Daerah Persebaran Saminisme
Profile Raden Samin Soerosentiko (1859 - 1914) |
Daerah persebaran ajaran Samin menurut Sastroatmodjo (2003) diantaranya di Tapelan (Bojonegara), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunngsegara (Brebes), Kandangan (Pati) dan Tlaga Anyar (Lamongan), 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro.
Kawasan daerah Pati dan Brebes, terdapat sempalan Samin yang disebut Samin Luar (Samin Njaba) dan Samin Anyar yang telah meninggalkan tatacara hidup Samin lama. Selain itu, di Klapa Duwur (Blora) Purwosari (Cepu) dan Mentora (Tuban) dikenal “wong sikep”, mereka ini pada awalnya fanatik terhadap ajaran saminisme, tetapi kini mereka meninggalkan ajaran dasar dan memilih agama formal, yakni Budha-Dharma.
Golongan atau Sempalan Saminisme
Sebelumnya gerakan Samin sudah didahului oleh ayahnya Raden Soerowijoyo, sehingga pengikutnya disebut Samin Sepuh. Sedangkan pengikut Kyai Samin Surosentiko merupakan generasi kedua yang disebut Samin Anom untuk melanjutkan gerakan dari sang Ayah. Di masa kepemimpinannya warga pengikut Saminisme selalu berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin secara militan. Sebagai cucu seorang Pengeran, Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah rakyat jelata atau petani biasa. Dia adalah seorang Bangsawan yang menyamar sebagai rakyat jelata yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.
Adapun kelompok pengikut ajaran samin yang sudah meninggalkan ajaran asli saminisme disebut Wong Sikep atau Sedulur Sikep.
Bentuk Pergerakan di Lapangan
Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme sbb :
Pertama,
Gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung;
Kedua,
Gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok dan
Ketiga,
Gerakan yang nyeleneh berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negara, memboikot peraturan agraria dan mengkultuskan diri sendiri sebagai dewa suci.
Wujud gerakan pertentangan terhadap Pemerintah Belanda adalah menolak segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Pemerintah Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Sikap pertentangan tersebut kemudian dibakukan dan dibukuan dengan membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Dalam Serat Punjer Kawitan yang ditulis Samin Surosentiko, menegaskan bahwa tanah Jawa bukan milik Hindia Belanda, bukan milik penguasa, akan tetapi milik keturunan Pandhawa yaitu keturunan Majapahit. Atau secara luas, tanah Jawa adalah milik Orang Jawa. Maka ketika pemerintahan Hindia Belanda menarik pajak dari warga, Samin Surosentiko menganjurkan untuk menolak pajak tersebut. Sebab kita hidup di tanah warisan leluhur kita sendiri, sehingga pemerintah Hindia Belanda serta para pejabat-pejabat pada tidak berhak menarik pajak dari masyarakat. Selain itu, gerakan saminisme juga sebagai gerakan penolakan terhadap pemerintah yang membatasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan.
Pasca pengangkatan dirinya oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Belanda mencium saminisme sebagai gerakan perlawanan dan Samin Surosentiko beserta delapan pengikutnya ditangkap lalu dibuang ke Sawahlunto – Sumatera Barat dan meninggal pada tahun 1914. Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya di distrik Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi kurang berhasil.
Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.
Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak. Perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti pada tahun 1930 karena tidak ada figur pemimpin yang tanggguh.
Pschywar melalui Perilaku Nyleneh
Pemerintah Belanda dalam menjalankan aturan sangat represif bahkan secara sadistik menghilangkan nyawa bagi pelaku pergerakan sosial. Kepiawaian Samin Soerosentiko melakukan perang urat syaraf melalui gerakan perlawanan terhadap Belanda dilakukan secara nyeleneh, akan tetapi pada dasarnya lebih humanis karena tanpa kekerasan, sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Hal ini merupakan bentuk perjuangan melawan penjajah tanpa senjata (no violence, no weapon warfare). Ketika para Pamong Desa akan menarik pajak, warga pengikut Samin disarankan untuk berperilaku aneh (Jw : nggendeng atau nyamin) menyerupai orang gila. Bahkan ketika berhadapan dengan para pamong atau pejabat pemerintahan disarankan tidak perlu hormat. Cara-cara aneh tanpa kekerasan inilah pemerintah Hindia Belanda mengalami kewalahan dalam memperlakukan pengikut Samin Surosentiko.
Perkembangan Ajaran Samin
Seiring perkembangan jaman, perjalanan ajaran Samin dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Dengan demikian orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius, walaupun tidak pernah menyebut nama agamanya.
Pada masa pemerintahan Penjajah Belanda, bentuk refleksi kejengkelan kepada Penguasa pemerintahan di Randublatung adalah berupa boikot membayar pajak, mengambil pohon kayu di hutan semaunya, bepergian tanpa membayar karcis kereta dan sebagainya. Perbuatan di atas membuat Belanda geram karena telah merusak regulasi yang sudah diberlakukan kepada khalayak, sehingga menimbulkan kontradiksi yang semakin membara antara Warga Samin dengan Pemerintah Belanda.
Pasca dibuangnya Kyai Samin ke Sawahlunto – Sumbar tahun 1914, jiwa militansi ideologi pengikut saminisme terhadap pemimpinnya sampai saat ini masih mengakui bahwa Kyai Samin tidak pernah mati. Tokoh Kyai Samin dimitoskan secara fanantik pada momentum perayaan ritual “Rasulan dan Mauludan” sebagai ajang untuk mengenang jiwa kepahlawanan Kyai Samin.
Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berpegangan pada “kepek” yaitu sejenis buku primbon yang mengatur tata kehidupan secara luas tentang kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antar warga Samin.
Setiap pemuka masyarakat Samin selalu berpegangan pada “kepek” yaitu sejenis buku primbon yang mengatur tata kehidupan secara luas tentang kebijaksanaan, petunjuk dasar ketuhanan, tata pergaulan muda-mudi, remaja, dewasa dan antar warga Samin.
Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu Bahasa Kawi yang ditambah dengan dialek setempat. Kepribadian yang polos dan jujur dapat dilihat setiap ada tamu yang datang, orang Samin selalu menyuguhkan makanan yang dimiliki dan tidak pernah minyimpan makanan yang dimilikinya. Menyuguhkan sesuatu sesuai kemampuan mengkonsumsi tamunya, maksudnya jika dalam bertamu hanya dapat menghabiskan setengah cangkir kopi dan seperempat piring nasi, maka dilain kesempatan bertamu tidak akan menyuguhkan lebih dari kemampuan sang tamu menghabiskan barang suguhannya. Begitu juga dalam bertamu selalu menepati janji pemilik rumah. Jika pemilik rumah menawarkan suguhannya untuk dimakan, maka mereka berusaha untuk memakan barang yang disuguhkan.
Pandangan hidup warga Samin terhadap ritual perkawinan mereka menganggap bahwa dengan melalui ritual perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (realitas) yang selalu menekankan pada dalih kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan serta tanggung jawab sosial.
Warga Samin percaya dalam menuju kemajuan tidak harus melalui percepatan tetapi dilalui dengan cara “kecermatan” dan memakan waktu “alon-alon waton kelakon” dan menghindari gerakan membangun secara cepat tetapi salah sasaran “kebat kliwat”. Perilaku penolakan bantuan mesin traktor, huller dan sarana produksi pertanian lainnya untuk menghindari matinya para peternak sapi dan tukang cangkul dalam menggarap sawah ladang mereka.
Pandangan terhadap pakaian, adalah menjaga karakteristik identitas tradisional yang penuh kesederhanaan dan tidak perlu glamour. Pakaian yang digunakan orang Samin cukup dengan kain jenis “blacu” yaitu kain yang terbuat dari bahan benang kapas dengan dominasi warna hitam dan ikat kepala hitam yang disebut “iket atau udeng”.
Masyarakat Samin juga mengalami perkembangan dalam hal kepercayaan dan tata cara hidup. Dalam Serat Punjer Kawitan yang ditulis Samin Surosentiko, menegaskan bahwa tanah Jawa bukan milik Hindia Belanda, bukan milik penguasa, akan tetapi milik keturunan Pandhawa yaitu keturunan Majapahit. Atau secara luas, tanah Jawa adalah milik Orang Jawa. Maka ketika pemerintahan Hindia Belanda menarik pajak dari warga, Samin Soerosentiko menganjurkan untuk menolak pajak tersebut. Sebab kita hidup di tanah warisan leluhur kita sendiri, sehingga pemerintah Hindia Belanda serta para pejabat-pejabat pada tidak berhak menarik pajak dari masyarakat. Selain itu, gerakan saminisme juga sebagai gerakan penolakan terhadap pemerintah yang membatasi masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan.
Bentuk perjuangan melawan penjajah dengan senjata adalah hal yang buruk karena akan memakan korban jiwa. Maka ketika ketika para pamong akan menarik pajak, pengikut Samin disarankan untuk berperilaku nyeleneh, nggendeng atau nyamin menyerupai orang gila. Bahkan ketika berhadapan dengan para pamong atau pejabat pemerintahan tidak perlu hormat. Dengan cara yang aneh tetapi tidak dengan kekerasan inilah yang membuat ajaran ini bisa berkembang. Sebab dengan berperilaku nyamin tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengalami kewalahan dalam memperlakukan pengikut Samin Soerosentiko. Untuk menghentikannya, Pemerintah Hindia Belanda menangkap Samin Surosentiko beserta beberapa pengikutnya di sekitar Randu Blatung Blora kemudian diasingkan keluar Jawa. Namun gerakan ini tidak begitu saja berhenti, sebab pengikut ajaran ini telah lebih dulu berkembang di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan bertahan sampai perginya Belanda dari Indonesia (Imam Subkhi, Kompas 2005).
Ciri khusus wong Samin yang hingga kini masih dipertahankan adalah tidak sertamerta menerima program campurtangan Pemerintah. Dalam pemerintahan mereka lebih mengenal “sedulur sikep” terhadap Pejabat Pemerintah Desa atau Pamong Desa, sehingga sistem urusan pemerintahan diurusi oleh Pemerintah Desa dengan mengatasnamakan dirinya sendiri.
Tinjauan Aspek Politik
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa secara umum ideologi sebagai kumpulan gagasan ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan dan agama. Fungsi utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) yaitu: (1) sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat, (2) sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Setiap bentuk perlawanan terhadap Pemerintah Belanda selalu kandas dan memakan korban jiwa karena Belanda sangat represif-otoritarian tanpa mengenal belas kasihan. Idea brilian perlawanan untuk menghindari pertumpahan darah dalam dengan cara-cara nyeleneh, namun pada dasarnya lebih humanis karena tanpa kekerasan. Perjuangan melawan penjajah tanpa senjata adalah suuatu idea yang sulit untuk dilawan secara frontal, a.l boikot pajak, berperilaku aneh (nggendeng, nyamin) menyerupai orang gila adalah bentuk perang urat syaraf (pschywar).
Secara politis, Kyai Samin telah berhasil meletakkan norma politik untuk diimplementasikan terhadap akar rumput melalui jalur kearifan adat tradisional dan diaplikasikan secara militan, terus-menerus lintas generasi yang termuat dalam pola pokok "angger-angger".
Pembakuan dan pembukuan ajaran melalui Serat Jamus Kalimasada dan Serat Punjer Kawitan serta Uri-uri Ing Pambudi adalah bentuk sosialisasi ideologi suatu gagasan secara sistematis terhadap norma politik tersebut diatas ke dalam komunitas penganutnya dengan cara-cara yang bisa diterima masyarakat. Kyai Samin telah berhasil menyebarluaskan manifesto politik “anti penjajah” melalui komunikasi massa yang efektif terhadap sasaran massa akar rumput yang langsung mengalami penderitaan akibat tekanan Pemerintah Penjajah. Pemahaman ideologi suatu norma politik yang disosialisasikan lewat keyakinan dan kepercayaan secara sistematis melalui media komunikasi di pendopo-pendopo kelurahan saat itu adalah bentuk manifesto politik yang cemerlang, yangmana pada zaman itu wawasan dan pengetahuan politik Tokoh Pergerakan belum berkembang seperti pada zaman perjuangan kemerdekaan pada era Soekarno, dkk.
Pada intinya Ideologi Kyai Samin dengan “angger-angger”nya telah merubah peta politik Pemerintah Balanda dalam menjalankan Pemerintahan Kolonisasi di Indonesia.
Pembakuan dan pembukuan ajaran melalui Serat Jamus Kalimasada dan Serat Punjer Kawitan serta Uri-uri Ing Pambudi adalah bentuk sosialisasi ideologi suatu gagasan secara sistematis terhadap norma politik tersebut diatas ke dalam komunitas penganutnya dengan cara-cara yang bisa diterima masyarakat. Kyai Samin telah berhasil menyebarluaskan manifesto politik “anti penjajah” melalui komunikasi massa yang efektif terhadap sasaran massa akar rumput yang langsung mengalami penderitaan akibat tekanan Pemerintah Penjajah. Pemahaman ideologi suatu norma politik yang disosialisasikan lewat keyakinan dan kepercayaan secara sistematis melalui media komunikasi di pendopo-pendopo kelurahan saat itu adalah bentuk manifesto politik yang cemerlang, yangmana pada zaman itu wawasan dan pengetahuan politik Tokoh Pergerakan belum berkembang seperti pada zaman perjuangan kemerdekaan pada era Soekarno, dkk.
Pada intinya Ideologi Kyai Samin dengan “angger-angger”nya telah merubah peta politik Pemerintah Balanda dalam menjalankan Pemerintahan Kolonisasi di Indonesia.
Dengan berjalannya waktu, perkembangan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi maka semakin lama pada kenyataannya saat ini masyarakat akar rumput pengikut saminisme semakin lama semakin berkurang. Kalaupun ada yang melakukan nggendeng atau nyamin dalam urusan pajak, adalah hanya dilakukan oleh oknum bukan atas nama masyarakat saminisme secara luas.
Adapun bagi pengikut Saminsime yang hingga kini masih berperilaku nyleneh perlu sosialisasi atau pemahaman ideologi nasionalisme NKRI yang dilakukan secara konprehensif dan terus-menerus lintas generasi hingga Saudara-saudara kita ini bisa menikmati hasil jerih payah Sang Pembesar Kayi Samin yang menginginkan kemerdekaan dan kesetaraan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara hakiki serta menikmati kesejahteraan lahir dan bathin, amin. Program sosialisasi P4 seperti zaman ORBA perlu diteruskan terhadap Saudara-saudara kita “wong sikep” yang setia memegang nilai-nilai luhur ajaran saminisme untuk dapat mengembangkan diri wawasan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dibawah kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber Pustaka :
- Anonim, 2003, www.blorakab.go.id
- Soerjono Soekanto (999), Ideologi Kumpulan gagasan ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan dan agama.
- Ramlan Surbakti (1999) Fungsi utama ideologi dalam Masyarakat
- Sastroatmodjo (2003), Daerah Persebaran Saminisme
- Titi Mumfangati (2004), adalah suatu fenomena sosiologi kultural yang unik dan penuh pesan moral dari seorang Tokoh Masyarakat berdarah ningrat yang bernama Raden Kohar atau Samin Surosentiko
- Suyami, (2007), Citra Perlawanan Wong Samin Terhadap Pemerintah Belanda
- Grandi Hendrastomo (2011), Meluruskan Kembali Konotasi Negatif Wong Samin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar