10 Feb 2015

Mengenal Tembang Mocopat

Gambar Lilang Laras Jiwo, 2012, Penampilan Gendhing Jati Kendang
Macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata, adalah karya sastra puisi tradisional Jawa yang dilagukan atau dalam bentuk tembang. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu (Wikipedia, 2003).
Di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Sedangkan di Jawa Tengah, macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga pada masa Mataram Islam.
Macapat ternyata ditemukan dalam kebudayaan selain di masyarakat Jawa dengan nama lain yaitu di masyarakat Sunda Bali, Sasak (Lombok) dan Madura. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin. Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya arti, penafsiran lainnya ada pula.
Konon maca-sa termasuk kategori tertua dan diciptakan oleh para Dewa dan diturunkan kepada pandita Walmiki dan diperbanyak oleh sang pujangga istana Yogiswara dari Kediri. Ternyata ini termasuk kategori yang sekarang disebut dengan nama tembang gedhé. Maca-ro termasuk tipe tembang gedhé di mana jumlah bait per pupuh bisa kurang dari empat sementara jumlah sukukata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara. Maca-tri atau kategori yang ketiga adalah tembang tengahan yang konon diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan disempurnakan oleh Pangeran Panji Inokartapati dan saudaranya. Dan akhirnya, macapat atau tembang cilik diciptakan oleh Sunan Bonang dan diturunkan kepada semua wali.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Islam, pada umumnya ditulis menggunakan pola susunan kata dalam baris puisi (metrum) macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi' saja.
Beberapa contoh karya sastra Jawa adiluhung yang ditulis dalam tembang macapat termasuk Serat Wedhatama (Mangkunegara-IV, 1880), Serat Wulangreh (Paku Buwana-IV, 1820) dan Serat Kalatidha (Paku Buwana -VI, 1830).


Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga macam :
  • tembang cilik,
  • tembang tengahan dan
  • tembang gedhé.
Macapat dimasukkan kepada kepada kategori tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Islam, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Kalau dibandingkan dengan kakawin, aturan-aturan dalam macapat berbeda dan lebih mudah diterapkan menggunakan bahasa Jawa karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa Sanskerta, dalam macapat perbedaan antara suku kata panjang dan pendek diabaikan.

Struktur macapat

Sebuah karya sastra macapat biasanya dibagi menjadi beberapa pupuh, sementara setiap pupuh dibagi menjadi beberapa pada.Setiap pupuh menggunakan metrum yang sama. Metrum ini biasanya tergantung kepada watak isi teks yang diceritakan.
 
Jumlah pada per pupuh berbeda-beda, tergantung terhadap jumlah teks yang digunakan. Sementara setiap pada dibagi lagi menjadi larik atau gatra. Sementara setiap larik atau gatra ini dibagi lagi menjadi suku kata atau wanda. Setiap gatra jadi memiliki jumlah suku kata yang tetap dan berakhir dengan sebuah vokal yang sama pula.


Aturan mengenai penggunaan jumlah suku kata ini diberi nama guru wilangan. Sementara aturan pemakaian vokal akhir setiap larik atau gatra diberi nama guru lagu.

Jenis metrum macapat

Jumlah metrum baku macapat ada limabelas buah. Lalu metrum-metrum ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhé.
Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum dan tembang gedhé satu metrum.
Jenis tembang Macapat 11 buah sbb :
1. Pucung : 4 gatra (12u, 6u, 8i, 12a)
2. Maskumambang : 4 gatra (12i, 6a, 8i, 8a)
3. Gambuh : 5 gatra (7u, 10u, 12i, 8u,8o)
4. Megatruh : 5 gatra (12u, 8i, 8u, 8i, 8o)
5. Mijil : 6 gatra (10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u)
6. Kinanthi : 6 gatra (8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i)
7. Durma : 7 gatra (12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i)
8. Pangkur : 7 gatra (8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i)
9. Asmaradana : 7 gatra (8i, 8a, 8e, 8a, 7a, 8u, 8a)
10. Sinom : 9 gatra (8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a)
11. Dhandhanggula : 10 gatra (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12e, 7a)



Di bawah ini disajikan contoh-contoh penggunaan setiap metrum macapat dalam bahasa Jawa beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dijelaskan pula tokoh penciptanya menurut legenda dan watak setiap metrum

1. Dhandhanggula (Serat Jayalengkara, 10 gatra)

Prajêng Medhang Kamulan winarni, 10i
narèndrâdi Sri Jayalengkara, 10a
kang jumeneng nerpatiné, 8e
ambek santa budi alus, 7u
nata dibya putus ing niti, 9i
asih ing wadya tantra, 7a
paramartêng wadu, 6u
widagdêng mring kasudiran, 8a
sida sedya putus ing agal lan alit, 12i
tan kènger ing aksara. 7a




2. Maskumambang (4 gatra)

Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis, 12i
Sambaté mlas arsa, 6a
Luhnya marawayan mili, 8i
Gung tinamêng astanira, 8a

3. Sinom (9 gatra), Serat Kalatidha

Mangkya darajating praja, 8a
Kawuryan wus sunyaruri, 8i
Rurah pangrehing ukara, 8a
Karana tanpa palupi, 8i
Atilar silastuti, 7i
Sujana sarjana kelu, 8u
Kalulun kalatidha, 7a
Tidhem tandanging dumadi, 8i
Hardayengrat dening hardening rubeda, 12a

4. Asmaradana (7 gatra)

Aja turu soré kaki, 8i
Ana Déwa nganglang jagad, 8i
Nyangking bokor kencanané, 8e
Isine donga tetulak, 8a
Sandhang kelawan pangan, 7a
Yaiku bagéyanipun, 8u
Wong melek sabar narima.8a


5. Kinanthi (6 gatra) Serat Rama gubahan Yasadipura, metrum ini konon diciptakan oleh Sultan Adi Erucakra.

Karakter metrum Kinanthi ini memiliki watak gandrung dan piwulang.
Anoman malumpat sampun, 8u
Praptêng witing nagasari, 8i
Mulat mangandhap katingal, 8a
Wanodyâyu kuru aking, 8i
Gelung rusak awor kisma, 8a
Ingkang iga-iga kêksi. 8i


6. Pangkur (7 gatra, gubahan, Ranggawarsita)

Lumuh tukua pawarta, 8a
Tan saranta nuruti hardengati, 11i
Satata tansah tinemu, 8u
Kataman martotama, 7a
Kadarmaning narendra sudibya sadu, 12u
Wus mangkana kalih samya, 8a
Sareng manguswa pada ji. 8i



7. Durma (Langendriyan)

Damarwulan aja ngucireng ngayuda, 12 a
Baliya sun anteni, 7 i
Mangsa sun mundura, 6 a
Lah Bisma den prayitna, 7 a
Katiban pusaka mami, 8 i
Mara tibakna, 5 a
Curiganira nuli. 7 i


8. Mijil (Haji Pamasa, Ranggawarsita)

Jalak uren mawurahan sami, 10 i
Samadya andon woh, 6 o
Amuwuhi malad wiyadine, 10 e
Ana manuk mamatuk sasari, 10 i
Angsoka sulastri, 6 i
Ruru karya gandrung. 6 u


9. Pucung (4 gatra)

Tuladha :
Ngelmu iku kelakone kanthi laku --> u
Lekase lawan kas --> a
Tegese kas nyantosani --> i
Setya budya pengekesing dur angkara --> a




Tembang Tengahan (Sekar Madya)

1. Jurudemung (7 gatra, Serat Pranacitra)

ni ajeng mring gandhok wétan, 8a
wus panggih lan Rara Mendut, 8u
alon wijilé kang wuwus, 8u
hèh Mendut pamintanira, 8a
adhedhasar adol bungkus,8u
wus katur sarta kalilan, 8a
déning jeng kyai Tumenggung, 8u.



2. Wirangrong (6 gatra, Serat Wulang Rèh anggitan Pakubuwana IV)

dèn samya marsudêng budi, 8i
wiwéka dipunwaspaos, 8o
aja-dumèh-dumèh bisa muwus, 10u
yèn tan pantes ugi, 6i
sanadyan mung sakecap, 7a
yèn tan pantes prenahira, 8a


3. Balabak (6 gatra, Serat Jaka Lodhang anggitan Ki Ranggawarsita)

Byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang, 12a
mamèt wé, 3e
turut marga nyambi reramban janganan, 12a
antuké, 3e
praptêng wisma wusing nyapu atetebah, 12u
jogané, 3e



4.
Gambuh (5 gatra, Ki Padmosukoco)
Sekar gambuh ping catur, 7u
Kang cinatur polah kang kalantur, 10u
Tanpa tutur katula tula katali, 12i
Kadaluwarsa katutuh, 8u
Kapatuh pan dadi awon, 8o.



5. Megatruh (5 gatra, Babad Tanah Jawi anggitan Ki Yasadipura)

"sigra milir kang gèthèk sinangga bajul, 12u
"kawan dasa kang njagèni, 8i
"ing ngarsa miwah ing pungkur, 8u
"tanapi ing kanan kéring, 8i
"kang gèthèk lampahnya alon, 8o





Tembang Gede/Sekar Ageng

Girisa (8 gatra)

Metrum ini memiliki watak megah (mrebawani). Metrum ini diambil dari metrum kakawin dengan nama yang sama.
Dene utamaning nata, 8 a
Berbudi bawa leksana, 8 a
Lire berbudi mangkana, 8 a
Lila legawa ing driya, 8 a
Agung dennya paring dana, 8 a
Anggeganjar saben dina, 8 a
Lire kang bawa leksana, 8 a
Anetepi pangandika. 8 a


Sumber pustaka

  1. Lilang Laras Jiwo, 2012, Gambar Penampilan Gendhing Jati Kendang oleh sinden pagelaran karawitan, Yogyakarta
  2. Karsono H. Saputra, 1992, Pengantar Sekar Macapat. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ISBN 979-8184-02-5
  3. Poerbatjaraka, 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan
  4. Prijohoetomo, 1934, Nawaruci : inleiding, Middel-Javaansche prozatekst, vertaling vergeleken met de Bimasoetji in oud-Javaansch metrum. Groningen: Wolters
  5. I.C. Sudjarwadi et al., 1980, Seni macapat Madura: laporan penelitian. Oleh Team Penelitian Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember. Jember: Universitas Negeri Jember.
  6. Bernard Arps, 1992, Tembang in two traditions: performance and interpretation of Javanese literature. London: SOAS
  7. Hedi I.R. Hinzler, 1994, Gita Yuddha Mengwi or Kidung Ndèrèt. A facsimile edition of manuscript Cod. Or. 23.059 in the Library of Leiden University. Leiden: ILDEP/Legatum Warnerianum
  8. Th. C. van der Meij, 2002, Puspakrema. A Javanese Romance from Lombok. Leiden: CNWS. ISBN 90-5789-071-2
  9. Th. Pigeaud, 1967, Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 - 1900 A.D. The Hague: Martinus Nyhoff
  10. J.J. Ras, 1982, Inleiding tot het modern Javaans. Leiden: KITLV uitgeverij. ISBN 90-6718-073-4


29 Jan 2015

Syair Kidung Rumekso Ing Wengi Karya Sastra Mistis Kanjeng Sunan Kalijaga

Sketsa Kanjeng Sunan Kalijaga
Kidung dalam budaya Jawa berarti salah satu bentuk karya sastra dalam bahasa Jawa Tengahan yang digubah dalam bentuk puisi menggunakan metrum Jawa Tengahan atau tembang tengahan (sekar madya).
 

Kidung yang terkenal adalah karya sastra Kanjeng Sunan Kalijaga dalam perjalanan syiar agama Islam yang kala itu masyarakat Jawa sebagian besar masih menganut kepercayaan Hindu Budha pada tahun 1500-an. Isinya logis berupaya mencari keselamatan diri, namun oleh karena diamalkan dengan cara khusus agamis dan lekat dengan budaya Jawa, maka dampaknya luar biasa  acceptable (bisa diterima) dan applicable (mudah diamalkan), "kidung rumekso ing wengi".

"Kidung Rumeksa ing Wengi" sangat dan sangat mistis.  Bahkan di kalangan pesantren yang masih menjunjung budaya Jawa, kidung tersebut diperkenalkan, diamalkan untuk dihafal dengan dibarengi "laku tirakat" dengan kondisi perut kosong di malam hari dan berpuasa agar menambah khusu' dalam membaca "rafal" juga akan lebih terhayati dalam mengucapkan baris demi baris. Bagi sebagian masyarakat Jawa, mengamalkan Kidung tersebut  sebagai laku islam kejawen. Maksudnya dalam membaca syair dalam bahasa Jawa, kebathinannya menghadap kepada Allah SWT.   

Doa pengamalan Kidung tsb diatas adalah agar Tuhan berkenan memberikan keselamatan kepada kita semua dan senantiasa terhindar dari malapetaka dengan mengamalkan hidup beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Allah SWT.

Dengan tersebarnya orang-orang Jawa di seluruh pelosok Nusantara, mereka membawa serta adat budaya leluhur. Kidung tersebut diatas masih juga terbawa di lokasi tempat tinggalnya di luar jawa, sehingga boleh dikatakan Kidung Rumekso Ing Wengi dikenal oleh masyarakat Jawa di seluruh pelosok Nusantara. Kadangkala, masyarakat mensosialisasikan lewat media sosial pertunjukan seni mis : Laras Madyo, Wayang Kulit, Jathilan, dsb.  

Bagi Tokoh agama atau tokoh adat yang secara kebathinan sudah pada tingkat "muttaqin", dekat dengan Sang Kholiq, maka pengamalan kidung dipercaya akan dikabulkan. Oleh karenanya pengamalan kidung kadang dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama  menyanyikannya dengan sangat merdu, syahdu dan sangat khusu' agar kidung insya allah akan terkabu.

Adapun fungsi pembacaan rafal kidung a.l :
1. Untuk menyembuhkan segala macam penyakit;
2. menghindari "pageblug" (penyakit endemik);
3. mempercepat jodoh bagi perawan/perjaka;
4. penolak bala dari seseorang yang akan bertindak jahat;
5. memenangkan peperangan;
6. mengabulkan usaha untuk mencapai cita-cita luhur.


Inilah syair Kidung Rumekso ing Wengi Kanjeng Sunan Kalijaga : 


Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing Lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna
Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami miruda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Sakathahing Rasul
Pan dadi sarira Tunggal
Ati Adam Utekku Baginda Esis
Pangucapku ya Musa
Napasku Nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup Pamiyarsaningwang
Yusup ing rupaku mangke
Nabi Dawud Suwaraku
Jeng Suleman kasekten mami
Nabi Ibrahim nyawaku
Edris ing Rambutku
Baginda Ngali kulitingwang
Getih daging Abubakar singgih
Balung Baginda Ngusman
Sungsumingsun Patimah linuwih
Siti Aminah Bayuning Angga
Ayup ing Ususku mangke
Nabi Nuh ing Jejantung
Nabi Yunus ing Otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam sarak
Sammpun pepak sakatahe para
Nabi dadya sarira Tunggal.
Wiji sawiji mulane dadi
Apan apencar dadiya sining jagad
Kasamadan dening Dzate
Kang maca kang angrungu
Kang anurat kang anyimpeni
Dadi ayuning badan
Kinarya sesembur
Yen winacakna toya
Kinarya dus rara gelis laki
Wong edan dadi waras
Lamun ana wong kadhendha kaki
Wong kabanda wong kabotan utang
Yogya wacanen den age
Nalika tengah dalu
Ping sawelas macanen singgih
Luwar saking kabanda
Kang kadhendha wurung
Aglis nuli sinauran mring hyang
Suksma kang utang puniku singgih
Kang agring nuli waras
Lamun arsa tulus nandur pari puwasaa sawengi sadina,
Iderana gelengane
Wacanen kidung iku
Sakeh ngama sami abali
Yen sira lunga perang
Wateken ing sekul
Antuka tigang pulukan
Musuhira rep sirep tan ana wani
Rahayu ing payudan
Sing sapa reke bisa nglakoni
Amutiya lawan anawaa
Patang puluh dina wae
Lan tangi wektu subuh
Lan den sabar sukuring ati
Insya Allah tinekan
Sakarsanireku
Tumrap sanak rakyatira
Saking sawabing ngelmu pangiket mami
Duk aneng Kalijaga.
(Serat Kidungn Warna-warni, Surakarta, Boedi Oetomo, 1919)

Terjemahannya:
Ada nyanyian kidung yang menjaga di malam hari
Kukuh selamat terbebas dari penyakit
Terbebas dari semua malapetaka
Jin setan jahat pun tidak berkenan
Guna-guna pun tidak ada yang berani
Juga perbuatan jahat
Ilmu orang yang bersalah
Api dan juga air
Pencuri pun jauh tak ada yang menuju padaku
Guna-guna sakti pun lenyap
Semua penyakit pun bersama-sama kembali
Berbagai hama sama-sama habis
Dipandang dengan kasih sayang
Semua senjata lenyap
Seperti kapuk jatuhnya besi
Semua racun menjadi hambar
Binatang buas jinak
Kayu ajaib dan tanah angker
Lubang landak rumah manusia tanah miring
Dan tempat merak berkipu
Tempat tinggal semua badak
Walaupun arca dan lautan kering
Pada akhirnya, semua selamat
Semuanya sejahtera
Dikelilingi bidadari
Dijaga oleh malaikat
Semua rasul
Menyatu menjadi berbadan tunggal
Hati Adam, otakku Baginda Sis
Bibirku Musa.
Napasku Nabi Isa As
Nabi Yakub mataku
Yusuf wajahku
Nabi Dawud suaraku
Nabi Sulaiman kesaktianku
Nabi Ibrahim nyawaku
Idris di rambutku
Baginda Ali kulitku
Darah daging Abu Bakar Umar
Tulang Baginda Utsman
Sumsumku Fatimah yang mulia
Siti Aminah kekuatan badanku
Ayub kini dalam ususku
Nabi Nuh di jantung
Nabi Yunus di ototku
Mataku Nabi Muhammad
Wajahku rasul
Dipayungi oleh syariat Adam
Sudah meliputi seluruh para nabi
Menjadi satu dalam tubuhku
Kejadian berasal dari biji yang satu
Kemudian berpencar ke seluruh dunia
Terimbas oleh zat-Nya
Yang membaca dan mendengarkan
Yang menyalin dan menyimpannya
Menjadi keselamatan badan
Sebagai sarana pengusir
Jika dibacakan alam air
Dipakai mandi perawan tua cepat bersuami
Orang gila cepat sembuh
Jika ada orang didenda cucuku
Atau orang yang terbelenggu keberatan hutang
Maka bacalah dengan segera
Di malam hari
Bacalah dengan sungguh-sungguh sebelas kali
Maka tidak akan jadi didenda
Segera terbayarkan oleh Tuhan
Karena Tuhanlah yang menjadikannya berhutang
Yang sakit segera sembuh
Jika ingin bagus menanam padi
Berpuasalah sehari semalam
Kelilingilah pematangnya
Bacalah nyanyian itu
Semua hama kembali
Jika engkau pergi berperang
Bacakan ke dalam nasi
Makanlah tiga suapan
Musuhmu tersihir tidak ada yang berani
Selamat di medan perang
Siapa saja yang dapat melaksanakan
Puasa mutih dan minum air putih
Selama empat puluh hari
Dan bangun waktu subuh
Bersabar dan bersyukur di hati
Insya Allah tercapai
Semua cita-citamu
Dan semua sanak keluargamu
Dari daya kekuatan seperti yang mengikatku
Ketika di Kalijaga.


Sumber Pustaka :
  1. Budiono Hadisutrisno, 2009, Islam Kejawen, Eula Book, Yogyakarta
  2. Anonim, 2009, Wikipedia
  3. Ahmad Ubaydillah, 2013, Mengutip dari Islam Kejawen Kidung Wengi Sunan Kalijaga 2009.
  4. Sumber gambar b.p.blogspot.com/-GdG2pYLT7Q/UYMmLqhGieI/AAAAAAAAEvE/DavLOI4z_64/s1600/Kanjeng+Sunan+Kalijaga.jpg

15 Jan 2015

Kumpul Brayat Lintas Generasi Trah Posong di Semarang, 27 Desember 2015


Mbah Murman & Mas Yusup Ungaran
Kumpul Brayat Trah Posong di rumah mbak Antin Jln. Imam Bonjol bulan Desember 2014 di rumah mbak Antin (Sundari) Semarang adalah kumppul brayat yang ke-4 (kurang faham). Luar biasa, kumpulan dihadiri sesepuh yang sudah sepuh-sepuh, generasi ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 dari Induk Trah Posong subhanallah.

Mbah Buyut Murman (putri) adalah  satu-satunya  generasi ke-2 dari Induk Trah yang masih sugeng. Saya menyebut mBah Buyut dengan beliau (foto disamping), alhamdulillah pinaringan yuswo 95 tahun dan kondisinya masih segar bugar dan paningalipun jernih. Beliau melahirkan 8 (delapan) putra dan putri  dan hadir pada kumpul-kumpul ini, sbb :
  1. Bu Titik (SMg)
  2. Bu Carolina (Bekasi)
  3. Romo Iwan (Smg)
  4. Bu Murtiningsih (Kebumen)
  5. Romo Riyo Mursanto (Smg)
  6. Bu Muryanti (Antin) (Smg)
  7. Pak Indro (Yogya)
  8. Mbah Muk dan Saya
  9. Bu Wulandari (Bu nDari,  Jkt) 
Kumpul brayat Posong kali bisa dikatakan kumpul Canggah Kartodiryo Generasi-I dari Induk Trah. Mengulang kembali tulisan terdahulu, Canggah Kartodiryo adalah anak ke-4 dari Induk Trah yang mempunyai 11 anak sbb :
  1. Mbah Buyut Rumini (Lampung)
  2. Mbah Buyut Mangun ndalan (Butuh)
  3. Mbah Buyut Mul (Mungkidan)
  4. Mbah Buyut Madi (Gunung Sewu -Tanggamus - Lampung)
  5. Mbah Buyut Parto (Posong)
  6. Mbah Buyut Sardi (Purworejo)
  7. Mbah Buyut Murman (Mgl)
  8. Mbah Buyut Muryam (Kebokuning)
  9. Mbah Buyut Samini (Tampir Kulon)
  10. Mbah Buyut Parinem/Mbah Guru (Posong)
  11. Mbah Buyut Suminem (Posong)
 Kumpul brayat di Semarang yang hampir lengkap kedua adalah Brayat Mbah Parinem, kecuali keluarga Mbah Widiyanto (alm) di Malang. Keluarga Mbah Parinem mempunyai 5 keturunan sbb : 
  1. Mbah Widiyanto (alm) Malang
  2. Keluarga Mbah Hariyanto (Smg)
  3. Keluarga Mbah Hartatik (Posong)
  4. Keluarga Mbah Hari (Smg)
  5. Keluarga Mbah Harjanto Slamet /Muk (Smg) 
 
Mbah Carilne & Kerabat Mbah Guru Parinem











Kembali ke pembicaraan ke Sorosilah Induk, bahwa Induk Trah Posong adalah 3 bersaudara dengan Induk Trah Kuncen dan Gading. Induk Trah Posong mempunyai 9 keturunan meliputi :
  1. Canggah Kartowiryo, 6 keturunan (Margowangsan, Gondang lor, Talaman)
  2. Canggah Joyo,  4 keturunan (Bendan, Butuh, Kebokuning)
  3. Canggah Kartodiryo, 11 keturunan (tsb diatas)
  4. Canggah Kartorejo, 5 keturunan (Posong, Bantul, Magelang, Purworejo)
  5. Canggah Popongan, 1 keturunan (Popongan)
  6. Canggah Mawungan, (belum terkonfirmasi sambungan dgn Mbah Sastro Rame Gunung Lemah)
  7. Canggah Niti Plalangan, (belum terkonfirmasi keberadaannya)
  8. Canggah Pawiro (Gading), 6 keturunan (Jetis Kaliwungu, Gading, Bengan Lor, Yogya) 
  9. Canggah Kartodimejo/Mbah Lurah, 3 keturunan (Ngaglik nduwur, Ngaglik ngisor, Talun)

Kumpul brayat tangggal 27 Desember 2014 di Semarang dihadiri 3 Canggah :
  1. Canggah Kartowiryo diwakili saya sendiri dari Brayat Canggah Kartowiryo - Buyut Setro Saiman, Mbah Ngadinem - Margowangsan.
  2. Canggah Mawungan (Pm Pak Sastro Rame - Gunung Lemah)
  3. Canggah Kartodiryo diwakili oleh 6 Buyut sbb :
  • Buyut Murman seperti tersebut diatas, 
  • Buyut Mul diwakili oleh Sapto (Mungkidan),
  • Buyut Parto : Keluarga Mbah Tris (Yogya), Nana, Joko (Jkt), 
  • Buyut Parinem : Keluarga Mbah Yan, Mbah Hari dan Mbah Muk (Smg), 
  • Buyut Samini :  Keluarga Mbah Rubiyoto(Tampir Kulon) dan 
  • Buyut Suminem : Keluarga Mbah Projo (Posong).

Semoga upaya "ngumpulke balung pisah" Trah Posong dapat terwujud, amin.


 Alon-alon sambil membina tali silaturohim, sambil mencari bentuk komunitas.

Keluarga Mbah Buyut Mul (Sapto), Buyut Setro Saiman (saya), dll

Keluarga Mbah Tris dan Mabh Suti Posong




Mbah Sutrisno & Mbah Hari



Foto Lintas Generasi, Buyut, anak, cucu,cicit


Keluarga MbahBuyut Parinem









Keluarga MbahBuyut Samini/Mbah Rubiyoto


Keluarga Mbah Sulisah/Pak Tikno Mertoyudan







 


Bulik Nana (Jkt), Nunu (GnLemah), dll

Catatan : 
  • Tulisan ini pasti banyak yang belum masuk, jauh dari lengkap. Sumonggo dipun koreksi untuk mnyambung dan mempererat tali silaturahim.
  • Kisah-kisah leluhur kalau ada yang punya, silahkan tentunya yang baik-baik saja. Seperti diketahui bersama bahwa Brayat Kartowiryo Margowangsan pernah mengalami masa heroik pada zamannya walaupun termasuk agak kurang etis ditampilkan (pernah saya singgung pada Tulisan sebelumnya).








 

3 Des 2014

Sepur = Kereta Api Indonesia

Kereta Diesel Jarak Jauh dari Jakarta - Surabaya - Banyuwangi
Sepur artinya asep (asap) keluar dari nduwur (atas) adalah nomenklatur orang Jawa memberi nama "kereta api", karena pada waktu dulu  kereta ini menggunakan mesin uap dihidupkan dengan membakar  bahan bakar kayu atau batubara untuk memproduksi uap air sebagai sumber tenaga kereta. Sebenarnya istilah "sepur" adalah Badan Pengelola Kereta Api (KA) Belanda tahun 1878 pada awal-awal pengoperasian yaitu "Staatsspoorwegen" dan lidah Jawa mengucapkan "sepur".    


Kereta api ditemukan oleh William Murdoch pada tahun 1784 seorang ilmuwan berkebangsaan Inggris, lahir pada 21 Agustus 1754 di Lugar, Skotlandia.
Kereta api merupakan salah satu alat transportasi massal yang banyak disukai masyarakat, karena selain harganya terjangkau, kereta api juga bebas macet karena mempunyai rel atau jalur khusus. 
Setelah dirasakan bahwa mesin uap terlalu ribet, maka dikembangkan kereta api diesel kemudian kereta listrik dan hingga sekarang kereta api berkembang terus menerus dan dilengkapi dengan teknologi yang canggih serta dengan berbagai model dan kereta kecepatan tinggi. 

Tahun 1864, kereta api (KA) pertama di Indonesia lahir. Pembangunan diprakarsai oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dengan rute Kemijen-Tanggung. Pencangkulan tanah pertama dilakukan di Desa Kemijen dan diresmikan oleh Mr. L.A.J.W. Baron Sloet van de Beele. Namun jalur ini dibuka tiga tahun berikutnya, 10 Agustus 1867. Hingga tahun 1873 tiga kota di Jawa Tengah, yaitu Semarang, Solo, dan Yogyakarta sudah berhasil dihubungkan.
Masa politik kolonial liberal rupanya mengakibatkan Pemerintah Belanda enggan mendirikan perusahaannya dan justru memberikan kesempatan luas bagi perusahaan-perusahaan (KA) swasta. Namun sayangnya, perusahaan swasta itu tidak memberikan keuntungan berarti (apalagi NIS masih membutuhkan bantuan keuangan dari Pemerintah Kolonial), maka Departemen Urusan Koloni mendirikan operator KA lain, Staatsspoorwegen, yang membentang dari Buitenzorg hingga Surabaya. Pertama dibangun di kedua ujungnya, jalur pertama di Surabaya dibuka pada tanggal 16 Mei 1878 dan terhubung pada tahun 1894.
Selain itu, muncul juga lima belas operator KA swasta di Jawa yang menamakan dirinya sebagai "perusahaan trem uap", namun meskipun namanya demikian, perusahaan itu sudah dapat dianggap sebagai operator KA regional.
Sebagai perusahaan kolonial, sebagian besar jalur KA di Indonesia mempunyai dua tujuan: ekonomis dan strategis. Nyatanya, syarat bantuan keuangan NIS antara lain membangun rel KA ke Ambarawa, yang memiliki benteng bernama Willem I (yang diambil dari nama Raja Belanda). Jalur KA negara pertama dibangun melalui pegunungan selatan Jawa, selain daerah datar di wilayah utara Jawa, untuk alasan strategis sama. Jalur KA negara di Jawa menghubungkan Anyer (lintas barat) menuju Banyuwangi (lintas timur)

PT Kereta Api Indonesia (Persero) (disingkat KAI atau PT KAI) adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang menyelenggarakan jasa angkutan kereta api. Layanan PT Kereta Api Indonesia meliputi angkutan penumpang dan barang. Pada akhir Maret 2007, DPR mengesahkan revisi UU No. 13/1992 yang menegaskan bahwa investor swasta maupun pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mengelola jasa angkutan kereta api di Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus 2008 PT Kereta Api Indonesia melakukan pemisahan Divisi Jabodetabek menjadi PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) untuk mengelola kereta api penglaju di daerah Jakarta dan sekitarnya. selama tahun 2008 jumlah penumpang melebihi 197 juta.
Pemberlakuan UU Perkeretaapian No. 23/2007 secara hukum mengakhiri monopoli PT Kereta Api Indonesia dalam mengoperasikan kereta api di Indonesia.
Pada tanggal 28 September 2011, bertepatan dengan peringatan ulang tahunnya yang ke-66, KAI meluncurkan logo baru. Pada 29 Oktober 2014 PT KAI ini dipimpin oleh Edi Sukmoro yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur pengelolaan aset nonproduksi Railways di PT KAI (Persero), menggantikan Direktur sebelumnya Ignasius Jonan.

Dibawah Ignasius Jonan BUMN transportasi ini banyak mengalami kemajuan dari sisi sarana rel keretanya, sistem manajemen keuangan, sarana pelayanannya dan jumlah keretanya. Seakan-akan kereta api di Indonesia bangun dari tidur panjang yang hanya meneruskan pola manajemen jaman Belanda saja menuju perkeretaapian modern.

Dengan berkembangnya industri di tanah air khususnya di kota-kota besar di Tanah Jawa, hal ini mendorong mobilitas masyarakat semakin tinggi dan memerlukan sarana transportasi yang memadai. Kondisi demikian, masayarakat terdorong untuk memiliki alat transportasi mandiri seperti mobil dan sepeda motor.

Dengan kondisi sarana jalan yang ada dan pertumbuhan kendaraan yang spektakuler akhir-akhir ini mengakibatkan tuntutan mobilitas masyarakat yang semakin komplek dan perlu pengaturan khususnya di kota-kota besar. Moda transportasi massal yang murah, cepat dan aman  akhirnya menjadi pilihan masayarakat perkotaan dan atau masyarakat dari luar kota yang akan menuju wilayah perkotaan seperti para pelancong yang ingin menikmati liburan.
Alternatif pilihan moda transportasi yang paling disukai adalah Kereta Listrik untuk wilayah  Jabodetabek dan Kereta Diesel bagi masyarakat yang akan bepergian antar kota jarak jauh.

Seiring dengan perkembangan teknologi Informasi Teknologi dan tuntutan transparansi pengelolaan finansialnya, PT KAI telah mengembangkan model tiket elektronik berikut teknik pemesanan tiket yang "link" dengan perbankan dan Minimart yang tersebar di seluruh kota di Jawa. Pemesanan tiket pun dipermudah cukup dengan HP melalui sambungan Hot Line Kereta Api Indonesia (KAI) Nomor 121. 
 
Bagi para pelancong yang suka menggunakan kereta, berikut daftar dibawah adalah nomor telepun Stasiun Kereta Api di Tanah Jawa disusun berdasarkan urutan abjad sbb :

Ambarawa = 0298-3591035
Babat = 0322-451022
Bandung = 022-4203367
Bangil = 0343-741124
Banjar = 0265-741062
Banyuwangi Baru = 0333-510396
Batang = 0285-391072
Bekasi = 021-8841901
Blitar = 0342-801940
Bogor = 0251-322101
Bojonegoro = 0353-881167
Brebes = 0283-671771
Bumiayu = 0289-432514
Cepu = 0296-421016
Cibatu = 0262-466003
Cikampek = 0264-316004
Cilacap = 0282-621842
Cirebon Kejaksan = 0231-210444
Cirebon Parujakan = 0231-202577
Gambir = 021-3862361
Gombong = 0287-471001
Jakarta Kota = 021-6928515
Jatibarang = 0234-351012
Jatinegara = 021-8192318
Jember = 0331-487202
Jombang = 0321-861166
Kalibaru = 0333-897322
Kalisat = 0331-591002
Kalisetail = 0333-845102
Karanganyar = 0287-551066
Karangasem = 0333-424306
Karangtalu = 0282-540451
Karawang = 0267-402104
Kebumen = 0287-381215
Kediri = 0354-682928
Kertosono = 0358-551424
Kroya = 0282-494005
Kutoarjo = 0275-641023
Lamongan = 0322-321037
Lempuyangan = 0274-512454
Madiun = 0351-462014
Malang = 0341-362203
Manggarai = 021-8292444
Maos = 0282-695001
Merak = 0254-571001
Mojokerto = 0321-322229
Pasar Senen = 021-4210164
Pasuruan = 0343-424032
Pekalongan = 0285-421161
Pemalang = 0284-322202
Probolinggo = 0335-421565
Purbalingga = 0281-892243
Purwokerto = 0282-637037
Purworejo = 0275-321006
Rambipuji = 0331-711231
Rogojampi = 0333-631416
Semarang Poncol = 024-3544496
Semarang Tawang = 024-3552093
Sidareja = 0280-523550
Sidoarjo = 031-8921005
Slawi = 0283-491805
Solo Balapan = 0271-644122
Solo Jebres = 0271-646408
Surabaya Gubeng = 031-5034468
Surabaya Kota = 031-3521465
Surabaya Pasar Turi = 031-5345014
Tanah Abang = 021-3149872
Tanggul = 0336-441013
Tasikmalaya = 0265-330663
Tegal = 0283-353018
Wonokromo = 031-8410649
Wonosobo = 0286-21021
Yogyakarta = 0274-589685

Semoga Bermanfaat


Sumber Pustaka :
  1. Anonim, 2014, Wikipedia, Kereta Api Indonesia
  2. Anonim, 2014, www.kai.com, webisite PT Kereta Api Indonesia  
  3. Lain-lain informasi dari sana-sini

18 Sep 2014

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:KEJAWEN - Wibawa Wanita di balik Eksotisme Tapa Wuda Sinjang Rikma

SUARA MERDEKA CYBERNEWS .:KEJAWEN - Wibawa Wanita di balik Eksotisme Tapa Wuda Sinjang Rikma

Siluet Ratu Kalinyamat atau Pembaya
Panutan seorang Ratu Kalinyamat adalah terletak pada commitment beliau dalam memperjuangkan hak-hak pribadinya yg ingin membalas kematian ayahnda Pangeran Sekar Sedo Lepen oleh Aryo Penangsang dan tekad mengusir penguasaan tanah Nusantara oleh kekuatan asing (Portugis).

Alhasil, "topo wudo", bertapa di suatu lokasi tanpa mengenakan selembar kain, toh akhirnya membuahkan hasil walaupun tidak dilakukan oleh dirinya sendiri. Aryo Penangsang terbunuh oleh Danang Sutowijoyo yg akhirnya menjadi cikal bakal Dinasti Mataram. Keinginan mengusir kekuatan asing pun terrealisasi setelah beberapa ratus tahun setelah Sang Ratu wafat, yaitu kemerdekaan RI 1945 oleh para pemuda yg terinspirasi oleh perjuangan Sang Ratu mengusir kekuatan asing. 

Sampai kapan pun perjuangannya tetap dikenang anak bangsa, insya allah

Untuk membaca artikel aslinya dapat di klik pada judul tsb diatas.

18 Jul 2014

Posong Sagotrah, Kumpul Brayat di Cilandak - Jakarta

Kumpul Brayat Trah Posong baru dimulai beberapa bulan di tahun 2014. Saya bergabung dalam kumpul brayat dari anak keturunan Karto Diryo Posong yang mempunyai 11 anak. Posisi saya diluar brayat tsb karena saya berasal dari brayat Karto Wiryo Gangsan anak pertama dari Induk Trah Posong.

Kumpul Brayat di Cilandak kali ini sebagian besar dihadiri dari Brayat Karto Diryo Posong. Brayat lain yang hadir ada dari Brayat Kartowiryo Gangsan, Karto Dimejo Posong (Mas Eddy mBulu turunan Mbah Pawiro Gempol Ngaglik ngisor), Brayat Mbah Parinem, Mbah Parto, Mbah Murman, Mbah Muryam.

Kegiatan dalam bentuk Arisan yang dilaksankan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Foto diatas diambil pada saat  kumpulan di Rumah Bapak Riyadi / Mbak Nana putra mbak Suti wayah Mbah Parto Posong di Cilandak - Pasar Minggu tgl. 22 Juni 2014 yang dihadiri oleh 35 orang. 

Terus terang saya mengucapkan banyak terimakasih atas diundangnya saya dalam Kumpul Brayat kali ini. Betapa tidak, saya tidak faham satu dengan lainnya yang hadi kecuali dengan Mbak Nana dan Mas Edy Mbulu. Mungkin karena merasa satu darah, maka pertemuan yang dimulai dengan perkenalan seperti mengenal orang asing pun berubah menjadi percakapan "rinaketan sedulur cedak". Percakapan mulai dari mengurut nama orang tua, mbah-mbah, paman, sesepuh yang masih di kampung, tempat tinggal, posisi rumah di kampung, pekerjaan, saudara dan perkembangan kampung saat ini.  

Pembicaraan untuk pertama kali bertemu pasti masih memilih dan memilah mana yang sekiranya enak didengar dan santun diutarakan. Ada satu kata yang tersimpan dalam benak masing-masing yaitu niat ingin menyatukan sanak keluarga sedarah yang sudah terserak kemanpun arahnya "ngumpulke balung pisah" yang semula sudah tidak tahu dimana dan kemana mereka hidup dalam mencari penghidupan masing-masing. Tentunya hidup menuruti nasib adalah kehendak Yang Kuasa. Ada yang menjadi Pemimpin dan Tokoh Agama, ada yang menjadi Pejabat, ada yang berprofesi sebagai guru, pekerja atau karyawan dan lain sebagainya. Syukur alhamdulillah diantara mereka tidak ada yang merasa "aku" yang lebih baik darimu, tetapi aku adalah sedarah, nunggal Induk, Trah Posong.


Semoga dapat ngremboko dan dilestarikan oleh generasi sekarang dan berikutnya.

Amin.