17 Sep 2010

Sajak WS Rendra "SEBATANG LISONG"

Sejenak kita menikmati sajak Sang Maestro Sastrawan WS Rendra dalam menatap kondisi sosial kemasyarakatan dewasa ini. Memilukan.......menatap masa depan kanak – kanak, Menghadapi satu jalan panjang, Tanpa pilihan, Tanpa pepohonan, Tanpa dangau persinggahan, Tanpa ada bayangan ujungnya. Apalah artinya para Pemikir jauh dari masalah kehidupan nyata.


Sajak Sebatang Lisong
karya WS Rendra
Menghisap sebatang lisong
Melihat Indonesia Raya
Mendengar 130 juta rakyat
Dan di langit
Dua tiga cukong mengangkang
Berak di atas kepala mereka

Matahari terbit
Fajar tiba
Dan aku melihat delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan

Aku bertanya
Tetapi pertanyaan – pertanyaanku
Membentur meja kekuasaan yang macet
Dan papan tulis – papan tulis para pendidik
Yang terlepas dari persoalan kehidupan

Delapan juta kanak – kanak
Menghadapi satu jalan panjang
Tanpa pilihan
Tanpa pepohonan
Tanpa dangau persinggahan
Tanpa ada bayangan ujungnya

Menghisap udara
Yang disemprot deodorant
Aku melihat sarjana – sarjana menganggur
Berpeluh di jalan raya
Aku melihat wanita bunting
Antri uang pensiunan

Dan di langit
Para teknokrat berkata :

Bahwa bangsa kita adalah malas
Bahwa bangsa mesti dibangun
Mesti di up-grade

Disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung – gunung menjulang
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
Protes – protes yang terpendam
Terhimpit di bawah tilam

Aku bertanya
Tetapi pertanyaanku
Membentur jidat penyair – penyair salon
Yang bersajak tentang anggur dan rembulan
Sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
Dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
Termangu – mangu di kaki dewi kesenian


Bunga – bunga bangsa tahun depan
Berkunang – kunang pandang matanya
Di bawah iklan berlampu neon
Berjuta – juta harapan ibu dan bapak
Menjadi gemalau suara yang kacau
Menjadi karang di bawah muka samodra

Kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
Diktat – diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
Kita mesti keluar ke jalan raya
Keluar ke desa – desa
Mencatat sendiri semua gejala
Dan menghayati persoalan yang nyata

Inilah sajakku
Pamplet masa darurat
Apakah artinya kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya berpikir
Bila terpisah dari masalah kehidupan

14 Sep 2010

Nyadran

Nyadran di samping areal pekuburan Dusun Gelap
Jika di dalam masyarakat Dayak dikenal Tiwah, maka di masyarakat Jawa dikenal “Nyadran” berasal dari kata Sraddha, mendapat awalan Nya+ dan akhiran +an menjadi “nyadran” yang berarti melaksanakan Sraddha. Persamaan kedua istilah tersebut bermaksud untuk mengenang arwah leluhur yang sudah meninggal. Perbedaannya, upacara Tiwah dilakukan sekali untuk selamanya oleh keluarga yang masih hidup terhadap jasad yang telah meninggal dan dikubur beberapa tahun dan Tiwah merupakan penghormatan kepada arwah terakhir untuk meninggalkan dunia fana. Sedangkan Sraddha dilakukan setiap tahun sekali menjelang bulan puasa Romadhon untuk mendoakan kepada seluruh arwah yang telah mendahului kita "leluhur". Kegiatan Tiwah masih dilaksanakan aslinya dan belum tercampur oleh unsur budaya lain, sedangkan sraddha yang dilakukan saat ini sudah disusupi ajaran Islam yaitu khotbah siraman rohani diantara rangkaian ritual. Acara pengiriman do'a kepada leluhur dalan ritual Tiwah masih mengenal harumnya wewangian alami dari asap dupa kemenyan, sedangkan pada ritual nyadran saat sekarang sudah tidak ada lagi harumnya asap dupa kemenyan, bunga mawar, kenanga, kanthil dan daun pandan. 

Bentuk reminisensi (persamaan pelaksanaan) upacara sraddha ini masih ada hingga sekarang dan untuk memudahkan pengucapan disebut sadran dengan bentuk verbal aktif nyadran.
Upacara sraddha aslinya adalah upacara umat Hindu di pulau Jawa zaman dahulu kala untuk mengenang arwah seseorang yang sudah meninggal. Datangnya Islam di Tanah Jawa, Sunan Kalijogo dalam dakwahnya kepada masayrakat Jawa Hindu tidak serta merta membumihanguskan ritual Hindu tetapi dalam upacara Sraddha diselipkan pesan-pesan Syiar Islam. Faham Hindu dan Animisme semakin lama semakin dikurangi dari sedikit demi sedikit, agar ajaran Islam tidak ditolak mentah-mentah oleh masyarakat setempat, mengingat karakter masyarakat Jawa yang sangat kuat memegang teguh komitmen spiritualnya.
Upacara Sraddha dilakukan setiap tahun sekali menjelang hari-hari “Sakral” bagi umat muslim yaitu menjelang bulan Romadhon. Pada awalnya peralatan upacara yang berbasis Hindu selalu tidak ketinggalan “bau harum” dari pembakaran upa dalam rangka mengundang arwah untuk datang di tempat itu, berikut Nasi Tumpeng, jajan pasar dan beraneka lauk pauk, buah-buahan serta kue basah. Namun, dalam perkembangannya setelah ajaran Islam masuk, maka sarana ritual yang berfaham Hindu mulai dihilangkan, digantikan dengan lauk-pauk dan jajanan yang mudah dikerjakan atau dibeli di sekitarnya. Penyajian nasi tumpeng pun mulai disisipkan unsur keindahan. Nampan bambu, Tedo atau Tampah sebagai alas untuk menempatkan nasi tumpeng berikut lauk-pauknya sudah diganti dengan Lengser. Pinggiran Lengser dikasih aksesoris daun pisang agar lebih menarik, dan lain sebagainya.




Pelaksanaan Nyadran Ditinjau Secara Sosiokultural
Dakwah syiar Islam memerlukan media dan sarana untuk mengumpulkan massa. Kultur masyarakat Jawa masa Wali Songo masih lekat dengan faham Hindu. Media pengumpulan massa terjadi pada ritual-ritual Hindu seperti "wayangan pada saat ngruwat", ritual sembahyang kubur, selamatan setiap bulan-bulan tertentu menjadi inspirasi Wali Songo untuk menyusup dan memasukkan ajaran Islam di dalamnya.


Secara sosiologis, ritual nyadran untuk syiar Islam adalah sangat efektif. Dari aspek “timing” waktunya bersamaan dengan kekhidmatannya menjelang bulan sakral puasa Romadhon, maka settiap orang akan merasa khidmad untuk mendengarkan. Yang kedua dari aspek “komunikasi massa” sangat tepat bahwa emosional setiap orang tua, muda dan anak-anak merasa terpanggil untuk datang dan berkumpul bersama di suatu tempat yang ditentukan tanpa membuat undangan formal.


Peralatan atau ubo-rampe upacara ritual nyadran ala Sunan Kalijogo masih tetap dilakukan di Pinggir Areal Pekuburan di beberapa Dusun tetapi sudah tidak mengenal “dupa kemenyan”. Doa-doa puji-pujian berbahasa Arab bercampur Jawa yang mengiringi asap dupa untuk mengiringi do'a sudah diganti dengan Tahlil dan khotbah siraman rohani dan doa-doa untuk mendoakan arwah leluhur.
Nyadran menjadi sarana komunikasi dan silaturahmi warga setempat untuk saling menghormati, mempererat tali persaudaraan dan menambah wawasan melalui siraman rohani dari Tokoh Spiritual sekaligus Tokoh Panutan warga setempat.
Secara kultural, nyadran merupakan hasil kreasi spiritual yang menakjubkan bagi setiap orang yang datang untuk datang, duduk, berkumpul, berdoa secara khidmat, meluapkan emosional untuk saling berkontribusi terhadap sesama ahli waris dari para leluhur yang dimakamkan di areal pekuburan, suatu tempat dimana para hadirin duduk bersama. Nyadran juga merupakan forum komunikasi temporal untuk saling mengenal, saling memahami diantara setiap orang yang hadir.
Bentuk dan pola penyajian makanan dalam bentuk tumpeng berikut lauk-pauk diatas "ancak" (anyaman bambu persegi empat tempat tumpeng diletakkan) dan "takir" (piring kecil dibuat dari daun pisang tempat sayur dan lauk-pauk) merupakan buah karya seni kuliner. Pada saat ini penyajian makanan ini menjadi inspirasi bagi Ahli-ahli kuliner untuk meniru gaya penyajian ritual tradisional Jawa ke dalam penyajian di Restoran Modern sebagai daya tarik pengunjung untuk menikmatinya.  

Kronologis Pelaksanaan Nyadran Dusun Margowangsan :
  • Pada masa sebelum tahun 1960 ritual Nyadran dilaksanakan di areal depan pekuburan sebelah timur, di depan pintu masuk areal pekuburan sekarang. Peralanan "ubo rampe" ritual berupa nasi tumpeng, "ontho-ontho" bregedel bulat kecil berbahan baku beras, lauk-pauk, jajan pasar, lengkap dengan kue-kue basah yang dilaksanakan di pagi hari, pada saat 7 hari sebelum hari pertama puasa Romadhon.
  • Mulai tahun 1960 hingga tahun 2000 ritual nyadran dilaksanakan di Masjid dengan ubo rampe nasi tumpeng, onto-onto dan lauk-pauk. Kue-kue untuk para tamu dari luar Dusun sudah ditinggalkan. Pelaksanaan nyadran pada malam hari bertepatan 7 hari sebelum hari pertama puasa Romadhon.
  • Mulai tahun 2000 hingga sekarang ritual nyadran tumpengan sudah hilang tinggal cerita si buyung digantikan dengan "Pengajian berjudul Nyadran". Pelaksanaan tetap pada saat 7 hari sebelum hari pertama puasa Romadhon. Lokasi nyadran dibuat "tratak" tenda, para hadirin disediakan kursi, disediakan snack pada kotak kardus dan makan menggunakan piring. Acara sangat formal pengajian pada umumnya, tidak ada basa-basi sebagai forum tradisional kekeluargaan.   
Nostalgia Ritual Tradisional Bagaimana acara Ritual Nyadran dan Ritual lainnya seperti Suran, Saparan, Muludan, Ruwahan dilaksanakan, berikut diketengahkan rekaman saya 40 tahun yang lalu  yang sempat saya ingat yang terjadi di Dusun Margowangsan - Sawangan - Magelang a.l :  




Tumpeng Modern dengan Sentuhan Artistik
Acara Ritual Nyadran atau Ritual lainnya seperti Suran, Saparan, Muludan dan Ruwahan. Pada awalnya Bapak Kebayan (Kepala Kampung) Mbah Karjo mendahului acara dengan menabuh Kentongan Mesjid dengan irama khusus, ditabuh berulang kali agar warga pada datang dengan membawa Nasi Tumpeng dan makanan pelengkap lainnya. Setelah Warga berdatangan dan mengepung tumpeng, maka Kebayan memulai acara sbb : 

  • Pengantar maksud dan tujuan kenduri oleh Kebayan

  • Pesan-pesan Pemerintahan terkait pembayaran PBB, bersih desa, rencana pembangunan Desa, dll

  • Sekelumit sejarah ritual kenduri yang dilaksanakan secara turun-temurun dari leluhur Pendiri Pedukuhan (Kyai Soro bersama Kyai Margowongso) sampai saat itu yang disampaikan oleh Mbah Mariyah sebagai Tetua Adat sekaligus Kaum (Kepala Agama tingkat Pedukuhan)

  • Pengantar doa oleh Mbah Mariyah yang ditujukan kepada seluruh penduduk pedusunan Margowangsan, Bendan, Mudal dan dilanjutkan Doa Keselamatan.

  • Dahar Kembul, makan bersama

  • Sisa tumpeng dibawa pulang untuk dimakan Keluarga di rumah. Sisa makanan ini tidak dianggap sebagai “makanan sisa” tetapi justru menjadi rebutan bagi Ibu-ibu dan anak-anak perempuan yang memang tidak boleh mengikuti acara ritual. Nasi tumpeng yang dibawa dari Mesjid diyakini membawa berkah bahwa makanan yang sudah mendapat do'a akan memudahkan mendapatkan rizki.
Yang menarik dan saya catat dalam ingatan pada acara ritual 40 tahun yang lalu (1970-an) adalah ungkapan Tetua Spiritual kepada Warga yang sudah mengepung tumpeng dalam upacara ritual Suran, Saparan, Muludan, Nyadran, dengan suara parau magis-nya kurang-lebih sbb :


Ritual Nyadran Tumpengan seperti ini di Dusunku 
tinggal kenangan (Mengibung, Bali, Antara Foto, 2010)
Para rawuh sedaya ingkang kawula kurmati, Assalamu'alaikum wa Rohmatullahi wa barokaatu :
Wonten ing ndalu menika kita sedaya kempal wonten ing Mesjid saperlu :
Ingkang sepindah kita Ngaturaken Agunging raos syukur dumateng Ingkang Kuwaos, Allah subkhanahu wa ta'ala bilih dumugi ing wekdal menika kita sedaya khususipun wargo ing Padusunan Margowangsan, Bendan lan Mudal pinaringan wilujeng sarto pikantuk katentreman, kerta raharjo, Alhamdulillah.


Ingkang ongko kalih, Bapak Bayan ingkang minangka Pamong Dusun wonten ing wicoro ngajeng sampun ngendikaaken bilih kita sedaya kedah ngugemi sedaya “parintahipun Negari" langkung Bapak Lurah ing antawisipun bab “PAOS” (pajak) ingkang kedah kita lunasi lan sanes-sanesipun.


Ingkang ongko tigo utawi toto wicoro ingkang utami inggih punika kita sedaya badhe ngaturaken do'a dumateng Allah SWT lumantar do'a menika mugi kita sedaya, wargo ing Pedusunan Margowangsan, Bendan lan Mudal dipun paringana wilujeng, lir ing sambekala, Amin.


Kita sedaya sampun ngepung Tumpeng ingkang mawi angkah sarono ngemong-mongi anggenipun sami bale griyo sedoyo masyarakat padukuhan Margowangsan, Bendan lan Mudal, mugi–mmugi dipun paringana jejek pajek kukuh bakuh wilijeng sa lebeting griyo lan sak jawining bale griyo lan mugi–mugi anggenipun bebrayan wargo ing padukuhan sageto wilujeng dumugi ing samangke, Amin.


Kajawi saking meniko, Tumpeng kagema sarono nyumurupi bilih Allah ingkang jagi rumekso ing padusunan Margowangsan, Bendan lan Mudal, mugi–mugi songsong agungipun sagedo memayungi sedoyo wargo lan mugio babar prabowo katrenteman lan kawilujengan bade lumeber dumateng sedoyo wargo ing Pedusunan Margowangsan, Bendan lan Mudal, Amin


Tumpeng meniko ugi kagem nyumurupi, mugi mugi sedaya putro wayah Dusun Margowangsan, Bendan lan Mudal dipun tebihaken sangking godo rencono lan beboyo sahenggo sedaya manggihi ing karaharjan dumugi ing samangke, andadosno putro wayah sedaya ing samangke pinanggih kawontenan masyarakat ingkang tansah ayem–ayem, toto, titi, tentrem, kerto raharjo. Putra wayah ingkang piguna tumrapipun bebrayan ing wargo sakiwa-tengenipun lan dadosna priyagung sekaring bawono ingkang arum ganda asmanipun, Amin


Tumpeng sa-ubo-rampenipun meniko namung perlambang lumantaripun khidmat do'a mring Gusti Allah, kagem nyumurupi bilih ing wulan Suro/Sapar/Mulud/Ruwah/ (pilihan) meniko mugi-mugi para wargo Margowangsan, Bendan lan Mudal sagedo kaparingan panjang yuswa lan kacekapanipun boga turah ing pawingking lan kagem sak lajengipun, Amin


Monggo kita sedaya maos Al Fathihah,
(Selanjutnya acara tahlil yang dipimpin Kaum)

(Selanjutnya Doa Keselamatan : Allahhumma innanas aluuka salamatan, fiddiini wa 'afiatan ba'dal maut, firrizki wa taubatan 'indal maut, dst)


(Acara terakhir adalah dahar kembul, membagi-bagikan makanan kepada anak-anak yang datang dan masing-masing membawa makanan yang belum habis)

Perhatikan Pengantar doa yang dibacakan Mbah Mariyah terasa Indah, Sejuk dan Berkesan. Anak-cucu tidak terkecuali dido'akan agar di kemudian hari diharapkan menjadi manusia berguna bagi masyarakat, ketemu zaman tata, titi, tentrem, Amin. 

APA YANG SALAH DENGAN RITUAL TUMPENGAN ...jawabannya, jika pengamalannya sudah meminta berkah kepada sesuatu selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa atau syirik. Apakah ritual nostalgia tersebut diatas temasuk syirik?


Akankah Ritual Nyadran Tumpengan Dihapus Tanpa Kompromi?
Memperhatikan pelaksanaan syiar Islam melalui "nyadran" pada tahun 1960-an hingga 1980-an, di beberapa daerah di daerah Lereng Merbabu dan Merapi, upacara Nyadran meliputi 2 kegiatan yaitu : (1) Nyekar di pekuburan tempat para leluhur dimakamkan yang dilaksanakan sebelum ritual utama dan (2) acara siraman rohani, dilanjutkan dengan kenduri yang dilaksanakan di areal khuus di samping pekuburan, tempat dimana sudah disediakan oleh Para leluhur sejak zaman dahulu. 
Dalam perkembangannya, kedua acara tersebut diatas masih dilaksanakan di Dsn. Mudal, Sawangan, Butuh, Babadan, dll hingga sekarang dan khusus di Pedukuhan Margowangsan acara nyadran tinggal siraman rohani saja.

Acara  nyekar dengan pembakaran dupa diatas pusara leluhur masih dilaksanakan. Sedangkan acara utama uborampe  atau peralatan  berupa : “tumpeng, ingkung, jajan pasar plus kue-kue lokal”. Masyarakat menyiapkan makanan berupa kue-kue basah, lauk-pauk beraneka warna untuk dimakan bersama di lokasi festifal. Sebagian dari makanan hasil olahan warga disiapkan untuk dikirim kepada sanak saudara yang tidak bisa hadir.
Meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, wawasan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat serta kuatnya pengaruh faham pemurnian ajaran Islam, ritual nyadran yang berbau Hindu sedikit demi sedikit mulai terkikis. Di beberapa dusun bentuk asli ritual Nyadran sudah tidak ada lagi peralatan ritual seperti halnya tumpeng, ingkung, kue-kue basah, “takir” tempat lauk-lauk. Lokasi dipindah dari samping areal Pekuburan ke halaman Masjid, “tampah, takir dan tumpeng” yang ramah lingkungan diganti dengan piring dan kotak snack. Semua peralatan ritual sudah dihitung dengan banyak sedikitnya uang dan kepraktisan. Nasi Tumpeng sudah diganti dengan uang untuk diserahkan Panitia dan selanjutnya untuk menyiapkan Nasi dan Snack sesuai dana yang tersedia. "PRAKTIS & MURAH" tetapi banyak makna spiritual yang hilang baik dari sisi pesan moral, makna sosiologis, dan nilai-nilai budaya yang sulit untuk memulai kembali. Doa dari Tetua Adat Kampung sebagai Pemegang Garda Tradisional terdepan kepada seluruh warga dengan bahasa yang khas sudah tidak terdengar lagi.

Budaya Arab juga mengenal kenduri tetapi yang
dikepung kue & buah, karena di Arab tidak makan
nasi dan sayur-mayur (Warga Keturunan Arab - 
Palu - Sulteng, Antara Foto, 2010)  
Petitah-petitih Tokoh Spiritual lokal yang menjadi panutan masyarkat diganti dengan Ustadz dari lain daerah yang tidak mengenal karakter masyarakat setempat. Kekhidmatan tahlil disamping areal pekuburan dan hingar bingar orang-orang tua, muda, besar, kecil melahap makanan dalam satu tampah serta haru-biru anak-anak berebut nasi tumpeng dan aneka kue sudah lenyap tergantikan dengan “acara formal” dari Pembawa Acara yang harus melaksanakan rencana program yang disusun sebelumnya.

Latah barangkali, opo tumon..?
Perhatikan foto di samping kanan, Budaya Arab mengepung makanan untuk disantap bersama, kok malah orang Jawa menghilangkan budayanya sendiri. Ritual Nyadran Tumpengan sudah hilang nyawanya kemudian berubah bentuk menjadi “Pengajian berjudul Nyadran” dengan acara pokok mendengarkan siraman rohani dari Ustadz dari luar daerah. Bersamaan dengan hilangnya ritual Nyadran ala zaman dulu, maka hilang juga    ritual selamatan “Suran, Saparan, Muludan dan Ruwahan”. 




Ritual Nyadran dengan Tumpengan Perlu Dipertimbangkan
Nuansa Nyadran berjalan dengan warna keparaktisan, ternyata masih menyimpan faham tradisional Hinduisme (tumpengan) yang dilakukan setahun sekali setelah sholat “Idul Fitri”. Acara tumpengan "Idul Fitri" telah membuat magnet kuat rasa kangen anak-anak perantau untuk berpartisipasi makan rebutan nasi tumpeng sederhana dengan lauk "urap teri" yang disebut  "megono".  

Fenomena baru telah menyeruak dalam kehidupan masyarakat pedusunan sebagai implikasi dari dampak hilangnya sarana komunikasi tradisional dan tidak adanya subtitusi wadah komunikasi semacam kenduri , yaitu :

  • Individualistis dan kecenderungan sifat mementingkan keuntungan dirinya sendiri (Selfishy ).

  • Hilangnya tata kehidupan bermasyarakat yang diturunkan oleh adat para leluhur (indigenous loss). 

  • Kecenderungan membentuk kelompok kerabat yang masih satu faham (grouping)

  • Rivalitas dalam menempuh prestasi secara duniawiah semakin tajam yang berdampak pada semakin jauh perbedaan status prestasi duniawiah bagi yang mampu dengan yang lemah mengikuti persaingan pasar bebas (free trade).

  • Keamanan individual semakin terancam sebagai dampak lanjutan ketidakkompakan dalam menentukan arah massal dalam tata kehidupan bermasyarakat (poor secure warranty).



Jika fenomena tersebut diatas semakin nyata terlihat di masyarakat, maka opini sebagian warga semakin menyembul wacana dalam kehidupan warga yang menginginkan untuk mempertahankan "budaya Jawa" dengan faham pembersihan pengaruh Hindu yaitu “Jangan Hilangkan Ritual Nyadran Tumpengan” namun tetap menjunjung tinggi kemurnian ajaran Islam. Bisakah..??


Secara konseptual, "ajaran agama" dengan "budaya Arab" amatlah mudah diucapkan. Namun pelaksanaannya di tingkat grass-root (akar rumput), tidaklah mudah. Yang terjadi adalah generalisasi (digebyah uyah), pokoknya yang berbau tumpeng, dupa kemenyan, wewangian bunga untuk ritual adalah musyrik, maka harus dihapus....wah, salah kaprah nih..


Secara riil, wacana cita-cita yang diharapkan adalah menjalankan ajaran agama Islam secara murni dengan  tidak menghilangkan budaya Jawa, sbb :

  • Acara Tumpengan Nyadran -----(tetap dilaksanakan bagi yang berminat, bagi yang tidak berminat silahkan tidak apa-apa)

  • Lokasi Nyadran --------(tidak harus di sekitar areal pekuburan, paling praktis di masjid)

  • Kelengakapan peralatan adanya ingkung, kue basah, buah-buahan, dll ----(dikurangi, disesuaikan dengan kemampuan masing-masing warga yang berminat)

  • Acara formal menggunakan tenda, kursi, piring, kotak snack ----(hilangkan.., kembali kepada nuansa tradisional nan murah, diganti lesehan, gunakan daun pisang, ancak (nampan bambu), makan bersama beberapa orang dalam satu ancak "dahar kembul")

  • Mengundang Ustadz dari luar daerah ----(ok, semakin lama semakin dihilangkan diganti Kyai lokal yang tahu karakter masyarakat setempat) Doronglah anak-anak untuk Nyantri di Pondok Pesantren dan dibiayai bersama-sama dari anggota Masjid untuk mencetak Kyai Lokal)

  • Pembakaran dupa kemenyan ----(mutlak dihapus, sudah lama ditinggalkan)

  • Penggunaan bunga mawar, kenanga, kanthil, daun pandan untuk nyekar ---- (silahkan bagi yang berminat)

  • Peserta yang hadir (orang-orang tua) ahli waris leluhur warga Margowangsan -----(libatkan sebanyak-banyaknya anak-anak para generasi penerus), agar mereka lebih memahami adat dan budaya leluhur yang adiluhung, efektif untuk wadah komunikasi.

  • Acara tahlil -----(mutlak dilakukan)

  • Acara formal -------(diarahkan menjadi acara kekeluargaan)
Demikian sekilas pengalaman dan wacana kehidupan.






Wassalam,
Agus Prasodjo

Tanaman Pelawan Kanker

Kumpulan Tulisan :

Refferensi :
Hutan dengan segala jenis tanaman yang ada di dalamnya merupakan Emas Hijau yang tidak pernah habis jika dikelola dengan bijak. Tanaman bawah sangat beragam dan populasinya cukup melimpah, namun sampai saat ini masih terlalu sedikit pemanfaatan eksploitasi tumbuhan bawah secara komersial. Kalaupun ada hanya sebagai hasil ikutan yang dipungut terbatas untuk keperluan masyarakat setempat pada saat tertentu saja.  Sebagai contoh Akar Kuning, Pasak Bumi dan Tabat Barito dari Kalimantan dan Rumbut Kebat dari Papua dipungut masyarakat setempat untuk dikemas dan dijual di pasaran dalam jumlah kecil mengingat belum dikelola secara profesional mulai dari budidayanya, pengembangan dan pola pemasarannya. 

Ternyata tumbuh-tumbuhan di Indonesia terbukti mampu mencegah maupun mengobati kanker. Walupun masih perlu penelitian dan pengembangan lebih lanjut, sejumlah tanaman seperti kunyit putih, tapak dara, daun dewa hingga benalu teh telah digunakan penderita kanker sebagai ikhtiar mengobati penyakitnya. Banyak yang berhasil sembuh sehingga pengobatan tradisional pun menjadi tumpuan harapan baru bagi para penderita kanker.

Kunyit Putih
 Kunyit putih diyakini memiliki khasiat antikanker. Meski demikian cuma kunyit putih jenis mangga (Curcuma mangga) yang tumbuh terbatas di tempat yang bersuhu dingin di Indonesia, yang dapat mencegah atau mengobati kanker. Kunyit putih ini mempunyai ciri tertentu, antara lain bintik umbinya seperti umbi jahe dan berwarna kuning muda (krem). Dalam keadaan segar baunya seperti buah mangga kweni dan bila telah diekstrak atau dijadikan bubuk, warnanya tetap kuning muda (krem).
Sementara tapak dara (Catharanthus roseus) telah teruji sebagai bahan pencegah dan penumpas sel kanker. Tanaman yang masih termasuk keluarga Apocynaceae atau kamboja-kambojaan ini mengandung dua senyawa golongan alkaloid vinka yakni vinkristin dan vinblastin yang berkhasiat menghambat perbanyakan dan penyebaran sel kanker.
Vinkristin digunakan sebagai bahan pengobatan kanker bronkial, tumor ganas pada ginjal, kanker payudara, dan berbagai jenis tumor ganas yang awalnya menyerang urat saraf maupun otot. Tanaman yang di Sumatera disebut rumput jalang itu juga mengandung alkaloid cabtharanthin yang diperkirakan dapat mendesak dan melarutkan inti sel kanker.

Sebagai obat kanker payudara, rebus 22 lembar daun tapak dara dan buah adas (Foeniculum vulgare) serta kulit kayu pulasari (Alyxia reinwardti) dengan tiga gelas air. Bubuhi gula merah secukupnya. Setelah mendidih sampai tinggal setengahnya, saring. Ramuan diminum tiga kali sehari masing-masing setengah gelas. Pengobatan dilakukan paling tidak selama sebulan.
Keladi Tikus
 Keladi tikus (Typhonium Flagelliforme/Rodent Tuber), sejenis talas dengan  tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak  terkena sinar matahari langsung. Tanaman ini sangat banyak ditemukan  di Pulau Jawa. Semoga dengan adanya foto tanaman Keladi Tikus ini bisa mengurangi rasa keingintahuan kita dan membantu yang membutuhkan dalam pencarian obat alternatif ini.  Tanaman ini juga telah diteliti sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker. Untuk menghambat pertumbuhan sel kanker, tiga batang keladi tikus lengkap dengan daunnya (kurang lebih 50 gram) direndam selama 30 menit, tumbuk halus dan peras. Air perasan ini disaring lalu diminum. Di Malaysia, sudah ada uji ilmiah khasiat keladi tikus. Bahkan ekstrak keladi tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan tanaman lainnya dalam dosis tertentu, sudah dipasarkan di negeri jiran tersebut.Tanaman sejenis talas dengan  tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak  terkena sinar matahari langsung. Tanaman ini sangat banyak ditemukan  di Pulau Jawa. Semoga dengan adanya foto tanaman Keladi Tikus ini bisa mengurangi rasa keingintahuan kita dan membantu yang membutuhkan dalam pencarian obat alternatif ini.
Air perasan temu lawak (Curcuma Zedoaria) juga mujarab sebagai obat kanker. Menurut Andrew Chevallier Mnimh, herbalis asal London, dalam temulawak terkandung curcumol dan curdione yang berkhasiat antikanker dan antitumor. Di Cina, temulawak telah lama digunakan sebagai obat kanker leher rahim. Tanaman ini bisa meningkatkan efek mematikan sel kanker ketika dilakukan radioterapi dan kemoterapi.
Daun Dewa
Mengkudu juga tengah populer sebagai tanaman obat-obatan yang manjur. Daging buah mengkudu atau pace (Morinda citrifolia L.) mengandung dammacanthel, zat antikanker yang mampu melawan pertumbuhan sel abnormal pada stadium prakanker dan dapat mencegah perkembangan sel kanker. Sari dari perasan dua atau tiga buah mengkudu dapat dibubuhi madu agar rasanya lebih nikmat. Sebaiknya pilihlah mengkudu yang tidak terlalu masak karena alkohol yang terbentuk akibat proses fermentasi pada mengkudu yang terlalu masak merusak zat-zat penting yang terkandung di dalamnya. Tanaman sejenis talas dengan  tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak  terkena sinar matahari langsung. Tanaman ini sangat banyak ditemukan  di Pulau Jawa. Semoga dengan adanya foto tanaman Keladi Tikus ini bisa mengurangi rasa keingintahuan kita dan membantu yang membutuhkan dalam pencarian obat alternatif ini.

Daun dewa (Gynura divaricata) juga merupakan tanaman yang telah dikenal sebagai tanaman antikanker. Ramuan 30 gram daun dewa segar, 20 gram temu putih, 30 gram jombang yang direbus dengan 600 cc air hingga tersisa 300 cc, lalu disaring dan diminum airnya dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker. Dapat pula menggunakan bahan lain seperti 30 gram daun dewa segar, 30 gram tapak dara segar, 30 gram rumput mutiara, 30 gram rumput lidah ular direbus dengan 1.000 cc air hingga tersisa 500 cc. Airnya disaring lalu tambahkan madu secukupnya, aduk kemudian diminum selagi hangat.
Daun ceremai (Phyllanthus acidus) juga dapat dapat digunakan sebagai obat antikanker. Segenggam daun ceremai muda, sejumput daun belimbing, bidara upas sejari, gadung cina sejari dan gula aren direbus dengan tiga gelas air hingga tinggal segelas. Ramuan ini diminum tiga kali sehari masing-masing satu gelas.
Sementara senyawa dalam benalu telah lama diperkirakan bekerja sebagai penghambat keganasan kanker. Benalu yang direbus menjadi teh terbukti dapat dipakai sebagai obat penunjang selama menjalani kemoterapi (terapi dengan mengonsumsi obat antikanker).

Bagi Anda yang belum terkena kanker, tumisan brokoli, sawi, kembang kol, wortel, tomat dan daging ikan dengan bumbu sedikit garam dan bawang putih, mampu menjadi masakan yang kaya akan zat antikanker. Penelitian Universitas Harvard terhadap 48.000 orang pada tahun 1995 menunjukkan risiko terkena kanker prostat bagi mereka yang memakan 10 kali hidangan yang mengandung tomat per minggu turun sampai hampir separuhnya. (nat)

9 Sep 2010

Posong Sagotrah (3)







Silsilah Kerabat Kartowiryo 
Putra Sulung Trah Posong 


1.    Maksud


Penulisan  Sekilas Kerabat Kartowiryo sudah sangat jelas pohon keturunan dari silsilah Posong Sagotrah  bermaksud ingin mengemukakan Nama-nama dan Domisili Kerabat yang ada saat ini (2010). Secara factual kerabat Kartowiryo relatif sering ketemu baik di kampung Margowangsan maupun di Jakarta yang dilakukan pada acara Lebaran atau Natalan.

 

2.    Ruang Lingkup

 Penelusuran jejak keturunan secara keseluruhan dalam Kerabat Kartowiryo masih dalam tingkat “buyut” dari generasi saat ini, sehingga penelusuran sangat mudah.

 

Kendala kesulitan terjadi pada identifikasi detail terhadap keluarga yang secara kebetulan merantau ke P. Sumatera, sehingga data tidak bisa secara utuh menyajikan data keluarga sampai pada anak cucu “canggah/anak buyut”.

 

Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan penelusuran bagi siapa saja bilamana suatu saat berkeinginan menjalin tali silaturahmi yang lebih akrab dan lebih indah dalam rangka melengkapi bangunan pohon keturunan Posong Sagotrah.  

 


3.    Referensi

Penelusuran Kerabat Kartowiryo dilakukan dengan wawancara kekeluargaan terhadap Mbah Sahli Slamet Dampit – Mertoyudan (2006). Beliau ini terlihat sangat kuat ingatannya dalam merekam peristiwa-peristiwa masa lalu dan merupakan Pelaku Sejarah yang disegani dalam kerabatnya. Nama-nama pelaku sejarah untuk referensi pendataan adalah sbb :
a)    Mbah Sahli Slamet, Dampit Mertoyudan (2006)
b)    Bapak saya Pak Guru Samidi, Margowangsan (2009)
c)     Pak Lik saya Pak Sugeng, Purwokerto (1991)


4.    Penuturan Pinisepuh Sekitar Kerabat Kartowiryo

Kartowiryo adalah Cucu dari Induk Trah Posong dan anak keempat dari anak sulung Setro Saiman. Kartowiryo hidup pada tahun 1880-an s/d 1940. Dalam  kehidupan bermasyarakat anak sulung Induk Trah ini dikenal sebagai manusia pemberani dalam menghadapi massa. Sudah barang tentu keberanian tersebut karena didukung ilmu kanuragan yang mumpuni.

Ada apa dengan ilmu kanuragan?
Jika zaman sekarang ketokohan ditunjukkan dari derajat formal sebagai Pejabat Negara, Pajabat Perusahaan Negara atau Swasta serta kesuksesannya dalam kewirausahaannya, maka kala itu ketokohan seseorang ditunjukkan dari kemampuannya oleh kanuragan dan kepiawaiannya menggaet Artis Tradisional (Ledek). Dikisahkan, bahwa suatu saat Mbah Karto menonton wayang kulit di Surabaya yang sebagian besar penontonnya adalah orang Madura. Pada saat Ki Dalang menampilkan Raja Mandura (Baladewa), maka adat orang Madura jika Baladewa dimainkan, maka seluruh penonton yang semula pada berdiri harus duduk, menghormati Sang Wayang Idolanya. Nah, Mbah Kartowiryo tidak mau duduk, maka seketika itu dihakimi massa dengan menggunakan senjata aslinya Clurit. Berkat keampuhan ilmunya, maka Mbah Karto tidak lecet sedikitpun dan massa pada mundur melihat manusia yang dikeroyok massa dengan senjata tajam kok tidak mati. Masih banyak lagi kisah-kisah yang tidak ditulis disini menyangkut sepak terjang peri kehidupannya Mbah Kartowiryo dan anak-anaknya yang masih menyukai ilmu kanuragan tersebut diatas. Silahkan disimak Bagan 4. Kerabat Kartowiryo.

 Karto Wiryo 

Mbah Setro Saiman mempunyai 6 anak yaitu :

  1. Mbah Irah/Ngadinem (Gangsan) yang menurunkan Samidi (Gangsan), Kuru (Dampit), Sugeng (Purwokerto): 
  2. Mbah Urip (Banyakan, Mertoyudan) tidak ada keturunan;
  3. Mbah Djuweni (Lampung), menurunkan Sukri (Lmpg), Sukir (Lmp), Suroso (Lmp)
  4. Mbah Slamet Sahli (Dampit), menurunkan Melik (Dampit, Melok (Purwokerto), Siswono (Purbalingga) dan Siswanto (Jakarta).
  5. Mbah Amin Udotaruno, menurunkan Siti (Jakarta), Suyatmi (Jakarta), Sukarni (Jakarta), Sarmini (Jakarta), Suyono (Bendan), Sudari (Padang) dan Sugi (Bendan)
  6. Kimpul, menurunkan Sudadi (Jakarta)

Silsilah Keluarga Kartowiryo

Keluarga Mbah Kartowiryo ini tersebar mulai dari Dusun Gangsan, Bendan, Mertoyudan, Lampung dan keluarga terbesar di Jakarta dari keluarga Mbah Amin Udotaruno terdiri dari :
  1. Keluarga Siti (alm) bersama anaknya Suwanto di Bekasi
  2. Keluarga Suyatmi bersama anaknya Kelik, Gatot, Joko di Pondok Gede sedangkan yang sulung Sri bermukim di Medan Sumatera Utara.
  3. Keluarga Sukarti (alm) bersama anaknya Tokan (Jkt) dan Shanti dan Ola (Sentul)
  4. Keluarga Sarmini bersama anaknya Eko, Dewi, Hari, Adi  dan Puspita di Bekasi
  5. Keluarga Suyono tinggal di kampung bersama Heru dan Ning
  6. Keluarga Dari merantau di Pariaman Sumatera Barat, anaknya Riska dan Ari
  7. Sugi (alm) 

Pada tahun 2010, dari 6 bersaudara tersebut diatas yang terakhir sugeng tinggal Mbah Amin Udotaruno kelahiran tahun 1920 dan meninggal pada tahun 2010 usia 90 tahun setelah G. Merapi meletus. Dengan "ageman" dan falsafah hidup "simply living" narimo ing  pandum" beliau diberi kesehatan dan usia cukup panjang. Namun, semuanya adalah upaya dan takdir Allah, semoga dalam usianya yang panjang beliau masih bisa menikmati anak cucunya yang bisa mengenyam pendidikan kesarjanaan.


Kami mengharapkan adanya masukan tanggapan terhadap diagram tersebut. Bisa jadi ada yang belum tercover atau kurang lengkap. Llebih indah lagi jika ada keluarga yang memberikan masukan model IT yang bisa meningkatkan penampilan atau memudahkan akses komunikasi kepada seluruh keluarga besar.

Kerabat lainnya dari Kerabat Setro Saiman seperti Silsilah Mbah Selar dan Mbah Tambeng (Istri Mbah Supo Taruno) akan ditampilkan pada Tulisan berikutnya.

Catatan :
Adapun Kerabat Setro Saiman yang masih gelap belum bisa ditampilkan adalah Kerabat Mbah Darmin Gondang Lor Kec. Mungkid.


Berlanjut ke Tulisan berikutnya

Posong Sagotrah (2)

ASAL-USUL INDUK TRAH POSONG
DAN IDENTIFIKASI KERABAT DARI KETURUNAN PERTAMA


1.       Maksud

Penulisan silsilah Posong Sagotrah  bermaksud ingin menelusuri alur keturunan langsung mBah Setro Saiman yang diambil dari pelaku sejarah dan sumber lain yang masih ingat dan faham garis keturunan. 

2.       Tujuan

Tujuan utama penulisan silsilah Posong Sagotrah dan khususnya Keturunan I pada Jalur Trah Setro Saiman Posong adalah untuk menelusuri jejak keturunan secara keseluruhan. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan penelusuran bagi generasi sekarang dan yang akan datang bilamana suatu saat berkeinginan menjalin kembali tali silaturahmi yang lebih akrab dan lebih indah. Sukur-syukur bisa membangun “Forum atau Lembaga” yang mengurusi tali silaturahmi Posong Sagotrah.  

 3.       Referensi


a)       http://id.wikipedia.org/wiki/babad Giyanti”
b)       Raden Ngabehi Yasadipura, 1885-92, Babad Surakarta ingkang ugi nama Babad Giyanti, Soerakarta : Toef & Kalf
c)       Raden Ngabehi Yasadipura, 1937-39, Babad Giyanti, Batawi-Centrum : Balai Pustaka
d)       Poerbatjaraka, 1952, Kepustakaan Djawa, Amsterdam/Djakarta : Djambatan
e)       W. Van der Nolen, 1997, Twaalf eeuwen Javaanse literatuur, Leiden.


4.       Penuturan Pinisepuh Sekitar Induk Trah


Silsilah Posong Sagotrah ditulis bedasarkan informasi dari berbagai sumber pelaku sejarah dan sumber terpercaya lainnya yang mempunyai nilai-nilai adat dan karakter suatu keturunan. Implikasinya terhadap anak keturunan yang peduli terhadap arti Keluarga Besar atau Brayat adalah bahwa dokumen keturunan merupakan salah satu perangkat untuk menemukan mata rantai sanak saudara dan kerabat yang sudah tercerai berai tidak diketahui serta mengetahui siapa dan dari mana seseorang berasal.

Penulisan silsilah ini tidak ada maksud sedikit pun untuk melakukan dekomunitasi atau pemahaman yang  menjurus kepada kondisi ekslusif keluarga dengan menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh seseorang bahkan keinginan mengaaku-aku sebagai keturunan Darah Biru. Sebaliknya improvisasi  penulisan juga bukan untuk memojokkan kekurangan seseorang yang mengarah kepada bentuk pembunuhan karakter terhadap anak keturunan seseorang.

Pencantuman Nama Individu, Brayat dan Keluarga Besar dalam tulisan ini adalah sekedar gambaran dari salah satu kelebihan yang dimiliki oleh yang bersangkutan sebagai sample suatu tindakan dengan harapan dapat menjadi pelajaran bagi kita semua sebagai generasi penerus.

Dikisahkan secara turun-temurun dari generasi kepada generasi berikutnya, bahwa peristiwa Perjanjian Gianti yang dilaksanakan antara Pemerintah Penjajah Belanda dengan Kerajaan Mataram Surakarta pada masa pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo VII atau Pangeran Samber Nyowo yang dilaksanakan di pedukuhan kecil Giyanti pada tahun 1775 M. Konon, mendengar isi perjanjian yang berisi keberpihakan Pangeran kepada Pemerintah Belanda, maka sebagian pengikut perjanjian yang tidak setuju terhadap sikap Pangeran memilih tidak ikut pulang ke kerajaan dan “mlesit”  di pedukuhan di sekitarnya.

Namun, mlesitnya Sang Laskar Mataram ke daerah Lembah Merbabu yang subur makmur itu dikisahkan hanya sekedar istirahata sejenak menenangkan pikiran untuk sementara, walaupun pada kenyataannya tinggal di Dusun Margowangsan sampai wafat. Yang menarik perhatian publik di sekitarnya adalah tidak diketemukannya barang wasiat miliknya yang menunjukkan seseorang adalah anak keturunannya. Yang ada adalah masyarakat di sekitar Pekuburan seperti Sawangan, Mudal, Maren, Butuh, Kebokuning dan Margowangsan tetap "nguri-uri" melestarikan ritual "Nyadran" setiap menjelang bulan Puasa Romadhon. Mereke yang datang adalah dari semua kelompok agama (Muslim & Kristen) duduk bersama memanjatkan doa (Islam) kepada Tuhan YME dengan menghadap "nasi tumpeng" dan seabreg kue basah. Tidak ketinggalan anak-anak dari Dusun sekitarnya ikut meramaikan acara "nyadranan", menambah ramainya acara ritual. 

Logika mlesitnya para Laskar Mataram pada Perpecahan dalam tubuh Kerajaan Mataram dibenarkan oleh W. van der Molen, 1997 dalam bukunya Twaalf eeuwen Javaanse literatuur dan R. Ng. Yasadipoera , 1892 dalam bukunya Babad Surakarta ingkang ugi nama Babad Gijanti bahwa sepanjang tahun 1746 – 1775 pasca dikabulkannya permintaan Van Imhoff (VOC) kepada Sunan Pakubuwana II untuk menguasai 2/3 pesisir utara Jawa dan keputusan Kerajaan untuk menunjuk Bupati  harus seizing VOC. Tercatat selama 9 tahun mulai dari peristiwa tahun 1746 tersebut diatas sampai Perjanjian Gijanti dan berakhir dengan Perjanjian Salatiga tahun 1775 terjadi Perang Saudara dalam Kerajaan Mataram dan 50 % penduduk Jawa tewas oleh saudaranya sendiri.  


      5. Bukti Petilasan 

Petilasan Para Kerabat dan Laskar Mataram yang "mlesit" dari lingkungan kerajaan adalah :

  1. Pangeran Dirgonegoro dikebumikan di Pekuburan Mudal dekat Sumber Mata Air "Mudal" dengan Nisan cukup besar dan diletakkan pada tatakan Nisan yang cukup tinggi (± 2 M).
  2. Nyai Suntiaking (perempuan) dikebumikan di Pekuburan yang sama dengan P. Dirgonegoro, namun posisi Nisannya terpisah terletak di pojok barat pekuburan dengan bentuk Nisan panjang, di sampingnya ditanam Pohon Kamboja.
  3. Mbah Posong (Pm), Mbah Gadingsari dan Mbah Kuncen, semuanya tidak diketahui namanya berturut-turut dikebumikan di Pekuburan Dusun Posong dan Gadingsari dan  menjadi satu dengan pekuburan masyarakat biasa. 


  1. Induk Trah
Ada petunjuk bahwa Induk Trah Posong adalah satu dari beberapa Laskar Mataram yang mlesit dari lingkungan Kerajaan (mohon periksa Bagan 1 pada tulisan sebelumnya Posong Sagotrah (1). Kisah selanjutnya, bahwa selama mlesit mereka tidak menunjukkan sebagai tokoh kerajaan, tetapi justru menjalani hidup sebagaimana orang awam dengan segala perlikau sebagai masyarakat kecil di pedesaan. Dalam kondisi hidup di pedesaan, hubungan baik dengan lingkungan Kerajaan tetap dipelihara dengan baik dengan melaksanakan ritual ‘sebo” ke Kasunanan di Solo (bukan Mataram Ngayogjokarto Hadiningrat) hingga tahun 1930-an (dikisahkan Mbah Mangun, Bengan Kidul, 1970).  Namun, ritual ini tidak pernah diceriterakan asal-muasal ritual, maksud dan tujuannya, keterkaitannya dengan kerabat Kasunanan. Ritual sebo tidak terrekam,  dan dipelihara sehingga lambat laun acara tersebut tidak dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

Ibarat  atau pepatah “legi rembesing madu” atau “jika madu disaring, hasil rembesannya tetap manis juga” kira-kira artinya bahwa  ketokohan yang melekat pada seseorang pada suatu generasi redup pada generasi berikutnya, diyakini pada suatu saat akan muncul  generasi  yang  mewakili ketokohan leluhurnya.

Alkisah, ada 3 (tiga) orang bersaudara yang dikenang sebagai asal-usul “Induk Trah” tinggal di Dukuh Posong, Gadingsari dan Kuncen. Mereka bertiga selalu melakukan kontak komunikasi. Dikisahkan, bahwa alat komunikasi  yang digunakan bilamana suatu saat akan bertemu untuk merencanakan sesuatu, cukup mengetuk “dingklik” tempat untuk duduk berjemur, maka mereka bertiga segera berkumpul untuk membicarakan sesuatu.  Namun, hingga sekarang siapa nama-nama Induk Trah tidak ada yang ingat dan tidak ada bentuk rekaman yang bisa menjadi bahan penelusuran untuk didokumentasikan. Saya pernah sowan kepada Mbah Parto Posong (1970-an), menanyakan siapa nama Mbah Posong yang sering disebut-sebut induk trah, beliau hanya ngendiko “pokoke Mbah Posong, aku ora ngerti”  Yang beliau ingat, bahwa Setro Saiman adalah keturunan pertama yang berdomisili di Margowangsan dan Mbah Parto adalah cucu dari adiknya Setro Saiman “anak enom, anak tuwa”.



  1. Generasi Pertama 

Bilamana ditelusuri, dari tahun 1775 sampai tahun 2000 sudah 225 tahun atau melewati 3 generasi kalau dihitung rata-rata umur generasi 70 tahun.  Generasi pertama, yang tercatat dengan baik adalah jalur Posong yang menurunkan 11 anak. Sedangkan  jalur Gadingsari dan Kuncen tidak banyak diketahui.

Ilustrasi silsilah Induk Trah (Bagan 1) dan Generasi pertama (Bagan 2), bisa dilihat bahwa jumlah dan penyebaran domisili anak keturunannya sudah sulit untuk ditelusuri. Jika pola pembinaan tali silaturahmi seperti halnya arisan, paguyuban dan sejenisnya sudah sulit dilakukan, maka upaya minimal adalah mengembangkan wacana “kunci petunjuk” dari suatu keluarga terhadap keluarga besar.  

Kunci Petunjuk penelusuran ini dimaksudkan untuk mempermudah pengenalan dengan menyebut tokoh keluarga yang lebih dikenal atau ditokohkan oleh masyarakat sekitarnya. Tentunya penyebutan tidak mengesampingkan tokoh lain yang bisa jadi lebih senior atau status sosialnya lebih tinggi. Diharapkan dengan petunjuk kerabat ini, bagi keluarga yang akan menelusuri lebih jauh kepada keluarga dekatnya, dapat mendekati langsung kepada tokoh yang bersangkutan. Sebagai gambaran, seseorang yang sudah jauh baik tempat maupun tali silaturahmi, suatu saat ingin mendekatkan diri kembali kepada sanak saudara dekatnya, namun yang ia kenal hanya nama nenek/kakek atau personal lainnya. Dengan adanya petunjuk penelusuran ini akan mempermudah identifikasi dan meyakinkan langkah pendekatan. 

Tahun 2010, keturunan yang masih bisa diidentifikasi adalah cucu dari Keturunan Pertama yang masih sugeng sudah berusia diatas 70 tahun-an atau buyut pada usia 50 tahun-an.

Berikut Kerabat Trah Jalur Induk Posong dan Kuncen yang masih bisa diidentifikasi. Sedangkan Jalur Gadingsari belum ditampilkan di Blog ini karena sangat kurang informasi.


Jalur Induk Posong :

Jalur Induk Posong, oleh karena saya ada pada posisi jalur tersebut, maka pencatatan yang diperoleh dari mBah Sahli Slamet Dampit Mertoyudan dan rekam Bapak Suharto Ngaglik nDuwur tahun 2007 dapat diperiksa Bagan 2 Silsilah Induk Pertama Posong Sagotrah pada tulisan sebelumnya. 

Daftar Identifikasi Kerabat dari Jalur Induk Posong dan Kuncen pada tahun 2010, disajikan sbb :

1. Kerabat mBah Setro Saiman (Margowangsan/Gangsan)
(1)          mBah Selar (Gangsan) : Keluarga mbah Isah, Pak Guru Sutrisno (Gangsan)
(2)          mBah Darmin (Gondang Lor) : Keluarga mBah Suharto (Gondang Lor), Pak Suyono 
               Pak Darsono (Wonolobo)
(3)          mBah Sri (Talaman) : Keluarga mBah  Sri Help (Margowangsan)
(4)          mBah Kartowiryo (Gangsan) : Keluarga Pak Guru Samidi (Gangsan), Suyatmi (Pondok Gede    Jakarta). Periksa Silsilah Kerabat Kartowiryo pada Tulisan Posong Sagotrah (3)
(5)          mBah Rus (Gangsan) : Hilang pada jaman perang kemerdekaan
(6)          mBah Tambeng (Gangsan) : Keluarga mBah Supo/mBah Minem (Gangsan).


Bagan 3. Silsilah Setro Saiman Anak Pertama Induk Trah Posong Sagotrah 
(Mhn di-klik untuk melihat detail tulisan lebih besar)



2. Kerabat mBah Joyo (Posong)
(1)          mBah Kuncung (Bendan) : Keluarga mBah nDuk/Pak Santoso RSU Muntilan (Bendan)
(2)          mBah Mardi (Butuh Kulon) : Pm
(3)          mBah Cokro Kamto (Butuh Kulon) : Keluarga Pak ngGolo (Santan)
(4)          mBah Sumini (Kebokuning) : Keluarga Pak Sukardi (Kebokuning)

3. Kerabat mBah Kartorejo (Posong)
(1)          mBah Darmi (Bantul) : Keluarga mbah Wiro/Mayor (purn) Sunarno (Gangsan)
(2)          mBah Karto Atmojo (Magelang) : Tidak diketahui
(3)          mBah Karto Wardoyo (Purworejo) : Tidak diketahui
(4)          mBah Kus (Purworejo) : Tidak diketahui
(5)          mBah Niti (Posong) : Pak Widodo/Pak Lurah Widianto (Butuh Kulon)

4. Kerabat mBah Rusmin (Popongan) :
Keluarga Kontho (Popongan)

5. Kerabat mBah Karto Duryo (Posong)
(1)          mBah Pm (ngLampu/Pager) : Tidak diketahui
(2)          mBah Mangun (Butuh Kulon) : Keluarga Bpk Nasikin (Butuh Kulon)
(3)          mBah Mul (Mungkidan) : Keluarga mBah Suwarno (Mungkidan)
(4)          mBah Madi (Transmigrasi ke Sumatera) : Tidak diketahui
(5)          mBah Parto (Posong) : Keluarga mBah Ir. Sutrisno (Yogyakarta)
(6)          mBah Sardi (Purworejo) : Tidak diketahui
(7)          mBah Murman (Posong) : Pastor pm (Depok, Jakarta)
(8)          mBah Muryam/kembaran mBah Murman (Kebokuning) : mBah Harjo Surono (alm), 
              Pak Sodik (Putusibau, Kalbar)
(9)          Pm (Tampir Wetan) : Keluarga Pak Guru Rubiyoto, Ibu Sulisah (Tampir Wetan).
(10)      mBah Parinem (Posong) : Keluarga Pak Widianto (Tlatar)
(11)      mBah Projo (Posong) : Keluarga mBah Projo (Posong).    

6. Kerabat pm (Mawungan)
Belum diketahui

7. Kerabat mBah Niti (Plalangan, Sawangan)
Tidak diketahui

8. Kerabat mBah Pawiro (Gadingsari)
(1)          mBah Diro (Jetis) : Tidak diketahui
(2)          mBah Mul (Senden) : Tidak diketahui
(3)          mBah Dalilah (Gading) : Keluarga Pak Koco (Gadingsari)
(4)          mBah Saparman (Bengan Lor) : Keluarga mBah Guru Parman (Bengan Lor)
(5)          mBah Mardi (Yogyakarta) : Tidak diketahui

9. Kerabat mBah Karto Dimejo/Mbah Lurah (Posong)
(1)          mBah Pucung (Ngaglik Ngisor) : Keluarga Bapak Suherman (alm) (Ngaglik Ngisor),Keluarga Bapak Suparman (Bulu)
(2)          mBah Karto Karsini (Ngaglik nDuwur) : Keluarga bapak Suharto (Ngaglik nDuwur)



Jalur Induk Kuncen :

1.       Kerabat mBah Ireng (Kuncen, Bengan Lor)
(1)          mBah Darsi (Bengan Tengah)


2.       Kerabat mBah Bagong
(1)          mBah Bagong (Surabaya), Sri/Slamet (Gangsan)


Bersambung pada tulisan berikutnya 








POSONG SAGOTRAH (3)

Silsilah Kerabat Kartowiryo & Daftar Kerabat Kartowiryo Saat Ini


1.    Maksud

Penulisan  Sekilas Kerabat Kartowiryo sebagai anak sulung Induk Trah Posong yang bermukim di Dusun Margowangsan - Sawangan - Magelang sudah sangat jelas pohon keturunan dari silsilah Posong Sagotrah  bermaksud ingin mengemukakan Nama-nama dan Domisili Kerabat yang ada saat ini (2010). Secara factual kerabat Kartowiryo relatif sering ketemu baik di kampung Margowangsan maupun di Jakarta yang dilakukan pada acara Lebaran atau Natalan.

 

2.    Ruang Lingkup

Penelusuran jejak keturunan secara keseluruhan dalam Kerabat Kartowiryo masih dalam tingkat “buyut” dari generasi saat ini, sehingga penelusuran sangat mudah.

Kendala kesulitan terjadi pada identifikasi detail terhadap keluarga yang secara kebetulan merantau ke Kota-kota di luar Pulau Jawa, sehingga data tidak bisa secara utuh menyajikan informasi keberadaan seutuhnya keluarga sampai pada anak cucu “canggah/anak buyut”.

Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan penelusuran bagi siapa saja bilamana suatu saat berkeinginan menjalin tali silaturahmi yang lebih akrab dan lebih indah dalam rangka melengkapi bangunan pohon keturunan Posong Sagotrah.  

 

3.    Referensi

         Penelusuran Kerabat Kartowiryo dilakukan dengan wawancara kekeluargaan terhadap Mbah Sahli Slamet Dampit – Mertoyudan (2006 - 2008). Beliau ini terlihat sangat kuat ingatannya dalam merekam peristiwa-peristiwa masa lalu dan merupakan Pelaku Sejarah yang disegani dalam kerabatnya. Nama-nama pelaku sejarah untuk referensi pendataan adalah sbb :
a)    Mbah Sahli Slamet, Dampit Mertoyudan (2006)
b)    Bapak saya Pak Guru Samidi, Margowangsan (2009)
c)    Pak Lik saya Pak Sugeng, Purwokerto (1991)
d)    Pakde Turmudi putra Mbah Marsan - keturunan dari Buyut Selar di Tangerang - Banten.


4.    Penuturan Pinisepuh Sekitar Kerabat Kartowiryo

       Canggah Kartowiryo adalah Anak dari Induk Trah Posong yang menurunkan 6 (enam) keturunan. Kartowiryo hidup pada tahun 1880-an s/d 1940. Dalam  kehidupan bermasyarakat anak sulung Induk Trah ini dikenal sebagai manusia pemberani dalam menghadapi massa sekaligus sebagai Tokoh yang memegang kejujuran. Sudah barang tentu keberanian tersebut karena didukung ilmu kanuragan yang mumpuni.

         Ada apa dengan ilmu kanuragan?
       Jika zaman sekarang ketokohan ditunjukkan dari derajat formal sebagai Pejabat Negara, Pejabat Perusahaan atau Swasta serta kesuksesannya dalam kewirausahaannya, maka kala itu ketokohan seseorang ditunjukkan dari kemampuannya olah kanuragan dan kepiawaiannya menggaet Artis Tradisional (Ledek). Dikisahkan, bahwa suatu saat Mbah Karto menonton wayang kulit di Surabaya yang sebagian besar penontonnya adalah orang Madura. Pada saat Ki Dalang menampilkan Raja Mandura (Baladewa), maka adat orang Madura jika Baladewa dimainkan, maka seluruh penonton yang semula pada berdiri harus duduk, menghormati Sang Wayang Idolanya. Nah, Mbah Kartowiryo tidak mau duduk, maka seketika itu dihakimi massa dengan menggunakan senjata aslinya Clurit. Berkat keampuhan ilmunya, maka Mbah Karto tidak lecet sedikitpun dan massa pada mundur melihat manusia yang dikeroyok massa dengan senjata tajam kok tidak mati. Masih banyak lagi kisah-kisah yang tidak ditulis disini menyangkut sepak terjang peri kehidupannya Mbah Kartowiryo dan anak-anaknya yang masih menyukai ilmu kanuragan tersebut diatas. Silahkan disimak Bagan 4. Kerabat Kartowiryo.

         
         Mbah Kartowiryo mempunyai 6 anak yaitu : 
  1.        Mbah Irah/Ngadinem (Gangsan) yang menurunkan Samidi (Gangsan), Kuru (Dampit), Sugeng (Purwokerto): 
  1. Mbah Urip (Banyakan, Mertoyudan) tidak ada keturunan;
  2. Mbah Djuweni (Lampung), menurunkan Sukri (Lmpg), Sukir (Lmp), Suroso (Lmp)
  3. Mbah Slamet Sahli (Dampit), menurunkan Melik (Dampit, Melok (Purwokerto), Siswono (Purbalingga) dan Siswanto (Jakarta).
  4. Mbah Amin Udotaruno, menurunkan Siti (Jakarta), Suyatmi (Jakarta), Sukarni (Jakarta), Sarmini (Jakarta), Suyono (Bendan), Sudari (Padang) dan Sugi (Bendan)
  5. Kimpul, menurunkan Sudadi (Jakarta)

Silsilah Keluarga Kartowiryo

Keluarga Mbah Kartowiryo ini tersebar mulai dari Dusun Gangsan, Bendan, Mertoyudan, Lampung dan keluarga terbesar di Jakarta dari keluarga Mbah Amin Udotaruno. 
Pada tahun 2010, dari 6 bersaudara tersebut diatas yang masih sugeng tinggal Mbah Amin pada usia sekitar 90 tahun (kelahiran tahun 1920). Dengan "agemanipun" dan falsafah hidup "simply living" narimo ing  pandum" beliau diberi kesehatan dan usia cukup panjang. Namun, semuanya adalah upaya dan takdir Allah, semoga dalam usianya yang panjang tetap didampingi dengan kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarganya, amin.  


Kami mengharapkan adanya masukan tanggapan terhadap diagram tersebut. Bisa jadi ada yang belum tercover atau kurang lengkap. Llebih indah lagi jika ada keluarga yang memberikan masukan model IT yang bisa meningkatkan penampilan atau memudahkan akses komunikasi kepada seluruh keluarga besar.

Kerabat lainnya dari Kerabat Setro Saiman seperti Silsilah Mbah Selar dan Mbah Tambeng (Istri Mbah Supo Taruno) akan ditampilkan pada Tulisan berikutnya.

Catatan :
Adapun Kerabat Setro Saiman yang masih gelap belum bisa ditampilkan adalah Kerabat Mbah Darmin Gondang Lor Kec. Mungkid.


Berlanjut ke Tulisan berikutnya