9 Jul 2012

Mempelajari Kearifan Lokal Wong Samin & Sedulur Sikep, Sepenggal Manifesto Politik (Tulisan 2)




Daerah Persebaran Saminisme
Profile Raden Samin Soerosentiko
(1859 - 1914)
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (Bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati) dan Tlaga Anyar (Lamongan), 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro.
Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Luar (Samin Njaba) dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin lama. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu) dan Mentora (Tuban) dikenal “wong sikep”, mereka ini pada awalnya fanatik terhadap ajaran saminisme, tetapi kini mereka meninggalkan ajaran dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.


Golongan atau Sempalan Saminisme
Sebelumnya gerakan Samin sudah didahului oleh ayahnya Raden Soerowijoyo, sehingga pengikutnya disebut Samin Sepuh. Sedangkan pengikut Kyai Samin Surosentiko merupakan generasi kedua yang disebut Samin Anom untuk melanjutkan gerakan dari sang Ayah. Di masa kepemimpinannya warga pengikut Saminisme selalu berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin secara militan. Sebagai cucu seorang Pengeran, Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah rakyat jelata atau petani biasa. Dia adalah seorang Bangsawan yang menyamar sebagai rakyat jelata yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Adapun kelompok pengikut ajaran samin yang sudah meninggalkan ajaran asli saminisme disebut Wong Sikep atau Sedulur Sikep.


Bentuk Pergerakan di Lapangan
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme sbb :
Pertama,
Gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung;
Kedua,
Gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok dan
Ketiga,
Gerakan yang nyeleneh berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negara, memboikot peraturan agraria dan mengkultuskan diri sendiri sebagai dewa suci.


Wujud gerakan pertentangan terhadap Pemerintah Belanda adalah menolak segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Pemerintah Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Sikap pertentangan tersebut kemudian dibakukan dan dibukuan dengan membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Dalam Serat Punjer Kawitan yang ditulis Samin Surosentiko, menegaskan bahwa tanah Jawa bukan milik Hindia Belanda, bukan milik penguasa, akan tetapi milik keturunan Pandhawa yaitu keturunan Majapahit. Atau secara luas, tanah Jawa adalah milik Orang Jawa. Maka ketika pemerintahan Hindia Belanda menarik pajak dari warga, Samin Surosentiko menganjurkan untuk menolak pajak tersebut. Sebab kita hidup di tanah warisan leluhur kita sendiri, sehingga pemerintah Hindia Belanda serta para pejabat-pejabat pada tidak berhak menarik pajak dari masyarakat. Selain itu, gerakan saminisme juga sebagai gerakan penolakan terhadap pemerintah yang membatasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan.
Pasca pengangkatan dirinya oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Belanda mencium  saminisme sebagai gerakan perlawanan dan  Samin Surosentiko beserta delapan pengikutnya ditangkap lalu dibuang ke Sawahlunto – Sumatera Barat dan meninggal pada tahun 1914. Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya di distrik Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi kurang berhasil.
Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.
Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak. Perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti pada tahun 1930 karena tidak ada figur pemimpin yang tanggguh.


Pschywar melalui Perilaku Nyleneh
Pemerintah Belanda dalam menjalankan aturan sangat represif bahkan secara sadistik menghilangkan nyawa bagi pelaku pergerakan sosial. Kepiawaian Samin Soerosentiko melakukan perang urat syaraf melalui gerakan perlawanan terhadap Belanda dilakukan secara nyeleneh, akan tetapi pada dasarnya lebih humanis karena tanpa kekerasan, sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Hal ini merupakan bentuk perjuangan melawan penjajah tanpa senjata (no violence, no weapon warfare). Ketika para Pamong Desa akan menarik pajak, warga pengikut Samin disarankan untuk berperilaku aneh (Jw : nggendeng atau nyamin) menyerupai orang gila. Bahkan ketika berhadapan dengan para pamong atau pejabat pemerintahan disarankan tidak perlu hormat. Cara-cara aneh tanpa kekerasan inilah pemerintah Hindia Belanda mengalami kewalahan dalam memperlakukan pengikut Samin Surosentiko.


Perkembangan Ajaran Samin
Seiring perkembangan jaman, perjalanan ajaran Samin dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Dengan demikian orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius, walaupun tidak pernah menyebut nama agamanya.
Pada masa pemerintahan Penjajah Belanda, bentuk refleksi kejengkelan kepada Penguasa pemerintahan di Randublatung adalah berupa boikot membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram karena telah merusak regulasi yang sudah diberlakukan kepada khalayak, sehingga menimbulkan kontradiksi yang semakin membara antara Warga Samin dengan Pemerintah Belanda.
Pasca dibuangnya Kyai Samin ke Sawahlunto – Sumbar tahun 1914, jiwa militansi ideologi pengikut saminisme terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati. Tokoh Kyai Samin dimitoskan secara fanantik pada momentum perayaan ritual “Rasulan dan Mauludan” sebagai ajang untuk mengenang jiwa kepahlawanan Kyai Samin.
Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berpegangan pada “kepek” yaitu sejenis buku primbon yang mengatur tata kehidupan secara luas tentang kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antar warga Samin.
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu Bahasa Kawi yang ditambah dengan dialek setempat. Kepribadian yang polos dan jujur dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimiliki dan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Menyuguhkan sesuatu sesuai kemampuan mengkonsumsi tamunya, maksudnya jika dalam bertamu hanya dapat menghabiskan setengah cangkir kopi dan seperempat piring nasi, maka dilain kesempatan bertamu tidak akan menyuguhkan lebih dari kemampuan sang tamu menghabiskan barang suguhannya. Begitu juga dalam bertamu selalu menepati janji pemilik rumah. Jika pemilik rumah menawarkan suguhannya untuk dimakan, maka mereka berusaha untuk memakan barang yang disuguhkan.
Pandangan hidup warga Samin terhadap ritual perkawinan mereka menganggap bahwa dengan melalui ritual perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (realitas) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan serta tanggung jawab sosial.
Warga Samin percaya dalam menuju kemajuan tidak harus melalui percepatan tetapi dilalui dengan cara “kecermatan” dan memakan waktu “alon-alon waton kelakon” dan menghindari gerakan membangun secara cepat tetapi salah sasaran “kebat kliwat”. Perilaku penolakan bantuan mesin traktor, huller dan sarana produksi pertanian lainnya untuk menghindari matinya para peternak sapi dan tukang cangkul dalam menggarap sawah ladang mereka.
Pandangan terhadap pakaian, adalah menjaga karakteristik identitas tradisional yang penuh kesederhanaan dan tidak perlu glamour. Pakaian yang digunakan orang Samin cukup dengan kain jenis “blacu” yaitu kain yang terbuat dari bahan benang kapas dengan dominasi warna hitam dan ikat kepala hitam yang disebut “iket atau udeng”.
Masyarakat Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Dalam Serat Punjer Kawitan yang ditulis Samin Surosentiko, menegaskan bahwa tanah Jawa bukan milik Hindia Belanda, bukan milik penguasa, akan tetapi milik keturunan Pandhawa yaitu keturunan Majapahit. Atau secara luas, tanah Jawa adalah milik Orang Jawa. Maka ketika pemerintahan Hindia Belanda menarik pajak dari warga, Samin Soerosentiko menganjurkan untuk menolak pajak tersebut. Sebab kita hidup di tanah warisan leluhur kita sendiri, sehingga pemerintah Hindia Belanda serta para pejabat-pejabat pada tidak berhak menarik pajak dari masyarakat. Selain itu, gerakan saminisme juga sebagai gerakan penolakan terhadap pemerintah yang membatasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan.
Bentuk perjuangan melawan penjajah dengan senjata adalah hal yang buruk karena akan memakan korban jiwa. Maka ketika ketika para pamong akan menarik pajak, pengikut Samin disarankan untuk berperilaku nyeleneh, nggendeng atau nyamin menyerupai orang gila. Bahkan ketika berhadapan dengan para pamong atau pejabat pemerintahan tidak perlu hormat. Dengan cara yang aneh tetapi tidak dengan kekerasan inilah yang membuat ajaran ini bisa berkembang. Sebab dengan berperilaku nyamin tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengalami kewalahan dalam memperlakukan pengikut Samin Soerosentiko. Untuk menghentikannya, Pemerintah Hindia Belanda menangkap Samin Surosentiko beserta beberapa pengikutnya di sekitar Randu Blatung Blora kemudian diasingkan keluar Jawa. Namun gerakan ini tidak begitu saja berhenti, sebab pengikut ajaran ini telah lebih dulu berkembang di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan bertahan sampai perginya Belanda dari Indonesia (Imam Subkhi, Kompas 2005).
Ciri khusus wong Samin yang hingga kini masih dipertahankan adalah tidak sertamerta menerima program campurtangan Pemerintah. Dalam pemerintahan mereka lebih mengenal “sedulur sikep” terhadap Pejabat Pemerintah Desa atau Pamong Desa, sehingga sistem urusan pemerintahan diurusi oleh Pemerintah Desa dengan mengatasnamakan dirinya sendiri.




Tinjauan Aspek Politik
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa secara umum ideologi sebagai kumpulan gagasan ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan dan agama. Fungsi utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) yaitu: (1) sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat, (2) sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Setiap bentuk perlawanan terhadap Pemerintah Belanda selalu kandas dan memakan korban jiwa karena Belanda sangat represif-otoritarian tanpa mengenal belas kasihan. Idea brilian perlawanan untuk menghindari pertumpahan darah dalam dengan cara-cara nyeleneh, namun pada dasarnya lebih humanis karena tanpa kekerasan. Perjuangan melawan penjajah tanpa senjata adalah suuatu idea yang sulit untuk dilawan secara frontal, a.l boikot pajak, berperilaku aneh (nggendeng, nyamin) menyerupai orang gila adalah bentuk perang urat syaraf (pschywar).
Secara politis, Kyai Samin telah berhasil meletakkan norma politik untuk diimplementasikan terhadap akar rumput melalui jalur kearifan adat tradisional  dan diaplikasikan secara militan, terus-menerus lintas generasi yang termuat dalam pola pokok "angger-angger".
Pembakuan dan pembukuan ajaran melalui Serat Jamus Kalimasada dan Serat Punjer Kawitan serta Uri-uri Ing Pambudi adalah bentuk sosialisasi ideologi suatu gagasan secara sistematis terhadap norma politik tersebut diatas ke dalam komunitas penganutnya dengan cara-cara yang bisa diterima masyarakat. Kyai Samin telah berhasil menyebarluaskan manifesto politik “anti penjajah” melalui komunikasi massa yang efektif terhadap sasaran massa akar rumput yang langsung mengalami penderitaan akibat tekanan Pemerintah Penjajah. Pemahaman ideologi suatu norma politik yang disosialisasikan lewat keyakinan dan kepercayaan secara sistematis melalui media komunikasi di pendopo-pendopo kelurahan saat itu adalah bentuk manifesto politik yang cemerlang, yangmana pada zaman itu wawasan dan pengetahuan politik Tokoh Pergerakan belum berkembang seperti pada zaman perjuangan kemerdekaan pada era Soekarno, dkk.
Pada intinya Ideologi Kyai Samin dengan “angger-angger”nya telah merubah peta politik Pemerintah Balanda dalam menjalankan Pemerintahan Kolonisasi di Indonesia.

Dengan berjalannya waktu, perkembangan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi maka semakin lama pada kenyataannya saat ini masyarakat akar rumput   pengikut saminisme semakin lama semakin berkurang. Kalaupun ada yang melakukan nggendeng atau nyamin dalam urusan pajak, adalah hanya dilakukan oleh oknum bukan atas nama masyarakat saminisme secara luas.
Adapun bagi pengikut Saminsime yang hingga kini masih berperilaku nyleneh perlu sosialisasi atau pemahaman ideologi nasionalisme NKRI yang dilakukan secara konprehensif dan terus-menerus lintas generasi hingga Saudara-saudara kita ini bisa menikmati hasil jerih payah Sang Pembesar Kayi Samin yang menginginkan kemerdekaan dan kesetaraan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara hakiki serta menikmati kesejahteraan lahir dan bathin, amin. Program sosialisasi P4 seperti zaman ORBA perlu diteruskan terhadap Saudara-saudara kita “wong sikep” yang setia memegang nilai-nilai luhur ajaran saminisme untuk dapat mengembangkan diri wawasan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dibawah kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berlanjut ke tulisan berikutnya ......


Sumber Pustaka :
  1. Annonim, 2003, http://wikipedia.or.id, Masyarakat Samin
  2. Anonim, 2003, www.blorakab.go.id
  3. Soerjono Soekanto (999), Ideologi Kumpulan gagasan ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan dan agama.
  4. Ramlan Surbakti (1999) Fungsi utama ideologi dalam Masyarakat
  5. Sastroatmodjo (2003), Daerah Persebaran Saminisme
  6. Titi Mumfangati (2004), adalah suatu fenomena sosiologi kultural yang unik dan penuh pesan moral dari seorang Tokoh Masyarakat berdarah ningrat yang bernama Raden Kohar atau Samin Surosentiko
  7. Suyami, (2007), Citra Perlawanan Wong Samin Terhadap Pemerintah Belanda
  8. Grandi Hendrastomo (2011), Meluruskan Kembali Konotasi Negatif Wong Samin.


Mempelajari Kearifan Lokal Wong Samin & Sedulur Sikep, Sepenggal Manifesto Politik (Tulisan 1)




Profile Raden Samin Soerosentiko
(1859 - 1914)  
SAMIN, fenomena sosiokultural perlawanan anti kemapanan Pemerintah Belanda yang represif otoritarian.
Samin konotasinya selvishy (“mbeguguk nguto waton” pepatah Jw), tidak mau diperintah, semaunya sendiri dan minimalnya wawasan pengetahuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apakah Samin adalah Suku atau Komunitas penganut suatu faham? Mengapa penilaian orang tentang orang samin selalu berkonotasi negatif? Atau justru sebaliknya yaitu sebuah hegemoni politik tingkat tinggi? Mari kita simak rangkuman tulisan dibawah.


Asal-usul Sejarah Samin
Samin menurut Peniliti Sosiologi Titi Mumfangati (2004), adalah suatu fenomena sosiologi kultural yang unik dan penuh pesan moral dari seorang Tokoh Masyarakat berdarah ningrat yang bernama Raden Kohar atau Samin Soerosentiko, yang kemudian  bergelar Praboe Panembahan Soeryongalam (1859-1914) yang dimanifestasikan dalam bentuk pembangkangan terhadap regulasi pengenaan pajak  Pemerintah Penjajah Belanda dengan cara-cara tertentu yang tergolong aneh nyleneh. Tingkahlaku tersebut kemudian diikuti dan diamini oleh pengikutnya yang lebih dikenal dengan “SAmi-sami aMIN”.
Samin yang bernama asli Raden Kohar lahir di Desa Ploso, Kedhiren, kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora. Ia lahir dari ayah bernama Raden Soerowijoyo yang kemudian disebut Samin Sepuh. Raden Soerowijoyo masih bertalian darah dengan Kyai Keti dari Rajegwesi – Bojonegoro dan Pangeran Kusumaningayu, seorang Bupati Sumoroto, Kab. Tulungagung - Jatim (http://www.blorakab.go.id/). Nama Raden Kohar kemudian dirubah menjadi Samin adalah bentuk penyamaran seorang bangsawan di dalam masyarakat umum di pedesaan, agar kehadirannya bisa diterima oleh rakyat jelata. Dia adalah seorang utopis yang berarti pemimpi suatu tatanan politik dan tata sosial sesuai yang diinginkan *).
Secara historis pandangan hidup Samin atau saminisme adalah pandangan sebagain ajaran Syiwa-Budha atau Budhi-Dharma sebagai sinkretisme antara hindhu budha yang dianut oleh masyarakat di bantaran lembah Bengawan Solo sekitar Boyolali dan Surakarta (Wikipedia, 2004). Ajaran Syiwa-Budha pun tidak seratus persen karena tidak mengakui adanya reinkarnasi. Saminisme mempercayai Roh manusia yang meninggal tidak menitis ke dunia tetapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Ajaran saminisme lebih mendekati aliran kepercayaan kejawen sebagaimana filosofi pewayangan yang di dalamnya misalnya istilah tapabrata, gemar prihatin, narimo ing pandum kalah, mekalah, dst demi ketenangan pikir, kemenangan akhir dan mencintai keadilan.
Dalam Buku “Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, 2004” Samin merasa terpukul melihat realitas kehidupan masyarakat dibawah pemerintahan Belanda. Banyak nasib rakyat pedesaan sengsara dan tidak pandang bulu mewajibkan membayar pajak terhadap rakyat miskin atau kaya. Hidup rakyat di sekitar hutan Jati dengan tanah yang tidak subur hidupnya sangat menderita, sementara Pemerintah Belanda justru semakin giat melakukan perampasan tanah rakyat untuk perluasan lahan hutan milik perusahaan negara (Titi Mumfangati, 2004).
Dari sisi sosiologis, ajaran Saminisme adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap pemerintahan kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia.
Melihat kondisi tersebut Samin yang kemudian disebut Raden Samin Soerosentiko dan kemudian masyarakat setempat menyebutnya Kyai Samin bertindak ala Robinhood melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Untuk menghimun kekuatan melawan pemerintah Belanda, dia menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Langkah intelektual Kyai Samin dengan melakukan langkah membrandalkan diri ini tidak untuk memperkaya dirinya sendiri tetapi untuk membiayai pembangunan ekonomi masyarakat miskin (Titi Mumfangati, 2004). Mulai saat itu seorang Samin dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “SAmi-sami aMIN” yang artinya sama-sama setuju. Istilah Kyai di masyarakat Jawa tidak harus pendakwah Agama Islam, tetapi lebih sebagai penghargaan terhadap benda hidup (manusia, hewan) atau benda-benda pusaka yang bertuah bagi masyarakat banyak.
Tentunya tindakan tersebut diatas mengandung makna bathin yang dirasakan oleh awam atau akar rumput. Tindakan Samin ternyata mendapat sambutan di hati masyarakat akar rumput di sekitarnya. Namun dalam perjalannanya ajaran samin dipengaruhi oleh Ki Ageng Pengging yang mengajarkan ajaran ke-Islaman Tradisional dari ajaran Syeh Siti Jenar. Kyai Samin Surosentiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani dan rakyat jelata) dengan cara ceramah di Pendopo-pendopo Kantor Desa. Isi dari ceramahnya adalah keinginan membangun Kerajaan Amartapura yang menginginkan suatu kerajaan yang makmur berkeadilan dan berdaulat dengan kondisi rakyatnya sejahtera tanpa campurtangan asing.
Kyai Samin menyusun Kitab Samin yang yang berjudul “Serat Jamus Kalimasada”, dengan kitab-kitab pedoman hidup “pandom” kehidupan masyarakat Samin. Pesan substantif hegemoni pergerakan yang dikumandangkan yaitu meliputi kebijaksanaan (jatmiko) dalam berkehendak, beribadah, mawas diri, upaya mengatasi bencana alam dan jatmiko untuk selalu berpedoman pada budi pekerti luhur.
Pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL, dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Melihat gelagat perkembangan pengaruh kekuatan politik seorang Kyai Samin, Pemerintah Belanda mencekalnya. Samin Surosentiko ditangkap oleh anthek Belanda Raden Pranolo, yaitu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke Sawahlunto – Sumatera Barat berikut Mahakarya Sastra-nya “Serat Jamus Kalimasada” dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914.
Namun, perjuangan Kyai Samin tidak sia-sia. Pengikut ajaran Samin menganggapnya Kyai Samin tidak meninggal, hanya arwahnya yang mukhsa naik ke Surga dan pengikut Samin tetap meneruskan perjuangannya melawan Pemerintah Belanda melalui amalan ajaran-ajarannya.


Pokok-pokok Ajaran Samin
Dari beberapa tulisan, ajaran Samin bersumber dari agama Syiwa-Budha. Beberapa pokok pikiran warga Samin diantaranya menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi Budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia kegembiraan dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik warga pengikut Saminisme yaitu cinta dan setia kepada amanah leluhur, kearifan tetua, cinta dan hormat terhadap pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual. Ciri visual wong Samin adalah gaya kepolosan, lugu dan maunya sendiri, sehingga terkesan “dungu” dan tidak menerima saran perintah orang lain.
Saminisme mengajarkan kesetaraan, kesederhanaan, kebajikan serta selalu mengingat Tuhan. Ajaran kehidupan sehari-hari, orang samin memegang tiga “angger-angger” atau pokok ajaran yang bersifat lisan, meliputi :


Pertama,
Angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk) berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong”. Maksudnya orang dilarang untuk berbuat jahat, perang mulut, iri, mencuri.


Kedua,
Angger-angger pengucap (hukum bicara) berbunyi “Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu”. Dalam berbicara, orang harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka ini mungkin hanyalah simbolik belaka. Pada dasarnya, setiap orang harus menjaga omongannya dari kata-kata kotor dan menyakiti hati orang lain. Orang harus berbicara dengan baik kepada orang lain.


Ketiga,
Angger-angger lakonana (hukum tentang apa yang harus dikerjakan) berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni” Orang harus selalu bersabar serta tidak sombong.
Dalam menjalankan ketiga Angger-angger diatas dalam praktek pola kehidupan sehari-hari :
  1. Memandang agama yaitu pegangan hidup, semua agama sama tidak membeda-bedakan agama apapun, tidak pernah mengingkari atau membenci agama, yang penting hidup adalah tabiat perikehidupannya tetapi tidak pernah menyebut nama agamanya.
  2. Menghindari mengganggu orang lain, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang.
  3. Bersikap sabar dan jangan sombong.
  4. Memahami kehidupannya, hidup adalah bersatunya jasad dengan roh yang akan abadi selamanya. Manusia yang meninggal, hanya menanggalkan pakaiannya dan roh-nya tidaklah meninggal. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.
  5. Berbicara harus bisa menjaga apa yang diucapkan, jujur dan saling menghormati.
  6. Dilarang berdagang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”.
  7. Tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang. Dalam kegiatan ekonomi terdapat filosofi yang dijunjung tinggi yaitu “tuno sathak bathi sanak” yang berarti lebih penting memiliki saudara banyak daripada rugi harta.


Dalam catatan yang ditemukan di Desa Tapelan, peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal “manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi”. Perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai “rangka umanjing curiga yaitu tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya. Diibaratkan ilmu ke-Tuhan-an yang menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati.
Pandangan hidup ajaran samin terhadap ketuhanan adalah apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjianNya. Roh manusia yang meninggal tidak menitis ke dunia (reinkarnasi) sebagai binatang bagi manusia yang banyak dosa dan menitis sebagai manusia bagi manusia yang tidak banyak dosa, tetapi bersatu kembali dengan Tuhannya.
Dalam implementasi ajaran, sebagai bentuk non-kooperatif terhadap Pemerintah Belanda, kehidupan sehari-hari masyarakat Samin tidak boleh bersekolah, tidak memakai peci, tidak memakai celana panjang tetapi celana komprang dan tidak boleh berdagang.

 Adanya rasa persaudaraan ini mendorong kebiasaan gotong-royong dan saling membantu (lung-tinulung) antar sesamanya. Apabila diantara orang Samin ada yang mempunyai gawé (hajat), yang menurut istilah mereka disebut “adang akéh”. Semua kerabatnya datang dari segala pelosok dengan membawa bahan-bahan mentah yang akan dimasak dan dimakan bersama (Titi Mumfangati, dkk, 2004). Seperti yang diajarkan oleh Samin Surosentiko, bahwa dalam hidup di masyarakat harus tertanam rasa “gilir-gumanti” yaitu bila kali ini dibantu orang lain, maka ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan, tanpa diharapkan oleh pihak yang bersangkutan, ia berkewajiban untuk membantu (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII). Namun, pandangan gilir gumanti dalam hal jenis barang dan kuantitasnya tidak harus sama dengan pada saat yang bersangkutan membantu tetapi semampunya, sehingga tidak tertanam rasa berhutang materi.

Rasa kebersamaan yang ditanamkan Samin Surosentiko sangatlah tinggi bahkan boleh dikatakan tidak ada kepemilikan pribadi dalam komunitas Samin. Hal tersebut tercermin dalam filosofi dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké (milikmu juga milikku, milikku juga milikmu, apabila diperlukan oleh saudaranya maka akan diikhlaskan) (Titi Mumfangati, dkk, 2004).

Suatu hal yang tergolong ekstrim dan tidak bisa dinalar dengan akal masyarakat pada umumnya adalah penggunaan property orang lain untuk kepentingan pribadinya, misalnya bilamana seseorang hendak pergi ke kota dan berbelanja di pasar, padahal ia tak punya uang sama sekali, tanpa ragu ia pergi ke rumah tetangganya yang dekat dan berkata; “Sedulur, aku mélu nganggo klambimu” (“Saudara, aku ikut memakai bajumu”), atau bahkan “Aku melu nganggo dluwang itunganmu” (“Aku ikut memakai uangmu”). (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII). Bagimana mungkin uang seseorang dipakai untuk keperluan belanja orang lain tanpa pamrih apapun dan tidak mengharapkan uang kembali. Namun, pemberian uang tersebut semampu yang memberi dan pemakaian belanja pun hanya secukupnya, sehingga tidak terkesan merampok harta tetangga untuk kekayaan orang lain.

Penanaman rasa egaliter atau persamaan hak dicerminkan Kyai Samin dalam penggunaan bahasa Ngoko (Jawa kasar) dalam setiap percakapan kepada siapapun tanpa mau menggunakan Boso Kromo Hinggil (Jawa halus) yang memang lebih sering dipakai oleh orang yang berstatus lebih rendah kepada yang lebih tinggi (Joko Susilo, 2003). Misalnya antara anak muda dengan orang tua, atau buruh dengan majikannya mereka ditanamkan menggunakan bahasa ngoko. 

Kedekatan dan pemeliharaan kelestarian alam sekitarnya tidak dapat terpisahkan. Baginya, pekerjaan yang paling mulia dan sesuai dengan kondisi mereka adalah sebagai seorang petani. Agar hasil kerjanya dapat berkesinambungan, mereka mengelola alam dengan sangat arif. Mereka terbiasa membagi hasil panen menjadi empat bagian yang sama besar. Bagian pertama disisakan untuk bibit pada musim tanam berikutnya. Bagian kedua, disediakan untuk kebutuhan makan setiap hari. Bagian ketiga, yaitu bagian yang disediakan untuk keperluan sekunder mis : pakaian dan keperluan lainnya dan Bagian keempat, yaitu bagian yang disediakan untuk input sarana produksi mis : penggarapan sawah atau ladang dan ongkos menuai atau panen (Hasan Anwar, 1979).

Dalam hal pendidikan dasar, mereka memandang pelajaran atau sekolah adalah pelajaran hidup dan kehidupan. Sekolah yang dimaksud oleh masyarakat samin adalah orangtua mengajari anaknya adalah dengan menyapu, memasak, mencangkul, menanam benih padi palawija dan panen hasil pertanian. Adapun sekolah formal seperti TK, SD, SMP dst adalah kelengkapan pelajaran dasar adat istiadat. Namun, dalam perkembangannya sedikit demi sedikit mulai berubah sesuai dengan keinginan masing-masing dalam memilih sekolahan dan kemampuan intelektualnya.

Saminisme sangat berhati-hati dalam menjaga ucapannya. Apa yang diucapkan adalah "janji atau sabdo" sesuai filsofi “rembugé sing ngati-ati” Para pengikutnya dianjurkan untuk berkata terus terang, apa adanya dan jujur. Saking ketatnya menjaga sikap kejujurannya, ia menghindari pekerjaan sebagai pedagang yang dianggapnya pasti berkata tidak jujur. 

Wong Samin tidak mengenal kata canda atau sapaan pergaulan atau lebih dikenal oleh masyarakat Jawa "lamis".  Dalam menanggapi ucapan orang lain sedulur sikep  seperti menanggapi sesama sedulur sikep "jujur", sehingga sering terjadi kesalahpahaman bilamana masyawarakat non saminisme menawarkan sesuatu yang bersifat "lamis" bicara sekedar menjada persaudaraan ditanggapi serius oleh wong samin, mis : Pedagang makanan menyapa, menyuruh mampir makan soto..., maka wong samin dengan sigapnya makan soto dan pergi dari warung tanpa bayar, kalau ditanya kok tidak bayar, maka dijawab "janjinya disuruh mampir makan soto"... dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang oleh wong samin dianggap wajar dinalar oleh masyarakat umum nyleneh tidak umum.


*) Kamus Besar Bahasa Indonesia : 
uto·pis 1 a berupa khayal; bersifat khayal; 2 n orang yg memimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yg hanya bagus dl gambaran, tetapi sulit untuk diwujudkan.
Berlanjut ke tulisan berikutnya.......

Sumber Pustaka :
  1. Anonim, 1987, Sedulur Sikep, Tempo No. 12 tahun XVII
  2. Annonim, 2003, http://wikipedia.or.id, Masyarakat Samin
  3. Anonim, 2000, Kamus Besar Bahasa Indonesia
  4. Anonim, 2003, www.blorakab.go.id
  5. Anonim, 2000, Kamus Besar Bahasa Indonesia
  6. Soerjono Soekanto (999), Ideologi Kumpulan gagasan ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan dan agama.
  7. Ramlan Surbakti (1999) Fungsi utama ideologi dalam Masyarakat
  8. Sastroatmodjo (2003), Daerah Persebaran Saminisme
  9. Titi Mumfangati (2004), adalah suatu fenomena sosiologi kultural yang unik dan penuh pesan moral dari seorang Tokoh Masyarakat berdarah ningrat yang bernama Raden Kohar atau Samin Surosentiko
  10. Suyami, (2007), Citra Perlawanan Wong Samin Terhadap Pemerintah Belanda
  11. Grandi Hendrastomo (2011), Meluruskan Kembali Konotasi Negatif Wong Samin.

23 Jun 2012

Gunung Merbabu dan Kearifan Lokal Warga Sekitarnya


Prifile G. Merbabu dari Arah Barat
 
Gunung Merbabu berada di perbatasan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Salatiga. Nama Merbabu sendiri  berasal dari kata "maharu = meru" (gunung) dan "abu" (abu) yang berarti gunung yang berwarna abu-abu karena pada saat meletus seluruh permukaan tanahnya tertutup oleh material abu vulkanik dan berwarna abu-abu.
Asal usul nama Merbabu, terdapat versi yang beredar di kalangan Keraton Mataram. Konon, di bumi telah berdiri beberapa kerajaan yang saling berperang. Salah satu kerajaan itu, yakni Mamenang, merupakan kerajaan pemenangnya. Kerajaan itu berada di bawah pimpinan Maharaja Kusumawicitra.
Waktu itu Resi Sengkala atau Jaka Sengkala atau Jitsaka atau umum menyebutnya Ajisaka — telah memberikan nama-nama gunung di seluruh Jawa. Sebelum datang ke Pulau Jawa, sang resi adalah raja yang bertahta di Kerajaan Sumatri. Karena kemenangan Maharaja Kusumawicitra itu, maka segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya diganti namanya disesuaikan dengan kebudayaan Mamenang. Nama Gunung Candrageni, yang semua diberi nama Ajisaka, lantas Kusumawicitra menggantinya menjadi Gunung Merapi. Begitu pula dengan Gunung Candramuka, diubah menjadi "Gunung Merbabu". Sehingga kita mengenal nama Gunung Merapi dan Merbabu.
Dalam naskah-naskah masa pra-Islam ada seorang sakti dari tataran Sunda bernama Bujangga Manik yang seorang pengelana yang hidup pada tahun 1500-an dan pernah singgah dan membuat pertapaan di lereng Merbabu. Bujangga Manik menyebut Gunung Merbabu sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Perjalanan Bujangga Manik di lereng G. Merbabu tecatat dalam naskah catatan Belanda, namun perlu dilakukan konfirmasi dan penelitian lebih lanjut  (Rsi Hindu-Sunda karya KRT. Kusumotanoyo yang dimuat dalam buku Gema Yubileum HIK, Yogyakarta, 1987).
Gunung ini terletak di wilayah Magelang dan Boyolali dengan puncak yang paling tinggi 3142 m dpl. Puncak Gn.Merbabu dapat ditempuh dari 4 jalur yaitu Cunthel, Thekelan (8 jam),  Wekas (6 jam)  atau dari Selo (6 jam). Pemandangan gunung merbabu merupakan selah satu yang terindah di tanah jawa sehingga banyak orang yang mengunjunginya.
Gunung ini di kenal memiliki 7 buah puncak dengan 2 puncak tertinggi yaitu puncak Syarif (3119 mdpl) dan Puncak Trianggulasi (3142 mdpl). Lima (5) puncak lainya adalah Watugubuk, Watutulis, Gegersapi, Ondorante dan Kentengsongo. Gunung ini juga memiliki 5 buah kawah yaitu  kawah Condrodimuko, kawah Kombang, Kendang, Rebab, dan kawah Sambernyowo.
Diyakini oleh (sebagian) warga masyarakat setempat bahwa Puncak Watugubuk atau batu dangau adalah gapura menuju alam kerajaan setan. 

Puncak Kentheng Songo (lumpang 9), Mitos
Keangkeran Gunung Merbabu

Puncak gunung Merbabu berada pada ketinggian 3.145 meter di atas permukaan air laut. Menurut catatan Geologi, gunung ini pernah meletus pada tahun 1560, 1570 dan 1797 bersamaan dengan awal penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijogo ke beberapa daerah di Jawa Tengah termasuk di kawasan lereng Gunung Merbabu. Indikasi dakwah Kanjeng Sunan di kawasan ini dapat dikenali dengan legenda yang berkembang di masyarakat setempat yang lebih dikenal dengan "Mesjid Tiban" yang diyakini masyarakat adanya mesjid yang terjadi dengan seketika tatkala Kanjeng Sunan berdakwah di lokasi itu. Salah satu contoh mesjid tiban adalah bangunan mesjid  di  Dusun Margowangsan dan Dusun Kebo Kuning, Desa/Kec. Sawangan. Menurut ceritera pinisepuh, terbangunnya kedua bangunan masjid tersebut berbarengan dengan munculnya legenda "makhluk astral"  berupa ular naga yang disebut Kyai Margowongso dan kerbau bule disebut Kyai Kebo Kuning. Diyakini oleh warga setempat bahwa kedua makhluk tersebut merupakan keajaiban yang ditinggalkan Sunan Kalijogo di kawasan itu  pasca dakwah sekitar tahun 1500-an, namun tidak diketahui tahunnya apakah berbarengan atau tidak dengan datangnya pengembaraan Tokoh Spiritual Islam dari Tanah Pasundan bernama Bujangga Manik ke kawasan lereng Merbabu.

Keajaiban bangunan diperkuat dengan kekuatan mistis pelengkap peralatan masjid seperti "soko guru masjid", "kenthongan" dan "bedhug" yang dipercaya sebagai hasil karya Kanjeng Sunan Kalijogo. Fisik kenthongan asli akhirnya hilang tidak diketahui entah kemana, sedangkan Soko Guru asli masih terlihat pada saat renovasi tahun 1970-an. Keangkeran masjid dan lingkungannya masjid dibarengi dengan mitos penunggu lingkungan kedua Dusun tersebut dengan munculnya Kyai Kebokuning dalam bentuk kerbau dan Kyai Margowongso dalam bentuk ular raksasa yang menampakkan diri pada waktu-waktu tertentu.
Dalam catatan sejarah Babad Tanah Jawa, daerah lereng Merbabu adalah ajang peperangan dalam konflik politik internal Kerajaan Mataram dan meninggalkan jejak berupa peninggalan pusaka-pusaka leluhur yang dibawa oleh para Laskar yang sebagian kemudian bermukim di Lereng Merbabu pasca perang saudara. Karakter heroic mantan laskar tersebut masih meninggalkan jejak hingga saat ini dengan indikasi pola perilaku keturunan para Laskar yang berkecenderungan untuk belajar  ilmu kanuragan guna mempertahankan kehidupan (survival) dan kesempurnaan hidup bathiniahnya. Konflik politik kerajaan mataram tahun 1500-an berakhir dengan Perjanjian Giyanti tahun 1779 yang ditandatangani oleh pihak Kompeni dan Mataram di Desa Giyanti berlanjut pada  Perang Diponegoro tahun 1825 - 1830. Tercatat ada sepasang sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro bernama Pangeran Dirgonegoro dan Nyai Suntiaking yang bermukim di lereng Merbabu hingga meninggal dan jasadnya dikubur  di pekuburan Mudal.

Tipu muslihat Belanda tidak akan dilupakan oleh anak cucu laskar Pangeran bersama masyarakat sekitarnya. Pasca tertangkapnya Pangeran dengan tipu muslihat dengan label "perundingan", maka bermunculan tokoh-tokoh sakti dari Lereng Merbabu yang turut andil dalam Perang Gerilya dalam merebut kemerdekaan RI. Masyarakat lereng Merbabu dikenal sebagai ksatria gagah berani di medan perang. Situasi peperangan dalam kurun waktu yang cukup lama telah membentuk kepribadian sifat heroisme masyarakat setempat dengan memanifestasikan dalam bentuk kesenian tradisional yang bernuansa peperangan dengan berbagai versi misalnya : Jathilan, Jalantur, Cakalele, Tari Campur, Soreng, dls.
Dilihat dari anthropologi linguistik,  warga masyarakat Lereng Merbabu adalah komunitas yang memiliki intonasi Bahasa Jawa khas dan tidak ditemukan di daerah lain. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Jawa Ngoko dengan kosa kata yang sedikit berbeda dengan kosa kata masyarakat di daerah lain.

Dari sisi keyakinan, masyarakat sangat faham untuk membedakan antara keberadaan kekuatan alam dengan aqidah agama yang dianut.  Dalam hal mana dilakukan untuk kelestarian budaya  dan hal mana harus meluruskan aqidah beragama.  Sebagian besar warga masih melakukan ritual-ritual : Wiwit pada awal penanaman padi dan palawija, Kirab 1 Sura, Saparan, Nyadran menjelang bulan Ramadhon, selamatan 3-hari, 7 hari, 100 hari dan 1000 hari pasca kematian seseorang.

Di wilayah lereng Merbabu masih dikenal adanya anak yang lahir dengan rambut gembel (gimbal) yang diyakini sebagai penjelmaan Bathara Kala. Jika rambut sudah panjang dan sudah waktunya dipotong, maka pemotongan rambut harus dilakukan "ruwat" atau membuang "sukerto" agar tidak menjadi malapetaka bagi dirinya maupun bagi masyarakat di sekitarnya. Adanya keyakinan bahwa G. Merbabu ditunggu oleh Dahyang Tokoh Pewayangan Bagong yang umurnya lebih tua. Bilamana G. Merapi menyemburkan lava tidak mungkin akan mengarah ke G. Merbabu. Oleh karenanya, wilayah G. Merbabu digunakan untuk daerah pengungsian, manakala terjadi letusan G. Merapi. 

Petani Tegalan Panen Kobis (Kol) siap
Diangkut ke Pasar Magelang
Kepercayaan tersebut diatas adalah proses sejarah yang harus dilakoni oleh generasi pada zamannya. Pada tahun 1500 - 1945 ada kecenderungan  untuk mencari jati diri yang bisa menyelamatkan dirinya dari ancaman fisik penjajah, sehingga tidak sedikit warga Lereng Merbabu yang demen berguru olah kanuragan (kesaktian fisik). Generasi ini bermunculan tokoh-tokoh sakti yang notabene adalah sisa-sisa Laskar Mataram dan Pengikut P. Diponegoro yang memiliki militansi tinggi dalam memerangi keberadaan Kompeni yang bermarkas di Magelang. Kelompok warga masyarakat ini menamakan diri sebagai "kenthol sawangan" yang bermakna jiwa ksatria laki-laki dari daerah Sawangan dan sekitarnya.

Generasi tahun 1945 - 1960 adalah masa transisional dari dominasi popularitas dari tingkat kesaktian fisik menjadi kecenderungan peningkatan pendidikan. Pada zaman ini bermunculan Pejabat-pejabat yang populer di Ibukota Republik dan di Ibukota abupaten. Generasi tahun 1960 hingga saat ini adalah generasi kompetitif. Setiap warga dengan sumberdaya yang mereka miliki bersaing tanpa mengenal batas wilayah dan waktu.

Fenomena kompetisi dengan pemanfaatan sumberdaya telah dan sedang terjadi dengan pengumpulan harta kekayaan di satu pihak dan pengurasan harta kekayaan dilain fihak. "wolak waliking jaman" orang kaya jadi miskin dan orang miskin jadi kaya adalah resiko perubahan jaman yang dilakoni oleh generasi kompetitif. Fenomena demikian benar-benar terjadi di wilayah ini.

Sebagian warga masih ada yang menjalankan adat kejawen sebagai bentuk manifestasi dalam mempertahankan adat budaya lokal tanpa merusak aqidah. Banyak pemuka agama (Kyai) generasi tua yang berguru (nyantri) di Pondok-pondok Pesantren di Jawa Timur. 
Masjid Jami' Darul Qiyam, Ponpes Modern
Darul Qiyam Gontor 6,Gadingsari, Swg - Magelang
tepatnya tgl.22 Februari 2000 berdiri Pondok Pesantren Modern Darul Qiyam Gontor-6 di Dusun Gadingsari atas prakarsa Tokoh Masyarakat setempat yang juga mantan Sekretaris Jenderal Departemen Agama  RI  (Bpk. K.H. Kafrawi) dan istrinya (Ibu Qayyumi) di Dusun Gadingsari dengan nama Pondok Modern Gontor VI Darul Qiyam. Dalam proses belajar mengajar Ponpes ini mengacu kepada kurikulum Ponpes Modern Darusalam Gontor - Ponorogo. Guru Ponpes berasal dari senior pondok yang bersifat sukarela (tidak digaji), Santri berasal dari warga setempat dan seluruh penjuru Tanah Air. Uang pemondokan hanya sekedar untuk uang makan sebulan cukup Rp.450.000,-/bln (2011). Dengan berdirinya Pondok Pesantren ini maka semakin harum nama warga Sawangan - Lereng Merbabu yang dulu lebih dikenal dengan atribut Kaum Santri Abangan, semakin lama tergantikan dengan generasi Islam modern.
Tanah Persawahan Kulon Mudal, Ijo Royo-royo
Dari aspek penghidupan, sebagian besar warga masyarakat Lereng Merbabu sebagai Petani lahan kering (tegalan) khususnya di sebelah utara S. Mangu dan sebagian kecil Petani lahan basah (sawah) khususnya wilayah yang mendapat aliran sungai Mangu dan S. Pabelan. Sebagian kecil lainnya berprofesi sebagai Wiraswastawan dan Pegawai Negeri. Dilihat dari karakteristik hubungan timbal balik antar warga, komunikasi dilakukan secara tradisional. Gethok-tular dari satu orang kepada orang lain dalam disseminasi berita,  kenthongan, bedug dan pengeras suara masjid-masjid sangat efektif dalam penyebarluasan informasi. 

Kearifan Lokal Warga Lereng Merbabu
Jika di Tanah Pasundan ada adat Sunda Wiwitan, di sekitar Kab. Blora dan Pati ada adat "Sedulur Sikep", maka di sekitar Lereng Merbabu ada kearifan lokal khas daerah setempat dengan beberapa perkecualian.

Warga Lereng Merbabu meliputi wilayah Kecamatan Sawangan, Ngablak dan Candimulyo berpenghidupan sebagai petani tanah kering dan sebagian kecil khususnya di wilayah Kec. Sawangan bagian bawah sebagai petani tanah basah (tanah loh) karena mendapat pasokan air dari aliran sungai dari lereng G. Merapi yang. Kondisi tanah dan iklim di Lereng Merbabu berbeda dengan  tanah di sekitar Lereng Merapi. Tanah lereng Merbabu latosol merah, subur dengan iklim relatif lebih kering dibandingkan dengan tanah di Lereng Merapi yang sebagian besar grumusol aluvial sangat subur dengan iklim basah. 
Aksesibilitas dari perkotaan menuju perkampungan dan antar kampung sudah diperkeras hot-mixed asphalt mulai tahun 1980. Bahkan jalur jalan asphalt sudah menjangkau areal pertanian sampai di perbatasan perkampungan paling atas di daerah Gerdu, Soronalan sampai Wonolelo.
Dari aspek komunikasi, tower repeater jaringan komunikasi sattelite sudah dibangun sampai di Puncak Merbabu, sehingga warga perkampungan sudah terbiasa berhubungan dengan dunia luar dengan menggunakan alat komunikasi Hand Phone, CPU dan Lap Top.

Kondisi kesuburan tanah, iklim, sarana jalan, aksesibilitas, komunikasi berpengaruh terhadap karakter masyarakat setempat. Walaupun perkampungan warga Lereng Merbabu sudah tergolong "open akses", namun dalam hal-hal tertentu tetap ada yang dipertahankan dalam kerangka kelestarian adat budaya dan penghidupan mereka yang menjadi ciri khas melekat sebagai pandangan hidup bermasyarakat. Beberapa hal tsb, a.l 

  • Tedak Wewaler 
Wewaler atau disebut juga "pamali" bukan ajaran agama tetapi adat budaya yang diwariskan secara lisan turun-temurun. Warga setempat sangat menghargai tedak wewaler yang diwariskan oleh para sesepuh dan diyakini sebagai pedoman larangan melakukan sesuatu. Jika wewaler dilanggar maka secara kebetulan atau adanya daya sugesti, yang bersangkutan akan menemui sial.
Beberapa contoh wewaler a.l "aja turu wayah surup / candik ala.." jangan tidur waktu menjelang maghrib, "aja nyapu wayah bengi.." jangan menyapu pada malam hari, "aja clewa-clewo nek omong mundak kedaden" jangan bicara clometan nanti benar-benar terjadi, dll masih bersifat larangan dalam berperilaku.

Dalam kaitannya dengan dorongan semangat menggapai kinerja, beberapa wewaler yang masih banyak dianut adalah adanya : "bangun tidur jangan sampai keduluan ayam mencari makan" yang berarti harus bangun pagi-pagi untuk segera bekerja, "ngupoyo kadidene tumetesing banyu saduwure watu item, ing tembe watu biso bolong", yang berarti berupaya keras setiap hari, secara tekun terus menerus, suatu saat upaya tsb akan kesampaian juga.
  • Semedulur
Semedulur berarti mengakui bahwa semua manusia adalah saudara yang perlu diperlakukan dengan baik tidak memandang siapa dan darimana asalnya. Suasana keakraban antar Warga Lereng Merbabu dan antara Warga dengan orang lain yang belum dikenal (tamu) sangat terbuka. Dalam filosofi bermasyarakat dikenal "mampir mbedang atau ngombe wedang" yang berarti  mengajak persaudaraan. 
Jika kita masuk perkampungan lewat di depan rumah orang jangan kaget pasti akan diteriaki "tindak pundi mas.., dik, pinarak rumiyin..." (mau kemana mas, dik, singgah dulu. Warga yang memanggil kita pun mencatat dalam hati. Jika saat itu kita terus singgah dan duduk di teras seadanya, maka akan disuguhi minum teh dan makanan yang ada di rumah dan warga mempersilahkan merahabinya sambil bicara tanya jawab sepuasnya, sampai pertamuan selesai. Jika saat itu kita tidak meminum dan makan yang disediakan, warga menilai tidak menghargai jerih payah untuk membuat saduara baru yang berarti telah menolak adat budaya setempat. Akibat perbuatan itu, maka jika kita lewat di depannya, maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah melihat warga menyapa kita atau menyodorkan suguhan.  

Persaudaraan antar warga antar perkampungan sangatlah erat. Nama seseorang dan kontribusi terhadap kehidupan warga akan membawa  popularitas seseorang.  Dari aspek hubungan persaudaraan antar individu, antar famili dan antar perkampungan dilakukan penuh keakraban. Jika seseorang belum dikenal, maka akan mananyakan "sopo bapakmu nang (laki-laki) , nok (perempuan)", yang berarti menanyakan bapaknya siapa. Oleh karenanya, performance seorang bapak sangat menentukan dalam citra bermasyarakat di masyarakat Lereng Merbabu. Citra positif atau negatif sang ayah akan melekat kepada anaknya. Konotasinya, jika seorang anak berprestasi dan memiliki kinerja cemerlang, maka warga akan menyebutnya : "dasar anake bapak A, wis lumrah yen legi rembesing madu"  yang berarti sudah wajar seorang anak berprestasi cemerlang karena keturunan dari seorang bapak yang baik. Akan tetapi seorang mendapat konotasi negatif mis : "endah-endah anake Bapak B, yen pancen dasare wingko yo ora mungkin katon kencono" yang artinya penilaian seorang anak bengal dinilai dari kejelekan tabiat seorang bapak.  

Dalam hal penelusuran individu di seluruh perkampungan sangat mudah. Setiap orang yang tinggal  di wilayah Lereng Merbabu saling mengenal satu sama lain. Jika seseorang masuk ke wilayah Kecamatan Sawangan dan bagian atas Candimulyo, maka begitu menanyakan nama seseorang, maka akan ditunjukkan dimana rumahnya dan keberadaan yang bersangkutan saat itu. 
Pada prinsipnya, semedulur adalah fenomena pola tindak-tanduk masyarakat dalam bentuk olah verbal bahkan pengorbanan materi untuk membangun dan memelihara tali slaturahmi yang diyakini akan membawa berkah selama-lamanya.
  • Ngalah Mekalah
Filosofi menghindari perpecahan di dalam tata kehidupan bermasyarakat ini sangat umum di seantero wilayah dimana masyarakat Jawa berada. Sikap kalah mekalah ini adalah bentuk pemaaf yang luar biasa, walaupun sebenarnya bisa melawan secara fisik, namun demi sesuatu manfaat yang lebih besar, maka dengan jiwa besarnya memilih untuk tidak melakukan serangan balik (feedback).
Namun, jangan harap anda mendengarkan kata maaf jika tekanan sudah diluar batas kelayakan dan harga dirinya merasa terinjak.  Mereka akan menunjukkan perlawanan baik secara tidak terus terang, kasat mata (mistis)untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar maupun secara fisik jika dianggap dengan cara melawan secara halus sudah tidak berpengaruh terhadap perubahan sikapnya.  
Kalah mekalah bisa berubah bentuk menjadi sikap pemberani, jika dibarengi dengan i'tikat pembelaan terhadap kebenaran dalam melawan kenistaan.

  •  Temen tinemu

Warga masyarakat lereng Merbabu yang penghidupannya bertani  di lahan lahan kering (tegalan) dan sebagian di lahan pengairan dikenal sebagai masyarakat yang ulet. Begitu pula yang hidup di sektor non pertanian dikenal sangat teguh memegang amanah. Orangtua dalam menyampaikan pesan kepada anak-anaknya dengan filosofi "sapa temen bakal tinemu, jer basuki mawa bea" yang berarti segala sesuatu keberhasilan harus dibarengi dengan upaya. Temen adalah kekuatan hati memegang komitmen terhadap perjuangan mencapai suatu tujuan luhur.

Alhasil, wasyukurillah berkah dari menghindari pantangan-pantangan moral, memelihara silaturahmi, mengalah atau menghindari konflik dan komitmen "temen" memegang teguh amanat leluhur, maka hingga saat ini warga lereng Merbabu selalu dalam kondisi gemah ripah, titi tentrem dalam lindungan Yang Maha Kuasa, insya allah.

Demikian sekelumit tinjauan aspek anthropologi terhadap warga di lingkungan kami warga Lereng Merbabu.

Sumber Pustaka : 
  1. Anonim (2011) Babad Tanah Jawa, http://www.wikipedia.or.org/
  2. KRT. Kusumotanoyo, 1987, Rsi Hindu-Sunda dimuat dalam buku Gema Yubileum HIK, Yogyakarta.



5 Jan 2012

Norma Sosial dan Sanksi Pelanggarannya

Perumahan pedesaan lereng Merbabu (Glondong) 
memiliki karakteristik tata sosial yang unik. 
Pengunjung Merbabu NingraT's Blog yang budiman, saya tertarik menulis artikel ini karena terinspirasi dari tayangan di TV Nasional adanya fenomena di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan yang cenderung "beringas". Sejak reformasi politik di tahun 1998 telah menimbulkan dampak luar biasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Alam demokrasi telah mendorong transparansi di berbagai bidang, antara lain ke-ingintahu-an seseorang atau kelompok terhadap isi di dalamnya orang lain atau kelompok lain. Ke-ingintahu-an masyarakat terhadap olah krida Pemerintahnya, bahkan ke-ingintahu-an ideologi suatu komunitas penggiat suatu Agama atau kepercayaan terhadap komunitas atau ummat agama yang lain. 

Jejaring sosial pun telah memicu transformasi budaya dari kondisi introvert (pendiam) yang dimiliki seseorang menjadi manusia extrovert (vulgar) dalam mengekspresikan uneg-unegnya. Disamping nilai positip terdapat pula dampak eksesive yang berakibat pada saling serang argumentasi yang sudah tidak pantas dibaca orang lain bahkan sampai kepada dampak kriminal dalam pergaulan muda-mudi.   

Ujung-ujungnya, ketidaksesuaian argumentasi, keyakinan, pemikiran pihak lain terhadap yang diyakini oleh dirinya atau kelompoknya, maka terjadilah saling ejek, saling cemooh bahkan pembakaran rumah serta bentrok berdarah.   Kayaknya saudara-saudara kita ada yang salah dalam memahami makna hidup bersosialisasi.
Mari kita tarik ke belakang dasar-dasar pengetahuan sosial, mulai dari Norma dan Sanksinya.

Norma Sosial
Norma sosial dalam sosiologi adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui lingkungan sosialnya.

Sanksi Pelanggaran Norma Sosial
Adalah sanksi yang diterapkan oleh norma ini membedakan norma dengan produk sosial lainnya seperti budaya dan adat. Ada/tidaknya norma diperkirakan mempunyai dampak dan pengaruh atas bagaimana seseorang berperilaku. Proses terbentuknya norma dalam kehidupan manusia sebagai mahluk sosial memiliki ketergantungan dengan manusia lainnya. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok, baik kelompok komunal maupun kelompok materiil. Kebutuhan yang berbeda-beda, secara individu/kelompok menyebabkan benturan kepentingan. Untuk menghindari hal ini maka kelompok masyarakat membuat norma sebagai pedoman perilaku dalam menjaga keseimbangan kepentingan dalam bermasyarakat.



Tingkatan penegakan dalam norma
Pelanggaran norma yang dikenakan sanksi hukum termasuk penegakan hukum. Pelanggar norma yang diterapkan dianggap eksentrik atau tak normal (perilaku diluar kebiasaan). Perilaku lainnya diluar norma tidak diakui. Norma-norma telah di asumsikan lebih dahulu, dan seringkali pada tingkat ekstrem dimana pada setiap penentangan norma bisa memprovokasi stigma atau sangsi.
Contoh: Kata orang tua seringkali diasumsikan bahwa seseorang itu telah menikah. Pada pasangan yang telah menikah (suami-istri) selalu dianggap bahwa pasangan tersebut akan memiliki atau menginginkan anak.

Macam macam norma menurut penegakannya :
1. Norma sosial
a. Cara (usage)
b. Kebiasaan (Folkways)
c. Tata kelakuan (Mores)
d. Adat istiadat (Custom)

Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan.
Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman.
Contoh : siswa yang terlambat dihukum tidak boleh masuk kelas, bagi siswa yang mencontek pada saat ulangan tidak boleh meneruskan ulangan.

Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisis tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar.

Cara (usage)
Cara adalah suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat tetapi tidak secara terus-menerus. Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak mengeluarkan suara seperti hewan. Kebiasaan (folkways) Kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar. Contoh: Memberi hadiah kepada orang-orang yang berprestasi dalam suatu kegiatan atau kedudukan, memakai baju yang bagus pada waktu pesta. kesopanan dalam berperilaku / berpenampilan sopan

Tata kelakuan (mores)
Tata kelakuan adalah sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur memaksa atau melarang suatu perbuatan. Contoh: Melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau menikahi saudara kandung. Adat istiadat (custom) Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya.

Norma agama
Norma agama adalah petunjuk hidup yang berasal dari Tuhan yang disampaikan melalui utusan-Nya yang berisi perintah, larangan dan anjuran-anjuran. Contoh-contoh norma agama ialah: Rajin beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan, berdoa sebelum makan, sebelum tidur, sebelum perjalanan, sebelum belajar, sebelum memasuki tempat ibadah, dll. Mencegah dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Mengimani adanya Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Pelanggar norma agama mendapatkan sanksi secara tidak langsung, artinya pelanggarnya baru akan menerima sanksinya nanti di akhirat berupa siksaan di neraka.

Interaksi sosial
Merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku,interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan - aturan dan nilai – nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi masing – masing,maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari – hari tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu dengan yang lainnya,ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran. Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto di dalam Pengantar sosiologi, interaksi sosial merupakan kunci semua kehidupan sosial. Norma sopan santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok itu.


Pustaka Pendukung :
  1. http://wikipedia.or.org/, 2012, Norma Sosial
  2. Prof. Dr. Soerjono Soekamto, 1990, Pengantar Sosiologi.


Norma Kesopanan
Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.
Contoh-contoh norma kesopanan ialah:
1. Menghormati orang yang lebih tua.
2. Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan.
3. Tidak berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.
4. Tidak meludah di sembarang tempat.
5. tidak menyela pembicaraan.

Norma kesopanan sangat penting untuk diterapkan, terutama dalam bermasyarakat, karena norma ini sangat erat kaitannya terhadap interaksi antar individu dan individu dengan masyarakat sekitarnya.
Sekali saja ada pelanggaran terhadap norma kesopanan, maka pelanggar akan mendapat sanki dari masyarakat berupa non materiil dan bersifat moral accident yang menyakitkan hati dan tidak bisa dihapus serta tidak ada subtitusi tebusan, terkecuali si pelanggar bertindak ekstra dalam berbuat baik terhadap seluruh masyarakat yang terkena dampak pelanggarannya.
Kesopanan merupakan tuntutan dalam hidup bersama. Ada norma yang harus dipenuhi supaya diterima secara sosial. Sanksi bagi pelanggar norma kesopanan adalah tidak tegas, namun, sanksi sosial sangat sensitif dan membekas di hati si pelanggar. Sampai-sampai masyarakat Jawa dalam memberikan sanksi sosial sering diungkapkan dalam kata-kata "kapokmu kapan"  terhadap pelanggar kesopanan menerima cemoohan, celaan, hinaan, atau dikucilkan dan diasingkan dari pergaulan serta di permalukan. Dalam beberapa kasus pelangagran kesopanan terhadap adat istiadat suatu masyarakat, si pelanggar harus menerima bogem mentah, didiamkan (Jw: di-neng-ke) oleh lingkungannya, diusir dari desa bahkan penghilangan nyawa secara magical.

Norma hukum
Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
Dalam bermasyarakat, walaupun telah ada norma untuk menjaga keseimbangan, namun norma sebagai pedoman perilaku kerap dilanggar atau tidak diikuti. Oleh karena itu dibuatlah norma hukum sebagai peraturan/ kesepakatan tertulis yang memiliki sanksi dan alat penegaknya.

Perbedaan antara norma hukum dan norma sosial adalah
Norma hukum aturannya pasti (tertulis), mengikat semua orang, memiliki alat penegak aturan, dibuat oleh penegak hukum, bersifat memaksa dan sanksinya berat. Sedangkan
Norma sosial, aturannya tidak pasti dan tidak tertulis, alat penegak norma adalam khalayak tidak pasti (kadang ada, kadang tidak ada), dibuat oleh masyarakat, bersifat tidak terlalu memaksa dan sanksinya secara materi tidak ada tetapi secara moral lebih berat serta tidak bisa dihapus sampai ybs mati.