14 Feb 2011

Mengenal Sosiologi Pedesaan dan Sub-urban Kota Besar (sebuah pengalaman empiris)

Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum (Wikipedia Bhs.Indonesia, 2011)

Gotong-royong Masyarakat Pedesaan Untuk Meingankan Beban Bersama
Sosiologi pedesaan adalah suatu ilmu yang mempelajari masalah sosial baik pendidikan, kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang terjadi karena hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompoknya , kelompok dengan kelompok lainnya dan seterusnya.
Secara awam, pengertian masyarakat pedesaan atau istilah umumnya wong ndeso, mempunyai ciri-ciri yang spesifik. Semakin jauh dari pusat keramaian kota ada kecenderungan masyarakat pedesaan semakin jarang populasinya dan membentuk struktur kemasyarakatan yang justru lebih erat tali persaudaraannya. Namun, secara sosiologis mereka lebih konsentrasi dalam kegiatan fisik agraris dan memerlukan waktu khusus untuk berkumpul bersama antar sesama warga pedesaan.  Kondisi alami yang sedemikian rupa dan dilaksanakan secara terus-menerus dan turun-temurun, mendorong individu warga menjadi kurang pergaulan, kurang percaya diri untuk tampil di depan umum, terisolasi dari pergaulan luas dan lain sebagainya. 
Oleh karenanya, mereka lebih mementingkan kerja keras untuk menghidupi keluarga dan berkumpul bersama hanya pada saat-saat tertentu saja terkait peristiwa moral yang menjadi simbol keberadaan harga diri masyarakat misalnya mendapat anugerah dari Yang Maha Kuasa, misalnya panen hasil bumi, mendapatkan kebahagiaan atau tertimpa musibah.
Dalam beberapa kasus wong nDeso terdapat keunggulan dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Contoh yang paling ekstrim, adalah kerukunan dan rasa senasib. Kerukunan bagi masyarakat perkampungan tidak bisa ditawar lagi. Saking lekatnya rasa kerukunan, sosok seseorang dalam satu lingkup wilayah Kecamatan masih saling mengenal. Memang diakui ada pergesaran sedikit sejak munculnya masyarakat Isalm Modern yang ingin menghilangkan segala bentuk ritual adat kejawen, namun perbedaan keyakinan dalam menjalankan ajaran agama tidak sampai menggoyang kerukunan dalam bermasayarakat. Pada intinya corak karakter masyarakat pedesaan bobot kepentingan moral spiritual lebih besar dibandingkan dengan sifat materialistisnya. Pola hidup gotong-royong dan murah meriah menjadi harga mati bagi sebagian besar masyarakat pedesaan.
Beberapa bentuk kerukunan yang dimanifestasikan dalam ritual adat : Nyadran, Merti Deso, Bedah Sawah, Garebeg Gethuk, dll.

Prof. Bintarto, 1984, Kota adalah sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai oleh strata sosial ekonomi yang heterogen serta corak materialistis. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 4/1980 Kota adalah wadah yang memiliki batasan administratif wilayah seperti kotamadya dan kota administrasi. Perkembangan teknologi telah merubah masyarakat pinggiran kota atau sub urban menjadikan wilayah pinggiran kota berubah menjadi pusat-pusat kegiatan mandiri dengan berbagai fasilitas untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, mulai dari Minimart, ATM, Pasar, Sekolah, Warnet, dll.
Masyarakat sub urban akan menjadi penyangga (buffer) bagi kehidupan kota manakala warganya memiliki kemampuan kontributif dalam kehidupan kota besar dan sebaliknya masyarakat sub urban justru menjadi beban bagi kehidupan kota besar jika warganya tidak memiliki kemampuan untuk berkontribusi bagi kehidupan kota yang diindikasikan dengan meningkatnya kejahatan yang semakin merajalela.
Individualistis dan meterialistis sudah tidak bisa ditawar lagi. Bahkan adu kekuatan olah pikir yang negatif pun sudah menjadi hidangan sehari-hari. Kewaspadaan dalam segala hal menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap warga sub urban.
Masyarakat Sub-urban dgn Kesibukan Sebagai
Karyawan Perusahaan Waktu Habis untuk Bekerja 
Mengapa individualistis?   Jawabannya singkat yaitu karena tidak sempat menikmati hidup dalam kebersamaan. Seluruh waktunya habis untuk mencari nafkah. Bahkan untuk menikmati kebersamaan dalam satu rumahtangga pun kadang tidak sempat. Akhirnya, jadilah masyarakat yang cenderung untuk menumpuk harta benda (materialistis) untuk berjaga-jaga untuk membeli segala permasalahan bilamana terjadi sesuatu, bahkan sampai hal yang melanggar hukum pun ditukar dengan harta benda.
Keengganan terhadap kontribusi lingkungan yang seharusnya bisa diatasi sendiri, mereka tidak biasa melakukannya. Yang terjadi adalah meminta bantuan kepada Pihak Ketiga. Iuran untuk lingkungan dianggap sebagai beban, bukan merupakan suatu amal yang harus dikembalikan kepada kondisi alam sekitarnya. Lu lu, gua gua. Kalau sudah seperti ini maka bagi yang anggota masyarakat tidak mampu secara ekonomi akan semakin sulit untuk menyangga kehidupannya.  Bisa dibayangkan, jika suatu saat si miskin terkena musibah yang mengharuskan keterlibatan orang banyak, mis : sakit yang perlu berobat ke rumah sakit atau kematian, maka sifat individualistis sangat tidak enak dipandang mata bagi masyarakat luar. Pemandangan jalan atau gang lengang tidak ada tenda atau kursi di depan rumahnya manakala seseorang tertimpa musibah.. sangat tidak manusiawi dilihat orang yang lewat. Sedih.. orang yang melihatnya.   

Namun, masih ada yang lebih baik manakala suatu kondisi mozaik terjadi, jika masyarakat yang berasal dari pedesaan hidup dan berbaur di wilayah sub urban. Sifat gotong-royong  masih dipelihara, kesederhanaan dan prinsip hidup murah  masih terlihat jelas dan kondisi individualistis masih muncul pada beberapa anggota masyarakat walaupun tidak mencolok. Jadilah kelompok masyarakat dengan berwarna-warni karakter dan bentuk sinergi yang bisa dibanggakan. Tepa slira memahami kondisi kekurangan orang lain dan saling mengisi kelebihan terhadap kekurangan orang lain menjadi kunci kerukunan dalam bermasyarakat.

 
Rujukan Pustaka :
  1. ^ William D Perdue. 1986. Sociological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Palo Alto, CA: Mayfield Publishing Company. Hlm. 20
  2. ^ Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. Hlm. 5
  3. ^ James. M. Henslin, 2002. Essential of Sociology: A Down to Earth Approach Fourth Edition. Boston: Allyn and Bacon. Hlm 10

2 komentar:

bepe mengatakan...

Gotong royong sebagai budaya turun temurun khususnya di masyarakat pedesaan, kelihatannya semakin luntur. Karena kebanyakan orang sekarang cenderung individual dan materialis..Maka perlu dipupuk dan kembangkan lagi budaya tsb, sejak dini (usia anak2). Dan diperlukan orang tertentu yg mau berkorban tanpa pamrih utk membina budaya gotong royong di masyarakat, agar tdk tergerus oleh perkembangan jaman..Tq

bepe mengatakan...

Tradisi gotong royong tdk boleh luntur di dlm kehidupan masyarakat khususnya di pedesaan. Diperlukan orang tertentu yg sangat respect thd hal tsb dan tanpa pamrih. Karena dgn budaya gotong royong, maka banyak manfaat yg dpt kita petik. Misalnya : biaya hidup menjadi lbh murah. Perkembangan masyarakat yg semakin individual & materialis yg menyebabkan tergerusnya budaya tsb.. Tq