23 Sep 2010

Kemiskinan, Sebuah Tinjauan Akademik & Fakta Lapangan


Miskin, dalam pengamatan saya yang dibesarkan sebagai warga Wong nDeso ngGunung Merbabu (Merbabu Hill Tribes) pada masa kecil seumuran SMP dan SMA tahun 1970-an, masyarakat pedesaan kayaknya "tabu" mengatakan kata-kata miskin. Benar-benar fakta nih,  padahal  miskin bin menderita kondisinya. Salah satu ilustrasi kemiskinan tahun 1970-an kebawah, saya sering mendengar radio atau suratkabar, bahwa di dataran kritis sebelah selatan P. Jawa ada yang gantung diri atau sengaja ditabrak kereta karena kesulitan hidup yang tak tertahankan. Diskusi-diskusi di Pos Ronda sangat-sangat menghindari pembicaraan "miskin" . Mungkin takut menyinggung perasaan masyarakat Indonesia yang sudah lama menderita kemiskinan barangkali. Setelah Pelita III tahun 1980-an, mulai terdengar dari Presiden RI adanya Program Pengentasan Kemiskinan melalui pemerataan pembangunan. Istilah pengentasan sangat tepat karena bener-bener masyarakat terendam dalam kemiskinan berpuluh-puluh tahun lamanya. 
 
Kemiskinan sudah sejak lama menjadi masalah bangsa Indonesia, dan hingga sekarang masih belum menunjukkan tanda tanda menghilang. Angka statistik terus saja memberikan informasi masih banyaknya jumlah penduduk miskin tahun 2008 yaitu sekitar 18 persen atau lebih-kurang 30 juta jiwaberada di bawah garis kemiskinan dan Tahun 2010 diperkirakan mencapai 17 % atau sekitar 50 juta jiwa. Angka fantastis untuk Negara super kaya bahan mineral dan lumbung biomass kekayaan alam yang bernilai ekonomi tinggi. Jika dibandingkan dengan Jepang yang serba terbatas sumber kekayaan alam ternyata Pemerintahnya mampu membuat sejahtera rakyatnya.

Harus diakui, pemerintah mempunyai perhatian besar terhadap masalah  ini terbukti telah menjalankan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Karena itu bukan berarti berprasangka buruk terhadap pemerintah, jika kitaberbicara mengenai masalah kemiskinan. Terlepas dari soal setuju atau tidak, kita tidak bisa memungkiri bahwa masalah kemiskinan memang ada di sekitar kita. Setiap mata pemirsa TV tiap kali timbul bencana alam yang terjadi, senantiasa terbelalak terbuka tabir masih adanya kemiskinan di kampung-kampung perkotaan maupun desa-desa yang terkena bencana. Taraf hidup di bawah garis kemiskinan, kondisi gizi yang rendah, pendidikan yang serba memprihatinkan, perikehidupan yang dilingkari kemelaratan, sering mewarnai daerah-daerah yang terkena bencana.
 
Dalam dinamika pembangunan memang pada satu sisi telah mampu  men i ng katkan pendapatan sebagian penduduk, tetapi bersamaan dengan itu jugaterdapat penduduk miskin yang absolut. Ini berarti menjadi indicator bahwa pendapatan
Nasional masih belum terdistribusi secara merata. Menurut Bank Dunia, proporsi pembagian pendapatan nasional di negara-negara berkembang senantiasa menunjukan ketidakberimbangan antara yang terbagi pada warga miskin yang jumlahnya banyak dengan yang terbagi pada penduduk kaya.

Komposisinya adalah: 40 persen  rakyat dengan pendapatan terendah memperoleh hanya 15 persen dari pendapatan nasional; 40 persen dengan pendapatan di atasnya, memperoleh 32 persen dari pendapatan nasional; dan 20 persen dari golongan pendapatan tertinggi memperoleh 53 persen dari pendapatan nasional.

Tinjauan akademik,  suatu factor penentu pemerataan bukan rate dari growth dan dengan demikian pula bagi masalah kemiskinan, namun pattern dari growth-lah yang relevan. Dengan kata lain, bukan kecepatan pertumbuhan yang menentukan pemerataan, melainkan pola pertumbuhannya. Maksudnya memacu pertumbuhan ekonomi, tanpa dibarengi dengan upaya menciptakan struktur sosial yang egaliter, hanya akan menampilkan fakta kesenjangan sosial yang kian melebar. Secara populer, sering terdengar ungkapan dalam pergaulan sosial: ”yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”

Dalam studi akademik, penyebab kemiskinan meliputi tiga unsur:
(1)     kemiskinan yang disebabkan oleh hambatan badaniah atau mental seseorang;
(2)     kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam  dan
(3)     kemiskinan buatan.

Oscar Lewis menggambarkan suatu kebudayaan kemiskinan. Kemiskinan yang membudaya itu menurut Lewis disebabkan oleh perubahan social secara fundamental seperti transisi dari feodalisme ke kapitalisme, perubahan teknologi yang cepat, kolonialisme, detribalisme, system social dan politik Negara.

Kemiskinan buatan  ini sering dikenal sebagai kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh manusia, dari manusia, dan terhadap manusia pula. Artinya, kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur buatan manusia,
baik struktur ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kemiskinan buatan itu timbul dan dimantapkan oleh berkembangnya sikap nrimo, sebagai nasib, dan sikap neglect, atau sikap tidak menghiraukan, menganggap enteng dan tidak penting.
Sikap nrimo memandang kemiskinan sebagai nasib, bahkan sebagai takdir Tuhan, sehingga menimbulkan struktur ekonomi, politik dan sosial dan sebagainya.

Kondisi tersebut diatas  telah menjadi komoditas politik Penguasa dalam penyajian jani-janji politik pada saat kampanye Pemilu Presiden, Gubernur, Bupati bahkan Pilkades sekalipun.  Tidal bisa dipungkiri bahwa arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesiabanyak dipengaruhi politik pemerintah mayoritas dan masyarakat donor.
Akan tetapi hasilnya masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah bahwa konsekuensi strategi penanggulangan
kemiskinan yang ada saat ini adalah tidak focus dan mempersamar substansi penanggulangan kemiskinan sehingga kurang membawahasil.

 Meski  tidak melihat bahwa penyebab kemiskinan bukan saja dari factor tingkat pendidikan, akan tetapi diakuinya bahwa interelasi kemiskinan dan pendidikan sangat penting dikaji secara mendalam. Sejauh diletakkan hanya dalam koridor linear (dengan mengabaikan peran variabel-variabel lain seperti budaya), di sana tercermin masalah saling-keterkaitan pada konteks yang lebih besar, yakni hubungan timbal-balik antara pendidikan dan masyarakat.

Fakta bahwa pendidikan merupakan objek politik kekuasaan sedang mengemuka, hal ini ditandai ketika pendidikan menjadi semakin mahal sehingga warga miskin tidak dapat bersekolah, atau ketika banyak gedung sekolah ambruk, dana dari masyarakat yang seharusnya masuk lewat pajak ternyata nyangkut di Oknum tertentu sehingga menurunkan pendapatan Negara cukup besar,  kurikulum sarat beban dan mutu guru rendah. Konteks hubungan pendidikan dan masyarakat itu, interrelasi persoalan kemiskinan dan pendidikan dapat membuka tabir posisi ganda pendidikan, yakni sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat, dan sebagai objek politik kekuasaan. Pendidikan tidak mendorong mobilitas sosial dan kadang-kadang justru menjadi bagian dari proses pemiskinan maka hal ini sebenarnya sedang terjadi persoalan pada fungsi pendidikan sebagai driving force transformasi sosial masyarakat.

Proses pendidikan sebaiknya tidak menitikberatkan pada pemerolehan ilmu pengetahuan, tetapi pemerolehan cara-cara dan sikap untuk memeroleh ilmu pengetahuan. Gampangnya, merujuk misi pendidikan global abad ke-21 yang digariskan UNESCO, proses pendidikan perlu diarahkan pada tiga prinsip: learning to learn, learning to do, learning to live together (Unesco,2008).
Hanya dengan demikian daya gebrak pendidikan dapat dihidupkan untuk memutus rantai struktur-struktur sosial dan ketidakadilan yang masih membelenggu sebagian (besar) warga bangsa kita hingga hari ini (Depkominfo, 2008).

Definisi ukuran miskin secara fisik seharusnya sudah direvisi. Pakar dari BPS ternyata mengukur angka kemiskinan menggunakan perhitungan ala Bangladesh, Vietnam, Gambia yang kondisi alam dan struktur masyarakatnya jauh berbeda dengan RI.  Perhatikan Harian Jakarta yang baru-baru ini menerbitkan judul "Berpendapatan Rp7.000 per Hari Dianggap Orang Mampu" (Media Indonesia 21 Sep 2010).
Rata-rata nasional pendapatan penduduk yang tidak masuk kategori miskin yakni Rp211.726 per orang per bulan. Artinya, setiap orang yang penghasilannya sekitar Rp7.000 per hari sudah masuk kategori masyarakat mampu.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan (2010), mengungkapkan, untuk mengukur angka kemiskinan, pihaknya menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, penduduk miskin memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per orang per hari. Jika dikonversi terhadap nilai uang, angka tersebut setara dengan Rp.155.615 per orang per bulan.

Namun, itu juga masih ditambah dengan kebutuhan dasar nonmakanan senilai Rp.56.111 per orang per bulan. Artinya, total kebutuhan pokok rata-rata nasional sekitar Rp7.057.

"Yang penghasilannya berada di bawah itu masuk dalam kategori masyarakat miskin," tukasnya.

Kebutuhan pokok non-makanan merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Konsep ini tidak hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia. (ST/OL-5)

Ok, beralih kepada fakta Kemiskinan Relatif di masyarakat, mereka melakukan itu sejak lahir. Kesempatan bekerja dan berusaha pada usia kerja sudah bersaing dengaan kelompok masyarakat yang lebih beruntung, dan lain-lain keterbatasan yang ada. Sikap fatalistik (menerima takdir) sudah membudaya di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, mereka tetap tabah menjalankan hidupnya dengan berbagai alternatif upaya yang ia lakukan. Pengukuran tingkat kemiskinan pada kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya sulit untuk mendefinisikannya. Riilnya, ukuran  materi yang terlihat tidak serta-merta menggambarkan tingkat penghasilannya yang mengakibatkan penyimpangan  dalam perhitungan kemiskinan secara akademik. Sebagai contoh, petani dengan tanah garapan 0,3 Ha bahkan buruh mencangkul sekalipun  sekaligus karyawan honorer dengan gaji Rp.600.000,-/bulan, bisa memiliki rumah tembok kokoh berikut sepeda motor 2 unit. Identifikasi unit kemiskinan seharusnya meliputi keompok jiwa, bukannya jiwa. Sebagai contoh, Seorang kakek bersama 1 orang anaknya pengangguran di daerah Gunung Kidul misalnya, pekerjaan riilnya adalah menampung devisa sebesar Rp.20 juta/bulan dari 4 anak-anak lainnya yang menjadi pedagang bakso di Ambon dan TKI di Irak (misalnya), maka tidak bisa 2 jiwa tsb secara akademik dikategorikan sebagai penderita miskin. Dan masih banyak contoh kasus yang lain perkecualian kesalahan perhitungan. Beberapa kasus tersebut diatas disebabkan adanya sifat masyarakat pedesaan yang super efisien dalam mengelola keuangan dan kemampuannya memproduksi segala kebutuhan primer yang berdampak mudah dan murah mendapatkannya. Dalam kalimat singkatnya masyarakat (Jawa) dengan tingkat produktifitas tinggi dan mampu menghindari hal-hal yang bersifat kontra produktif.  

Masyarakat pedesaan lebih memilih kemapanan walaupun dalam kesehariannya dilakoni dengan sangat efisien dan  irit  daripada berpenghasilan besar tetapi diperoleh tidak setiap hari seperti halnya kehidupan Pedagang. Make tidak heran jika pembekalan perjuangan hidup sebagai Pedagang sangat tidak populer di masyarakat pada umumnya. Para orang tua lebih gigih memperjuangkan anaknya untuk menjadi “Amtenar” di Lembaga Pemerintah ketimbang jadi pedagang yang penuh tantangan untuk berhadapan dengan situasi “pasar bebas”.

Wang Sinawang
Filosofi  muncul dalam diskusi-diskusi kala snggang  diantara mereka. Yang pedagang memperhatikan petani hidupnya lebih enak ketimbang pedagang karena setiap hari bekerja dari jam 05.30 wib s/d 11.00 sudah beres. Si petani memperhatikan kehidupan karyawan perusahaan kayaknya lebih enak, ketimbang Pegawai Pemerintah karena setiap bulan membawa uang gajian lebih gede, dls. Celakanya yang tidak mendapatkan kesempatan berusaha dimanapun berada, sementara pola kehidupannya sudah terlanjur lebih mewah, sementara keterampilan dan agamanya sangat minimal, maka kesempatan ada kecenderungan untuk tindak kejahatan.

Kembali kepada materi “gerundelan” adalah kemiskinan, dari pengamatan saya di India bagian Selatan (Keralla) , India Timur (Orissa) dan Tengah (Madya Pradesh), kondisi masyarakat disana jaauh lebih menderita dibandingkan dengan masyarakat miskin di Indonesia. Sesulit apapun kehidupan di Indonesia, apa lagi di Jawa, Kalimantan, Sumatera bisa digolongkan masyarakat (mendekati) Negara Maju ‘near to be advanced country” dalam arti mudahnya kesempatan memperoleh bahan pangan dan akses kesempatan berusahanya cukup besar dan mungkin.

Satu hal yang harus menjadi komitmen bersama “HILANGKAN KORUPSI DI BUMI PERTIWI DAN BIMBINGLAH SETIAP WARGA MISKIN MEMILIKI AKSES USAHA”.   

Modal harapan cerah untuk mencapai Pemerataan Kesempatan memperoleh kesejahteraan, masih ada yaitu  KETAQWAAN, dan KESABARAN rakyat miskin tetapi kaya keimanan. Program-program pengentasan kemiskinan harus mengarah ke alamat pendidikan keterampilan dan bersaing mendapatkan kualitas pribadi yang mampu bersaing di ajang penghidupan “pasar bebas” dalam lingkungan tradisional yang tetap terjaga filosofi peri kehidupan yang efisien, murah dan dapat dilaksanakan oleh mereka (applicable).  Rebutlah hati masyarakat miskin dengan berbagai program pe-ringan-an beban hidup dan jangan biarkan mereka masuk dalam perangkap Hegemoni Bangsa-bangsa lain yang menmperkenalkan “terorisme” sebagai salah satu bentuk alternatif “Kekecewaan peri Kehidupan" dengan dalih membela agama.



Referensi :
Tim Redaksi, Prof.DR. Musa Asy'arie, dkk, 2008, Mengurai Benang Kusut Kemiskinan di Indonesia, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, ISSN 1979 -3499, Edisi-3, DepKominfo, Jakarta 


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mas, jaman awal pemerintahan ORBA memang masyarakat dijejali opini politis untuk mengucapkan "miskin" di depan umum. Rakyat terkontaminasi pandangan "opo jarene wong akeh", salah opo bener pokoke wong akeh muni A, ben slamet trs melu-melu.... menyesatkan. Sampai-sampai di sekitar kita Dsn. Gangsan dulu lekat sekali filsofi menyesatkan "nopo sekolah duwur2 nek akhire nganggur" Alhamdulillah ortu kita berpandangan maju, anaknya ternyata bisa hidup layak sekarang berbekal prestasi sekolahnya. Semoga di masa depan anak-cucu kita terhindar dari sengsara kemiskinan, menemui hidup yg batdatun toyyibatun warrobun ghifuur, amin.