19 Apr 2011

Beberapa Kasus Lingkungan Sosial yang Kurang Mendidik

Lingkungan sosial adalah tempat dimana kita berinteraksi dengan seseorang, dengan masyarakat dari segala bentuk dan pola hidup, tingkatan sosial serta adat budaya yang dimiliki oleh masing-masing personal dan kelompok masyarakat.

Diibaratkan ikan lele yang hidup di lingkungan air keruh , dia tidak akan khawatir hanyut pada saat air banjir yang airnya keruh karena tercampur lumpur, karena ikan lele mengganggap air keruh adalah habitatnya. 

Tidak dirasakan bahwa lingkungan kita telah mengajarkan budi pekerti yang tingkat kebenarannya relatif. Dari sekian banyaknya lingkungan yang mendidik sangat bagus, tetapi ada pula yang tidak mendidik baik secara individual maupun kolektif dalam bermasyarakat. Oleh karena dilaksanakan dan dirasakan setiap hari maka tidak terasa bahwa yang dilakoni serta dialami setiap hari, maka apa yang dianggap baik bagi lingkungan masyarakat sekitarnya, ternyata kurang baik bagi masyarakat selain lingkungan kita. Dengan istilah populer disebut kebenaran relatif. Contoh beberapa kasus a.l :
  1. Filosofi fatalistik (menggantungkan nasib). Dalam bincang-bincang di waktu kumpul-kumpul, ada filosofi yang sering diketengahkan, namun penerapannya kurang tepat dan cenderung mematahkan semangat dan menuju kepada sasaran menggantungkan nasib (fatalistik), padahal maksud pepatah dimaksud tidak demikian, seperti misalnya "cebol nggayuh lintang", arti harfiahnya jelas tidak mungkin seseorang yang berpostur tubuh pendek akan bisa meraih bintang di angkasa. Diibaratkan seseorang yang tidak memiliki kemampuan ingin meraih cita-cita yang tinggi jauh di awan. Namun, penerapan di masyarakat filosofi ini ditujukan untuk mencibir seseorang yang sedang menjalankan proses upaya meraih cita-cita. Bilamana cibiran ternyata benar, masyarakat sekitarnya pada bilang, nah...lo apa gua bilang.... tetapi kalau ternyata proses upaya seseorang tersebut berhasil, maka semua orang yang semula mencibir akan menuai perasaan malu..... , akhirnya malu ketemu, malu berbicara, dll (jw : keweleh).  Kondisi lanjutan dari No.1 diatas, kayaknya ucapan yang bersifat "Iri" lebih mudah dilontarkan daripada kita pernyataan "Salut" terhadap upaya seseorang. Hal ini ditujukan kepada seseorang yang sedang menjalani proses upaya memperbaiki nasib, masyarakat kita sering mengedepankan sifat "iri" bilamana melihat keperkasaan seseorang dalam berusaha daripada "salut" atas kepiawaian seseorang mengatasi permasalahan hidup. Sering kita dengar, "tidak usah sekolah terlalu tinggi, paling nanti jadi pengangguran susah cari pekerjaan, karena tidak ada modal untuk nyogok pejabat dan lain-lain alasan" Ini saya rasakan pada waktu saya masih berumur belasan tahun, masih duduk di bangku SMA. Masyarakat di sekitar tempat tinggal pada kurang mendukung jika saya belajar sampai larut malam. Wong "putune" cucu Walijo (kakek saya) kok mau kepingin jadi Sarjana, opo tumon, nasib dari mana bisa tercapai, dll? Wajar jika mendapat cibiran demikian karena memang kakek saya adalah sosok laki-laki pendatang dari daerah Sleman, Yogyakarta yang mendapatkan istri Ngadinem. Hidup membesarkan 3 orang anaknya dengan rumah bambu sederhana di atas tanah numpang  di pekarangan famili.  Al hasil, setelah saya masuk perguruan tinggi menempuh S1 di UGM dalam waktu 4,5 tahun, maka seakan-akan mereka tiak percaya. Komentar miring pun bertaburan, ah paling baru Sarjana Muda, ah mungkin masuk kuliahnya nyogok, ah masak putune Walijo kok Sarjana, dll. Kisah nyata ini adalah pelajaran bagi siapa saja, bahwa kita tidak boleh meremehkan seseorang, apapun kondisi fisik dan status sosial seseorang.
  2. Keluarga Pandawa, gambaran pribadi mulia 
    Rahwana, gambaran Penguasa  
    kaya raya tapi miskin keteraturan  
  3. Wawasan berbau rasialis. Sering kita dengar bahwa Ki Dhalang jika melantunkan suluk menjelaskan kondisi alam dan sosialnya Tanah Amarta dan Keluarga Pandawa adalah tanah yang subur makmur, masyarakatnya tata titi tentrem kertaraharjo dengan dilingkupi tanah yang gemah ripah loh jinawi. Keluarga keturunan Pandawa yang Adhiluhung (budipekerti mulia), sedangkan kerajaan Astina dengan Keluarga Kurawa, Raja Alengka yang walaupun ber bandha (kaya harta), ber bandhu (kaya uang), hidupnya urakan, suka menerjang aturan. Cerita pewayangan sering dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat mengibaratkan Pandawa adalah Tanah Jawa dan Astina atau Raja Seberang atau Raja-raja Raksasa adalah Luar Tanah Jawa. Kehidupan emosional massa ini sama sekali tidak tepat. Konotasi Adhiluhung dari Ki Dhalang bilamana ditujukan kepada ajaran ke-jawa-an is OK, Tetapi  kalau ditujukan kepada Raja dan masyarakat Jawa sudah tidak tepat, karena ternyata raja-raja Jawa justru banyak yg bertekuk lutut bahkan bersekongkol dengan Belanda sampai dijajah selama 350 tahun terhitung masuknya VOC 1600 - 1945. Lihat tuh  tanah Acheh yang tidak pernah dijajah Belanda, kan lebih adhiluhung.... Jika kita pelajari budaya masyarakat non Jawa di Nusantara ini mis : Bugis, Batak, Minang, dll, ajaran adhiluhung pada adat dan kemasyarakatannya tidak kalah dengan masyarakat Jawa. Saya tinggal di masyarakat Bugis 7 tahun (1983 - 1990), banyak filosofi kemasyarakatan yang adhiluhung, mis : pada idi, pada elo, sipatuo, sipatokong, sungguh luar biasa dalam membendung pihak luar untuk memecah belah kekeluargaan dan bermasyarakat. Dipastikan masyarakat di Tanah Minang atau masyarakat yang lain didapati filosofi-filosofi adhiluhung yang berkembang di tengah masyarakat. 
  4. Opo jarene wong akeh (jw : bertindak mengikuti apa yang dibilang oleh kebanyakan). Ungkapan ini sering keluar dari seseorang atau kelompok masyarakat yang gamang melakukan sesuatu dan takut bertindak salah, takut mendapat statement menentang arus atau "berseberangan", walaupun pendapatnya benar. Pola kegiatan bersifat "anut grubyuk", tidak berani melangkah inovatif secara pribadi. Kondisi sosial seperti ini terjadi pasca kerusuhan massal atau peristiwa politik yang berdampak pada merosotnya sendi-sendi kehidupan masyarakat. Takut jika yang dilakukan tidak sesuai dengan lingkungan sosial atau emosional massa yang terjadi saat itu. Statement politik akan lebih menonjol dengan "bicara salah pada situasi massa yang tepat lebih baik daripada bicara benar pada situasi massa yang tidak tepat". Jika kondisi emosional massa berlarut-larut seperti ini dan diturunkan kepada generasi berikutnya (anak-anak), sangat besar kemungkinan memunculkan generasi penerus yang "pengecut".  
  5. Narimo Ing Pandum dan Pasrah Mekalah yang penerapannya Salah Kaprah (dirasakan benar padalah salah besar). Kita tidak bisa memungkiri, bahwa kondisi ekonomi seseorang adalah sejarah yang harus dijalani oleh oang yang bersangkutan pada zamannya. Itulah yang diakui sebagai narimo ing pandum yang harus mensyukuri apa yang dianugerahkan kepada ybs. Kondisi emosional ini akan dibarengi dengan pasrah dan ngalah terhadap hiruk-pikuk lingkungan masyarakat di sekitarnya. Pada umumnya filosofi ini dialami oleh masyarakat yang tertekan selama bertahun-tahun bahkan turun-temurun seperti halnya masyarakat Indonesia golongan menengah kebawah pada zaman penjajahan dan awal periode pasca kemerdekaan. Filosofi kemasyarakatan kalah mekalah sangat bagus bilamana hidup seseorang di lingkungan yang homogen dalam satu keluarga besar di pedesaan dengan strata sosial yang relatif sama secara ekonomi. Namun, filosofi ini tidak tepat sama sekali bagi dunia bisnis yang berkembang sangat cepat di era pembangunan industri mulai tahun 1990-an hingga sekarang.  Menjadi pebisnis tidak boleh "kalah mekalah" akan terinjak oleh pesaingnya, namun juga jangan "menag-menangan" karena dunia bisnis tidak akan menerimanya. Bisnis perlu "Reliable" kepercayaan dan kepastian hukum. Dampak sosial filosofi kalah mekalah sangat merugikan bagi mereka yang menganutnya, contohnya adalah Kaum pebisnis akan lebih memilih memanfaatkan tenaga kerja yang "Narimo" untuk dikasih imbalan minimal karena membantu pengurangan pengeluaran.Implikasi hukumnya adalah karena saking narima-nya sampai bekerja tidak perlu memegang "agreement" atau Akte Kontrak, pokoknya baik-baik selama bekerja. Pada akhir meninggalkan pekerjaan karena PHK, orang ybs tidak bisa menuntut apa yang diinginkan "wong" tidak punya Akte Kontrak. Ekses secara psikologis orang ybs adalah kekecewaan, menyesal, dll. Fenomena sosial akaibat kondisi tsn diatas adalah demo bahkan perusakan dan berakhir berurusan dengan Polisi. Tidak lain adalah kekonyolan dalam keterlibatannya sebagai karyawan dengan segala bentuk lingkungan dan hukum formal yang berlaku..  

 Zaman sudah berubah, teknologi komunikasi sudah merobek batas antar daerah, suku, ras dan negara. Komunikasi bisa dilaksanakan cukup dengan menggerakkan jari-jemari di laptop atau komputer  "no border area". Interaksi antar adat dan budaya semakin kuat, adat budaya asli daerah semakin sudah sulit dikenal, ilmu, pengetahuan dan wawasan hidup sudah merebak luar biasa sampai ke pelosok negeri.


Sudah saatnya filosofi-filosofi yang hidup di tengah masyarakat yang menyesatkan harus direvisi, atau filosofi-filosofi yang baik dari dua atau lebih Suku disinergikan sehingga membenuk mozaik yang saling mengisi, yang jelek-jelek disingkirkan, yang baik-baik digabungkan.


Siapa yang kuasa merevisi produk brilliant para pendahulu kita? Pepatah China mengatakan : "racun harus diobati dengan racun pula". Jika kemajuan teknologi dapat merobek budaya masyarakat, maka kita juga meng-counter dengan teknologi pula adat budaya masyarakat disusupkan dalam teknologi, sehingga tercipta masyarakat Asli Indonesia (Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Minang, dll) yang berteknologi tetapi tidak kehilangan akar budayanya.


Mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju kita sekarang sudah hidup di alam serba bersaing, hidup dalam persaingan bebas. Oleh karenanya perlu jurus-jurus brilian untuk menempuh dan menghadapi pesaing dalam berbagai bentuk, pola kehidupan demi kemakmuran dan kesejahteraan yang merata. Kata kuncinya adalah "belajar dan belajar" melalui berbagai media, namun perlu mencermati keberadaan adat istiadat yang adhiluhung jangan sampai adat istiadat asli ditinggalkan.

Jakarta, April 2011

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Kl filosofinya demikian, apa bener pak masyarakat Jawa lbh adiluhung daripada masyarakat lain di Indonesia. Kok yg banyak ketangkep korupsi di TV kok nama-nama Jawa juga..

agusprasodjo.blogspot.com mengatakan...

Bisa jadi demikian pada zaman dahulu sewaktu pra-sejarah Masyarakat Jawa sudah memiliki kerajaan, sdh lebih teratur sedangkan masyarakat diluar jawa belum begitu maju. Tetapi sekarang tdk tepat lagi krn zaman sdh berubah, agama sdh tersebar kepelosok negeri, akulturasi budaya cepat merambah melalui media komunikasi, ke-adiluhung-an banyak didapati pada kearifan masyarakat lokal yg penuh kejujuran dan kesederhanaan hidup. Apalah artinya pandai dan banyak harta, tetapi miskin moral yg mendorong oknum untuk bertindak merugikan masyarakat dan negara (tdk adiluhung lagi).

Rsuryananda mengatakan...

Kalau ngomong korupsi, sekarang ini hampir seluruh suku di Indonesia sudah pandai melakukanya, karena iklim sosial, politik dan budaya sudah sangat jauh berobah dari masa lampau seperti tulisan diatas.
Sepertinya sangat sulit untuk kembali meraih kebesaran jiwa kebangsaan Indonesia seperti dulu, pengaruh luar melalui media sangat sulit dibendung, ujung tombak keluarga untuk menangkal hal ini hanya tinggal hati nurani masing2 bagaimana harus menyikapi perobahan ini.