11 Okt 2010

Posong Sagotarh (6)

Familiku Pluralistis tetapi Bukan Pluralisme

Introduksi

Pluralistis adalah sifat keberagaman. Pluralisme atau multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan,  politik dan keyakinan yang mereka anut.


Masa kecilku sekitar tahun 1970-an, saya sering diajak orangtuaku (bapak) berkunjung ke rumah-rumah famili yang masih dikenal orangtuaku khususnya pada hari-hari lebaran . Saya diperkenalkan sebagai anak anak-cucu penerus silsilah dari Mbah-mbah yang sudah sepuh dan menghaturkan “sungkem” kebaktiannya kepada pinisepuh serta permohonan maaf jika dalam perjalanan melanggengkan silaturahmi terjadi sesuatu yang kurang berkenan di hati para pinisepuh. Siapa yang berkunjung (ujung) dan kepada siapa yang dikunjungi…? Orangtuaku tidak pernah mengajarkan kepada saya tentang perbedaan faham dan keyakinan dalam menjalankan acara ritual lebaran tahunan “ujung” silaturahmi. Yang ada adalah suasana sukacita baik yang mengunjungi (anak-anak dan dewasa umur lebih muda) maupun yang dikunjungi (umur lebih tua). Itulah awal pelajaran demokrasi dari orangtua dan lingkunganku kepada saya dan seluruh keluarga saya.
Ternyata silaturahmi lebaran tidak berpengaruh pada saat family yang beragama Kristen merayakan hari raya Natal. Para pinisepuh tidak pernah mengarahkan anak-cucunya untuk mengikuti salah satu keyakinan yang mereka anut masing-masing. Bahkan pada saat akan memilih pasangan hidupnya, orangtua menyerahkan sepenuhnya kepada anak untuk menempuhnya. Orangtua hanya memberikan gambaran hikmah dan resikonya hidup dalam keluraga yang berbeda keyakinan. Namun, ada rambu-rambu yang tetap dijaga agar tidak saling bergesek sensitifitas keyakinannya masing-masing.

"Ujung" sebagai forum pemersatu tali silaturahmi keluarga yang beragam
"Ujung" Sungkem Lebaran
Ritual “ujung” di hari-hari lebaran sudah menjadi forum silaturahmi di lingkungan keluarga besar khusunya anak keturunan keluarga kami “Trah Posong”. Saya mengetahui benar bahwa famili dari Dusun Posong banyak yang meyakini Kristiani dan family dari Gangsan 100 % Muslim. Pada saat saya menjalankan sungkeman kepada Mbah Parto, Mbah Niti, Mbah Projo dan Mbah Lurah di Dusun Posong yang notabene beragama Kristen menggunakan bahasa umum yang sering diucapkan, yaitu menghaturkan bakti kepada pinisepuh dan permohon maaf. Doa jawaban pinisepuh sudah pasti agar anak cucu yang lebih muda memaafkan kepada yang lebih tua dan mendoakan agar mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan hidup. Bagi pinisepuh yang masih kental "animisme kejawen" pun demikian pula yang dilakukan pada kesempatan ritual "ujung" lebaran.
Kesempatan yang lebih penting dalam sungkeman adalah pada saat acara basa-basi saling memberitakan kondisi masing-masing famili pada saat itu. Tidak sedikit dari basa-basi tentang keselamatan, keharmonisan bermasyarakat, situasi jalanan, dls, terbersit kalimat “indahnya tali silaturahmi dalam keluarga besar yang harus dijaga sampai kapanpun” dengan tetap menjaga “tali silaturahmi” dalam perbedaan faham dan keyakinan.
Bagaimana situasi silaturahmi pada hari raya Natal bagi famili pemeluk Agama Kristen dan pada tanggal 1 Muharam bagi yang masih lekat dengan Kejawen atau Malam Bulan Purnama setiap bulan Mei bagi famili yang beragama Budha? Mereka pun membuka pintu bagi siapa pun yang datang, tidak menutup kesempatan bagi famili yang beragama lain. Perbedaannya, oleh karena hari raya Lebaran lebih banyak famili yang Muslim, maka kemeriahan terlihat lebih dibandingkan hari raya selain lebaran. Pada prinsipnya keberagaman adat istiadat dan keyakinan mewarnai dalam keluarga besar kami "pluralistis". 


Rambu-rambu yang Harus Dihormati
Keluarga Besar kami sudah lama mengenal rambu-rambu untuk saling menghormati faham dan keyakinan masing-masing, sebelum Hak Azasi Manusia diundangkan di Republik ini. Mereka sangat faham “La kum diinukum wa liyadin”. Walaupun di meja makan kami adalah satu keluarga, namun dalam mengamalkan ajarannya khususnya yang dari famili Muslim tidak diperkenankan mengikuti kegiatan yang bersifat “seremonial” ajaran Kristen, misalnya mengikuti Misa di Gereja, mengucapkan/mengamalkan gerakan simbol “Tri Nitas” serta menyebut Tuhan Yesus. Begitu pula bagi yang Non Muslim tidak diperkenankan mengikuti seremonial ke-Islam-an. walaupun maksudnya sangat mulia, tetapi hal-hal yang sensitif harus dihindari.
Dalam perkawinan tidak sedikit dari famili Kristen melangsungkan pernikahan dengan famili Muslim dan setelah berkeluarga, maka perjalanan hidupnya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing untuk menjalankan keyakinannya sesuai dengan yang diyakini, resiko ditanggung masing-masing. Bagaimanapun juga mereka akan tetap kembali kepada satu Keluarga Besar yang harus dijaga keutuhannya.
Dimana Letak Pluralitasnya?
Walaupun masing-masing menganut agama dan keyakinan yang berbeda, mereka tetap merasa satu keluarga besar, saling menghormati satu dengan yang lain dan memegang teguh untuk menjaga tali silaturahmi. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada i’tikad kebaikan yang mendukung perjalanan silaturahmi.
Kenapa Bukan Pluralisme?
Pluralisme. Keluarga besar kami disamping memegang teguh tali silaturahmi juga menghormati keyakinan agamanya masing-masing. Menghormati keyakinan dan kebersamaan tidak berarti menganggap semua baik dan bisa dijalankan bersama. , “secara agama, tidak boleh beranggapan semua baik untuk dilaksanakan bersama”. Silahkan Bapak Kyai Besar bisa seenaknya masuk Gereja, tetapi ingat, kalau sampai dilaksanakan dintingakt Grassroot, maka bisa dibayangkan kekacauan dalam beribadah. Apa kata dunia? Pluralisme akan memandang semua baik dan bisa diimplementasikan oleh pemeluk masing-masing agama. Suatu kondisi sulit diterima oleh seorang Muslim melaksanakan seremonial di Gereja atau di suatu tempat seremonial Kristiani. Begitu juga sebaliknya, famili Kristiani pun tidak diperkenankan untuk mengikuti seremonial Islami. Juga yang masih menganut Animisme, jelas diharamkan membakar dupa kemenyan dalam acara membacakan do’a Islami dicampur-campur meminta berkah dari Penunggu Kampung. Pastilah tindakannya dikatakan Syirik, dan seterusnya.
Demikian, sekilas gambaran Keluarga Besar kami yang pluralistis dalam kehidupan bermasyarakat dengan berbagai status sosial, keyakinan dan agamanya, namun tidak di”gebyah-uyah” dalam menerapkan perintah agamanya masing-masing. "lakum dinukum wa liyyadin". Saling menghormati dan menghargai diantara anggota Keluarga Besar menjadi tali pengikat silaturahmi "hablu minannas" setelah berurusan dengan Sang Kholik, harus jalan sendiri-sendiri sesuai keyakinannya "hablu minalloh".  

Salam,
Agus Prasodjo, Tangerang September 2010


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Pak, itu foto siapa pak, mmg ada famili kita seperti itu, kl dimarahi yg oynya foto gmn coba..

Met bekerja
Damar

agusprasodjo.blogspot.com mengatakan...

Itulah seni menulis, untuk melengkapi estetika (keindahan) tulisan kalau terpaksa di album foto kita tidak ada, cari dari mana saja, cuman harus ijin ama yg punya.