7 Jul 2011

Komunikasi Massa dan Garebeg “Sunan Kalijogo”



Kyai Guntur Madu Ditabuh, 2011 

“Garebeg” berasal dari kata “Ha + ng + Garubyug” atau Hangagrubyug menjadi “Anggrubyug”, kemudian untuk memudahkan lafal lidah masyarakat Jawa menyebut "Grebeg" berarti berkerumun atau menggiring massa untuk tujuan tertentu.

Asal usul istilah garebeg sendiri bersal dari suatu peristiwa yang konon, Sunan Kalijaga dalam syi'ar Islam di lingkungan Keraton Mataram, atas kesepakatan Wali Songo dan Raden Patah dalam peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Mulud dengan unsur seni musik gamelan yangmana gamelan adalah simbol “kekayaan khasanah budaya Hindu di Tanah Jawa”.

Pemantik atau "strager" yang akan ditargetkan dalam peristiwa  tersebut adalah "di dalam masjid Keraton diadakan pertunjukan tetabuhan seni suara yang diiringi alat musik gamelan".


Kirab Pareden/Gunungan Kakung, 2011

Ternyata idea Sunan Kalijogo tersebut berhasil menyedot massa untuk datang ke masjid dan melihat pertunjukan gamelan. Al-kisah, selain rakyat, para Punggawa Daerah jajahannya "Bupati" pun datang ke Keraton untuk memberikan penghormatan kepada raja. Mereka datang beberapa hari sebelum tanggal 12 Mulud dalam "wigati agung" peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Untuk seremonial tersebut Keraton membuat tenda – tenda (bentuk rumah sementara) di alun – alun untuk bermalam. Bupati menghadap raja beserta para rakyatnya berbondong-bondong menuju ke masjid yang dibangun di sebelah barat alun-alun Keraton. Peristiwa tersebut yang pada intinya “padha pating grubyug” maka kata tibul kata “Anggrubyug” atau “Garebeg”. Oleh karena peristiwa tersebut diakibatkan oleh adanya tetabuhan gamelan dengan missi mensosialisasikan Shahadat sebagai langkah awal mula seseorang masuk agama Islam, maka seremonial tersebut disebut 'Shahadatain” atau “Sekaten” yang hingga saat ini masih terus dilestarikan. Perayaan sekaten meliputi “Sekaten Sepisan” dan ditutup dengan “Grebeg” di halaman Masjid Agung Yogyakarta atau sering disebut sebagai Masjid Gedhe Kauman.
Karena masyarakat Jawa menyukai seni musik dengan alat musik (kala itu) gamelan, maka syiar agama Islam Sunan Kalijogo mensosialisasikan penghormatan terhadap Hari Raya Islam dengan menyisipkan unsur gamelan.
Dan untuk keperluan itu, Sunan Kalijogo menciptakan seperangkat gamelan yang namanya dikaitkan dengan statement awal seseorang masuk Islam yaitu Shahadat atau "Shahadati" kemudian dinamakan "Kyai Sekati" dari kata Shahadatain.  Di dalam masjid diadakan tabuh gamelan, agar orang-orang tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberikan pelajaran tentang agama Islam. Sekaten adalah simbol kebersamaan yang diidentikkan dengan kraton dan rakyatnya.
Prosesi acara Sekaten dirangkaikan dengan Grebeg Hajad Dalem, berupa prosesi pareden/gunungan yang terdiri dari nasi tumpeng super besar berbentuk gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan) diusung oleh 8 (delapan) orang untuk dikirab dan dimakan bersama / diperebutkan oleh para pengunjung yang sering disebut "ngalab berkah nderek mulyo" yang filosofinya berarti menginginkan keberkahan atas kemulyaan keraton.
Hingga sekarang prosesi seremonial Sekaten yang diakhiri dengan Grebeg "hajad dalem" diselenggarakan setiap tahun pada tangal 6 hingga 12 pada bulan Maulud.

Upacara Garebeg juga diselenggarakan di Keraton Kasunanan Surakarta sebanyak tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut raja mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut juga Hajad Dalem, berupa "nasi tumpeng super besar" dengan assesoris sayur-mayur segar yang disebut pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).

Dalam manifestasinya di tingkat grassroot bagi masyarakat pedesaan saat itu, grebeg dilakukan dengan mensosialisasikan "alunan shalawat"  yang dilagukan merdu yang disebut “tahlil & genduren” di masjid-masjid atau kenduri atau kepungan yang dikombinasikan dengan acara doa syukur dan mendoakan arwah leluhur yang disebut "tahlil" atau "tahlilan".

Grebeg Gethuk, Magelang 2011
(warga merayakan hari jadi Kota Magelang yang
pertama dengan pakaian prosesi ala Mataram Kuno)


Dalam perkembangannya, Grebeg yang pada awalnya bernuansa syiar Islam dengan prosesi penabuhan alat musik gamelan dan ceramah di Mesjid oleh Sunan Kalijogo, kemudian masyarakat diluar Keraton melakukan acara Grebeg merajalela sampai diluar misi awal, namun masih dalam lingkup sebagai manifestasi rasa syukur. Grebeg yang dilakukan oleh masyarakat di luar Keraton dilakukan untuk berbagai misi a.l mengangkat pelestarian “mitologi komunitas setempat”, peringatan hari jadi sebuah usaha dan “legenda rakyat”. Berikut contoh proses Grebeg yang dilakukan diluar Keraton, misalnya :
  1. 
    Grebeg Gule Kambing, Tuk Songo Magelang
    Warga menggunakan pakaian ala Kyai Tuk Tongo
    dan keprajuritan yang diiringi oleh pengikutnya
    
    Grebeg Gethuk di Alun-alun Magelang yang mengangkat mitos terbentuknya kota Magelang berdasarkan prasasti Ratu Dyah Balitung yang diketemukan di Mantyasih atau Meteseh. Dalam prosesi Grebeg Gethuk dirangkaikan dengan "Tari Dedemit Lelepah", kirab gunungan "Gethuk" dari kontributor dan  upacara ala kerajaan Mataram Kuno serta tari kolosal asal-usul terjadinya daerah Magelang. Setelah acara selesai, ratusan orang berebut getuk yang tersaji dalam bentuk pareden/gunungan. Terakhir grebeg Getuk dipentaskan dalam rangka HUT Kota Magelang ke-1104 di alun-alun Kota Magelang. 
  2. Grebeg Saparan di Girimoyo bagi masyarakat pegunungan Menoreh dengan prosesi kirab Gunungan tumpeng dalam rangka manifestasi “mengejawantahkan” rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa setelah petani panen raya.
  3. Grebeg Gulai Tuk Songo, Kota Magelang, masyarakat melaksanakan ziarah ke Makam Kyai Tuk Songo yang dilanjutkan dengan ceramah agama. Gulai dalam Kuali super besar yang diusung oleh "bregada" atau barisan berpakaian keprajuritan dan sebagian gulai ditaruh dalam piring tanah "cobek gerabah" dikirab dari Dusun Tuk Songo menuju lokasi disamping Makam Kyai Tuk Songo. Di tempat itu masyarakat mendengarkan ceramah agama dari seorang Ustadz dan setelah ceramah agama selesai warga beramai-ramai makan gulai kambing, Uenaak tenan....!
  4. Grebeg Kirab Gunungan Apem dalam Upacara Adat yang dilakukan oleh masyarakat Desa Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta untuk mengenang jasa syiar Islam Ki Ageng Wonolelo. Dalam prosesi tersebut masyarakat melakukan pembersihan Pusaka peninggalan Ki Ageng Wonolelo, mengganti bungkusnya, membawa pusaka dari Rumah Ki Ageng ke Mesjid dan dikembalikan lagi ke tempat semula. Pusaka atau jimat warisan Ki Ageng Wonolelo yang nama aslinya Jumadi Geno berupa Al-Quran, Kyai Gondil, Kopyah, Potongan Mustaka Masjid dan Tongkat. Pusaka tersebut kemudian dikirab menuju petilasan Ki Ageng Wonolelo. Sesampainya di petilasan Ki Ageng Wonolelo, lalu dilakukan tahlinan dan tabur bunga. Gunungan apem yang dikirab kemudian didoakan dan langsung dilemparkan kepada warga yang memenuhi sekitar petilasan Ki Ageng Wonolelo yang merupakan seorang keturunan Prabu Brawijaya V sekaligus sebagai tokoh penyebar agama Islam pada masa kerajaan Mataram. Ia adalah prajurit Mataram yang pernah menaklukkan Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Jumadi Geno menetap di Pondok Wonolelo yang semakin tersohor. Banyak orang yang berdatangan dan berguru agama Islam kepadanya (KRJogja).
  5. Grebeg Roti di Kota Solo untuk memperingati hari jadi pabrik roti "Ganep" di Kota Solo yang sekarang produksinya sudah cukup besar. Dalam grebeg tersebut warga mengusung roti berukuran besar dikirab melalui jalan besar pada saat hari libur sehingga tidak mengganggu lalu lintas. Setalah kirab selesai, roti warga beramai-ramai berebut roti untuk dimakan masing-masing yang mendapatkan.
  6. Grebeg Apem di Jatinom, Klaten, yang lebih dikenal dengan "ritual yaqowiyu" atau lafal Jawa "jagawiyu", maksudnya agar masyarakat memanjatkan do'a permohonan maaf kepada Allah "ya qoyyu.. ya qoyyum". Ritual ini  dilakukan oleh masyarakat setempat pada setiap bulan Sapar untuk memperingati jasa Ki Ageng Gribig pada saat kepulangan dari menunaikan ibadah haji, beliau membawa oleh-oleh kue apem dan tanah dari "padang Arofah". Keunikan dalam ritual ini, setelah kue apem dikirab, kemudian dibawa ke panggung yang dibangun di tengah lapangan, kemudian tokoh agama setempat menyebarkan kua apem kepada Ribuan orang yang hadir. 
  7. Dls.
Unsur Komunikasi Massa dalam Hikmah Grebeg  
Mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people (Bittner, disitir oleh Rakhmat, Komala, 1999, : komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar / massa). Komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak dalam jumlah banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa.
Komunikasi massa juga merupakan proses dimana suatu organisasi /media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik). Organisasi - organisasi media ini akan menyebarluaskan pesan-pesan yang akan memengaruhi dan mencerminkan kebudayaan suatu komunitas, lalu informasi ini akan mereka hadirkan serentak pada khalayak luas yang beragam latar belakang status sosialnya. Hal ini membuat media menjadi bagian dari salah satu lembaga yang kuat di masyarakat (Komunikasi massa, wikipedia).

Dalam komunikasi masa, media masa menjadi otoritas tunggal yang menyeleksi, memproduksi pesan, dan menyampaikannya pada khalayak.
Dalam agama Hindu keramain mempunyai maksud menghormati kepada dewa – dewa. Dalam peristiwa Garebeg, keramaian kemudian diimplementasikan oleh Waliullah untuk menghormati hari – hari raya Islam.
Masayarakat yang datang ke halaman masjid pun diminta untuk mendengarkan siraman rohani tentang ajaran Agama Islam. Propaganda syi'ar berisi tentang dasar–dasar ajaran Agama Islam seperti bunyi kalimat syahadat serta maksud dan tujuan kalimat tersebut. Kalimat syahadat merupakan pernyataan "statement" kalimat yang diucapkan seseorang ketika masuk Islam untuk mengakui bahwa Tidak Tuhan lain selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT. Agar mudah difahami oleh khalayak, kalimat syahadat juga ditulis di pintu gerbang Masjid Agung. Karena banyaknya orang yang datang dan bermalam di alun–alun, maka banyak pula orang yang berjualan di sekitar alun–alun.

Sunan Kalijogo menggunakan Grebeg sebagai wadah komunikasi massa yang bercirikan sbb :
  1. Menggunakan media masa dengan lembaga media yang jelas, yaitu berupa wara-wara atau propaganda keislaman dan kelompok target massa kawulo Mataram yang notabene masih didominasi oleh pengaruh Hindu. Media massa saat itu menggunakan "gethok tular" tentang ajaran Islam dari komunitas di lingkungan Keraton kepada Para Bupati yang hadir dan dari Bupati kepada rakyatnya.
  2. Komunikator memiliki keahlian tertentu, bahwa Sunan Kalijogo adalah Waliulllah yang mempunyai ngelmu kawaskithan adiluhung dan memasyarakat. Disamping ahli dibidang keagamaan, Sunan Kalijogo memiliki ilmu ke-Islaman yang tiada tara.  
  3. Pesan searah dan umum, serta melalui proses produksi dan terencana, dibuktikan dengan pesan-pesan moral dari seorang Waliullah kepada khalayak dalam da'wahnya melalui masjid dan surau di penjuru Tanah Jawa dan seni musik “gamelan”, wayang kulit dan tetembangan “lir-ilir” dls.
  4. Khalayak yang dituju heterogen dan anonim, bahwa khalayak yang tertarik pada prosesi sekaten dan diakhiri dengan garebeg Hajad Dalem yang kemudian membudaya adalah umum tidak membedakan target yang dituju apakah muslim atau non-muslim.
  5. Kegiatan media masa teratur dan berkesinambungan, bahwa untuk menjaga keteraturan dan kesinambungan syi'ar Islam, prosesi Garebeg dimanifestasikan di tingkat grassroot dengan bentuk “kenduri dan tahlil” yang dilakukan setelah musim panen tiba, mis : “kenduri Suran” bulan Sura, “kenduri Saparan” bulan Sapar, “kenduri Mauludan” bulan Maulud hari lahir Nabi Muhammad SAW dan “Ruwahan atau Nyadran”  yang dilakukan pada bulan Ruwah menjelang Romadhon.  Dalam perjalanan waktu, wujud rasa syukur dalam bentuk "kembul bujana " atau kenduri memasyarakat sampai ke seluruh masyarakat Muslim Melayu di Nusantara untuk memohon do'a restu menjelang peristiwa penting, mis : sunatan, perkawinan, menempati rumah baru, memulai tanam padi, dls.
  6. Ada pengaruh yang dikehendaki, bahwa saat itu Sunan Kalijogo ingin memberikan pengaruh ke-Islaman kepada "target group atau kelompok target" masyarakat Hindu agar secara sukarela memeluk ajaran Islam.
  7. Dalam konteks sosial terjadi saling memengaruhi antara media dan kondisi masyarakat serta sebaliknya, bahwa wara-wara atau syi'ar agama dan masyarakat saat itu (Hindu) telah terjadi interaksi (saling mempengaruhi) antara peristiwa garebeg sendiri dengan kelompok masayarakat.
  8. Hubungan antara komunikator (Kanjeng Sunan berikut prosesi Sekaten) dan komunikan (khalayak yang mendengarkan ceramahnya) bersifat umum, siapapun boleh datang pada acara sekaten dan grebeg, dalam rangka meningkatkan akhlakul karimah "memayu hayuning bawono" tidak bersifat pribadi tetapi atas panggilan Ilahi.
Menurut Kappler (1960) komunikasi masa memiliki efek konversi (perubahan), memperlancar atau pertentangan terhadap missi perubahan dan  strengtening (memperkuat kondisi) terhadap nilai, norma dan ideologi :
  1. Konversi, maksudnya komunikan menyebabkan perubahan yang diinginkan dan perubahan yang tidak diinginkan bagi komunikator, bahwa perubahan massa Hindu menjadi Muslim, secara idiologis massa Hindu tidak menginginkan terjadi perubahan menjadi Muslim.
  2. Memperlancar atau malah mencegah perubahan, bahwa ajaran ke-Islaman yang semakin sederhana (tidak nrithik), akan memperlancar pesatnya ajaran Islam bagi masyarakat Jawa yang pada waktu itu dominan memeluk agama Hindu. Namun, tidak dipungkiri masyarakat yang mencegah atau menolak ajaran Islam pun ada dan bertahan hingga sekarang yaitu komunitas Tengger. 
  3. Memperkuat kondisi (nilai, norma, dan ideologi) yang ada. Nilai-nilai ke-Islaman pada awalnya bagi masyarakat Jawa pokoknya sudah mengucapkan “Shahadat” maka sudah disebut “Muslim” dengan sebutan “Muslim Abangan”, semakin lama dengan grebeg dan meluasnya ajaran Islam sampai di pelosok desa, ditambah dengan kepiawaian pada Da'i dan kesadaran dalam menjalankan keimanannya, maka kelompok Muslim abangan semakin lama semakin hilang.

Dampak komunikasi masa

Secara teoritis, dampak komunikasi masa meliputi tiga macam, yaitu dampak terhadap individu, masyarakat, dan kebudayaan.
Acara grebeg Hajad Dalem Pareden/Gunungan  adalah bentuk dari dampak individu dan masyarakat dalam memaknai arti bersyukur kepada “Sang Akaryo Jagad” Allah, SWT.
Secara kultural sekaten dan grebeg tidak bisa dipisahkan. Filosofinya, sekaten dan grebeg adalah prosesi “andrawina” bersenang-senang dengan melantunkan lagu-lagu tertentu dan ceramah ke-Islaman dan "kembul bujana" “makan-makan” syukuran atas kemakmuran yang diberikan Allah kepada Keraton berikut rakyatnya.

Oleh karena kegiatan tersebut dilakukan oleh Keraton dan dimanifestasikan di tingkat grassroot secara massal dalam bentuk yang sederhana "kenduri dan tahlil", dilakukan berulang-ulang setiap tahun, maka kegiatan tersebut men-tradisi dan seterusnya mengkristal membentuk adat-budaya.

Kesimpulan : 
Terlepas Sunan Kalijogo sebagai "Waliullah" yang dipilih Allah menjadi salah satu dari Wali Sanga di Tanah Jawa, beliau  memiliki kelebihan kepiawaian dalam bidang dakwah keagamaan, kepemimpinan dan kecerdasan membius massa melalui cara-cara yang rasional.

Sumber Referensi dan Ilustrasi Foto :
  1. Komunikasi Massa (....), Ensiklopedia Bebas, Wikipedia
  2. Littlejohn, Stephen W (....). Theories of Human Communication. Seventh edition
  3. Kyai Guntur Madu Mulai Ditabuh (2011), Ceybernews, Suara Merdeka
  4. Hajad Dalem Gunungan Kakung (2011), KRJogya
  5. Grebeg Gulai Tuk Songo (2011), Ceybernews, Suara Merdeka.




Tidak ada komentar: