lingkungannya, kondisi masyarakat petani ladang mendakati petani subsistence, atau petani yang hanya bisa hidup untuk mencukupi dirinya sendiri. Hanya warga yang mempunyai terobosan untuk hidup lebih kratif saja yang bisa meningkat kesejahteraannya misalnya berternak ayam, berdagang hasil bumi keluar daerah atau mencari alternatif menanam tanaman yang mempunyai nilai pasar tinggi dan sesuai dengan kondisi tanah dan lingkungan setempat seperti lada, apel, anggur, dls tetapi hal ini perlu penelitian mendalam.

Kesan mendalam terhadap kampung tersebut adalah bahwa masyarakatnya hampir seluruh kampung adalah satu famili dengan budaya tradisional yang penuh keakraban tetap dipertahankan, seperti halnya mengerjakan tanah tegalan, membangun rumah dan ritual "nyadran" menjelang bulan romadhon. Budaya nyadran yang dilakukan setiap tahun merupakan undangan secara spiritual kepada seluruh warga dimana pun berada untuk bisa pulang kampung melaksanakan sambahyang kubur mendoakan arwah para leluhur di lokasi yang ditentukan yaitu di samping areal pekuburan.

Nyadran bagi saya bukan ajaran musyrik karena niatku bukan meminta doa kepada para arwah nenek moyang tetapi mendoakan arwah leluhur yang sudah mendahului kita. Lebih jauh lagi dilihat dari aspek sosiologi, ritual nyadran adalah media dakwah, sliaturahmi, membina ketebalan iman dan membina jiwa sosial untuk berbagi makanan kepada sanak saudara.

Tulisan saya tersebut diatas adalah sekelumit kenangan dan masih banyak lagi jika dituangkan dalam tulisan.Tentunya kondisi sekarang sudah jauh berbeda. Warga dusun ngGelap sudah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi, minimal SLTA,  pola penghidupan sudah bervariasi tidak hanya berladang seperti halnya berdagang, pegawai Pemerintah dan wiraswasta beternak ayam broiller. Sanitasi sudah meningkat dengan mmengalirkan mata air menggunakan pipa paralon dari Dusun Clebung nGunung di sebelah timur Bukit Kuli. Yang tetap dipertahankan adalah pola kemasyarakatannya yaitu kekeluargaan yang tinggi dengan tetap memelihara tali silaturahmi, minimal sekali dalam setahun yaitu pada hari-hari "nyadran" dan "lebaran". Kita bertamu ke setiap rumah warga, maka harus siap-siap perut dikempeskan untuk "menikmati suguhan di setiap rumah". Silaturahmi lebaran atau istilah umum disebut "ujung" identik dengan ritual bertamu yang harus "menikmati hidangan makan" yang telah disediakan pemilik rumah. Ternyata adat demikian terjadi di seluruh masyarakat khususnya di sekeliling lereng G. Merbabu dan Merapi. Adat istiadat yang ekstrim, jika seseorang bertamu pertama kali ditawarkan sesuatu untuk dimakan ternyata si tamu tidak berkenan menerima tawaran pemilik rumah, maka selamanya si tamu tersebut tidak akan ditawarkan apapun. 

Ooo, ternyata adat tersebut diatas terjadi juga di masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dan masyarakat Dayak & Melayu di Kalimantan, perihal penawaran suguhan adalah merupakan "pamali" jika ditawari suguhan dan tidak dicicipi sekalipun, maka diyakini akan membawa bencana bagi yang bersangkutan.


Salam hormat saya kepada sanak famili yang kebetulan membaca tulisan ini. Jik kurang berkenan mohon dikomentari, saran serta kritik yang konstruktif kami harapkan untuk kesempurnaan tulisan yang akan datang.

Wassalam,
Agus Prasodjo


    

3 komentar:

bepe mengatakan...

Menyambung tulisan ttg buang 'barang' yg hrs jalan 2 km ke K Nongo & ngampet spanjang jalan; Sy jg ada memory yg mndekati hal tsb. Dan lokasi TKPnya jstru di tngah kota Yogya. Kjadiannya pd sktr thn 1989, shabis sy lulus SMA. Wktu itu sy ikut bimbel Pragama di jln Gajahmada Yk dgn tmn sy anak Srumbung. Sy numpang tidur di rmh Mbah Madun (alm), bapaknya Kang Ramto. Tiap hari mau buang hajad bsr ke WC umum hati tdk 'tega', krn kotor bgt & msih ada sisa2 org yg buang hajad sblmnya. Dan mau buang di K Code dkat rmh malu & sungainya kotor jga. Maka aku tahan buang hajad bsr smpai 1 minggu, pdhal tiap hari makan ttp 'full' alias bnyak. Bgtu hri Sbtu plg ke rmh di Ganggsan, lngsung sy lari ke Kali Krasak. Hasilnya..sdh cklat kehitaman & keras..hehehe

agusprasodjo.blogspot.com mengatakan...

Memory berharga demikian membuat kita menjadi lebih bersyukur terhadap Yang Maha Pemurah atas kemudahan yg kita dapatkan saat sekarang. Khususnya di saat kita menghadapi situasi serupa kita lebih waspada dalam antisipasinya "pengalaman adalah guru paling baik". Sukses.

bepe mengatakan...

Tpi efek smping krn mnahan buang hajad bsr bisa trkena gjala ambeyen/wasir. Sy prnah trkena gejala pnyakit tsb sktr thn 2003, wktu sy di rmh hbis keluar krja dr pt erna. Kupriksakan di tmpat P Syamsudin (alm), katanya gjala pnyakit di atas. Alhamdulillah baru gjala, jdi ga prlu operasi ckp mnum obat..