16 Mei 2011

Hutan Kemasyarakatan : "Hutan Lestari, Manusiawi walaupun Melupakan Efisiensi"

Hutan Kemasyarakatan atau sistem pengelolaan dengan melibatkan masyarakat sekitarnya populer dalam rangka program "hutan untuk kesejahteraan rakyat" seperti yang tertulis pada Uang Pecahan Logam Rp.1.000,- pada tahun 1990-an yang bergambar Simbol Ekosistem "Gunungan".


 

Hutan Harus Ada Untuk Mendukung Kehidupan 
Cow's Skidding (menyarad log jati, Cepu 2011)
Seramnya Hutan Lebat dengan segala makhluk hidup di dalamnya dalam pewayangan sering diucapkan oleh Ki Dalang "alas gung liwang liwung janmo moro janmo mati". Lantunan "suluk" Ki Dhalang masih bisa dirasakan semasa hutan belum terjamah. Pepohonan masih lebat dan cukup luas. Namun, di zaman modern ini tidak ada lagi kawasan hutan yang tidak dapat dijamah. Bahkan dengan hutan dengan kekayaan alam berupa kayu yang bernilai ekonomi tinggi, justru manusia telah menerobos ganasnya alam hutan dengan mesin gergaji, tractor, excavator, trailer truck dan alat berat lainnnya.



Tractor's skidding (menyarad log diameter 90 cm 
panjang 20 m tdk mungkin menggunakan sapi)   
Sejak dibukanya Investasi Modal Asing tahun 1970, alas gung liwang-liwung telah dan sedang dirubah oleh manusia menjadi uang, mampu menggerakkan ekonomi masyarakat, daerah setempat dan Negara. Hutan yang semula dirasakan angker banyak syetan, binatang liar dengan pohon-pohon besar nan horor menakutkan, telah ditaklukkan oleh para cruiser, hutan mulai kehilangan jati diri. Hutan lebat berubah menjadi lapangan semak belukar (hutan sekunder). Diakui bahwa secara finansial, devisa dari hasil hutan telah menduduki ranking kedua setelah minyak dan gas selama dua dekade tahun 1970 hingga 1990. Hanya beberapa unit perusahaan saja yang bersikukuh dapat mempertahankan kelestariannya melalui pendekatan "lestari produksi, lestari sosial dan lestari lingkungan".
Kebijakan Pemerintah dalam mengantisipasi degradasi (penurunan kualitas) hutan sudah berjibun tidak terhitung lagi bentuk dan jenis peraturan baik yang bersifat teknis bagi pelaksana di lapangan maupun yang bersifat kebijakan pengaturan bagi para Penguasa Daerah. Hutan harus tetap ada. Agar hutan tetap ada maka harus diatur dan dikelola.  Diakui atau tidak, bencana banjir dan tanah longsor akhir-akhir ini adalah karena biomassa sumberdaya hutan sudah menurun. Fasilitas infrastruktur rusak dan sia-sia tidak berfungsi akibat rusaknya sumberdaya hutan.

Upaya Pendekatan Sosial
Pemanfaatan Lahan sblm panen dg penanaman
Jagung oleh masyarakyat setempat  
Dalam pengelolaan hutan upaya pendekatan sosial untuk melestarikan keberadaan sumberdaya hutan disebut hutan kemasyarakatan atau Social Forestry.  Bagi pengelola hutan di Kalimantan, Sumatera dan Papua bentuk pengelolaan semacam ini masih terbatas pada keterlibatan masyarakat sebagai karyawan dalam operasional perusahaan yang padat modal. Sedangkan keterlibatan dalam pengelolaan kelestarian hutan secara mandiri masih sangat terbatas pada Koperasi transportasi angkutan rakit, pemungutan hasil hutan ikutan.



Loading Secara Manual, Peluang Kerja Nyata

Hutan kemasyarakatan pada Hutan Jati di  P. Jawa telah sangat maju dan terbukti mendukung upaya minimalisasi degradasi hutan. Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian keberadaan hutan sangat menyeluruh mulai dari penyiapan tenaga kerja pemeliharaan tanaman yang terhimpun magersaren, tumpangsari pemanfaatan lahan pra penebangan, penebangan, koperasi sarad & transport angkutan kayu gelondongan dari lokasi tebang ke Tempat Pengumpulan Kayu (TPK). Sifat pengelolaan hutan ini bercirikan : tradisional, murah meriah, terkoordinasikan, berpeluang kerja dan usaha relatif merata bisa dilakukan siapapun "labour oriented", bertipikal saling berinteraksi langsung antara hutan dan masyarakat (ada hutan ada rizki).

Loading Kayu Diameter Besar Perlu Alat Berat



Terlepas dari tipikal tersebut diatas secara keuangan pola pengelolaan ini tidak tepat bagi pengelolaan hutan yang masih memiliki potensi sumberdaya hutan (kayu) cukup tinggi karena sangat tidak efisien. Bisa dibayangkan, perlu tenaga kerja berapa ratus bahkan ribuan orang untuk mengangkat kayu gelondongan berdiameter 60 - 100 Cm panjang 25 M dari lokasi penebangan sampai di TPK. Pada prinsipnya pengelolaan hutan Padat Modal  harus menggunakan alat berat yang cukup, memanfaatkan tenaga profesional dalam permesinan, konstruksi jalan, mobilitas dan perencanaan yang tangguh untuk mengejar efisiensi pengelolaan hutan secara keseluruhan.  Kelestarian hutan dalam tipikal pola pengelolaan hutan ini sangat ditentukan oleh "commitment" penyelenggara manajemen.  Tingkat dan ukuran keberhasilan kelestarian pengelolaan hutan perlu difasilitasi dengan kebijakan tingkat makro berupa sertifikasi oleh Lembaga yang terakreditasi oleh Lembaga yg diakui  internasional dan manifestasi (pengejawantahan) pengaturan operasional di tingkat operasional lapangan.     


Hutan Bekas Tebangan thn 1990 Kembali Seperti
Semula Setelah 20 thn Tidak Terganggu Perambahan

Bilamana anda ingin melihat lebih jauh fasilitas kebijakan dalam upaya kelestarian hutan secara rinci bisa diakses melalui Guideline Forest Management Certification FSC atau Produk Peraturan Kementerian Kehutanan di www dot dephut dot go dot id.

Sekail lagi, komitmen manajemen, profesionalitas Tim dan kesunguhan adalah kunci keberhasilan. Kekhilafan dan kesalahan pasti terjadi dalam memperjuangkan keberadaan sertifikasi mulai dari hal yang sepele hingga yang sulit bahkan yang berakibat fatal sekalipun, namun semuanya menjadi pelajaran dalam menempuh keberhasilan lebih lanjut.   

Doa dari hutan belantara, Mei 2011
 

14 Mei 2011

Ekowisata dan Hobi Pecinta Alam



A. Ekowisata
Tourism Nature or ecotourism can be defined as tourism that consist in travelling to relatively undisturbed or uncontaminated natural areas with the specific objectives of studying, admiring, and enjoying the scenery and its wild plantas and animals, as well as any existing cultural manifestations (both past and present) found in the areas (Hector Ceballos-Lascurain, 1987). Kurang lebih artinya : Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ketempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini.
Rmh Pohon (Ecotourism Hutan Papua)

Ecotourism is responsible travel to natural areas which conserved the environment and improves the welfare of local people, (The International Ecotourism Society /TIES, 1990), kurang lebih artinya "Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahtraan penduduk setempat”.
Ekowisata sering disebut dengan ekoturisme, wisata ekologi, ecotoursism, eco-tourism, eco tourism, eco tour, eco-tour.
Definisi yang diberikan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan kegiatan wisata di alam terbuka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahtraan penduduk setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan pontensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus. Definisi di atas telah telah diterima luas oleh para pelaku ekowisata.
Pada prinsipnya Ekowisata merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan.
Adapun bentuk ekowisata dapat berupa wisata air (renang, menyelam, dll), wisata alam hutan (penjelajahan/ekspedisi, cross country kawasan hutan, dll), wisata sungai (arum jeram, ekspedisi biota air, dll), wisata pantai (ski air, penjelajahan kawasan mangrove, dll)

B. Pecinta Alam

Hiking Alam Pegunungan
Pecinta Alam adalah kegiatan untuk memeliharan kelestarian alam. Jenis kegiatan pecinta alam cenderung sebagai hobi, tidak sekedar jalan-jalan menikmati keindahan alam saja, tetapi lebih terdorong keinginan untuk menjalankan misi secara probadi maupun suatu lembaga tertentu.
Bentuk kegiatan pecinta alam dapat berupa : (1) Upaya rehabilitasi biodiversitas alam (penanaman bibit tanaman mangrove, penghijauan, reboisasi hutan, pelepasliaran binatang) (2) Menaklukkan tantangan alam (panjat tebing, pendakian gunung, survival) dan (3) Perjalanan memorial event yang tidak banyak resiko fisik (napak tilas perjalanan perang gerilya, hiking, dll)
Kesamaan dan Perbedaannya
Kesamaannya secara prinsip semua adalah kegiatan jalan-jalan menghibur diri, sambil melakukan kegiatan dengan sasaran pokok adalah sesuatu yang bermanfaat bagi kelestarian alam.
Perbedaannya, ekowisata hanya terjadi pada saat-saat tertentu dengan biaya ditanggung masing-masing wisatawan dan dilakukan secara bersama-sama dalam jumlah relatif banyak, sedangkan pecinta alam memakan waktu lebih lama dengan resiko fisik lebih berat, dilakukan oleh beberapa orang saja dan memakan dana tidak sedikit.
Ekowisata tidak memerlukan peralatan khusus, semua sudah disediakan oleh penyelenggara di areal wisata tinggal membayar sejumlah Pecinta alam memerlukan
Visi Ekowisata Indonesia adalah untuk menciptakan pengembangan pariwisata melalui penyelenggaraan yang mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya), melibatkan dan menguntungkan masyarakat setempat, serta menguntungkan secara komersial. Dengan visi ini Ekowisata memberikan peluang yang sangat besar, untuk mempromosikan pelestarian keaneka-ragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional, regional maupun lokal.
Sedangkan visi Pecinta alam adalah untuk menciptakan rasa kepedulian bagi individu atau kelompok dangan tanpa atau melibatkan individu atau kelompok lain guna mendukung pelestarian alam. Visi Pecinta alam tidak terlait dengan peluang usaha tetapi cenderung untuk memperkaya khasanah alam lingkungan bagi pelaku atau hobiis yang bersangkutan.
Fenomena Keterkaitan Kesejahteraan dan Pelestarian Lingkungan
Unsur kepudulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahtraan masyarakat setempat ditimbulkan oleh:
  1. Kekuatiran akan makin rusaknya lingkungan oleh pembangunan yang bersifat eksploatatif terhadap sumber daya alam.
  2. Asumsi bahwa pariwisata membutuhkan lingkungan yang baik dan sehat.
  3. Kelestarian lingkungan tidak mungkin dijaga tanpa partisipasi aktif masyarakat setempat.
  4. Partisipasi masyarakat lokal akan timbul jika mereka dapat memperoleh manfaat ekonomi dari lingkungan yang lestari.
  5. Kehadiran eko-wisatawan ke tempat-tempat yang masih asli dan alami itu memberikan peluang kerja dan berusaha bagi penduduk setempat untuk mendapatkan penghasilan alternatif (menjadi pemandu wisata, kuliner, membuka homestay, pondok ekowisata (ecolodge), warung dan usaha-usaha lain yang berkaitan dengan ekowisata, sehingga dapat meningkatkan kesejahtraan mereka atau meningkatkan kualitas hidpu penduduk lokal, baik secara materiil, spirituil, kulturil maupun intelektual.
Secara manajerial, pola pengelolaan Ekowisata bisa dengan berbagai macam pola, a.l (1) Capital Base yaitu mengandalkan kekuatan modal Pengusaha, (2) Cooperative Base yaitu pengelolaan oleh kelompok kegiatan tertentu dengan modal bersama (Koperasi angkutan wisata, Koperasi Jasa Pemandu Wisata, dll) dan (3) Community Base atau pengelolaan berbasis masyarakat atau komunitas (community-based ecotourism) yaitu usaha ekowisata yang dimiliki, dikelola dan diawasi oleh masyarakat setempat. Pokoknya seluruh kegiatan dirembug bersama, dilaksanakan bersama dan dievaluasi bersama untuk kepentingan bersama.
Pola yang terakhir ini mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Kayaknya hanya bisa dilaksanakan pada masyarakat yang sudah maju sehingga masing-masing berperan aktif dalam kegiatan pengembangan ekowisata dengan maksud hasil kegiatan ekowisata sebanyak mungkin dinikmati oleh masyarakat setempat. Wewenang keputusan ada pada Musyawarah, seperti halnya Pola Koperasi, tetapi penyakitnya masyarakat kita masih jauh dari kedisiplinan beradministrasi, mulai dari menulis kegiatan sampai pada membuat kwitansi dalam rangka meminimalisasikan rasa Adi Kuasa bagi yang kuat dan Tirani bagi yang lemah.
C. Kenyataan di Lapangan
Wisata atau pelancongan telah menjadi komoditas industri di Tanah Air dalam menangguk devisa baik dari dalam maupun dari manca negara. Oleh karenanya, wisata dalam bidang ekologi atau ekowisata menjadi bagian dari industri dengan objek ekosistem dengan melibatan masyarakat lokal sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem yang bersangkutan.
Sudah wajar jika upaya pelestarian alam di lapangan justru berbalik tidak mendukung kelestarian alam oleh karena keterbatasan yang dimiliki oleh Pengunjung atau bahkan oleh masyarakat lokal. Hal tersebut adalah perjalanan sejarah yang harus diakui untuk menjadi sumber informasi untuk memperbaikinya, misalnya eksploitasi tanaman, binatang dilindungi justru dijual kepada wisatawan di areal ekowisata. Contoh perusakan alam ringan lainnya, misalnya pecinta alam justru main corat-coret atau membuang kaleng/platik di tempat-tempat yang tidak semestinya, bahkan membuat api unggun tanpa terkendali yang dapat menyebabkan kebakaran lahan.
Jakarta, Mei 2011
Referensi Tulisan :
  1. Anonim, Ekowisata, (2011) Wikipedia;
  2. Anonim, 2010, Ekowisata, Kementerian Pariwisata, Jakarta;
  3. Anonim, The International Ecotourism Society /TIES, 1990
  4. Ceballos-Lascurain, 1987, Community Base Ecotourism.


Panjat Tebing, Penuh Tantangan


Arum Jeram, Perlu Adrenalin Kuat


Bantaran S. Gendol Pasca Erupsi Merapi,
Bisa Menjadi Objek Wisata Rehabilitasi Lahan


7 Mei 2011

Edisi Basa Jawa "Cangkriman"

Cangkriman, keroto boso saka "Nyancang Pikir kanggo mbudidaya kasampurnaning keimanan", ananging keroto boso ing nduwur koyo kayane kurang pas, maksude apa gegandengane antarane nyancang pikir karo keimanan?  

Para winasis ing babagan Basa Jawa mratelaake yen cangkriman iku kalebu ewone dolanan sing migunaake basa utawa permainan bahasa, utawa language games (Mas Sudjarwo. 2009). Senajan sifate mung dolanan, cangkriman iku uga bisa dadi sarana kanggo ngasah pikiran. Ing basa Inggeris cangkriman kasebut Puzzle Game. 

Cangkriman ing basa Indonesia disebut ”teka-teki” iku pitakonan kang kudu dibedhe utawa dibatang. Biasane bocah-bocah cilik nalika padha gegojegan ana ing plataran utawa nalika kumpul dadi siji ana ing sawah pangonan, ngiras-ngirus ngisi wektu  bocah-bocah padha  cangkriman, utawa bedhekan.  Sedulur sing bisa mbedhe bener terus ganti pitakon utawa nyangkrimi kancane. Kaya mangkono sateruse, nganti wektu entek lan padha mulih menyang omahe dhewe-dhewe.  Yen panjenengan asring nonton wayang kulit, Ki Dhalang nalika mbubut gagang wayang punakawan, Ki Dhalang kadhangkala migunaake cangkriman kanggo ngregengake swasana pagelaran "goro-goro" ing tengah wengi.  

 Jinise Cangkriman utawa Bedhean kayadene :

  1. Cangkriman Sederhana (persaja) iku arupa rerangkening tembung sing mung dijupuk wandane kang pungkasan. Upamane ”ruk ndul thuk ndo thul ndal ndul”, batangane: jeruk gemandul dithuthuk bendo puthul gondhal gandhul; ”segara mbeldes”, batangane: sega pera sambele pedes, lan liya liyane.
  2. Cangkriman Empirical utawa ngemper-emper barang sunyatane. Dhasare yaiku anane emper-emperan antaraning sing dienggo cangkriman karo barang sunyatane, upamane: ”Pitik walik saba kebon", Batangane: nanas. ”Yen turu pada jejer matumpuk-tumpuk, yen makaryo nabrak-nabrak tembok terus metu genine” Batangane : batang korek api. Cangkriman emper-emperan iku ana sing luwih angel, upamane: Anake diidak-idak, babone dielus-elus, apa? Batangane: andha.
  3. Gabungan wanda pungkasan lan tembung-tembung liyane, upamane: "manuk ndhase telu" Batangane: manuk endhase dibuntel wulu. Cangkriman liyane: "Biru bisane wungu dikapakake? Batangane: Digebug. Babi turu supaya tangi (wungu) ya digebug.
  4. Awujud wangsalan, geguritan, parikan utawa puisi sing rinonce dadi Tembang Mocopat  ”Pocung”, tuladha :  Bapak pocung/dudu watu dudu gunung/sangkane ing Plembang/ngon-ingone Sang Bupati/yen lumaku Si Pocung lambeyan grana // Batangane: gajah
  5. Cangkriman gagrak anyaran arupa plesedan, ngemu karep ngganti salah sawijining wanda utawa ater-ater saka tembung asline, upamane : "Uwoh apa sing menganggo ater-ater "ka"? Batangane : kacang, kambutan, kangga, lsp. Tuladha liyane : "Sapi apa sing bisa menek tembok"? Batangane : sapiderman, karepe mono spiderman.  
Mas Sudjarwo mratelaake yen ing kasusastran Jawa, cangkriman uga ana sing diarani wangsalan sing batangane awujud wanda utawa tembung kang disusulake ing tembung-tembung candhake, upamane,  "anjanur gunung" janur gunung yaiku aren, maksude : kadingaren, "witing pari" yaiku damen, maksude : dimen, "mbalung janur", yaiku sada, maksude : usada, "lur agung ing tengah wana", maksude : ula sawa. lsp. Wangsalan dianggo ing bebrayan sadina-dina, upamane : ”kok njanur gunung ta ora nate ameng-ameng mrene", mengku karep : janur gunung iku aren, tegese "kadingaren”.


  • Aku kurang sarujuk yen Wangsalan uga kasebut cangkriman, amarga ukara wangsalan iku luwih cedhak istilah "sanepa" utawa "paribasan" yaiku kalimat sing fungsine ngalusake tembung lan kaendahaning ukara. Maksude, mengku karep yen inti kalimat utawa rerengganing tembung bisa dimangerteni sawise kabeh tembung sawijining ukara wis rampung diucapake tanpa ana liyan sing rumangsa tersinggung, tuladhane : "ngebun-ebun enjang anjejawah sonten", mengku karep : ebun ejang ya katon lamar-lamar, jawah sonten ya katon lamar-lamar. Tegese : arep nglamar. 
  • Ana maneh jinising ukara sing luwih njlimet yaiku sing diarani "Sengkalan". Lan sengkalan ana pirang-pirang perkara, ing anatrane sengkalan memet, yaiku sawijining ukara kanggo mreteni titi mangsa kawigaten agung. Candrasangkala utawa Sengkalan kuwi cara nulis taun sing disandhi nganggo ukara. Panulisan titi mangsa iki asring kagunakaké ing Sastra Jawa Kuna lan Tengahan. Cara macané kanthi diwalik. Tuladha : Sirna ilang kÄ›rtaning bumi, yen diterjemahaké dadi angka 0, 0, 4, 1. Diwalik banjur dadi 1400.
  • Tembung “sengkalan”, asalé saka tembung “saka” lan “kala”. Saka utawa çaka iku jenengé bangsa Indhu, kala utawa kala ateges wektu Mungguh kang dikarepaké “sengkalan”, yaiku unèn-unèn sing nduwèni teges angkaning taun. Ing jaman biyèn sing kanggo pétungan ing Tanah Jawa iku taun Saka. Nanging saiki ana sing migunakaké taun rembulan utawa taun candra, yaiku pétungan sing sasiné manut lakuning rembulan, diarani: “Candrasengkala”. Sengkala kang adhedhasar taun srengéngé, banjur diarani: “Suryasengkala
Tirta sarining klapa, cekap semanten atur kawula, kirang langkungipun nyuwun gunging samodra pangaksami.


Rahayu ingkang pinanggih.

Jakarta, Mei 2011Sumber Bacaan :
1. Wikipedia, 2011, Cangkriman Bahasa Jawa
2. Aloysius Indratmo, Yohanes Suwanto, 2007, Cangkriman Dalam Bahasa Jawa,  Suatu Kajian Pragmatik , Fak Seni Rupa UNS, Solo
3. Soedjarwo,September 2009, Kejawen, CyberNews Suara Merdeka,


19 Apr 2011

Beberapa Kasus Lingkungan Sosial yang Kurang Mendidik

Lingkungan sosial adalah tempat dimana kita berinteraksi dengan seseorang, dengan masyarakat dari segala bentuk dan pola hidup, tingkatan sosial serta adat budaya yang dimiliki oleh masing-masing personal dan kelompok masyarakat.

Diibaratkan ikan lele yang hidup di lingkungan air keruh , dia tidak akan khawatir hanyut pada saat air banjir yang airnya keruh karena tercampur lumpur, karena ikan lele mengganggap air keruh adalah habitatnya. 

Tidak dirasakan bahwa lingkungan kita telah mengajarkan budi pekerti yang tingkat kebenarannya relatif. Dari sekian banyaknya lingkungan yang mendidik sangat bagus, tetapi ada pula yang tidak mendidik baik secara individual maupun kolektif dalam bermasyarakat. Oleh karena dilaksanakan dan dirasakan setiap hari maka tidak terasa bahwa yang dilakoni serta dialami setiap hari, maka apa yang dianggap baik bagi lingkungan masyarakat sekitarnya, ternyata kurang baik bagi masyarakat selain lingkungan kita. Dengan istilah populer disebut kebenaran relatif. Contoh beberapa kasus a.l :
  1. Filosofi fatalistik (menggantungkan nasib). Dalam bincang-bincang di waktu kumpul-kumpul, ada filosofi yang sering diketengahkan, namun penerapannya kurang tepat dan cenderung mematahkan semangat dan menuju kepada sasaran menggantungkan nasib (fatalistik), padahal maksud pepatah dimaksud tidak demikian, seperti misalnya "cebol nggayuh lintang", arti harfiahnya jelas tidak mungkin seseorang yang berpostur tubuh pendek akan bisa meraih bintang di angkasa. Diibaratkan seseorang yang tidak memiliki kemampuan ingin meraih cita-cita yang tinggi jauh di awan. Namun, penerapan di masyarakat filosofi ini ditujukan untuk mencibir seseorang yang sedang menjalankan proses upaya meraih cita-cita. Bilamana cibiran ternyata benar, masyarakat sekitarnya pada bilang, nah...lo apa gua bilang.... tetapi kalau ternyata proses upaya seseorang tersebut berhasil, maka semua orang yang semula mencibir akan menuai perasaan malu..... , akhirnya malu ketemu, malu berbicara, dll (jw : keweleh).  Kondisi lanjutan dari No.1 diatas, kayaknya ucapan yang bersifat "Iri" lebih mudah dilontarkan daripada kita pernyataan "Salut" terhadap upaya seseorang. Hal ini ditujukan kepada seseorang yang sedang menjalani proses upaya memperbaiki nasib, masyarakat kita sering mengedepankan sifat "iri" bilamana melihat keperkasaan seseorang dalam berusaha daripada "salut" atas kepiawaian seseorang mengatasi permasalahan hidup. Sering kita dengar, "tidak usah sekolah terlalu tinggi, paling nanti jadi pengangguran susah cari pekerjaan, karena tidak ada modal untuk nyogok pejabat dan lain-lain alasan" Ini saya rasakan pada waktu saya masih berumur belasan tahun, masih duduk di bangku SMA. Masyarakat di sekitar tempat tinggal pada kurang mendukung jika saya belajar sampai larut malam. Wong "putune" cucu Walijo (kakek saya) kok mau kepingin jadi Sarjana, opo tumon, nasib dari mana bisa tercapai, dll? Wajar jika mendapat cibiran demikian karena memang kakek saya adalah sosok laki-laki pendatang dari daerah Sleman, Yogyakarta yang mendapatkan istri Ngadinem. Hidup membesarkan 3 orang anaknya dengan rumah bambu sederhana di atas tanah numpang  di pekarangan famili.  Al hasil, setelah saya masuk perguruan tinggi menempuh S1 di UGM dalam waktu 4,5 tahun, maka seakan-akan mereka tiak percaya. Komentar miring pun bertaburan, ah paling baru Sarjana Muda, ah mungkin masuk kuliahnya nyogok, ah masak putune Walijo kok Sarjana, dll. Kisah nyata ini adalah pelajaran bagi siapa saja, bahwa kita tidak boleh meremehkan seseorang, apapun kondisi fisik dan status sosial seseorang.
  2. Keluarga Pandawa, gambaran pribadi mulia 
    Rahwana, gambaran Penguasa  
    kaya raya tapi miskin keteraturan  
  3. Wawasan berbau rasialis. Sering kita dengar bahwa Ki Dhalang jika melantunkan suluk menjelaskan kondisi alam dan sosialnya Tanah Amarta dan Keluarga Pandawa adalah tanah yang subur makmur, masyarakatnya tata titi tentrem kertaraharjo dengan dilingkupi tanah yang gemah ripah loh jinawi. Keluarga keturunan Pandawa yang Adhiluhung (budipekerti mulia), sedangkan kerajaan Astina dengan Keluarga Kurawa, Raja Alengka yang walaupun ber bandha (kaya harta), ber bandhu (kaya uang), hidupnya urakan, suka menerjang aturan. Cerita pewayangan sering dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat mengibaratkan Pandawa adalah Tanah Jawa dan Astina atau Raja Seberang atau Raja-raja Raksasa adalah Luar Tanah Jawa. Kehidupan emosional massa ini sama sekali tidak tepat. Konotasi Adhiluhung dari Ki Dhalang bilamana ditujukan kepada ajaran ke-jawa-an is OK, Tetapi  kalau ditujukan kepada Raja dan masyarakat Jawa sudah tidak tepat, karena ternyata raja-raja Jawa justru banyak yg bertekuk lutut bahkan bersekongkol dengan Belanda sampai dijajah selama 350 tahun terhitung masuknya VOC 1600 - 1945. Lihat tuh  tanah Acheh yang tidak pernah dijajah Belanda, kan lebih adhiluhung.... Jika kita pelajari budaya masyarakat non Jawa di Nusantara ini mis : Bugis, Batak, Minang, dll, ajaran adhiluhung pada adat dan kemasyarakatannya tidak kalah dengan masyarakat Jawa. Saya tinggal di masyarakat Bugis 7 tahun (1983 - 1990), banyak filosofi kemasyarakatan yang adhiluhung, mis : pada idi, pada elo, sipatuo, sipatokong, sungguh luar biasa dalam membendung pihak luar untuk memecah belah kekeluargaan dan bermasyarakat. Dipastikan masyarakat di Tanah Minang atau masyarakat yang lain didapati filosofi-filosofi adhiluhung yang berkembang di tengah masyarakat. 
  4. Opo jarene wong akeh (jw : bertindak mengikuti apa yang dibilang oleh kebanyakan). Ungkapan ini sering keluar dari seseorang atau kelompok masyarakat yang gamang melakukan sesuatu dan takut bertindak salah, takut mendapat statement menentang arus atau "berseberangan", walaupun pendapatnya benar. Pola kegiatan bersifat "anut grubyuk", tidak berani melangkah inovatif secara pribadi. Kondisi sosial seperti ini terjadi pasca kerusuhan massal atau peristiwa politik yang berdampak pada merosotnya sendi-sendi kehidupan masyarakat. Takut jika yang dilakukan tidak sesuai dengan lingkungan sosial atau emosional massa yang terjadi saat itu. Statement politik akan lebih menonjol dengan "bicara salah pada situasi massa yang tepat lebih baik daripada bicara benar pada situasi massa yang tidak tepat". Jika kondisi emosional massa berlarut-larut seperti ini dan diturunkan kepada generasi berikutnya (anak-anak), sangat besar kemungkinan memunculkan generasi penerus yang "pengecut".  
  5. Narimo Ing Pandum dan Pasrah Mekalah yang penerapannya Salah Kaprah (dirasakan benar padalah salah besar). Kita tidak bisa memungkiri, bahwa kondisi ekonomi seseorang adalah sejarah yang harus dijalani oleh oang yang bersangkutan pada zamannya. Itulah yang diakui sebagai narimo ing pandum yang harus mensyukuri apa yang dianugerahkan kepada ybs. Kondisi emosional ini akan dibarengi dengan pasrah dan ngalah terhadap hiruk-pikuk lingkungan masyarakat di sekitarnya. Pada umumnya filosofi ini dialami oleh masyarakat yang tertekan selama bertahun-tahun bahkan turun-temurun seperti halnya masyarakat Indonesia golongan menengah kebawah pada zaman penjajahan dan awal periode pasca kemerdekaan. Filosofi kemasyarakatan kalah mekalah sangat bagus bilamana hidup seseorang di lingkungan yang homogen dalam satu keluarga besar di pedesaan dengan strata sosial yang relatif sama secara ekonomi. Namun, filosofi ini tidak tepat sama sekali bagi dunia bisnis yang berkembang sangat cepat di era pembangunan industri mulai tahun 1990-an hingga sekarang.  Menjadi pebisnis tidak boleh "kalah mekalah" akan terinjak oleh pesaingnya, namun juga jangan "menag-menangan" karena dunia bisnis tidak akan menerimanya. Bisnis perlu "Reliable" kepercayaan dan kepastian hukum. Dampak sosial filosofi kalah mekalah sangat merugikan bagi mereka yang menganutnya, contohnya adalah Kaum pebisnis akan lebih memilih memanfaatkan tenaga kerja yang "Narimo" untuk dikasih imbalan minimal karena membantu pengurangan pengeluaran.Implikasi hukumnya adalah karena saking narima-nya sampai bekerja tidak perlu memegang "agreement" atau Akte Kontrak, pokoknya baik-baik selama bekerja. Pada akhir meninggalkan pekerjaan karena PHK, orang ybs tidak bisa menuntut apa yang diinginkan "wong" tidak punya Akte Kontrak. Ekses secara psikologis orang ybs adalah kekecewaan, menyesal, dll. Fenomena sosial akaibat kondisi tsn diatas adalah demo bahkan perusakan dan berakhir berurusan dengan Polisi. Tidak lain adalah kekonyolan dalam keterlibatannya sebagai karyawan dengan segala bentuk lingkungan dan hukum formal yang berlaku..  

 Zaman sudah berubah, teknologi komunikasi sudah merobek batas antar daerah, suku, ras dan negara. Komunikasi bisa dilaksanakan cukup dengan menggerakkan jari-jemari di laptop atau komputer  "no border area". Interaksi antar adat dan budaya semakin kuat, adat budaya asli daerah semakin sudah sulit dikenal, ilmu, pengetahuan dan wawasan hidup sudah merebak luar biasa sampai ke pelosok negeri.


Sudah saatnya filosofi-filosofi yang hidup di tengah masyarakat yang menyesatkan harus direvisi, atau filosofi-filosofi yang baik dari dua atau lebih Suku disinergikan sehingga membenuk mozaik yang saling mengisi, yang jelek-jelek disingkirkan, yang baik-baik digabungkan.


Siapa yang kuasa merevisi produk brilliant para pendahulu kita? Pepatah China mengatakan : "racun harus diobati dengan racun pula". Jika kemajuan teknologi dapat merobek budaya masyarakat, maka kita juga meng-counter dengan teknologi pula adat budaya masyarakat disusupkan dalam teknologi, sehingga tercipta masyarakat Asli Indonesia (Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Minang, dll) yang berteknologi tetapi tidak kehilangan akar budayanya.


Mau atau tidak mau, setuju atau tidak setuju kita sekarang sudah hidup di alam serba bersaing, hidup dalam persaingan bebas. Oleh karenanya perlu jurus-jurus brilian untuk menempuh dan menghadapi pesaing dalam berbagai bentuk, pola kehidupan demi kemakmuran dan kesejahteraan yang merata. Kata kuncinya adalah "belajar dan belajar" melalui berbagai media, namun perlu mencermati keberadaan adat istiadat yang adhiluhung jangan sampai adat istiadat asli ditinggalkan.

Jakarta, April 2011

15 Apr 2011

Inovasi Teknologi untuk Meminimalisasi Kecelakaan Penderes Badeg (Nira Kelapa)



Penderes Nira Kelapa Tradisional

"Menyadap" atau "nDeres" berbagai macam getah pohon sudah dikenal oleh masyarakat sejak lama, seperti menyadap getah karet, jelutung, pinus, getah kemenyan, damar, dll. Bentuk getah berupa, dan jumlah getah relatif sedikit dan cepat menggumpal, sehingga alat penadah cairan cukup menggunakan mangkok ukuran 500 cc untuk getah sebarat 5 ons. Namun, menyadap cairan pohon palem seperti Lontar, Kandis, Kurma, Kelapa dan Aren, jumlah cairan yang keluar dari tangkai malai bunga atau batangn, volumenya cukup besar, sehingga tempat penadah cairan menggunakan bumbung, kuali atau jerican ukuran 10.000 cc atau sekitar 10 liter untuk menampung cairan dalam waktu 12 jam sejak tabung dipasang pada tangkai malai bunga yang sudah diiris untuk mengeluarkan cairan. 


Ternyata kebiasaan menderes tidak didominasi oleh masyarakat tegalan di sekitar Gunung Kuli Desa Podosoko - Kec. Sawangan - Magelang. Masyarakat yang tinggal di daerah yang kurang mendapat supply air irigasi pada umumnya mengusahakan budidaya gula kelapa dengan salah satu kegiatan pokok "nderes". daerah ini meliputi kawasan tegalan Lor Kali Mangu mulai dari Jetis Kaliwungu, Tampir, Ngampel, Bulu Cowor, sampai di sebagian besar dataran tinggi kaki G. Merbabu Jati, Kec. Candimulyo, Pakis, Ngablak, Tegal Rejo. Dataran tinggi diatas Desa Jati sampai Desa terakhir sudah jarang ditumbuhi pohon kelapa. Masyarakat dari daerah lain di wilayah Kabupaten Magelang yang mengusahakan penyadapan nira kelapa adalah Desa-desa di perbukitan Menoreh yang notabene kondisi iklimnya hampir sama dengan lereng G. Merbabu, meliputi Kec. Borobudur dan Salaman.

Permasalahan Teknis :
    Climbing Belt Made in USA
  • Sebelum mulai memanjat, batang pohon kelapa dibuat takik untuk pijakan kaki dengan jarak antara satu takik dengan takik diatasnya sekitar 60 Cm, disesuaikan dengan langkah si pemanjat. Takik dibuat sampai setinggi-tingginya sampai suatu saat pohon kelapa sudah dianggap tidak efisien lagi untuk disadap. Umur pohon diatas 40 tahun tinggi pohon berkisar 30 M, sudah terlalu berresiko  untuk dipanjat  dan malai bunga dibiarkan menjadi buah.
  • Penderes tidak menggunakan peralatan pengaman apapun. Tabung bambu atau jerican diikatkan pada ikat pinggang dengan sabit di tangan atau diselipkan di pinggang.  
  • Pemanjat memasang dan mencopot tabung setiap pagi dan sore hari. Tinggi pohon dan jumlah pohon menjadi pertimbangan tehadap keselamatan manakala hari hujan, pohon kelapa licin untuk dipanjat. Pekerjaan memanjat memerlukan kondisi badan yang selalu sehat. Jika suatu saat kondisi badan kurang sehat, ditambah lagi pohon kelapa basah diguyur hujan, maka nyawa menjadi taruhannya.
Liaison Sederhana Penyadapan Nira Aren

Alternatif Teknis :
  1. Jarak tanam pohon (space tree distance) diatur sejak penanaman pohon tanpa mengganggu agronomis pertumbuhan pohon kelapa ± jarak tanam  antar pohon 10 M. Jarak tanam di kemudian hari akan membantu pengaturan perlatan penyadapan.
  2. Untuk mengurangi faktor kelelahan pada saat memanjat dan menuruni pohon serta waktu yang terbuang dibuat penghubung antar pohon (liaison) yang satu dengan pohon lainnya. Penghubung bisa menggunakan tali, rotan, bambu atau logam yang ditautkan dibawah pelepah kanopi pada jarak tidak jauh dari pelepah pohon. (liaison bambu sederhana sudah digunakan bagi penderes nira Aren di Jawa Barat).
  3. Penyadapan Maple, bahan baku sirop 
  4. Penyaluran nira langsung ke tabung dengan menggunakan pipa plastik atau selang yang diletakkan di bawah pohon. Teknik ini dilakukan dalam penyadapan getah pohon "Maple" yang dilakukan oleh petani di negara sub tropis. Pengaliran getah ke tabung penampung menggunakan pipa stainless steel. Getah maple diambil untuk bahan baku sirop.  Petani penderes nira Aren di Jawa Barat dan penderes nira Kelapa di pesisir kidul Kab. Banyumas melakukan pengaliran nira dengan menggunakan selang plastik. Teknik ini juga dilakukan dalam skala ujicoba oleh seorang penderes di Tegalrejo - Magelang, (Cybernews Suaramerdeka, 2010).
  5. Keterampilan para Penyadap perlu dilatih secara fisik, teknis dan subsidi pengadaan fasilitas seperti selang, climb belt, liaison rope, dll  dari Lembaga terkait yang peduli dengan nasib Penderes Kelapa.    
  6. Faktor penunjang lainnya yang tidak kalah penting adalah fasilitas keselamatan dan keamanan kerja (K3). Lembaga  Pemerintah tidak hanya memperhatikan industri milih Badan Usaha saja, tetapi perlu menengok industri rumah tangga milik petani yang hasilnya (gula kelapa) dikonsumsi oleh setiap orang dan mengusasi hajat hidup orang banyak.
  Demikian sekilas buah pikiran yang direfer dari beberapa sumber berita dalam dan luar negeri.

Jakarta, 14 April 2011


 

5 Apr 2011

KELUARGAKU


Agus Prasodjo

Ani Astuti & Damar

 Setelah hampir satu tahun terbitnya Merbabu NingraT's Blog dengan tulisan yang beraneka warna baik yang ditulis dari kekayaan buah pikiran dan wawasan sendiri, ramuan dari tulisan pihak lain maupun gabungan antara buah pikiran sendiri dengan referensi tulisan buah pikiran orang lain, maka baru terpikir untuk menerbitkan tentang apa yang ada pada diri saya sendiri berjudul "Keluargaku".

Saya dilahirkan 51 tahun yang lalu di lembah G. Merbabu Dsn. Margowangsan - Ds. Sawangan, Kab. Magelang - Jawa Tengah dari seorang Guru SD bernama Samidi Adisoemarto dan ibu dari Pegunungan Gunung Kuli di lereng G. Merbabu. Bapak saya adalah keturunan ke-3 dari kerabat Trah Posong (inconnu) yang bersaudara dengan Trah Gading. Sedangkan Ibu dari Trah Kopen - Desa Podosoko.  


Simbok Aku



 Istri  bernama Ani Astuti, putri dari Bapak Abuyono dan Ibu Suyatimah (almh) Dsn. Patosan - Desa Sedayu Kec. Muntilan. 



Adik kandung saya 3 (tiga) orang : 1. Arif Murdowo, SE; 2. Budi Pranoto, SPt dan 3. Harsanto Utomo, SM.Akt. No.1 dan 3 berkarya sebagai Wirausahawan dan tinggal di kampung, No.2 sebagai karyawan perusahaan perkayuan tinggal di Muara Tewe (Kalteng). Semua adik-adik saya sudah berumah tangga dan sudah hidup mapan, alhamdulillah.



Bpk. Samidi Adisoemarto

Anak saya 2 (dua) orang bernama : 1. Nara Pandan (1997) dan 2. Damar A. Schwaner (2002). Semua anak saya menggunakan nama pohon karena saya bekerja di bidang kehutanan yang secara langsung berhubungan secara fisik dengan pohon, lokasi tempat tumbuh pohon ataupun yang terkait dengan nama lokasi tempat bekerja saya.

Bpk Mertua Abuyono dan Ibu 

Pandan, adalah nama pohon berduri, sering digunakan sebagai tanaman pagar pembatas tegalan, daunnya digunakan untuk bahan baku pembuat tikar "kloso" oleh masyarakat. Pada tahun 1960-an, Ibu saya pun pernah membuat kloso untuk dijual ke Pasar Talun atau Muntilan.



Narapandan




Damaralas Schwaner


Damar, adalah pohon hutan yang struktur batangnya tinggi lurus, bisa mencapai diameter 200 Cm, daunnya kecil dan tebal, serat kayunya halus, getahnya untuk bahan bakar pelita (damar) bagi masyarakat hutan yang belum mengenal lampu minyak tanah,  listrik atau digunakan di dangau-dangau tempat berteduh sementara petani berladang dan menyimpan hasil panennya. Getah damar bisa juga sebagai bahan pembuat vernish politur. Schwaner adalah nama peneliti berkebangsaan Jerman yang menemukan Pegunungan yang membatasi Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Di lokasi tersebut ditemukan barang tambang boxit, emas dan uranium. Disitulah saya bekerja pada saat anak saya lahir, persisnya saya sebagai Manajer Camp di suatu Perusahaan Perkayuan di Kab. Melawi - Kalbar.

Arif Murdowo, SE



Budi Pranoto, SPt
 


Istri Budi Pranoto, 2010

Harsanto Utomo, SMAk
 Saya bersama keluarga sekarang berdomisili di Tangerang mulai tahun 1995 hingga sekarang.

Dari tiga bersaudara, tahun 2011 sudah menjadi 14 jiwa, yaitu istri masing-masing (4 org) dan jumlah seluruh anak-anaknya 8 (delapan) orang.

Keluarga Bapak
Bapak saya Samidi adalah pensiunan Guru SD, pangkat terakhir III-C jabatan Kepala Sekolah Podosoko II, dilahirkan di Dsn. Margowangsan Ds/Kec. Sawangan, Magelang. Kakek saya mBah Walijo dari Dsn Gondangan, Mlati, Kab. Sleman yang migrasi ke Kec. Sawangan bersama mBah Urip (Margowangsan), Mbah Bas (Glagahombo, Mangunsari) dan Mbah Rantiyem (Karanganyar). Cerita kakek, keluarga kakek meninggalkan lahan ± 10 Ha (± 10.000 M2) di Dsn tsb  yang membentang dari batas dusun sampai di jalan desa Denggung, dititipkan kepada familinya di Dsn. Gondangan sekarang tidak tahu rimbanya. Kakek dan keluarga tidak mau mengurusnya karena ternyata tanah ysng semula dititipkan sudah diakui sebagai pemilik sah dan sulit ditelusuri bukti-bukti hukumnya. Kakek hanya bilang : "anak cucuku akan mendapatkan ganti rejeki dari sawah yg tidak pernah gagal panen", maksudnya dimudahkan mendapatkan rizki dari non lahan.

Keluarga Nenek
Nenek saya Asih adalah keluarga dari 5 bersaudara yaitu Asih, (Margowangsan), Juweni (Tanjung/Lampung), Slamet Sahli (Mertoyudan), Udo Taruno/Amin (Bendan) dan Kimpul (Jakarta/Bendan). 
Keluarga nenek berasal dari Mbah Buyut Kartowiryo (Margowangsan)  dan Ngadinem (Trenten, Candimulyo).

Mbah Kartowiryo adalah 6 bersaudara meliputi : (1) Mbah Selar, Margowangsan (2) Mbah Darmin, Gondang Lor (3)mBah Sri, Talaman, (4) Mbah Kartowiryo, Margowangsan), (4) mBah Rus, Wonosobo, (6) Mbah Tambeng, Margowangsan).   

Mbah Buyut Kartowiryo adalah anak dari Mbah Setro Saiman (Margowangsan) yang berasal dari 9 bersaudara Trah Posong yang merupakan anak pertama Laskar Mataram yang tercecer pasca Perjanjian Giyanti Tahun 1779 (periksa tulisan Posong Sagotrah 1, 2010).
Urut-urutan Generasi pertama Laskar (inconnu) adalah : (1) Setro Saiman, Margowangsan, (2) Joyo,Posong, (3) Kartorejo, Posong, (4) Kartoduryo, Butuh, (5) Rusmin, Popongan, (6) Pm, Mawungan, (7) Niti, Plalangan, (8) Pawiro, Gadingsari dan (9) Kartodimejo, Posong / ayah Mbah Karto Karsini Ngaglik Nduwur ibu dari Bpk. Suharto. 

Pagi Idulfitri, 2009

Cucu mbah Samidi, 2009
Keluraga Dowo & Anak istri aku




Lain Dulu Lain Sekarang
Dulu yang saya maksudkan adalah pada masa kecil saya hidup di pedesaan dengan segala tahun 1965 - 1975, lingkungan pedesaan belum tersentuh teknologi di segala bidang. Akses antar perkampungan masih jalan tanah. Jalan kaki dan sepeda onthel merupakan pemandangan umum masyarakat bergerak dari satu desa ke desa lainnya. Bilamana akan bepergian jauh harus berjalan kaki ke kota terdekat  yaitu Blabak (6 Km) atau Muntilan (8 Km). 

Pengolahan tanah pertanian masih manual. Masyarakat menggunakan "luku", "garu" untuk menggemburkan tanah sebelum ditanami padi. Buruh tani pun menggunakan cangkul untuk mengolah tanah dan kegiatan pemeliharaan pasca tanam.

Kegotongroyongan masyarakat pedesaan masih sangat terasa pada saat warga desa memerlukan tenaga yang cukup besar dan dalam waktu sekejap yaitu saat "wur mbako" menanam tambakau pada awal musim kemarau dan membuat rumah khususnya pada saat menaikkan atap dan memasang dinding bambu. 

Sekarang, mulai tahun 1975 hingga sekarang pembangunan pedesaan mulai merambah pedesaan mulai tahun 1976. Infrastruktur jalan jalur Blabak - Tlatar mulai dibangun pada tahun 1974 sehabis Pemilu-I tahun 1971.

Berlanjut...