11 Okt 2010

Posong Sagotarh (6)

Familiku Pluralistis tetapi Bukan Pluralisme

Introduksi

Pluralistis adalah sifat keberagaman. Pluralisme atau multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan,  politik dan keyakinan yang mereka anut.


Masa kecilku sekitar tahun 1970-an, saya sering diajak orangtuaku (bapak) berkunjung ke rumah-rumah famili yang masih dikenal orangtuaku khususnya pada hari-hari lebaran . Saya diperkenalkan sebagai anak anak-cucu penerus silsilah dari Mbah-mbah yang sudah sepuh dan menghaturkan “sungkem” kebaktiannya kepada pinisepuh serta permohonan maaf jika dalam perjalanan melanggengkan silaturahmi terjadi sesuatu yang kurang berkenan di hati para pinisepuh. Siapa yang berkunjung (ujung) dan kepada siapa yang dikunjungi…? Orangtuaku tidak pernah mengajarkan kepada saya tentang perbedaan faham dan keyakinan dalam menjalankan acara ritual lebaran tahunan “ujung” silaturahmi. Yang ada adalah suasana sukacita baik yang mengunjungi (anak-anak dan dewasa umur lebih muda) maupun yang dikunjungi (umur lebih tua). Itulah awal pelajaran demokrasi dari orangtua dan lingkunganku kepada saya dan seluruh keluarga saya.
Ternyata silaturahmi lebaran tidak berpengaruh pada saat family yang beragama Kristen merayakan hari raya Natal. Para pinisepuh tidak pernah mengarahkan anak-cucunya untuk mengikuti salah satu keyakinan yang mereka anut masing-masing. Bahkan pada saat akan memilih pasangan hidupnya, orangtua menyerahkan sepenuhnya kepada anak untuk menempuhnya. Orangtua hanya memberikan gambaran hikmah dan resikonya hidup dalam keluraga yang berbeda keyakinan. Namun, ada rambu-rambu yang tetap dijaga agar tidak saling bergesek sensitifitas keyakinannya masing-masing.

"Ujung" sebagai forum pemersatu tali silaturahmi keluarga yang beragam
"Ujung" Sungkem Lebaran
Ritual “ujung” di hari-hari lebaran sudah menjadi forum silaturahmi di lingkungan keluarga besar khusunya anak keturunan keluarga kami “Trah Posong”. Saya mengetahui benar bahwa famili dari Dusun Posong banyak yang meyakini Kristiani dan family dari Gangsan 100 % Muslim. Pada saat saya menjalankan sungkeman kepada Mbah Parto, Mbah Niti, Mbah Projo dan Mbah Lurah di Dusun Posong yang notabene beragama Kristen menggunakan bahasa umum yang sering diucapkan, yaitu menghaturkan bakti kepada pinisepuh dan permohon maaf. Doa jawaban pinisepuh sudah pasti agar anak cucu yang lebih muda memaafkan kepada yang lebih tua dan mendoakan agar mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan hidup. Bagi pinisepuh yang masih kental "animisme kejawen" pun demikian pula yang dilakukan pada kesempatan ritual "ujung" lebaran.
Kesempatan yang lebih penting dalam sungkeman adalah pada saat acara basa-basi saling memberitakan kondisi masing-masing famili pada saat itu. Tidak sedikit dari basa-basi tentang keselamatan, keharmonisan bermasyarakat, situasi jalanan, dls, terbersit kalimat “indahnya tali silaturahmi dalam keluarga besar yang harus dijaga sampai kapanpun” dengan tetap menjaga “tali silaturahmi” dalam perbedaan faham dan keyakinan.
Bagaimana situasi silaturahmi pada hari raya Natal bagi famili pemeluk Agama Kristen dan pada tanggal 1 Muharam bagi yang masih lekat dengan Kejawen atau Malam Bulan Purnama setiap bulan Mei bagi famili yang beragama Budha? Mereka pun membuka pintu bagi siapa pun yang datang, tidak menutup kesempatan bagi famili yang beragama lain. Perbedaannya, oleh karena hari raya Lebaran lebih banyak famili yang Muslim, maka kemeriahan terlihat lebih dibandingkan hari raya selain lebaran. Pada prinsipnya keberagaman adat istiadat dan keyakinan mewarnai dalam keluarga besar kami "pluralistis". 


Rambu-rambu yang Harus Dihormati
Keluarga Besar kami sudah lama mengenal rambu-rambu untuk saling menghormati faham dan keyakinan masing-masing, sebelum Hak Azasi Manusia diundangkan di Republik ini. Mereka sangat faham “La kum diinukum wa liyadin”. Walaupun di meja makan kami adalah satu keluarga, namun dalam mengamalkan ajarannya khususnya yang dari famili Muslim tidak diperkenankan mengikuti kegiatan yang bersifat “seremonial” ajaran Kristen, misalnya mengikuti Misa di Gereja, mengucapkan/mengamalkan gerakan simbol “Tri Nitas” serta menyebut Tuhan Yesus. Begitu pula bagi yang Non Muslim tidak diperkenankan mengikuti seremonial ke-Islam-an. walaupun maksudnya sangat mulia, tetapi hal-hal yang sensitif harus dihindari.
Dalam perkawinan tidak sedikit dari famili Kristen melangsungkan pernikahan dengan famili Muslim dan setelah berkeluarga, maka perjalanan hidupnya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing untuk menjalankan keyakinannya sesuai dengan yang diyakini, resiko ditanggung masing-masing. Bagaimanapun juga mereka akan tetap kembali kepada satu Keluarga Besar yang harus dijaga keutuhannya.
Dimana Letak Pluralitasnya?
Walaupun masing-masing menganut agama dan keyakinan yang berbeda, mereka tetap merasa satu keluarga besar, saling menghormati satu dengan yang lain dan memegang teguh untuk menjaga tali silaturahmi. Dalam kehidupan bermasyarakat, ada i’tikad kebaikan yang mendukung perjalanan silaturahmi.
Kenapa Bukan Pluralisme?
Pluralisme. Keluarga besar kami disamping memegang teguh tali silaturahmi juga menghormati keyakinan agamanya masing-masing. Menghormati keyakinan dan kebersamaan tidak berarti menganggap semua baik dan bisa dijalankan bersama. , “secara agama, tidak boleh beranggapan semua baik untuk dilaksanakan bersama”. Silahkan Bapak Kyai Besar bisa seenaknya masuk Gereja, tetapi ingat, kalau sampai dilaksanakan dintingakt Grassroot, maka bisa dibayangkan kekacauan dalam beribadah. Apa kata dunia? Pluralisme akan memandang semua baik dan bisa diimplementasikan oleh pemeluk masing-masing agama. Suatu kondisi sulit diterima oleh seorang Muslim melaksanakan seremonial di Gereja atau di suatu tempat seremonial Kristiani. Begitu juga sebaliknya, famili Kristiani pun tidak diperkenankan untuk mengikuti seremonial Islami. Juga yang masih menganut Animisme, jelas diharamkan membakar dupa kemenyan dalam acara membacakan do’a Islami dicampur-campur meminta berkah dari Penunggu Kampung. Pastilah tindakannya dikatakan Syirik, dan seterusnya.
Demikian, sekilas gambaran Keluarga Besar kami yang pluralistis dalam kehidupan bermasyarakat dengan berbagai status sosial, keyakinan dan agamanya, namun tidak di”gebyah-uyah” dalam menerapkan perintah agamanya masing-masing. "lakum dinukum wa liyyadin". Saling menghormati dan menghargai diantara anggota Keluarga Besar menjadi tali pengikat silaturahmi "hablu minannas" setelah berurusan dengan Sang Kholik, harus jalan sendiri-sendiri sesuai keyakinannya "hablu minalloh".  

Salam,
Agus Prasodjo, Tangerang September 2010


6 Okt 2010

Kalender Jawa

Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua:
  • Siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, dan
  • Siklus pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran.
Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah (saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Contoh Kalender Jawa
Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II: seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (=Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.

Daftar bulan Jawa Islam

Di bawah ini disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil dari Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sansekerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra (lunar).
  1. Ruwah (Arwah, Saban)
  2. Pasa (Puwasa, Siyam, Ramelan)
  3. Sela (Dulkangidah, Sela, Apit) *
  4. Besar (Dulkijah)
    *)Nama alternatif bulan Dulkangidah adalah Sela atau Apit. Nama-nama ini merupakan peninggalan nama-nama Jawa Kuna untuk nama musim ke-11 yang disebut sebagai Hapit Lemah. Sela berarti batu yang berhubungan dengan lemah yang artinya adalah “tanah”. Lihat juga di bawah ini.

Bulan Jawa Kalender Matahari

Pada tahun 1855 Masehi, karena penanggalan komariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, dikodifikasikan oleh Sri Paduka Mangkunegara IV atau penggunaannya ditetapkan secara resmi. Sebenarnya pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang asli Jawa dan sudah digunakan pada zaman pra-Islam. Lalu oleh beliau tanggalnya disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya. Tetapi lama setiap mangsa berbeda-beda.
Pranata Mangsa (baca : panoto mongso) sbb :
  • Dalam bahasa Jawa Kuna mangsa kesebelas disebut hapit lemah sedangkan mangsa keduabelas disebut sebagai hapit kayu. Lalu nama dhesta diambil dari nama bulan ke-11 penanggalan Hindu dari bahasa Sansekerta jyes.t.ha dan nama sadha diambil dari kata âs.âd.ha yang merupakan bulan keduabelas.

Siklus Windu

Budaya Barat menggabung-gabungkan tahun-tahun kedalam kelompok 100 tahun (century, abad), dekade (10 tahun), maka kalender Jawa menggabungkan tahun-tahun menjadi semacam dekade yang terdiri dari delapan satuan lebih kecil dari abad atau dekade. Setiap satuan Jawa ini terdiri atas 8 tahun dan disebut Windu. Di bawah disajikan nama-nama windu:

Pembagian Pekan

Siklus Pekan hari dalam istilah umum adalah 7 hari. Pekan dalam bahasa Jawa adalah (peken : pasar), sehingga satu pekan adalah 5 hari pasaran.
Pada masa Pra-Islam, orang Jawa mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, namun dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama :
  1. pañcawara (pancawara),

Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, namun di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih dipakai.
Pekan dalam arti Pasar, terdiri atas lima hari ini terdiri dari hari-hari:
  1. Pon,
  2. Wage, dan
Penggabungan antara Siklus 5 hari pasaran dengan Siklus 7 hari kalender matahari yang berarti (5 x 7) = 35 hari, disebut Selapan , mis : Selasa Pon, Minggu Pahing, dls pasti akan ketemu setiap 35 hari kedepannya. Jika budaya barat merayakan hari lahir setiap tahun sekali, maka Masyarakat Jawa memperingati hari kelahiran setiap 35 hari sekali yang dirayakan dengan acara "bancakan" dengan membuat Jenang Merah Putih atau "Nasi Megono" mengundang teman-teman sebaya.
Kemudian istilah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang juga dikenal di budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30 pekan. Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka muncul siklus baru lagi. Siklus ini yang secara total berjumlah 210 hari adalah semua kemungkinannya hari dari pekan yang terdiri atas 7, 6 dan 5 hari berpapasan.

Referensi

  • Wikipedia, ensiklopedia bebas
  • Pigeaud, Th., 1938, Javaans-Nederlands Woordenboek. Groningen-Batavia: J.B. Wolters
  • Ricklefs, M.C., 1978, Modern Javanese historical tradition: a study of an original Kartasura chronicle and related materials. London: School of Oriental and African Studies, University of London

2 Okt 2010

Matinya Pasar Ngesengan & Prospek “Pasar Gangsan”

Pendahuluan
Ilustrasi Pasar Hewan Ngesengan tempo dulu
Pasar Ngesengan berasal dari kata Ng+Seng+an, kurang lebih artinya Pasar yang bangunan Los Pasar-nya atapnya tebuat dari logam "Seng". Pasar Ngesengan dibuat pada jaman Belanda sekitar tahun 1930-an untuk mengakomodasikan transaksi jual beli masyarakat di daerah Desa Sawangan dan sekitarnya. Jika memperhatikan cerita para pinisepuh yang mengalami kehidupan zaman Pemerintahan Belanda, hampir di setiap Desa di Kecamatan Sawangan Kab. Magelang sudah dibangun Pasar dengan hari pasar yang hari pasarannya sudah disusun berurut rolling dari pasar yang satu dengan pasar lainnya. Pasar-pasar yang dibuat sebelum kemerdekaan RI yang beroperasi maupun yang sudah tinggal nama, sbb :

  1. Pasar Bengan posisinya di Kantor Desa Mangunsari dengan hari pasar “Wage” (tinggal nama);

  2. Pasar Ngesengan (Gangsan) posisi pasar di komplek Puskesmas dan Perumahan Camat Kec. Sawangan dengan hari pasar “Pon” (tinggal nama);

  3. Pasar Bulu di perempatan Dusun Bulu, pada zaman Pemerintah Desa Pak Rito (Gelap) dipindah ke Bengkok pojok Dsn Bulu, dengan hari Pasar Paing, (masih beroperasi sampai sekarang);

  4. Pasar Ngangkruk di Ngangkruk- Gunung Kuli, Desa Podosoko, lokasi masih ada, sekarang sudah berubah fungsi bukan pasar transit pagi dini hari;

  5. Pasar Banyu Temumpang (Tumpang), Desa Krogowanan merupakan transit menuju Pasar Talun di Kec. Dukun (masih berfungsi sampai sekarang);

  6. Pasar Nglumut posisi di Gedung SD Krogowanan, khusus pasar hewan dengan hari pasar “Pon” (tinggal nama).
Pasar Ngesengan adalah pasar besar yang dibangun untuk perdagangan umum meliputi pasar hewan, sayuran, sandang dan barang-barang sekunder. Pasar ini cukup ramai setingkat dengan Pasar Talun dan Pasar Mungkid di Blabak. Petani yang memasarkan hasil bumi dan Tengkulak serta pedagang lainnya banyak yang datang dari luar Kecamatan, walaupun akses jalan dari jalan Provinsi Magelang-Blabak-Muntilan belum beraspal tetapi sudah cukup lebar dan sudah diperkeras.   Mobil angkutan barang dari Muntilan yang mengangkut barang-barang hasil bumi dari  Pasar menuju Muntilan sudah berjalan lancar. Pasar hewan (sapi, kerbau, kambing dan kuda) sudah berjalan dan pada umumnya untuk diperdagangkan ke Pasar-pasar yang lebih besar di Pasar Kota Muntilan, Magelang dan Yogyakarta. Petani mengangkut hasil dagangan dari daerah Tegalan Sawangan bagian Timur Laut menggunakan Kuda Beban (kuda poni). Pengelolaan Pasar sudah berjalan sebagaimana layaknya pasar besar.

Kaum Chinese juga sudah ada di lokasi pasar Ngesengan yang terkenal disebut Bah Urip, yang semula menempati Pasar Blabak pasca tragedi “massacre” di Kota-kota Jawa Tengah tahun 1950-an sebagai dampak kebijakan Pemerintah Pusat tentang Alokasi Wilayah Usaha bagi Kaum Chinese. Bah Urip dan keluarganya sempat diselamatkan dari tragedi berdarah oleh anggota keamanan dan migrasi dari Blabak ke Pasar Bengan, kemudian pindah dan menetap di dekat Pasar Ngesengan hingga meninggal. Terakhir anak keturunan bah Urip menempati rumah sekaligus Toko di dekat Pasar Ngesengan pada tahun 1990 dan sekarang anak cucunya tersebar di Muntilan dan Magelang. Rumah yang sekaligus dijadikan Warung Kelontong pun sekarang sudah tidak berbekas, berpindah tangan dan dibangun menjadi Toko Swalayan dan Ruko.

Sekelumit Kisah Senjakala Pasar Ngesengan

Menjelang kemerdekaan RI tahun 1945, Pasar Ngesengan pernah menjadai sasaran serangan tentara Belanda. Pasar Ngesengan adalah salah satu konsentrasi massa yang tidak luput dari sasaran Agresi Militer Belanda pra proklamasi kemerdekaan dan pasca kemerdekaan untuk merebut kembali kekuasaannya di RI pada tahun 1949. Sudah tidak diragukan lagi komitmen nasionalisme "Wong Sawangan". Sejak pecahnya Mataram oleh intervensi Belanda menjelang Perjanjian Giyanti  pada hingga Perang Diponegoro, laskar pejuang kemerdekaan anak-anak muda Gangsan pun tidak tinggal diam dengan adanya agresi Belanda sampai ke kampung-kampung.
Pada suatu ketika ada seorang tentara Belanda memasuki daerah sekitar Pasar melakukan patroli terbunuh oleh Laskar yang notabene adalah anak-anak muda Gangsan. Mungkin kematian tentara Belanda ini tidak terdengar sampai ke Pemerintah Kabupaten waktu itu, sehingga tidak menjadi catatan sejarah. Identitas tentara Belanda yang terbunuh pun tidak diketahui. Jenazahnya dikubur di belakang Pasar Ngesengan dan tidak diketahui oleh siapa pun. Posisi kuburan tepatnya di belakang Gedung Olah Raga di depan Kantor Polsek Kec. Sawangan. Hingga sekarang, lokasi kuburan sering dibersihkan oleh Warga terdekat. Sekali waktu warga di sekitar lokasi kuburan diperlihatkan penampakan tentara Belanda yang terbunuh tersebut.

Cerita Perjuangan Laskar anak-anak muda Gangsan tersebut diatas adalah penyebab utama berangsur-angsur melorotnya wibawa dan karakter Pasar Ngesengan. Mulai saat itu Pasar yang semula dipadati pedagang dan pembeli berangsur-angsur meninggalkan arena transaksi mereka di pasar tsb.


Ilustrasi Pedagang Bumbu Dapur 
Pasar Ngesengan Tempo Dulu


Tahun 1971 saya masih duduk di bangku Kelas 6 SD masih terlihat 2 Los Pasar di sebelah selatan jalan yang kemudian dirubah menjadi Ruang Kelas SD Sawangan II dan 2 Los Pasar lagi di sebelah selatan jalan dirubah menjadi Gudang Garam dan Klinik Kesehatan yang ditunggu oleh Manteri Kesehatan (Bapak Dulhamid) dan Asisten Manteri  (Ramidi) serta banguan bekas loading hewan-hewan yang akan dinaikkan/diturunkan di sebelah timur lokasi pasar yang sekarang dilaihfungsikan menjadi Badan Kredit Kecamatan (BKK). Dua (2) Los Pasar di sebelah utara jalan masih ramai berfungsi sebagai layaknya pasar. Penjual bumbu dapur dan jajan pasar terbesar adalah Mbah Rus Bengan, Mbah Seni Gangsan, Mbah Urip Gangsan dan Bu Hadi, Bu Ajun membuat warung di sebelah barat dan utara diluar pasar. Bah Urip/Nyah Bunder berjualan lengkap barang-barang kelontong.

Versi lain awal mulanya kemerosotan Pasar Ngesengan adalah cerita mistik, bahwa Pada awal berdirinya pasar, ada "pamali"  tidak diperkenankan areal pasar digunakan untuk hal-hal yang berbau "porno". Suatu saat  pamali dilanggar, yaitu pasar hewan yang juga tempat menambatkan kuda-kuda pengangkut barang hasil bumi dari daerah tegalan digunakan untuk mengawinkan kuda. Acara mengawinkan kuda ini sempat menyedot perhatian bagi pengunjung pasar. 
Namun, terlepas dari cerita kepercayaan mistis dan pamali tersebut datas, pada kenyataannya Pasar Ngesengan tidak terdukung oleh faktor-faktor penunjang selayaknya lokasi transaksi dari penjual dan pembeli, yang akhirnya ditinggalkan oleh para peminat.



Terakhir tutupnya Pasar Ngesengan adalah tahun 1972, Pemerintah Kabupaten Magelang membangun mulai fasilitas Perumahan Camat dengan menggusur 2 (dua) Los Pasar di sebelah utara jalan dan pembangunan Puskesmas serta Perumahan Danramil dengan menggusur 2 (dua) Los Pasar di sebelah selatan jalan. TAMATLAH RIWAYAT PASAR NGESENGAN.
Penduduk di sekitar lokasi pasar yang menggantungkan hidupnya dari berjualan sayur mayur pada saat itu tidak tahu alasan Pemerintah Kabupaten menggusur Pasar tanpa pengganti lokasi pasar. Bisa jadi karena anggaran pembangunan pada awal PELITA-I, untuk Perumahan Camat, Danramil dan Puskesmas, sementara lokasi pembangunan belum ditentukan atau tidak dialokasikan anggaran untuk pembebasan tanah. Lahan yang mudah dan gratis dari biaya pembebasan adalah pasar, jadilah pembangunan di situ. Ini perkiraan saya sesuai pengalamannya menjadi Pemimpin Proyek APBN untuk penghijauan dan reboisasi di Sulsel tahun 1991.

Masa kesepian dari transaksi di pasar berlanjut selama kurang lebih 20 tahun hingga tahun 1993/1994 dengan penbangunan Pasar oleh Pemerintah Kabupaten yang terletak di sebelah utara Dusun Gangsan, sekitar 600 M di sebelah utara pasar Ngesengan.

Dapatkah Karakter Pasar Ditentukan Tanpa Upaya?
Ada keyakinan masyarakat setempat khususnya orang-orang tua, jika akan membangun pasar yang nantinya akan memakmurkan warga di sekitarnya maka harus bisa mencuri “lincak” bangku kecil yang terbuat dari bambu untuk tempat dasar orang jualan dari Pasar yang sudha Ramai, terserah dari pasar mana tidak ada prasyarat. Ganjil bin aneh dan tidak bisa dinalar maksudnya. Salah-salah jika ketahuan yang punya si pencuri lincak jadi bulan-bulanan massa, badan babak belur. Jelas persyaratan tersebut tidak akan dilakukan oleh warga di sekitar Lokasi Pasar Sawangan ini pada saat menjelang peresmian pasar oleh Bupati.
Ada pendapat lain, bahwa keberadaan Pasar adalah wahyu, maksudnya pasar tidak perlu ditentukan koordinat posisinya atau dibangun permanen, orang akan datang dengan sendirinya jika lokasi memang membawa rizki untuk transaksi jual beli. Contohnya pasar Tumpang dan Nglumut biarpun tidak dibangun permanen dengan anggaran Pemerintah, toh sudah masyarakat menjadikan lokasi tersebut sebagai pasar.   
Karakter pasar yang menurut rencana akan dijadikan Pasar Transit dengan fasilitas Kios dan Los Pasar, berangsur-angsur melorot.
Fakta menunjukkan bahwa pola perdagangan di pasar ini bahwa barang-barang dagangan yang ditawarkan kepada pembeli tidak disuplai dari hasil produksi warga sekitar. Tengkulak dari luar daerah tidak ada yang datang karena tidak ada komoditas yang diperdagangkan secara spesifik. Lihat, yang bertahan dan sukses adalah beberapa orang saja yang benar-benar mereka adalah pedagang tulen dari sejak usia anak-anak.


  • Yu Yati  memasarkan barang-barang konsumsi dapur yang dibeli dari Pasar Muntilan, bukan hasil produksi warga sekitar

  • Yu Mur memasarkan tahu, tempe dan barang-barang kebutuhan dapur yang dibeli dari luar warga sekitar;

  • Lik Ti / Lik Man melayani jasa parut kelapa, minyak tanah dan  barang-barang kelontong kebutuhan sehar-hari. 

  • Beberapa pedagang lain dengan barang dagangan kebutuhan dapur. 

  •    

    Pembeli barang-barang kebutuhan dapur didominasi oleh Ibu-ibu Karyawan Pemerintah setempat yang tidak sempat pergi ke sawah atau ibu-ibu yang lain dengan kesibukan yang tinggi.   

    Othak-athik Mathuk
    Jika masyarakat tedahulu berfikiran demikian, maka bagi masyarakat modern harus mengambil makna arti dari mencuri lincak dimaksud. Kira-kira kalau diothak-athik makna pencurian adalah tindakan mengambil sesuatu secara tidak sah atau tidak diketahui pemiliknya. Dalam hal ini mencuri ilmu dari pasar tetangga yang sudah ramai dikunjungi masyarakat bermakna mencuri sesuatu yang sudah dikerjakan oleh pasar tetangga untuk diterapkan di pasar yang baru. Apa yang dikerjakan oleh pasar tetangga harus bisa dilakukan di pasar yang baru, dilihat dari aspek managerialnya, adat-istiadatnya, pengelolaan fasilitasnya, dan lain sebagainya. Apakah penerapan ilmu per-pasar-an di Talun, Tumpang, atau Bulu sudah diterapkan di Pasar Gangsan? Jawabannya “Pasar Ngesengan tidak bisa mencuri menajemen dari pasar tetangga”. Yang ada adalah pengunjung semakin lama semakin sepi dan semakin sepi. Tentunya ada yang salah.

    Dimana Letak Salah Urusnya?
    Target prinsip adalah minimalisasi kendala dan memperkuat peluang.
    Menurut pengamatan saya dari jauh, kendalanya a.l

    • Kelengkapan fasilitas pasar, tidak dipagar sehingga keamanan barang yang disimpan oleh pedagang di Los Pasar atau Tuko tidak terjamin;

    • Manajemen Pasar tidak mengikuti perkembangan lingkungan pedagang dan petani khususnya ketersediaan fasilitas pendukung permodalan, mis : Bank Perkreditan atau lembaga serupa yang dibangun di Pasar.

    • Penghuni pasar bukan pedagang tulen. Sampai kapan pun jika penghuninya adalah sekedar orang punya duit yang bisa beli dagangan tetapi tidak bisa memasarkan, maka selamanya akan tidak berkembang.

    • Tidak mempunyai komoditas “Unggulan” yang menjadi daya tarik bagi tengkulak atau pembeli dari luar daerah Sawangan untuk datang ke Pasar. Komoditas tidak harus berupa barang hasil bumi, jasa dan produk handcraft tidak tersentuh sama sekali.

    • Tidak ada jaminan keamanan. Psikologis massa tidak merasa ada dalam keamanan dan kenyamanan dalam bertransaksi selayaknya pasar sebagai fasilitas transaksi. Maksudnya, sudah terlalu banyak dan meresahkan baik kalangan pedagang maupun pembeli yang “opyak” sering kehilangan uang tanpa adanya transaksi. Hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada bimbingan antisipasi dan solusinya. Awam yang menduga karena perbuatan “Thuyul” dls yang tidak masuk akal. Kalau memang benar, kenapa masih ada yang mampu berdagang hingga sekarang? Ada sesuatu yang salah pada sistem kemasyarakatannya barangkali atau daya pikir ybs. Masalah ini berlarut-larut tanpa ada solusi campurtangan Tokoh Masyarakat dan Aparat Keamanan dalam penyelesaian kasus ini....!!!  

    • Tidak ada yang bertanggungjawab terhadap maju dan mundurnya kemakmuran warga di sekitar Pasar atau Kemakmuran Pasar.

    Mampukah Mengatasi Kendala?
    Jika dilihat kendala tersebut diatas, fenomena yang sedang berjalan di masyarakat setempat adalah mereka tidak mau disibukkan dengan urusan orang banyak, tidak mau menambah pekerjaan yang tidak membawa keuntungan bagi dirinya. Dengan kata lain, rasa kegotongroyongan sudah pudar.  "APATIS" terhadap lingkungan sudah menggejala. Menurut pemikiran saya perlu dikaji lagi wacana dibawah.

    • Untuk meminimalisasi Kendala agar point-point tsb diatas diperhatikan, walaupun perlu waktu, tenaga dana yang tidak sedikit. Semua harus ikut bertangungjawab mencari jalan keluarnya secara bertahap.

    • Utamakan prioritas penanganan mulai yang berat sampai yang paling ringan. Misalnya, kalau yang terberat adalah keamanan, semua warga harus sepakat berperang melawan "ketidakstabilan". Tariklah kasus mistik menjadi kasus kriminal, sehingga Polisi pun nantinya bisa menyeret si pemilik thuyul dengan bukti-bukti yang kuat.

    • Berikan insentif bagi pedagang-pedagang, pelaku usaha tulen ke Pasar. Saya yakin pasar akan maju. Bisa dicoba mengundang Chinese satu orang saja (jangan banyak-banyak) nanti pedagang lokal kalah bersaing dan terdesak, justru akan menimbulkan masalah baru.

    • Beri kesempatan usaha bagi Pedagang Tulen dengan permodalan yang cukup.

    • Tolak para petualang masuk pasar, oknum seperti ini hanya akan memanfaatkan keuntungan semata, kios pasar dijadikan barang dagangan untuk dijual kembali kepada orang lain.
    • Hal khusus yang mengkhawatirkan dan masuk kategori "kondisi miskin secara struktural" adalah karena produktifitas warga yang rendah untuk melakukan upaya produksi yang berdampak pada daya beli masyarakat yang rendah.  Hal ini memerlukan pengentasan yang memerlukan penanganan berkelanjutan dengan dana yang cukup besar. 
    • Harus ada yang berdiri di depan "mandegani" untuk duduk bersama diantara semua pihak yang terlibat dengan kehidupan pasar dalam rangka mengidentifikasi masalah, mengorganisasikan pelaku pasar, merencanakan kegiatan, melangkah mencari solusi dan mengevaluasi kembali yang sudah dikerjakan.

    Demikian, sekedar tulisan kenangan dan wawasan, semoga bermanfaat.
    Oktober, 2010.

    Referensi :
    • Penuturan Pinisepuh Dsn Gangsan sebagai Pelaku Sejarah Berdirinya hingga tutupnya Pasar Ngesengan. 

    30 Sep 2010

    Pasar Ngangkruk & Gunung Kuli






    Pasar Dasaran, barang dagangan ditaruh terhampar
    Pasar Ngangkruk, berarti Pasar yang "ngangkruk-angkruk" berarti pasar yang terletak di dataran yang lebih tinggi daripada dataran di sekitarnya. Posisinya persis di bagian barat kaki Bukit Kuli (baca : ngGunung Kuli) di Desa Podosoko, Kec. Sawangan - Kab. Magelang - Jawa Tengah. Di sekitarnya memang datarannya terlihat lebih rendah. Lokasi Pasar di perempatan dari arah Tampir Kec. Candimulyo menuju Soronalan Kec. Sawangan dan arah Pager Kec. Candimulyo menuju Jambon Kec. Sawangan.

     Pasar ini tidak seperti pasar pada umumnya. Pada tahun 1970-an saya masih ingat, bahwa Pasar Nangkruk hanya berupa perempatan jalan yang mirip pelataran sekitar 0,5 Ha yang dibatasi dengan bangunan 2 warung sederhana.  Tidak ada bangunan Los Pasar, pagar, atau bangunan fasilitas sebagaimana Pasar pada umumnya. Masyarakat datang ke pasar hanya secara naluri bahwa lokasi tersebut adalah tempat transaksi jual beli bahan kebutuhan sehari-hari. Jenis transaksi didominasi oleh penjualan hasil bumi kepada tengkulak (bakul) yang akan memasarkan barang pembeliannya ke Pasar yang lebih besar di sekitarnya. Uniknya, Pasar ini mulai ramai pada jam 01.00 wib dan puncak keramaian pada jam 04.00 wib. Setelah jam 04.00 sedikit demi sedikit pengunjung yang sebagian besar adalah Pedagang/Bakul transit mulai meninggalkan lokasi Pasar dan pergi menuju Pasar Transit yang lebih besar di sekitarnya, seperti Pasar Bulu di bagian barat Desa Podosoko, pasar Ngesengan (Gangsan), Pasar Banyu Temumpang (Desa Krogowanan) dan Pasar Talun di Kec. Dukun. Jam 06.00 wib Pasar sudah kembali kosong melompong. Istilah populernya "Pasar Krempyeng".
    Kirab Gunungan

    Pasar Transit di Tlatar, 12 Km dari Psr Ngangkruk
    Menurut cerita Mbah Ali putri (Mbah saya dari Dsn. Gelap), pada jaman Belanda Pasar Ngangkruk menjadi pusat perhatian bagi tentara Belanda, karena menjadi lokasi berkumpulnya pedagang transit, sekaligus tempat pengungsian bagi Penduduk yang bermukim di sekitar Gunung Kuli jika suatu saat Belanda melancarkan agresi militer dengan menembakkan meriam dari Alun-alun Magelang yang jaraknya ± 10 Km. Penduduk sekitar Gunung Kuli mempercayai, kalau Gunung Kuli adalah tempat keramat, merupakan "paku bumi" dan umurnya lebih tua daripada G. Merapi dan G. Merbabu. Masyarakat (pada waktu itu) mempercayai bahwa G. Kuli juga dipercaya mempunyai hubungan dengan kekuasaan Nyi Roro Kidul yang kadang-kadang bertandang dari Laut Selatan menuju G. Kuli. Kuatnya kepercayaan itu, warga sekitar memanfaatkan lokasi G. Kuli sebagai tempat pengungsian pada saat diserbu tentara Belanda.

    Cerita lain sekitar hiruk pikuk keramaian Pasar Ngangkruk pada jaman Belanda melancarkan serangan pada malam hari pas ramai-ramianya orang di pasar menyusuri jalan rintisan dari Magelang menuju Desa-desa Kec. Candimulyo melintas ke arah selatan menuju Kec. Sawangan, maka penduduk di pasar lari tunggang langgang, sampai banyak pedagang bubur dan makanan terinjak-injak kualinya karena semua orang tidak begitu jelas pandangan pad malam hari dan penerangan hanya menggunakan "oncor" atau pelita bambu.

    Festival Gunungan, Podo Ds Podosoko, Agustus 2017
    Sekarang tahun 2010, selama 40 tahun sejak saya lihat pertama kali, kondisi pasar Pasar Ngangkruk belum banyak berubah baik fisik lokasi Pasar maupun fasilitas selayaknya Pasar. Perempatan jalan masih kurang lebih sama. Nama Pasar Ngangkruk masih melekat pada lokasi ini. Justru hiruk-pikuk penduduk sekitar untuk berdatangan ke pasar pada pagi dini hari sudah tidak nampak sama sekali. Jaringan akses jalan aspal antar Kecamatan (Candimulyo -  Sawangan) yang melewati Pasar Ngangkruk belum juga terwujud. Karakter Pasar sudah hilang. Penduduk sekitar lebih memilih memasarkan hasil bumi langsung ke Pasar Bulu dengan angkutan yang relatif murah ongkosnya yaitu sekitar Rp.5000,- sekali jalan. Kalau ke Pasar Talun atau Muntilan, maka hasil bumi yang dijual dengan jumlah terbatas, tidak akan menguntungkan para petani karena ongkos sudah mahal, sementara kenaikan harga pasaran hasil bumi yang berupa jagung, singkong, kelapa, daun pisang, sirih (inflasi nilai barang) tetap saja tidak bisa mengejar tingginya inflasi nilai rupiah.


    Akankah Pasar Ngangkruk hidup kembali?
    Mari kita belajar membaca fenomena yang terjadi di sekitar kita, untuk melihat prospek kedepan. Sekilas kita cermati tanpa menggunakan data-data hasil analisis qoestionair.
    Kondisi Pasar menunjukkan identitas masyarakat di sekitarnya. Bisa kita lihat, barang-barang yang diperdagangkan, tindak-tanduk pedagang dan peristiwa keseharian yang menyertai pasar,  itulah karakter dan kemakmuran masyarakat termasuk di dalamnya kondisi kesuburan tanah di sekitarnya.  Kita perhatikan, barang dagangan pasar yang terlihat di pasar Soko, Talun, Bulu, sungguh suatu karakter barang dagangan (hasil bumi) yang sudah dimasuki teknologi. Sayur mayur yang hijau kehitaman, ranum, beraneka rupa dan jenis serta dalam jumlah melimpah, itulah karakter masyarakat sekitarnya yang rajin bekerja, tanah subur, gethol menerima masukan teknologi dan pekerja yang tahan banting terhadap gejolak pasar secara luas bertaraf nasional. 
    Kebalikan karakter pasar di Tampir Wetan dan Klirip Kec. Candimulyo, barang dagangan yang terlihat di pasar adalah barang peralatan dari kota seperti bahan pangan awetan. Hasil bumi kurang segar, hijau agak kekuningan, tetapi singkongnya kekar-kekar, hiruk-pikuk agak kurang. Hal ini menunjukkan karakter masyarakat taninya secara umum menempati tanah yang kurang subur, kurang masukan teknologi atau permodalannya terkendala, sehingga hasil bumi yang diperdagangkan didominasi oleh barang-barang yang kurang diminati oleh masyarakat dari luar daerah. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk alih profesi dari petani menjadi peternak atau profesi non bahan pangan. Kondisi paling ekstrim, jika hasil pertanian sudah tidak mendukung kehidupannya bahkan cenderung untuk migrasi atau urbanisasi. 
    Contoh lain dengan karakter yang berbeda, Pasar Ngrajek didominasi dengan ikan dengan segala bentuk dan jenis yang diperjual belikan. Dominasi barang dagangannya adalah ikan-ikan yang terlihat gemuk-gemuk, bermacam-macam obat dan makanan ikan dipasarkan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masyarakat di sekitranya menampati tanah-tanah dengan aliran air sepanjang masa, masyarakat yang mudah menerima masukan teknologi perikanan. Perikanan sudah membudaya di kalangan masyarakkat pada umumnya. Wergul berkepala hitam (pencuri ikan) pun bisa dikatakan sangat minimal terjadi. Kemakmuran masyarakat tani perikanan cenderung lebih cepat maju baik secara materi maupun tingkat pengetahuannya dibandingkan dengan masyarakat tani bahan pangan, disebabkan siklus panen dan jenis kegiatan di bidang perikanan lebih gesit dan lebih cepat dibandingkan pertanian bahan pangan. Masih banyak lagi karakter-karakter pasar yang menunjukkan karakter masyarakat di sekitarnya.
    Prospek Pasar Ngangkruk.
    Pasar Ngangkruk bisa menjadi pusat perdagangan di kawasan Gunung Kuli dan sekitarnya, jika dikelola secara profesional dan masayrakat memiliki produk unggulan yang berbeda dengan kawasan lain dan dikembangkan secara luas, dibimbing secara khusus oleh Tenaga Ahli yang profesional di bidangnya.
    Contoh : Katakanlah Telo Piji yang terkenal "mempur" bisa menjadi "ikon" magnet daya tarik bagi pedagang dan masyarakat dari luar untuk berduyun-duyun datang ke Ngangkruk, jika dikelola secara profesional. Apa sih bedanya telo pendem "Cilembu" dengan "Telo Nyonya Kunir" yang bisa menembus super market? Karena Cilembu dikembangkan secara besar-besaran, walaupun tidak dari kampung Cilembu.
    Kalau Pemerintah Desa/Kecamatan ingin daerahnya terkenal dan banyak devisa masuk ke Ngangkruk, bisa dicoba mengirim tenaga berpendidikan ke sentra-sentra produk pertanian terkenal khusus dari dataran tinggi seperti karalter tanah di sekitar Gunung Kuli. Introduksi tanaman baru pun bisa dijajagi dengan mempelajari dan mengirim tenaga magang di lokasi-lokasi yang memproduksi hasil bumi terkenal, mis : anggur, jeruk, dll. Jalan masih terbentang luas untuk mendulang devisa dari luar daerah demi kemakmuran rakyat di sekitar Gunung Kuli.
    Terbukanya jalur pariwisata "Solo-Selo-Borobudur" dengan ikon Ketep Pass adalah peluang yang sangat-sangat besar untuk meningkatkan produktifitas masyarakat melalui pemasaran hasil produk unggulan.  

    Kepala Desa Podosoko Edi Susilo dan Cita-citanya
    Kepala Desa Edi Susilo punya cita-cita ingin memajukan desanya dengan mencanangkan Desa Wisata, Budaya dan  Centra Peternakan. Pada tahun 2017 Edi Susilo memulai memunculkan identitas budaya yang sudah lama tersimpan yaitu Festival Gunung Kuli dengan icon "Supit Manggar" atau memotong malai bunga kelapa untuk ditoreh (deres) sebagai rasa sukur masyarakat semoga malai bunga kelapa akan mengeluarkan "nira" yang melimpah sehingga produksi gula kelapa di daerah Gunung Kuli dan sekitarnya melimpah atas ijin Tuhan Sang Penguasa Jagad Raya.

    Festival Supit Manggar diramaikan dengan Festival Gunungan Hasil Bumi untuk diperebutkan oleh masyarakat yang hadir sebagai ungkapan rasa sukur atas panen hasil bumi di daerah tersebut. Festival pun dihadiri oleh penampilan Seni Tradisional dari beberapa daerah sekitarnya a.l Jathilan Campur, Topeng Ireng.

    Potensi Devisa yang Belum Tergali


    Tegalan dengan pola tumpangsari Sengon - Palawija
    Ada beberapa potensi wisata yang perlu dipelajari lebih dalam untuk meningkatkan produktifitas masyarakat dalam rangka mendongkrak devisa desa seperti halnya : 
    1. Wisata Religi di sekitar petilasan Kyai Dipokusumo puncak Bukit Gunung Kuli. Wisata ini bisa dikembangkan kearah yang lebih profesional yang dikaitkan dengan usaha penginapan, pemasaran cenderamata, dll.
    2. Wisata Lingkungan dengan mengembangkan "Agroforestry" hutan pertanian. Wisatawan bisa disuguhi cara menanam pohon Sengon, memanen hasil kayu Sengon dan hasil ikutan seperti jahe, kapulaga, laos, dll.
    3.  Wisata Olahraga dengan mengembangkan penderes nira "badeg" menjadi kegiatan tambahan sebagai olahraga panjat kelapa atau "out bond" dengan dilengkapi sarana kelengkapan keselamatan memanjat. Kegiatan ini bisa dikaitkan dengan mensosialisasikan "budaya minum badeg" dan makanan "sego jagung" menjelang kegiatan dimulai.
    4. Wisata Kuliner. 
    • Masyarakat Bukit Gunung Kuli menyimpan budaya kuliner yang unik dan tidak ada di daerah lain. Hal ini terkait dengan industri "tempe benguk" yang sekarang sudah tidak pernah dikerjakan masyarakat, misalnya : "Sego Jagung dengan lauk Tempe Benguk", tentunya kuliner ini citarasanya perlu di-upgrade dengan campuran bahan-bahan yang lebih menarik dan bumbu yang lebih terasa, agar wisatawan lebih tertarik baik dari sisi warna, rasa dan penampilannya.  
    • Masih banyak jenis kuliner yang bisa diangkat, misalnya budaya makan sirih. Dalam hal ini bukan makan sirihnya tetapi memperkenalkan khasiat sirih yang sangat bermanfaat bagi kesehaan gigi dan gangguan kesehatan lambung. Daun sirih diekstrak dijadikan semacam kapsul atau minuman atau daun sirih goreng. Jika budaya mengkonsumsi sudah memasyarakat, maka penanaman sirih masyarakat pun akan membantu peningkatan pendapatan warga Podosoko. 
    • Singkong Piji sudah terkenal sampai keluar daerah bisa diperkenalkan kepada wisatawan betapa lezat "mempur"nya "Singkong Piji". Aneka jenis olahan singkong pun akan berkembang dengan sendirinya.  
    Bagaimana agar Industri Wisata Segera Terwujud dan Menghasilkan :
    1. Infrastrukur jalan untuk mengakses Kawasan Gunung Kuli harus bagus, layak dilalui kendaraan roda 2 dan roda 4 baik dari arah Selatan (Sawangan dan sekitarnya), Barat (Blabak, Tampir, Magelang), Utara (Candimulyo) dan dari arah Timur (Gerdu, Ketep, Soronalan)
    2. Penataan kembali Lokasi-lokasi tujuan wisata dan lokasi atraksi wisata dengan mengedepankan estetika (keindahan) dan kenyamanan wisatawan.
    3. Penunjukan Desk Khusus (Komisi) di Tingkat Desa, Kecamatan dan Kabupaten yeng khusus mengembangkan Wisata Gunung Kuli.
    4. Masyarakat setempat harus dipersiapkan untuk mendukung berbagai atraksi wisata. Perlu dilatih Pembicara untuk keperluan pemandu wisata religi Puncak Gunung Kuli, acara ritual Nyadran, Grebeg Sunatan Manggar dan Nderes Badeg.
    5. Pelatihan kreatifitas pengolahan berbagai bahan makanan untuk penyediaan makanan tradisional sebagai bagian dari akomodasi wisatawan.
    6. Pelatihan kreatifitas seni buah tangan (oleh-oleh) yang bahan bakunya dari daerah setempat dan nuansa seninya khas daerah setempat, misalnya Slepen (dompet) tikar pandan, Topi tikar pandan, Boneka mini penari Ndolalak berbahan tanah liat atau kayu sengon, Boneka mini penderes Badeg, dls.
    7. Menggandeng Pengelola Kelompok Seni atraksi budaya (Topeng Ireng, Kubrosiswo, Jathilan, Reog, dll).
    8. Berkolaborasi (minta gendong) dengan Lokasi-lokasi Wisata yang sudah lebih dahulu berkembang, mis : Pengelola Ketep Pass, Blondo Elo Tubing, Dadar Tubing, Borobudur dan Festival Durian Candimulyo.  
    9. Berkolaborasi dengan Tempat-tempat penginapan terdekat (Magelang, Blabak, Muntilan, Borobudur) untuk melakukan promosi, mengingat lokasi Gunung Kuli belum terbangun penginapan sekelas "Home Stay".
    10. Pendanaan :
    • Industri Wisata tidak bisa tumbuh dengan sendirinya sesuai dengan yang diharapkan yang memberikan banyak pemasukan devisa Desa setempat dan menjadi peluang kerja dan peluang berusaha. Diperlukan dana yang cukup untuk sarana pendukung dan prekondisi keterampilan dan kesadaran masyarakat. Kontribusi masyarakatsetempat akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, manakala arus investasi Pemerintah Daerah mulai mengalir dan Wisatawan mulai berdatangan.
    • Diperlukan pendampingan Lembaga profesional yang secara tidak langsung mendanai Proyek Wisata Gunung Kuli dengan memanfaatkan Dana Desa dan Dana-dana lain dari Pemerintah Kabupaten/Provinsi/Pusat.

    Demikian sekilas konsep Pengembangan Wisata Gunung Kuli, semoga bermanfaat.

    Jakarta, September 2010 dan diupdate Juni 2018.