Tampilkan postingan dengan label Tembang Jawi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tembang Jawi. Tampilkan semua postingan

10 Feb 2015

Mengenal Tembang Mocopat

Gambar Lilang Laras Jiwo, 2012, Penampilan Gendhing Jati Kendang
Macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata, adalah karya sastra puisi tradisional Jawa yang dilagukan atau dalam bentuk tembang. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu (Wikipedia, 2003).
Di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sedangkan di Jawa Tengah, macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga pada masa Mataram Islam.
Macapat ternyata ditemukan dalam kebudayaan selain di masyarakat Jawa dengan nama lain yaitu di masyarakat Sunda Bali, Sasak (Lombok) dan Madura. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.
Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Islam, pada umumnya ditulis menggunakan pola susunan kata dalam baris puisi (metrum) macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja.
Beberapa contoh karya sastra Jawa adiluhung yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama (Mangkunegara-IV, 1880), Serat Wulangreh (Paku Buwana-IV, 1820) dan Serat Kalatidha (Paku Buwana -VI, 1830).


Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga macam :
  • tembang cilik,
  • tembang tengahan dan
  • tembang gedhé.
Macapat dimasukkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Islam, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.

Struktur macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada.Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
 
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.


Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

Jenis metrum macapat

Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé.
Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.
Jenis tembang Macapat 11 buah sbb :
1. Pucung : 4 gatra (12u, 6u, 8i, 12a)
2. Maskumambang : 4 gatra (12i, 6a, 8i, 8a)
3. Gambuh : 5 gatra (7u, 10u, 12i, 8u,8o)
4. Megatruh : 5 gatra (12u, 8i, 8u, 8i, 8o)
5. Mijil : 6 gatra (10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u)
6. Kinanthi : 6 gatra (8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i)
7. Durma : 7 gatra (12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i)
8. Pangkur : 7 gatra (8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i)
9. Asmaradana : 7 gatra (8i, 8a, 8e, 8a, 7a, 8u, 8a)
10. Sinom : 9 gatra (8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a)
11. Dhandhanggula : 10 gatra (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12e, 7a)



Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum

1. Dhandhanggula (Serat Jayalengkara, 10 gatra)

Prajêng Medhang Kamulan winarni, 10i
narèndrâdi Sri Jayalengkara, 10a
kang jumeneng nerpatiné, 8e
ambek santa budi alus, 7u
nata dibya putus ing niti, 9i
asih ing wadya tantra, 7a
paramartêng wadu, 6u
widagdêng mring kasudiran, 8a
sida sedya putus ing agal lan alit, 12i
tan kènger ing aksara. 7a




2. Maskumambang (4 gatra)

Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis, 12i
Sambaté mlas arsa, 6a
Luhnya marawayan mili, 8i
Gung tinamêng astanira, 8a

3. Sinom (9 gatra), Serat Kalatidha

Mangkya darajating praja, 8a
Kawuryan wus sunyaruri, 8i
Rurah pangrehing ukara, 8a
Karana tanpa palupi, 8i
Atilar silastuti, 7i
Sujana sarjana kelu, 8u
Kalulun kalatidha, 7a
Tidhem tandanging dumadi, 8i
Hardayengrat dening hardening rubeda, 12a

4. Asmaradana (7 gatra)

Aja turu soré kaki, 8i
Ana Déwa nganglang jagad, 8i
Nyangking bokor kencanané, 8e
Isine donga tetulak, 8a
Sandhang kelawan pangan, 7a
Yaiku bagéyanipun, 8u
Wong melek sabar narima.8a


5. Kinanthi (6 gatra) Serat Rama gubahan Yasadipura, metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.

Karakter metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang.
Anoman malumpat sampun, 8u
Praptêng witing nagasari, 8i
Mulat mangandhap katingal, 8a
Wanodyâyu kuru aking, 8i
Gelung rusak awor kisma, 8a
Ingkang iga-iga kêksi. 8i


6. Pangkur (7 gatra, gubahan, Ranggawarsita)

Lumuh tukua pawarta, 8a
Tan saranta nuruti hardengati, 11i
Satata tansah tinemu, 8u
Kataman martotama, 7a
Kadarmaning narendra sudibya sadu, 12u
Wus mangkana kalih samya, 8a
Sareng manguswa pada ji. 8i



7. Durma (Langendriyan)

Damarwulan aja ngucireng ngayuda, 12 a
Baliya sun anteni, 7 i
Mangsa sun mundura, 6 a
Lah Bisma den prayitna, 7 a
Katiban pusaka mami, 8 i
Mara tibakna, 5 a
Curiganira nuli. 7 i


8. Mijil (Haji Pamasa, Ranggawarsita)

Jalak uren mawurahan sami, 10 i
Samadya andon woh, 6 o
Amuwuhi malad wiyadine, 10 e
Ana manuk mamatuk sasari, 10 i
Angsoka sulastri, 6 i
Ruru karya gandrung. 6 u


9. Pucung (4 gatra)

Tuladha :
Ngelmu iku kelakone kanthi laku --> u
Lekase lawan kas --> a
Tegese kas nyantosani --> i
Setya budya pengekesing dur angkara --> a




Tembang Tengahan (Sekar Madya)

1. Jurudemung (7 gatra, Serat Pranacitra)

ni ajeng mring gandhok wétan, 8a
wus panggih lan Rara Mendut, 8u
alon wijilé kang wuwus, 8u
hèh Mendut pamintanira, 8a
adhedhasar adol bungkus,8u
wus katur sarta kalilan, 8a
déning jeng kyai Tumenggung, 8u.



2. Wirangrong (6 gatra, Serat Wulang Rèh anggitan Pakubuwana IV)

dèn samya marsudêng budi, 8i
wiwéka dipunwaspaos, 8o
aja-dumèh-dumèh bisa muwus, 10u
yèn tan pantes ugi, 6i
sanadyan mung sakecap, 7a
yèn tan pantes prenahira, 8a


3. Balabak (6 gatra, Serat Jaka Lodhang anggitan Ki Ranggawarsita)

Byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang, 12a
mamèt wé, 3e
turut marga nyambi reramban janganan, 12a
antuké, 3e
praptêng wisma wusing nyapu atetebah, 12u
jogané, 3e



4.
Gambuh (5 gatra, Ki Padmosukoco)
Sekar gambuh ping catur, 7u
Kang cinatur polah kang kalantur, 10u
Tanpa tutur katula tula katali, 12i
Kadaluwarsa katutuh, 8u
Kapatuh pan dadi awon, 8o.



5. Megatruh (5 gatra, Babad Tanah Jawi anggitan Ki Yasadipura)

"sigra milir kang gèthèk sinangga bajul, 12u
"kawan dasa kang njagèni, 8i
"ing ngarsa miwah ing pungkur, 8u
"tanapi ing kanan kéring, 8i
"kang gèthèk lampahnya alon, 8o





Tembang Gede/Sekar Ageng

Girisa (8 gatra)

Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani). Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama.
Dene utamaning nata, 8 a
Berbudi bawa leksana, 8 a
Lire berbudi mangkana, 8 a
Lila legawa ing driya, 8 a
Agung dennya paring dana, 8 a
Anggeganjar saben dina, 8 a
Lire kang bawa leksana, 8 a
Anetepi pangandika. 8 a


Sumber pustaka

  1. Lilang Laras Jiwo, 2012, Gambar Penampilan Gendhing Jati Kendang oleh sinden pagelaran karawitan, Yogyakarta
  2. Karsono H. Saputra, 1992, Pengantar Sekar Macapat. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ISBN 979-8184-02-5
  3. Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan
  4. Prijohoetomo, 1934, Nawaruci : inleiding, Middel-Javaansche prozatekst, vertaling vergeleken met de Bimasoetji in oud-Javaansch metrum. Groningen: Wolters
  5. I.C. Sudjarwadi et al., 1980, Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Jember: Universitas Negeri Jember.
  6. Bernard Arps, 1992, Tembang in two traditions: performance and interpretation of Javanese literature. London: SOAS
  7. Hedi I.R. Hinzler, 1994, Gita Yuddha Mengwi or Kidung Ndèrèt. A facsimile edition of manuscript Cod. Or. 23.059 in the Library of Leiden University. Leiden: ILDEP/Legatum Warnerianum
  8. Th. C. van der Meij, 2002, Puspakrema. A Javanese Romance from Lombok. Leiden: CNWS. ISBN 90-5789-071-2
  9. Th. Pigeaud, 1967, Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D. The Hague: Martinus Nyhoff
  10. J.J. Ras, 1982, Inleiding tot het modern Javaans. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4