3 Sep 2010

"Dusunku Margowangsan" Dari Masa ke Masa





Tanaman padi dgn batas kulon Kampung "ndadah"
AKU dilahirkan thn 1959 di dusun kecil di Lembah Merbabu bagian barat yang “subur sarwo tinandur” bernama Margowangsan - Kel/Kec. Sawangan - Magelang - Jateng.

Dusunku terletak di kaki G. Merbabu lereng barat dan G. Merapi pada ketinggian 350 M dpl, udara sejuk tidak terlalu panas, diapit aliran S. Krasak dan S. Pabelan yang senantiasa mengaliri sawah ladang tanpa mengenal musim. Jenis tanah grumusol aluvial yang sering mendapat guyuran abu vulkanik G. Merapi, membuat petani dapat bercocok tanam segala macam jenis tanaman. Namun, kenyamanan lingkungan  dusunku  bak surga dunia ini menyimpan peristiwa dan perubahan seiring dengan mengalirnya kemajuan zaman.   


Orang hutan bengong cari inspirasidi tengah tanaman buah tomat 
yang subur dan berbuah lebat.   
Konon nama dusunku diambil dari legenda ULAR RAKSASA, mistis adanya Ular (jadi-jadian) yang selalu memperlihatkan diri membentang dari ujung jembatan disebelah utara sampai di ujung sebelah selatan K. Krasak. Penampakan ular raksasa tersebut sudah diketahui warga masyarakat pedusunan di sekitarnya. Lokasi di sekitar dusunku pun tergolong angker, mulai dari penampakan mistis ular besar, kesurupan, dan sejenisnya. Penampakan ular besar pun masih terdengar hingga akhir-akhir ini kepada orang-orang tertentu yang melakukan tirakat di tempat tertentu.





Dinamika perkembangan psikologis dan emosional warga pedusunan dari ceritera jaman Walisongo hingga masa sekarang juga menarik untuk ditulis. Gelora semangatnya seiring dengan trend (kecenderungan) masyarakat di luar secara umum. Secara detail dapat dibaca catatan kecil saya di bawah.

Bagi generasi muda kelahiran 1990 hingga 2000, tulisan ini bisa menjadi bahan cerita tersendiri untuk dikonfirmasikan kepada bapak dan kakek/nenek mereka, yang kebetulan masih sugeng saat ini. Bisa jadi mereka ada yang menyangsikan keberadaannya, kok terlalu bombastis atau dibuat-buat. Tulisan ini adalah fakta, sehingga tergantung tingkat penalaran pembaca saja dalam memahami isi tulisan ini.  






A.Asal Muasal Nama Margowangsan





Nama Pedukuhan di daerah Kecamatan Sawangan pada umumnya diambil dari suatu peristiwa, legenda, pohon, binatang atau wujud alam yang oleh masyarakat setempat saat itu dianggap berpengaruh secara moral. Contoh, Pedukuhan Mudal berasal dari Udal “mata air” yang terletak disebelah utara Pedukuhan Mudal. Dukuh Bendan berasal dari pohon Benda berukuran besar yang tumbuh di ujung Selatan Barat Pedukuhan. Pedukuhan Kebokuning berasal dari legenda Kyai Kebokuning tempat ditemukan seekor kerbau albino kekuning-kuningan.





 Citra Sattelite Dsn Margowangsan - Bendan - Mudal, Google Earth, 2011
Margowangsan berasal dari kata Margo (Jalan) dan Wongso (Ular). Konon legenda rakyat terjadi jauh sebelum kemerdekaan dimana akses antar pedukuhan dari Dukuh Kebokuning dan kawasan Lor Mangu masih menggunakan jalan setapak melewati sebelah barat pedukuhan melintasi Kali Krasak yang dihubungkan dengan Jembatan Bambu. Lalu lintas manusia dan hewan dagangan dari dan ke Kota Muntilan melewati jalan ini. Diceriterakan bahwa lalulintas perdagangan ternak besar dan hasil bumi yang melintasi lokasi ini sudah ramai sehingga sering terjadi pengguna jalan kemalaman sampai di lokasi ini. Menurut beberapa orang yang pernah melihat penampakannya, di tempat itu tampak seekor ular raksasa (jadi-jadian) yang membentang dengan ekornya di ujung jembatan sebelah utara Kali Krasak dan kepalanya berada di ujung pedukuhan di sebelah selatan Kali. Kalau diukur kurang lebih sepanjang 30 M. Penampakan Ular raksasa sering terjadi pada malam Jum’at Kliwon, sehingga menjadi patokan umum bilamana malam Jum’at Kliwon akan melintasi jembatan tersebut, maka yang bersangkutan mengurungkan niatnya menunggu pagi hari, walaupun selama itu belum pernah terdengar berita orang dimakan ular.





Memperhatikan kejadian yang sering dialami oleh masyarakat pengguna jalan, sehingga Pinisepuh Pedukuhan memberi nama “Margowangsan”. Oleh karena terlalu panjang menyebutnya, maka orang awam menyebut “Gangsan”.





Seiring dengan kemajuan jaman, akses jalan dipindah ke jalan seperti posisi sekarang, jalan setapak di ujung barat pedukuhan ditinggalkan, maka boleh dibilang sangat jarang terjadi penampakan. Hilangnya penampakan Kyai Margowongso berbarengan dengan matinya Kyai Kebokuning di Dusun Kebokuning (mBekuning).


B.Pendiri Pedukuhan

Kijing, situs sederhana "Kyai Soro" di Pekuburan Kidul yg selalu bersih
Pedukuhan Margowangsan merupakan Banjar Dowo (penggabungan lingkungan masyarakat) yang meliputi Dukuh Mudal, Margowangsana (induk) dan Bendan. Penggabungan pedukuhan didasarkan pada penyederhanaan Kelembagaan Pengurusan Warga yang berbasis jumlah Kepala Keluarga (KK) pada masing-masing dukuh, oleh karena jumlah KK di Dukuh Mudal dan Bendan relatif sedikit dan tidak efisien bilamana diurus Kepala Kampung (Kebayan) tersendiri, sehingga dibentuk sistem kelembagaan Banjar Dowo yang masih dipertahankan sejak awal berdirinya pedukuhan hingga sekarang. Tidak tertutup kemungkinan setelah berkembang maka Pedukuhan Mudal dan Bendan akan diurus oleh Kebayan sendiri.

Nama Margowangsan sendiri secara pasti tidak ada yang tahu kapan orang pertama yang mendirikan sekalian memberi nama pedukuhan.

Ada 2 (dua) versi, pertama, pendiri pedukuhan Margowangsan. Versi pertama pedukuhan Margowangsan didirikan oleh Tokoh (personal) Kyai Margowongso. Versi ini saat ini tidak ditemukan dimana petilasan atau bukti peninggalannya dan anak keturunannya, sehingga kemungkinan tidak benar. Versi kedua, pendiri pedukuhan Margowangsan adalah seorang Tokoh Supranatural bernama Kyai Soro. Versi kedua lebih kuat karena ada petilasan yang terletak di Pekuburan Kidul berupa Kijing (Nisan) dengan bentuk yang sangat sederhana berupa rangkaian batu pahat persegi yang sudah terlihat sangat tua, terletak di tengah-tengah jalan masuk pekuburan lewat jalur tengah. Kondisi di sekitarnya selalu bersih. Saking seringnya dibersihkan, kiri dan kanan Nisan menjadi bersih berlumut, tidak ditumbuhi rerumputan. Adapun nama Margowangsan diambil dari mitos ular besar yang sering menampakkan diri membentang di jembatan (lama) akses jalan setapak penghubung Dusun Kebokuning dan Margowangsan.
Versi kedua bisa jadi mendekati kebenaran, karena istilah Kyai dalam masyarakat Jawa adalah seseorang, makhluk hidup atau benda pusaka yang dikeramatkan dan bertuah bagi masyarakat sekitarnya. Bilamana diihubungkan dengan kejadian mistis adanya “wongso = ular besar” atau “naga” penunggu pedukuhan, maka istilah Kyai Margowongso adalah sebutan masyarakat setempat terhadap naga tersebut, jadi bukan manusia. Sedangkan Kyai Soro adalah pelaku yang memberikan nama pedukuhan “Margowongso-an” yang berarti suatu tempat “jalan ular” atau “Margowangsan”.


C.Kapan Kira-kira Dusun Margowangsan Berdiri?

Makam Kyai Sara yang dikenang orang sebagai Pendiri Pedukuhan Margowangsan tidak ada petunjuk tahun kehidupannya. Istilah Kyai melekat pada seorang Tokoh Kyai Soro pun tidak ada kaitannya dengan kontribusi beliau dalam pengembangan agama Islam. Sebutan Kyai adalah terkait dengan ketokohan seseorang di dalam lingkungannnya, antara lain kesaktian, panutan dalam menjalankan keyakinannya (animisme), tempat pengaduan berbagai bencana yang menimpa seseoarang dari gangguan makhluk halus (kesurupan) dan apresiasi moral seseorang yang mempunyai kelebihan dalam mengajarkan agama Islam. Sebutan Kyai juga diberikan kepada suatu benda mistis yang bertuah bagi masyarakat, misalnya Tumbak Kyai Plered. Keris Kyai Jalak, dll.

Petunjuk hipotesis kejadian-kejadian besar untuk menelusuri beridirinya pedukuhan Margowangsan :


  • Trah Tokoh-tokoh Besar dan Pusaka yang dimiliki masyarakat Sawangan berasal dari Kasunanan Mataram;

  • Perjanjian Gianti oleh KGPAA VII (Pangeran Samber Nyowo) tahun 1779 menyebabkan lingkup kerabat Mataram (laskar) terpecah menjadi dua bagian yaitu yang setuju pada keputusan politik kerajaan, masih menetap di lingkungan kerajaan. Sedangkan yang tidak setuju berarti menentang kerjasama dengan Belanda yang notabene sanak keluarga dari pihak P. Mangkubumi akhirnya menetap di daerah sebelah barat G. Merapi/G. Merbabu antara lain di Dsn. Margowangsan dan sekitarnya. Konon begitu KGPAA rela menghadiahkan kekuasaannya di pesisir utara Jawa-Tengah kepada Belanda, maka terjadi pertentangan yang luar biasa dalam lingkungan keluarga kerajaan Mataram.

  • Petunjuk adanya hubungan kekerabatan antara laskar tertinggal dengan Kasunan Mataram adalah ceritera faktual bahwa pada jaman belianya mbah-mbah dari Trah Posong (Canggah Kartowiryo dan kerabatnya) pada waktu-waktu tertentu sehabis panen padi rutin melakukan “sebo” hadir ke Kasunanan Solo dengan membawa upeti berupa hasil bumi secukupnya, sekedar untuk melestarikan hubungan kekerabatannya.

  • Petunjuk hadirnya Pengeran Dirgonegoro dan Nyai Sunti Aking yang konon adalah Kerabat dekat Kasunanan Mataram dan bermukim di Dusun Margowangsan pasca Perang Diponegoro, makamnya di Pekuburan Mudal, menunjukkan Dusun Margowangsan merupakan Dusun pilihan untuk tempat istirahat di hari tua hingga akhir hayatnya. Secara nalar, dusun ini sudah dihuni oleh para Tokoh masyarakat setempat. Catatan : Nisan di Pekuburan Mudal yang bertuliskan R. Djojonegoro diyakini adalah masih saudara sepupu P. Diponegoro.
  • Tahun 1825 – 1830 Perang Diponegoro, sering diceriterakan para sesepuh bahwa jiwa patriotisme masyarakat Sawangan menentang Belanda tidak diragukan dengan kesaktian dan keberaniannya berani menyerbu Markas Belanda di Magelang sampai tertangkapnya beliau di Pendopo Kabupaten Magelang. Berarti kawasan Sawangan sudah ramai dikenal oleh masyarakat dari luar.

  • Legenda “Mesjid Tiban” atau disebut terjadi seketika pada saat Dusun Margowangsan disinggahi Sunan Kalijogo 1500-an, berarti pada masa tersebut dusun ini sudah ramai dihuni warga asli setempat.

  • Nisan “kijing batu” makam Kyai Soro yang dikenal pendiri Dusun di pekuburan kidul yang bentuknya sangat sederhana dan terlihat sudah lapuk, menandakan pada masa itu teknologi pembuatan nisan belum canggih.

Dari penelusuran diatas, kesimpulan sementara Pedukuhan Margowangsan merupakan pedukuhan tua yang berdiri sebelum tahun 1500 M.



D. Fakta Peristiwa di Sekitar Pedukuhan

d.1 Sebelum 1930 masa Pendudukan Belanda

Menurut kisah Bapakku yang pensiunan Gru SD dan mengabdi negara selama 35 tahun (1958 - 1993), pada masa penjajahan Belanda masyarakat pada umumnya masih langka yang berpendidikan Pendekar-pendekar Kecamatan Sawangan yang notabene adalah Pengamal ilmu kesaktian banyak berasal dari Dukuh Margowangsan. Fenomena kehidupan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah dan masih kurangnya pengaruh agama Islam dan Kristen, masyarakat cenderung mencari Kesaktian sebagai simbul kekuatan fisik sekaligus sebagai identitas sosial.

Kecenderungan masyarakat untuk berlomba mencari “kesaktian” dari suatu kelompok masyarkat berdampak kepada kelompok lain untuk dapat menghadapi kesaktian (hukum keseimbangan). Kehebatan ilmu kesaktian hitam muncul kelompok lain untuk mengimbangi dengan cara berguru ke Pesantren-pesantren. Keduanya banyak terdapat di Jawa Timur, maka orang awam lebih mengenal “meguru ngetan”. Ekses yang terjadi adalah kesaktian digunakan untuk berbuat kriminal dalam bentuk mencuri, judi, garong, dll. Adapun kesaktian putih lebih digunakan untuk kemanusiaan seperti pengobatan terhadap orang sakit, tempat mengadu bagi seseorang yang terkena sial, dll.

Ketokohan seseorang pada saat itu sangat lekat dengan kesaktian yang dimiliki, sekaligus menjadi dambaan Selebritis Tradisional (Ledek) untuk menjadi pendamping hidupnya yang notabene karirnya adalah ketenaran seorang “Ledek” atau Artis Keliling dari kampung ke kampung. Laki-laki tidak dianggap Pahlawan bagi khalayak bilamana tidak berani “menari” bersama sang Ledek. Namun tidak mudah juga untuk merebut hati seorang Ledek, karena harus bisa juga memenangkan ketokohan di sekitarnya termasuk kekuatan materi yang dimiliki. Dunia hitam terkait pula dengan pola hidup bermasyarakat seorang tokoh. Tuntutan hidup Artis (walaupun artis tradisional), perlu materi yang cukup, perlu perlindungan fisik dan sekaligus untuk mendapatkan status sosial sebagai istri seorang jawara. 
Ekses dari kepemilikan ilmu kanuragan saat itu, wawasan nasionalisme yang terdidik sejak masa perang Diponegoro dan didukung dengan kondisi pemerintahan kolonial yang tidak adil secara sosiologis serta rasialisme yang kental, maka kecemburuan tingkat sosial memicu perbuatan kriminal khusus, maksudnya kejahatan hanya dengan oknum dan perkantoran milik Belanda.   

Dikisahkan, bahwa anak-anak muda terpilih telah menjadi korban penindasan penjajah Belanda dan hilang/tidak kembali setelah diambil Tentara Belanda untuk kerja paksa (Rodi). Pada jaman penjajahan Jepang, banyak penduduk kampung dikirim ke Thailand dan Burma untuk membangun rel kereta api dan tidak kembali.  Salah satunya adalah mBah Suman yang merupakan keturunan dari anak kelima dari Setro Saiman yaitu Mbah buyut Rus.

Ayahku juga bercerita, ada sisi positip jaman penjajahan Jepang. Tentara Jepang mau mendidik warga pedesaan yang memiliki bakat tukang kayu, pande besi, ukiran, gerabah, dll dikumpulkan di Muntilan untuk meningkatkan keahliannya dan mendirikan industri kecil di desanya masing-masing. Salah satu contoh hasil pendidikan industri kecil adalah mBah Supo Taruno yang memiliki keterampilan pande besi dan membuat keris (empu) dan mBah Pawiro Redjo (mBah Asih) yang memiliki keterampilan tukang kayu.


d.2 Tahun 1930-an sampai 1970-an

Bendungan Tri Dono Tirto Kali Krasak dibangun tahun 1930-an dan direnovasi tahun 1950-an yang terletak di sebelah utara Dukuh Margowangsan dibangun dengan swakarya untuk mengairi lahan ± 1.000 Ha. Nama tersebut diatas berarti bendungan ini menampung air dari 3 kali yaitu Kali Krasak, Kali Mangu dan Mata Air Mudal untuk mengairi lahan di sebelah timur Dukuh Klorengan, Payakan dan Padurekso. Pembangunan bendungan ini warga harus memahat Bukit Cadas di sebelah selatan lokasi Bendungan. Sebelum dibangun bendungan ini, kawasan dibawahnya adalah padang alang-alang meliputi Klorengan, Payakan Desa Gondowangi dan Padurekso dan Kentengsari. 

Kondisi spiritual masyarakat pada waktu itu dikisahkan oleh Sesepuh Kampung, masih banyak kejadian mistis yang tidak masuk akal dan intensitas peristiwanya sangat tinggi dalam kehidupan warga sehari-hari.
Contoh-contoh peristiwa werit (mistis) :

(1) Jembatan K. Krasak Lama

Uraian dimuka sudah menjelaskan adanya Monster Ular Raksasa yang dikenal orang kampung sebagai Penunggu Kampung Margowangsan. Namun dalam sejarah perjalanan dari anak keturunan “Wong Gangsan” tidak ada satu orang pun yang diperlihatkan penampakan kemudian dimakan secara fisik atau hilang misterius “muspra” karena penampakan tersebut. Kejadian banyak dialami oleh warga kampung dari Dukuh Margowangsan dan juga oleh warga Dukuh Kebokuning yang secara kebetulan lewat Jembatan Krasak tersebut. Periode alam mistis adanya Ular Raksasa terjadi sebelum merdeka tahun 1945.

(2) Jembatan K. Krasak Tengah (Grojogan Irigasi)

Bisa jadi setelah warga Dukuh Margowangsan dan Kebokuning berhasil membangun akses jalan yang posisinya di samping Grojogan Irigasi pada tahun 1950-an, makhluk halus yang bermukim di ujung barat laut Dukuh Margowangsan melakukan migrasi ke jembatan yang baru dibangun.

Secara kebetulan lokasi jembatan baru ini posisinya berdekatan dengan Pancuran Gowa, dibawah Kuburan Lor. Penampakan Ular Raksasa pernah dialami oleh seorang warga Kebokuning (Bp. Moh. Zaini) pada tahun 1967. Bapak Muh Zaini ini pulang kemalaman dari Temanggung dan sampai di lokasi jembatan sudah larut malam sekitar jam 23.00 wib. Beliau teringat bahwa jembatan tersebut terbuat dari bambu dengan lembaran bambu anyam “sesek” diatasnya untuk menjaga agar pengguna jembatan tidak tergelincir kakinya menapak bambu gelagar jembatan. Ingatan tersebut mendorong tangannya mengambil korek api untuk dinyalakan. Begitu nyala korek api menyinari jembatan, Bapak Muh Zaini melihat ular sangat besar dengan kepala di ujung sebelah selatan jembatan dan ekornya terletak di ujung utara jembatan. Dengan sigap Bapak Muh. Zaini berbalik arah mengambil langkah seribu kembali ke arah selatan dan menginap di rumahku dan bercerita panjang lebar kepada keluargaku.

Lokasi jembatan yang bersebelahan dengan Gerojogan Irigasi, Pancuran Gowa dan Kuburan Lor, membuat jembatan ini tetap menyisakan cerita mistis sampai sekarang (2006). Adanya pembangunan jembatan dengan bahan beton bersamaan dengan pembangunan jalur pipa PDAM dan bangunan rumah batu milik Pak Harsono yang lokasinya tepat diatas gerojogan tidak membuat kekuatan mistis bangunan jembatan. Hantu Wewe Gombel yang sedang mencuci di Pancuran Gowa atau sedang berdiri di atas bangunan Mini Generator sering dilihat oleh pengguna jalan yang lewat jembatan ini.

Ceritera yang masih terkait dengan ceritera Wewe Gombel yang mermukim di Pancuran Gowa antara lain, adalah legenda pohon Sukun di perempatan jalan “lor wangang”, posisi sekarang persis di rumah Pak Rahman sering menyisakan ceritera mbah Ngadi Sawangan jualan kupat tahu di bawah pohon suku sampai pagi, karena dianggapnya ditempat itu malamnya ada tontonan wayang kulit.

Tahun 1950-an Pak Slamet Sardi pernah digondol Wewe Gombel ditaruh didalam klunthung dan Tahun 1970-an Suharto (anak mBah Karjo = Kebayan) yang hilang digondol Wewe Gombel pada saat setelah maghrib dan ditemukan “ndepis” di belakang kentongan dan pagar. Setelah sadar, dia bercerita kalau baru saja diajak terbang oleh ibu-ibu melewati semak-semak bambu, melihat pancuran K. Krasak, Grojogan Tridono Tirto dan kembali ke rumah. Kejadian tersebut adalah fakta yang sulit diterima akal.



(3) Jembatan K. Krasak Wetan

Jembatan K. Krasak Wetan dibangun hampir bersamaan dengan jembatan K. Krasak Tengah pada tahun 1949-an. Jalur jalan lebar, bahan bangunan sudah menggunakan Hancuran Batu Bata Merah, Kapur Gamping dan Pasir dengan komposisi campuran tertentu. Persis disisi barat jembatan tebing sungai bagian utara tumbuh pohon Lo (Ficus glomerata) yang tumbuh di tebing sungai, umurnya sudah sangat tua, ukuran batangnya cukup besar tetapi tidak pernah tinggi karena selalu dipangkas dan letaknya ternaungi dari pepohonan sekitarnya.



Di sebelah timur jembatan terdapat kedung yang tidak terlalu dalam dan ditepi bibir kedung terdapat rongga lobang dan tidak terlalu lebar. Konon ceriteranya dua tempat ini sering ada kenampakan, bahkan pada saat-saat tertentu membuat orang kesurupan. Salah satu korban adalah Suminah (anak dari Pak Sardi) pada tahun 1970-an kesurupan, namun nyawanya tertolong dan yang bersangkutan masih hidup sampai sekarang. Pasalnya, pohon Lo kondisinya sudah menjulang, rimbun saat itu “ditutohi” (dipangkas) oleh seorang buruh panjat kelapa dari Dukuh Posong bernama “Ramidi” atas perintah pemilik pohon. Ramidi-lah orang Sawangan yang berani melakukan nutoh pohon-pohon mistis (angker). Pemangkasan berjalan lancar tanpa ada suatu halangan apapun. Sore harinya Suminah yang rumahnya 50 M dari pohon Lo kejang-kejang, mata terpejam dalam jangka waktu 3 hari. Berkat kekuatan gaib Tokoh Supranatural yaitu mBah Parto Pawiro yang dikenal dengan sebutan “mBah Iyah” maka jiwa Suminah dapat tertolong olehnya.


Sembuhnya Suminah dari sakit kesurupan penunggu pohon Lo, tidak lama berselang terdengar berita bahwa Si Ramidi pemangkas Pohon Lo meninggal di persawahan Dukuh Kebokuning. Informasi yang beredar, Ramidi meninggal dalam kondisi tertelungkup di pematang sawah dibawah pohon kelapa. Bisa jadi dia kumat epilepsi “ayan” pada saat memanjat pohon kelapa dan jatuh. Sejak saat kematian Ramidi sampai sekarang belum ada orang yang menyamai kehebatannya dalam memanjat kelapa. Dia mampu berpindah dari pohon kelapa ke pohon kelapa disebelahnya melalui ujung pelepah kedua pohon kelapa. Yang bersangkutan juga bisa berakrobat menuruni pohon kelapa yang cukup tinggi dengan posisi kepala dibawah dan kaki diatas. Tidak hanya itu, Ramidi juga mampu mengupas kelapa dengan giginya. Konon ceriteranya Ramidi mempunyai pegangan “aji-aji bajing putih”.


Masih di lokasi Jembatan Krasak Wetan, aliran Kali Krasak tepatnya di sebelah timur jembatan terdapat kedung (riam) yang tidak terlalu dalam, pada tahun 1970-an dikenal sebagai tempat yang banyak ikan ‘Tombro” yaitu sejenis Ikan Mas air deras yang hidup di sungai-sungai yang bermuara di S. Progo. Tahun 1970-an semasa Kedung ini masih banyak dihuni jenis ikan Tombro, Pelus (moa). Bilamana ikan-ikan sudah sering menampakkan diri berloncatan di atas aliran riam, maka Para pencari ikan melakukan “jenu” atau menuba. Ternyata memang banyak tombro dan Pelus tertangkap. Sekali waktu ada orang yang melihat Ular Besar yang bertengger diatas Kedung dan menyambar bebek yang lewat di tempat itu dan menghilang kedalam rerimbunan di sekitar Kedung.


Kenampakan Ular Besar juga pernah dilihat oleh seseorang (Pak Ramelan Sawangan) yang melakukan tirakad di areal sebelah utara Kuburan Lor tepatnya di bawah pohon Aren, tidak jauh dari Jembatan Wetan, sekarang jadi areal Pasar.

(4) Tikungan jalan dari arah Dukuh Bendan menuju Margowangsan

Tahun 1950-an tepat di tikungan jalan arah Bendan – Margowangsan, terdapat rumpun bambu petung dan tumbuh pohon Mlandingan atau lebih dikenal lamtoro yang batangnya menjulur menggantung kea rah jalan dan umurnya pada tahun tersebut sudah cukup tua. Fenomena yang terjadi terhadap lokasi sekitar tikungan itu adalah bahwa lokasi tersebut pernah membuat masyarakat kampung menjadi lebih berhati-hati melintasi lokasi tersebut.

Konon fakta yang dieriterakan oleh sesepuh, bahwa mbah Irah putri pada suatu siang melintasi lokasi itu, entah apa yang diperbuat di tempat tersebut, pada malam harinya mBah Irah kesurupan. Dalam masa penderitaan kesurupan itu beliau minta diantar ke lokasi tersebut diatas dan disitu dia menggaruk tanah sambil berucap, “jangan diganggu daerah ini, ini adalah kerajaanku”. Penderitaan itu sampai pada meninggalnya mBah Irah putri.

Sejak saat itu bilamana ada kendaraan mobil atau sepeda motor lewat lokasi tersebut diminta untuk menyembunyikan klakson. Hingga sekarang kawasan itu masih sering terjadi kecelakaan. Oleh karenanya perlu waspada melewati tikungan tersebut.

(5) Kawasan Kidul Omah (Selatan Pedukuhan)
Kidul omah atau ndhadhah kidul adalah istilah masyarakat kampung untuk menyebut perbatasan pedukuhan dengan kawasan diluarnya. Ndadah Kidul Omah adalah identik dengan sederetan jalur Pekuburan tempat Kyai Soro dikubur. Kejadian mistis sering terjadi menimpa penduduk kampung. Adalah terkait dengan penampakan “ayam aneh” dan “ular sawah” atau bagian dari anggota tubuh ayam (cakar ayam, telor, dll).

Cerita fakta dari mBah Slamet Dampit (alm), beliau pernah melakukan laku tirakat di Cungkup Pekuburan Kidul dan dalam tirakatnya beliau didekati ular sawah besar, namun tidak sampai melakukan lilitan atau membunuhnya.

Tahun 1960-an, Lik Kadi salah satu anak mBah Ali Gandu (alm), pernah mendapatkan cakar ayam di bawah lantai kebun. Karena menarik bentuknya, cakar ayam dibawa pulang dan dimanfaatkan untuk cangklong pipa rokok (pipo). Tidak lama kmudian yang bersangkutan menderita sakit. Berkat kesaktian mBah Iyah 9alm), Lik Kadi sembuh dari sakit.

Tahun 1970-an, mBah Irah Kakung (alm) mendapatkan telor ayam di lantai kebun. Telor kemudian dibawa pulang dan direbus dan dimakan. Tidak lama berselang mbah Irah sakit, kulitnya nampak bersisik. Namun Tuihan masih menghendaki hidup, dan nyawa dalam waktu yang cukup lama penyakit mBah Irah sembuh.

Sebelum tahun 1970-an Keranda dan payung mayat diletakkan di belakang Cungkup Pekuburan Kidul. Setiap kali akan terjadi peristiwa kematian penduduk kampung, keranda tersebut berbunyi keras seakan-akan keranda dan payung diangkat sontak dan kedengaran oleh penduduk yang tinggal didekat lokasi pekuburan.
Tahun 1970-an, masyarakat setempat sering melihat ada orang dari luar daerah, biasanya dari daerah Yogyakarta melakukan tirakat di Cungkup pekuburan kidul.

Terlepas dari percaya tidak percaya, kejadian mistis yang menimpa seseorang dan ketokohan sera kharisma yang melakat pada seseorang tidak terlepas dari jerih payah upaya yang dilakukan seseorang untuk mencapai cita-cita kesempurnaan hidup sesuai wawasan dan pemahaman spiritual yang dimiliki atau secara umum.

Semasa kehidupan tokoh-tokoh mitos bisa jadi sangat erat dengan kejadian pada malam setelah sang tokoh meninggalkan dunia fana dan meninggalkan barang-barang ghaib berupa makhluk jadi-jadian yang menampakkan dimalam hari seperti halnya : Babi Hutan, Kera Putih, Harimau, dll.

(6) Kali Lanang Lor Omah
Kali Lanang, namanya sama dengan mistis yang melekat pada Kali Lanang. Fungsinya sama, untuk mencuci dan mandi penduduk di sekitarnya baik laki-laki maupun perempuan baik di pagi, siang dan sore hari. Lokasinya dekat sekali dengan jembatan Krasak sebelah timur.

Fakta peristiwa mistis di pancuran pemandian di sepanjang Kali Krasak adanya larangan untuk mandi bagi perempuan yang sedang dating bulan (haid). Akibat yang ditimbulkan bagi orang yang melanggar bisa fatal.

mBok De Urip (alm) ibu dari Kang Slamet Growol, pada tahun 1968-an pada suatu sore hari menjelang maghrib mandi di Kali Lanang. Pada waktu berangkat ke Kali belum terjadi dating bulan. Nasib menimpa ketika sedang mandi secara kebetulan tejadi datang bulan. Air pancuran yang semula berwarna bening gemericik, berubah menjadi aliran darah, tidak lama kemudian air berubah menjadi aliran susu putih. mBok De langsung pulang menceriterakan kejadian kepada anak-anak dan suaminya. Mulai saat itu dia menderita sakit, mata tertutup, tidak bisa bicara sampai meninggal dalam waktu yang tidak lama setelah kejadian Kali Lanang.

(7) Lokasi Sekitar Masjid Sebelum Renovasi tahun 1970

Mesjid Tiban (2015) buatan Sunan Kalijogo hasil renovasi beberapa kali


Masjid lama dikisahkan dibuat oleh salah seorang Waliullah yang penuh dengan mistis atau dalam bahasa setempar “werit”. Bentuk arsitektur Masjid lama mirip dengan Masjid Demak dengan gaya kubah kerucut limasan dan Beranda berbentuk limas panjang.

Seiring dengan pola kehidupan dan penghidupannya yang sebagian besar adalah Petani, maka kehidupan spiritual keagamaan masyarakat pedukuhan pun beragam, mulai dari kepercayaan animisme/dinamisme Hindu, Muslim dan Kristiani serta kaum Abangan. Istilah abangan dimaksudkan adalah peralihan dari kehidupan Hinduisme yang masih mengerjakan ritual pada acara Bedah Sawah, upacara panen padi (Wiwit), belum sepenuhnya menjalankan ibadah menurut keyakinannya. Kelompok yang paling banyak dilakukan adalah Abangan. Oleh karena faktor pendidikan yang terbatas, maka kelompok ini sangat mudah mendapat pengaruh dari pihak luar, baik pengaruh politik, sosial maupun keagamaannya.




Kejadian-kejadian mistis yang sering terjadi di dalam lingkungan Masjid, antara lain :
  • Kentongan terbuat dari kayu Nangka berbentuk mancung (kelopak bunga kelapa) konon bilamana ditabuh terdengar sampai kejauhan. Menurut ceritera, masjid Gangsan pernah disinggahi Sunan Kalijaga saat beliau melakukan dakwah dari arah pesisir utara (Kudus) menuju pedalaman P. Jawa. Saat itulah beliau membuat masjid yang bentuknya serupa dengan Masjid Kudus. Kayu bahan Kentongan dipilih dan dibuat oleh Sunan Kalijaga. Diceriterakan, sebagai tanda posisi keberadaan Sang Wali, maka beliau membunyikan Kentongan dan didengar oleh masyarakat yang sedang berada di Masjid Kudus. Ceritera ini ditularkan secara turun temurun oleh sesepuh pedukuhan Margowangsan dan diakui oleh masyarakat pedukuhan di sekitarnya. Perkiraan tahun pembuatan dan keberadaan terakhir Kentongan tidak ada yang tahu sampai sekarang. Masyarakat pada saat itu belum banyak yang sudah mengenal tulisan, sehingga tidak ada indikasi situs atau petilasannya.


  • Jalan sekitar Masjid pedukuhan Margowangsan menjadi tempat yang disucikan, sebagai tempat sembahyang yang ramai bagi masyarakat setempat dan Islam mulai berkembang di pedukuhan Margowangsan di tengah-tengah masyarakat yang sangat kental dengan sosok tokoh-tokoh Jawara Sakti. Bagaimanapun juga kategori ilmu keagamaan, tokoh-tokoh kesaktian pedukuhan Margowangsan sudah menjadi “Trade Mark” sebagai “Kentol Sawangan”, yang berarti manusia pemberani tanpa ada yang ditakuti menghadapi siapapun dan dimanapun. Kisah mistis sepanjang jalan dari depan Masjid dampai Pekuburan Kidul tidak bisa dianggap remeh. Setiap orang yang naik kendaraan berupa apapun (sepeda, sepeda motor, mobil, kuda) harus turun dari kendaraan. Kalau tidak turun, maka kalau kendaraan bermesin akan mengalami kematian mesin, kalau berupa sepeda biasa akan terjatuh dan kalau naik kuda maka kuda akan terduduk. Setelah kendaraan dituntun melewati depan masjid, maka kendaraan akan berfungsi sebagaimana biasa.




  • Ujung kubah atau disebut “Mustaka” bentuknya sama dengan mustaka Masjid Kudus dan Masjid Mantingan. Bahan pembuat mustaka adalah tanah liat yang dibakar atau gerabah. Puncak mustaka berbentuk ala “Mahkota” raja dalam pewayangan. Di sebelah bawah mahkota bertengger aksesoris berbentuk burung dengan paruh menghadap keatas. Aksesoris ini sering mengundang burung dara yang sedang terbang tinggi langsung menukik dan bertengger di sampingnya hingga berhari-hari. Konon Mustaka pedukuhan Margowangsan adalah “tiban”, tidak tahu darimana asal muasalnya, mustaka langsung terpasang diatas kubah masjid. Hadirnya mustaka ini bersamaan dengan mustaka pedukuhan Kebokuning dan Sawangan.

  • Pernah terjadi salah satu ujung aksesoris burung patah dan tidak diketemukan patahannya bersamaan dengan waktu renovasi masjid pada tahun 1970-an. Salah seorang tokoh supranatural (mBah Pawiro Dikromo) yang dikenal dengan sebutan mBah Iyah harus melakukan tirakat untuk menambal mustaka tersebut, hingga membentuk seperti sekarang.

d.3 Setelah Tahun 1970-an (Cerita Generasi tahun 1970)


  • Perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, teknologi dan komunikasi serta wawasan dalam
    Lir ilir lir ilir, tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo tak sengguh penganten anyar
    kehidupan beragama, secara faktual kejadian-kejadian mistis semakin sirna ditelan jaman. Pada jaman tahun 1970 sampai sekarang sudah jarang sekali terdengar ada korban kesurupan dari Kidul Omah, Kali Lanang, anak kecil digondol Wewe, dll. Namun demikian tidak berarti lingkungan mistis di sekitar pedukuhan sirna sama sekali, masih ada tetapi sangat jarang.
  • Kejadian-kejadian mistis pernah terjadi menimpa Suminah binti Sardi yang kesurupan pada tahun 1975-an bertepatan dengan kegiatan Pak Ramidi dari Dukuh Posong melakukan prunning (mronggol) pohon Lo di sebelah Jembatan Krasak. Penderitaan secara lambat laun sembuh berkat mBah Iyah. Dengan sembuhnya Suminah, menyusul kejadian Pak Ramidi meninggal di persawahan sebelah barat Dukuh Kebokuning dengan posisi terlentang. Konon ceriteranya si penunggu marah pohon Lo dipronggol dan sembarang angslup di tubuh Suminah.
  • Jalur tikungan Dukuh Bendan sampai perampatan masjid juga masih sering memakan korban luka-luka bahkan sampai meninggal kena tabrak kendaraan bermotor. Masih adakah penunggu tikungan pedukuhan Bendan? Sampai saat ini tidak belum ada tokoh spiritual yang mencoba menganalisis dan menguak misteri jalur tersebut diatas. Yang sering terjadi di sekitar perempatan masjid adalah adanya Tukang Ojek yang sering mengantar perempuan cantik ke lokasi sekitar Kuburan Kidul pada malam hari. Setelah diang harinya menceriterakan kepada teman-teman seprofesi yang secara kebetulan faham terhadap lingkungan Dukuh Margowangsan, maka setelah ditelusuri pada siang harinya si Tukang Ojek baru sadar bahwa yang diantar adalah makhluk halus. Kejadian ini berulang kali terjadi hingga sekarang.
  • Cerita Wewe Gombel si penunggu Pancuran Gowa tepatnya di belakang rumah Pak Harsono/Bu Tutik sekarang, masih sering menampakkan diri pada malam-malam tetentu dan biasanya pada cuaca gerimis di sore hari dengan penampakan seperti sedang membasuh kain “popok” di batu landasan cucian atau di pancuran nGuwo dan di belakang rumah Pak Harsono.
Ada kemungkinan hilangnya tempat-tempat angker atau istilah populernya “cawar” adalah karena penduduknya sudah menjalankan ibdah agama secara sungguh-sungguh dan tidak lagi mempedulikan lagi atau sangat minimal kepeduliannya terhadap keberadaan para penunggu tempat-tempat keramat, sehingga tidak kerasan dan menjauh dari lokasi perkampungan.


E. Trend Lingkungan Pedukuhan Sebelum Tahun 1975-an


  • Lingkungan hidup alam sekitar Pedukuhan Margowangsan tempo dahulu adalah pedukuhan yang ceria dipagi hari dan hangar binger dimalam hari. Burung Srigunting, Murai Batu dan Sulingan berkicau menyambut pagi. Penduduk pedukuhan segera bangun dan memasak air sebelum memanggul cangkul dan bajak pergi kesawah memulai kegiatan rutin bertani. Penduduk yang bekerja di sektor non pertanian dan anak-anak sekolah segera pergi ke sungai, mandi dibawah gemericik air pancuran. Selanjutnya mereka segera mengayuh sepedanya pergi ke tempat aktifitasnya masing-masing.
  • Di setiap sore hari ratusan burung Blekok, Jalak Uren bertengger melepaskan penat sehabis seharian mencari makan di areal persawahan sekitarnya. Malam harinya burung Gogog Belluk melantunkan lagu mistis, membuat bulu kuduk berdiri. Kadang bunyi Gog… gog…. gog… Bluk…. Diselingi dengan bunyi Ulik-ulik-ulik…. tuu..u….. penduduk kampung terus meramal, siapa yang akan dipanggil ke Rahmatullah dalam waktu dekat.
  • Pada malam hari pada saat bulan purnama biasanya anak-anak remaja pada “pating brengok” teriak main petak umpet atau disebut juga “jelumpet” di pelataran masjid dengan pato “basangan” pohon kemuning di tengah-tengah halaman dan berbau harum semerbak karena bunga kemuning mekar pada purnama malam hari. Ada pula yang iseng sambil jelumpet sambil “nyolong” buah-buahan atau tebu di halaman rumah seseorang.
  • Udara sejuk membuat rerumputan berembun dipagi hari dan segera menetes disiang harinya terkena sinar matahari. Kali Krasak dihiasi dengan batu-batu besar yang menyembul ke permukaan dan tempat menjemur pakaian pada saat siang hari ibu-ibu mencuci pakaian keluarganya. Aliran air Kali Krasak cukup besar karena dipasok dari mata air Sendang Semaren, Sendang Mudal dan Kali Pabelan di bagian hulunya.
  • Orang memancing ikan di Kali Krasak masih bisa membawa cukup banyak hasilnya. Apalagi orang mencari ikan dengan cara “memet” dengan membendung sebagian aliran, sering mendapatkan ikan “Tombro”, Nyoo dan Nilam serta berpuluh-puluh ikan Wader. Jangankan Kali Krasak, “wangan” parit yang membelah persawahan kulon omah kalau dibendung diatas dan ditawu oleh anak-anak kecil yang belajar memet mencari ikan masih cukup banyak didapat.
  • Pemandangan yang sangat mengasyikkan adalah pada malam hari gelap, mulailah kunang-kunang beterbangan diatas sawah diiringi kodok ngorek dan bunyi derik jangkrik berbagai jenis. Anak-anak kecil setingkat SD pun sering terlihat sangat asyik mencari jangkrik untuk diadu atau dikoleksi dirumahnya, iras-irus mengusir tikus rumah.
  • Bapak-bapak pemburu ikan dan binatang liar (wergul/blacan/musang) seperti mBah Pawiro, mBah Ali Gento sering melakukan peracunan "jenu" atau menuba, mengasap "ngomprong" liang wergul di pereng ujung barat pedukuhan. Ngomprong liang wergul dilakukan dengan cara membakar jerami dimuka liang, asap dikipas kearah liang. Setelah asap banyak yang masuk, dan terdengar batuk-batuk, maka mereka bersiap-siap batang kayu untuk menggebuk binatang yang keluar. Kadang yang keluar adalah blacan (kucing hutan) dan wergul.
  • Anak-anak kecil setingkat SD dari dukuh Gangsan, Bendan di sebelah selatan K. Krasak dan Kebokuning di sebelah utara K. Krasak sering terlihat adu layangan di lapangan bekas panen padi (lebaran). Mereka beramai-ramai tanpa ada rasa saling bermusuhan. Permainan dir-dir-an (gundu) juga sangat ramai dilakukan oleh anak-anak usia muda dari pedukuhan Gangsan dan Bendan. Permainan ini dilakukan oleh anak-anak yang mempunyai kemahiran melontarkan buah gundu dan bertaruh, sehingga terlihat permainan sangat serius. Akhir dari permainan gundu adalah setelah salah satu pihak sudah kehabisan buah gundu, sehingga tidak berlanjut. Kecurangan dalam permainan seminimal mungkin dilakukan, karena bias berakibat pada perkelahian, bahkan terjadi jothakan atau saling tidak tegur sapa dalam beberapa waktu. Acara jothakan ini bias terbawa sampai saling intimidasi bahkan pencil yang berarti salah satu pihak kalau jalan melewati akan kena intimidasi bahkan dipukul (dipencil).
  • Irigasi dari bendungan Tri Dono Tirto sering disebut Wangang Gedhe karena debit airnya memang besar. Ruas irigasi di sebelah barat pedukuhan sering dipakai untuk memandikan “ngguyang” kerbau, sapi  pada siang hari setelah dipakai untuk membajak dan sore hari setelah kerbau dan sapi digembala. Kuda Pak Su’aib dan Pak Muh Bendan yang biasa menarik Andong, sering dimandikan di Wangang Gedhe pada sore hari selepas bekerja keras menarik andong di jalur Blabak – Muntilan – Sawangan.
  • Pola bertani masyarakat pedukuhan masih dilakukan secara tradisional, menggunakan sarana pertanian sederhana. Pemupukan masih menggunakan pupuk kandang, seresah daun bambu dan pemberantasan hama penyakit masih dengan cara-cara manual.
  • Nuansa pertanian tradisional masih lekat a.l acara “bedah sawah” pada saat memulai mencangkul mempersiapkan lahan pertanaman dan “wiwit” pada saat menjelang panen padi dengan cara mengundang sanak keluarga sekitarnya untuk meminta do'a keberhasilan dalam bercocok tanam dan menaruh sesajian yang diletakkan di pintu air masuk ke lahan tanam berupa sepucuk pohon bambu dengan hiasan janur, tumpeng kecil, kepiting dan lauk pauk.
  • Perempatan-perempatan jalan di sekitar masjid, pancuran pemandian, belik mata air dan sendang masih sering terlihat dihiasi dengan sesaji kembang 7 (tujuh) rupa dan nasi kuning. Setiap malam Selasa Kliwon atau malam Jum'at penduduk masih terlihat “lek-lek-an” atau (begadang) sambil memanjatkan doa minta keselamatan. Setiap sore sehabis Maghrib secara rutin terdengar anak-anak mengaji yang dibimbing oleh Senior-seniornya. Mbah Marsidi (alm) yang tinggal disamping masjid merupakan satu-satunya lulusan Pondok Pesantren Tebu Ireng Jawa Timur adalah pelopor pembimbingan belajar mengaji bagi anak-anak kala itu. Namun demikian, sebagian besar penduduk masih banyak yang hanya menjalankan agamanya kalau “lebaran” alias “kaum abangan”.

F. Setelah Tahun 1975-an

Mulai tahun 1975-an, dampak pembangunan fisik mulai terasa pada perubahan lingkungan alam pedukuhan dan pola hidup masyarakat pedesaan secara umum. Pembangunan ekonomi berdampak kepada peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan perubahan tuntutan hidup.
  • Tuntutan dasar untuk memiliki papan atau tempat tinggal, mendorong adanya eksploitasi sumberdaya alam termasuk batu-batu di aliran Kali Krasak menjadi tumbal kemajuan pembangunan perumahan penduduk. Tahun 1990 batu-batu di aliran Kali Krasak mulai dari Pancuran Lanang sampai Pancuran Kendal sudah tidak kelihatan, pindah ke pedukuhan berbaur dengan semen dan pasir berubah bentuk menjadi tempat tinggal permanen.
  • Pelebaran jalan poros Blabak – Wonolelo merubah wajah pedukuhan yang rimbun menjadi lajur aspal sebagai pijakan mesin-mesin transportasi. Rumpun bambu tempat bertenggernya burung Srigunting, Blokok dan Jalak Uren sudah tiada lagi. Burung Gogog Belluk yang biasa bernyanyi sudah tidak lagi terdengar di keheningan malam.
  • Perkembangan tuntutan hidup telah mendorong para petani untuk mengeksploitasi tanah sawah dan ladangnya agar menghasilkan sesuatu yang lebih banyak dan bernilai jual tinggi. Petani yang biasa menggunakan pupuk kandang dan seresah dedaunan harus merogoh kocek untuk membali pupuk kimia berupa Urea, KCL dan TSP serta obat-obatan pembasmi hama dan penyakit. Maksud hati untuk meningkatkan hasil pertanian, ekses negatif terjadi dengan matinya belalang pemakan Wereng, cacing tanah dan kodok pemakan nyamuk. Bersamaan dengan matinya hewan-hewan kecil tersebut akibat zat kimia mematikan, membuat burung-burung pemakan hewan-hewan tersebut ikut mati. Maka serangan hama serangga dan wereng pun meledak tidak terbendung lagi. Lewatlah sudah suasana ceria burung-burung berkicau di pagi hari.
  • Aliran air Kali Krasak yang “kemrosak” karena terbentur batu sudah tidak lagi bersuara berisik, kemrosak karena sudah tidak ada lagi bebatuan yang menghalangi air mengalir ke alur kali dibagian bawah. Ikan Tombro, Nyoo dan Uceng tidak ada lagi kelihatan karena manusia serakah sudah menggunakan stroom untuk mencari ikan bahkan dengan cara diracun, sehingga tidak ada sisa lagi ikan yang hidup.
  • Wangang Gedhe sudah tidak lagi gedhe karena sumber mata air Sendang Semaren dan Sendang Mudal dialirkan ke Kota Muntilan dan Treko Mungkid. Kuda pun tidak lagi ada yang diguyang karena pemilik Andong kalah terdesak dengan jenis angkutan mobil umum. Kerbau dan Sapi juga tidak lagi nampak diguyang di Wangang Gedhe karena pemiliknya sudah berubah menjadi bagian dari dunia industri yang memiliki peluang mendapatkan pendapatan lebih besar.
  • Pendidikan penduduk sudah meningkat, wawasan bermasyarakat, berpolitik dan bernegara sudah jauh meningkat dibandingkan 10 tahun kebelakang. Mulai dekade ini sudah tidak dikenal lagi acara-acara tradisional. Sifat individualisme dan kelompok mulai kelihatan jelas. Pengaruh faham yang berbasis pada pemurnian ajaran agama Islam kuat menyebar, walaupun tidak harus menjadi anggota golongan atau partai.
  • Bersamaan dengan hilangnya upacara tradisional dan meningkatnya pendidikan penduduk, tragedi demi tragedi yang menimpa penduduk baik secara sendiri-sendiri atau kelompok mulai bermunculan.
  • Kondisi petani di pedukuhan Margowangsan adalah bagian dari massa yang terkena dampak secara global. Dunia mulai berubah, pendidikan semakin maju, arus barang-barang teknologi mengalir dari Kota menuju Pedukuhan tanpa memandang kondisi perekonomian setempat. Penduduk mulai membanding-bandingkan pola hidup yang sekiranya dapat mengangkat dari kondisi yang serba sederhana menjadi lebih maju. Khususnya anak-anak muda adalah kelompok massa yang sedang dalam tahap pertumbuhan baik secara kejiwaan, fisik dan lingkungannya. Pendidikan secara tidak langsung yang mudah disadap adalah perbandingan. Fakta sejarah, bahwa dunia industri dan jasa lebih menjanjikan masa depan dibandingkan dengan dunia agraris. Untuk menggapai cita-cita menjadi bagian dari dunia industri adalah melalui tahap pendidikan.
  • Dunia industri dan jasa terus menggusur pola agraris tradisional. Bagi masyarakat yang dalam dalam kondisi terdesak dan kurangnya informasi alternatif, maka terjadilah pergeseran pola hidup. Anak muda yang seharusnya mengelola pertanian secara professional terdorong mengikuti arus teknologi yang konsumtif. Pada akhirnya tidak ada lagi tenaga manusia dan hewan yang menggarap sawah ladang, sementara tenaga traktor bajak belum memasyarakat. Hanya Kang Gimin dan Lik Murmin yang masih bertahan dan menjadi rebutan sebagai tenaga pengolah lahan persawahan.

G.Trend Populasi Warga Pedukuhan

Pada tahun-tahun 1970 dan sebelumnya jumlah penduduk di Banjar Dawa Margowangsan, Bendan dan Mudal adalah sekitar 150 Kepala Keluarga (KK). Pada tahun 1980 turun menjadi 130 KK sampai sekarang. Berkurangnya jumlah penduduk kampung disebabkan karena (1) Orang tua meninggal dan anak keturunannya tidak ada yang tinggal di kampung (2) Urbanisasi dan transmigrasi mencari penghidupan ke Koata-kota besar bahkan migrasi ke Kalimantan, Sumatera dan (3) Penyakit atau kecelakaan.
Kejadian versi (2) adalah yang paling banyak dan manusiawi karena tuntutan ekonomi dan karier seseorang. Sementara jumlah kelahiran dan atau orang luar yang masuk menjadi penduduk kampung relatif kecil. Indikasi menurunnya jumlah jumlah penduduk kampung seharusnya tidak akan terjadi bilamana tuntutan ekonomi mudah didapatkan dari sekitar kampung halamannya. Wawasan dan pola pikir untuk memperoleh penghidupan yang lebih mudah sangat menentukan dalam stabilitas penghunian kampung. Suatu hal yang sedang terjadi dan akan terjadi di belakang hari adalah subtitusi penduduk kampung oleh orang luar kampung yang mempunyai sejarah kesulitan kebutuhan pokok hidup yaitu penduduk dari daerah-daerah kering dan alasan lain.
Indikasi penurunan jumlah penduduk antara lain sbb :

(1) Rumah mBah Satun tahun 1970-an sekarang sudah tidak ada lagi, sudah berubah menjadi kebun kosong, yang dulunya adalah persawahan.
(2)Rumah depan dan belakang mBah Rajak pada tahun 1970-an ramai dengan kehidupan industri gorengan singkong, slondokan dan tempe, sekarang dalam kondisi kosong tidak berpenghuni. Anak cucu mBah Rajak sekarang bermukim di Jakarta dan jarang pulang ke kampung halaman.

(3) Rumah mBah Joyo di sebelah barat rumah mBah Parto Pawiro (mBah Iyah) pada tahun 1980-an bersih, asri kerena selalu disapu pagi dan sore harinya sudah berubah menjadi kandang kerbau.
(4) Rumah mBah Parto Pawiro (mBah Iyah) pada tahun 1990-an siang dan malam ramai dengan tamu-tamu dari daerah Glondong, Soronalan di daerah ketinggian G. Merbabu serta penduduk di sekitarnya pada berguru dan atau meminta berkah keselamatan, sekarang kondisinya kosong tidak berpenghuni lagi.
(5) Rumah Pak Kuswadi yang menempati rumah mBah Irah pada tahun 1970-an dan kemudian diteruskan oleh anaknya sampai tahun 2006 oleh karena suatu kecelakaan lalu lintas berturut-turut Pak de Kuswadi pada tahun 2004 dan Tatik pada tahun 2006, sekarang rumah dalam kondisi kosong.
(6) Mbah Sosro kakung/putri (alm) setelah meninggal tidak ada lagi putra/putrinya yang mau tinggal di Dukuh Margowangsan. Rumah dan sawah dijual kepada orang dari luar DUkuh Margowangsan.
(7) Rumah mBah Wiryo (alm) pada tahun 1990-an ramai dengan anak cucunya, setelah mBah Wiryo kakung/putri meninggal pada tahun 2000-an sekarang sudah berubah menjadi kebun singkong dan dari 3 orang anaknya yang tinggal di kampung satu orang saja.
(8) Nyah Bunder (istri Bah Urip) yang pada tahun 1970-an masih ramai pembeli dan di ruang belakang terdengar suara meriah mBah Singo serta anak-anaknya, sekarang rumah sudah rata tanah. Tidak ada keturunan Nyah Bunder yang bersedia hidup di kampong. Tidak ada keturunan Nyah Bunder yang bersedia hidup di kampung.
(9) Pak Hadi Prayitno mantan pegawai Departemen Penerangan dan Tokoh Senior Partai Nasionalis Indonesia yang tinggal di rumah sebelah timur Nyah Bunder dan hidup bersama Bu Hadi dan anak-cucunya serta membangun rumah di sebelah barat Dsn.  Mudal, sekarang anak cucunya sudah mapan hidup di Kota Besar Semarang, Wonosobo, dan Jakarta, tidak ada yang tinggal di kampung. Lokasi rumah sudah berubah menjadi Toko.
Kisah-kisah diatas adalah bukti adanya penurunan jumlah penduduk Dukuh Margowangsan yang pada suatu saat bilamana tidak ada alternative sumber pendapatan yang wajar akan ditinggalkan oleh penduduknya dan tergantikan (subtitusi) dengan penduduk dari luar daerah. Sementara yang bertahan tinggal di kampung adalah pegawai pemerintah atau pensiunan, petani keturunan yang masih cukup luas tanahnya dan wiraswastawan.
Secara umum dalam Desa Sawangan, Growh Rate Ratio (laju pertumbuhan penduduk) selama 10 tahun terakhir (1990 – 2000) adalah (-7,3 %). Artinya dalam waktu 100/7,3 atau sekitar 15 tahun kedepannya Desa Sawangan akan mengalami pengurangan kependudukan atau terjadi subtitusi/penggantian penduduk oleh orang luar kampung. Proses subtitusi penduduk akan berlangsung terus sepanjang penduduk setempat merasa tidak terdukung oleh lingkungan sekitarnya terutama dalam hal sumber pengidupan, kondusifitas keamanan.

Kondisi subtitusi penduduk tersebut diatas sudah mulai menggejala adanya rumah-rumah yang dihuni oleh penduduk dari Kragan, rumah mBah Mintil terganti penduduk dari Dukuh lain dan masih banyak lagi.

H. Potensi Brain Resource (sumberdaya pikir)
Perkembangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara tidak disadari telah mempengaruhi perjalanan sejarah kehidupan kelompok masyarakat pedesaan termasuk penduduk Pedukuhan Margowangsan. Alam fikiran seseorang atau kelompok sangat dipengaruhi lingkungan kehidupan di sekitarnya, pendidikan, lingkungan kerja dan pergaulan sehari-harinya. Kehidupan masyarakat di pedesaan pada masa sebelum kemerdekaan sangat berbeda dari kehidupan setelah kemerdekaan lengkap dengan efek positip dan ekses negatifnya.
Perjalanan sejarah warga pedukuhan Margowangsan tidak diketahui secara pasti, kenapa 95 % warga pedukuhan ini tidak memiliki sawah sebagai mata pencahariannya? Bahkan sebagian warganya hidup membuat rumah menumpang di pekarangan orang lain. Kondisi keterbatasan kepemilikan lahan ini mendorong anak cucunya gigih menuntut ilmu untuk merubah nasib dirinya sendiri dan anak keturunannya. Tercatat tahun 1990, jumlah sarjana dan sarjana muda di dukuh Margowangsan mencapai 26 orang dari 150 KK (17%) dan tahun 2010, jika dikumulatifkan jumlah Sarjana di Kampung ini sudah lebih dari 40 orang, yang berarti 1 dari 4 orang penduduk kampung adalah Sarjana. 
Yang perlu dicatat oleh Sejarah adalah, Para Sarjana tersebut adalah anak-anak yang notabene dari orangtua biasa (bukan dari golongan berada).

Akhir kata, Catatan Kecil  untuk mengenang masa kecil saya hingga saat ini, tingkat subjektifitasnya sangat tinggi, jika ada yang kebetulan yang kurang berkenan atau justru tertarik, mohon dapat meninggalkan tulisan demi kesempurnaan tulisan.
Kepada seluruh teman-teman dimanapun berada, saya sampaikan salam hangat dan terimakasih yang tak terhingga wa bil khusus kepada Bapak/ibu guru aku dulu di SD Sawangan I, Ds/Kec. Sawangan, Kab. Magelang yang telah mengajari aku menulis, berhitung dan mengajarkan keberanan.

Wassalam,
Agus Prasodjo

28 Agu 2010

" “Daun Sirih”, Obat Herbal Serbaguna Sepanjang Masa

Ada sebuah tradisi pada masyarakat pedesaan kita yang masih berlaku hingga sekarang, yakni bila seseorang sakit gigi, apakah pada bagian gusi ataupun sampai longgar mau tanggal, maka petik saja 4-5 lembar daun sirih tua. Lalu, cuci-bersih, remas-remas, masukkan ke dalam gelas atau cangkir, tambahkan air panas secukupnya digodok dengan 1 gelas air. Setelah masak, biarkan sampai dingin. Airnya gunakan sebagai bahan kumur atau minum sebagian, sampai habis. Jangan heran jika 1-2 hari kemudian, rasa sakit tiba-tiba menjadi hilang dan kedudukan gigi yang sudah longgar mulai baik, serta hilang semua penderitaan sakit gigi yang menyiksa.

 Kebiasaan lainnya, di antara para wanita, yang tiba-tiba terasa gatal sekitar "kawasan vagina" yang beberapa hari tidak hilang-hilang, dengan mencucinya dengan air daun sirih beberapa kali, dengan takaran 8-10 lembar untuk jumlah air panas sekira 1/2 ember (lk. 5 liter), rasa gatal-gatal yang mengganggu, akan hilang secara tiba-tiba.

Tradisi lainnya adalah penggunaan daun sirih untuk mencuci ”kawasan vagina” yang selalu berlendir sehingga mengganggu hubungan intim suami istri. Caranya, daun sirih direbus dan air rebusannya digunakan untuk mencuci “kawasan vagina” setiap pagi atau sore. Dengan cara demikian, (konon) hubungan intim akan lebih segar, lebih lancar, dan tidak lagi terganggu oleh lendir yang berlebih.

Kandungan kimia :

Sirih (Piper betle) adalah jenis tanaman perambat yang diakui banyak kegunaannya di hampir semua tempat di Indonesia dan memiliki nama beragam. Misalnya ranub (Aceh), belo (Batak Karo), demban (Batak Toba), lahina atau tawuo (Nias), sireh, sirih (Palembang), suruh, sirih (Minang), canbai (Lampung), seureuh (Sunda). Namun, nama yang paling umum adalah sirih.

Kandungan kimia yang terdapat pada daun sirih terdri dari minyak asiri, hidroksikavicol, kavicol, kavibetol, allylprokatekol, karvacrok, eugenol, p-cymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, terpenena, fenil propada, tanin, dan sebagainya. Karena kelengkapan kandungan zat/senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Bahkan di dalam upacara adat pun, peranan daun sirih sangat dominan, seperti antara lain dalam upacara “ngeuyeuk seureuh" sehari sebelum pernikahan di keluarga Sunda, "sekapur" sirih pada acara-acara di kawasan Sumatra.

Yang paling menonjol adalah manfaat daun sirih untuk pengobatan, yang jumlahnya sangat banyak, mulai sebagai obat batuk, bronchitis, gangguan lambung, rematik, menghilangkan bau badan, keputihan, dan sebagainya. Bahkan, rebusan daun sirih juga sangat bermanfaat untuk obat sariawan, pelancar dahak, pencuci luka, obat gatal-gatal, obat sakit perut yang melilit, obat jantung, menghentikan pendarahan.

Penanaman sirih tidak berbentuk kebun. Di pedesaan, hampir semua pekarangan rumah, walau hanya satu pohon saja, sirih ditanamkan. Sehingga begitu diperlukan, tinggal memetik sesuai kebutuhan. Budi daya tanaman sirih sangat sederhana, umumnya berbentuk stekan batang dewasa yang memiliki bagian bukunya (yang akan menghasilkan akar kalau ditanamkan), atau disetek pada bagian bukunya di atas. Kalau kemudian sediaan batang-bibit tersebut, ditanamkan pada tanah gembur dan basah, hanya dalam waktu singkat, tunas akan tumbuh. Perlu disiapkan kayu atau batang karena sirih merupakan tanaman perambat. Kalau tanah tempat tumbuhnya gembur dan lembap (misal selalu dilakukan penyiraman sesuai kebutuhan) dalam waktu singkat rambatannya akan memenuhi batang perambat sejak dari dasar (dekat tanah) sampai ke bagian pucuk tanaman.

Kegunaan

Beberapa cara penggunaan daun sirih untuk banyak kegunaan, seperti yang sudah diakui di mana-mana antara lain:

1. Sebagai obat untuk diminum. Caranya, 10-15 lembar daun sirih tua direbus dengan air bersih. Usahakan tidak menggunakan air ledeng yang masih tercium bau kaporitnya. Setelah mendidih dan didinginkan, kemudian disaring, saringannya ditempatkan di dalam gelas. Umumnya penambahan air untuk merebus 10-15 lembar daun sirih, adalah 4-6 gelas, serta setelah penggodokan lebih baik menggunakan daun sirih baru.

Manfaat saringan godokan daun sirih ini, antara lain untuk menghilangkan sakit gigi/sakit gusi, atau untuk memperkuat kedudukan gigi yang mulai goyang. Setelah 2-3 kali menggunakan air rebusan ini, rasa sakit dan goyahnya kedudukan gigi, akan berkurang atau hilang samasekali.

Rebusan air bersih ini pun, dapat digunakan untuk menghilangkan bau badan atau bau keringat. Tanpa diminum tetapi digunakan sebagai cairan kumur-kumur, godokan daun sirih dapat digunakan untuk menghilangkan bau mulut, menghilangkan sariawan, menghentikan pendarahan pada gusi dan memperkuat kedudukan gigi.

2. Sebagai obat luar, misal kudis, gatal-gatal, koreng, bisul, luka bakar, dan sebagainya. Caranya, daun sirih yang digunakan sekira 20-25 lembar, dihancurkan atau daunnya diiris-iris, kemudian ditambah air bersih secukupnya, dan dijadikan sebagai pencuci atau "pengompres". Rasa sakit ataupun gejala sakit, dalam 5-6 kali pemakaian akan segera hilang.

Seperti untuk pengobatan bisul, selain menghilangkan bengkak, rasa sakit juga akan segera hilang. Hal yang sama juga untuk jerawat, setelah beberapa penggunaan dengan cara dioleskan atau dilulurkan, jerawat akan segera hilang.

Akhirnya bagi ibu-ibu yang baru melahirkan serta memiliki kelebihan produksi ASI, maka daun sirih dapat digunakan untuk menguranginya dengan cara antara lain:

Beberapa lembar daun sirih, jangan terlalu tua dan jangan terlalu muda, diolesi minyak kelapa permukaan atasnya, dihangatkan sebentar, kemudian tempelkan pada payudara yang agak membengkak. Dalam beberapa hari di samping bengkaknya akan hilang, juga kelebihan ASI akan teratasi.***

Selamat mencoba :
Agus Prasodjo
Referensi :
Naskah Unus Suriawiria (Dosen Bioteknologi ITB)

26 Agu 2010

Dusun ngGelap yang Aku Kenang

Assalamu'alaikum wr. wb.

Dusun Gelap atau orang setempat menyebut ngGelap (ater-ater hanusworo "ng" menunjukkan tempat dan kata dasar "Gelap") bukan berarti dunia gelap (jw : peteng), tetapi lebih mendekati harfiah Jawa Pegunungan yang berarti "petir". Lintasan listriknya disebut k "thathit" atau kilat. Penggunaan kata samber nggelap berarti  disambar petir.


Rumah Nenekku dan perumahan pada sebagian warga
dgn karakter atap genteng, lantai tanah, gebyok kayu besiar (sengon)



Dalam ingatanku kampung yang terletak di kaki Bukit Kuli (baca ngGunung Kuli), yang berada di Desa Poodosoka Kec. Sawangan Kab. Magelang ini, adalah sebuah kampung tempat ibuku dilahirkan dan tempat aku dikala kecil bermain bersama teman sebaya, walaupun sifatnya hanya secara kebetulan menengok famili ke kampung tersebut. Kampung ngGelap yang berada di ketinggian ± 700 M dpl, jenis tanah lempung Latosol kuning hitam, curah hujan kurang dan sering terjadi kekeringan pada saat kemarau panjang.

Pada masa kecilku tahun 1970-an, matapencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah petani lahan kering atau tegalan, berternak sapi dan sebagian lagi pedagang . Kenanganku pada masa kecil tidur di Rumah Nenekku terasa tinggal di gurun pasir. Jika musim panas dengan rentang waktu cukup panjang, tanah kering berdebu, matahari mengenai kulis jadi bersisik, persediaan air di Sungai Gono ± 3 Km di sebelah barat laut kampung mengering, Kali Nongo ± 2 Km di sebelah timur kampung  semakin lama semakin mengering juga. Panas matahari di musim kemarau hanya terasa pada tengah hari. Selebihnya waktu panas sinar matahari terkalahkan dengan angin dingin pegunungan. Warga setempat terlihat selalu mengenakan sarung yang tampak membalut tubuh bagian atas biar pun di siang bolong. 

Tidur di dipan panjang (amben) terasa udara dingin di malam hari menusuk tulang walaupun sudah berselimut sarung dan tikar. Sanitasi pada saat itu masih sangat kurang, situasi ekonomi masih sangat terbatas sehingga belum ada upaya mengalirkan air dari mata air pegunungan ke kampung. Kondisi masyarakatnya sangat-sangat tradisional. Sesaji bakar kemenyan masih dilakukan di lokasi-lokasi angker seperti kuburan, mata air tempat warga kampung mandi dan "ngangsu" mengambil air untuk minum.

Iklim di daerah tersebut sampai kearah puncak G. Merbabu bisa dibilang beriklim kering. Pada musim penghujan, hari-hari hujan hanya berjalan sangat singkat, kalau musim kemarau sangat panjang dan kandungan kelembaban udara . Sungai-sungai kering di musim kemarau dan banjir di musim penghujan. Kesulitan air pada musim kemarau menyebabkan sanitasi kurang diperhatikan pada masa itu. Nah, bagaimana saat itu aku menengok famili di kampung seperti itu? Wah, sulit diceriterakan khususnya pada saat buang hajat, harus menggunakan teknologi khusus "peper". Tetapi kondisi sekarang sudah berubah lebih baik, tidak ditemukan lagi teknologi kuno tersebut karena warga membuat pipa saluran air dari mata air di Dusun Clebung Gunung yang jaraknya sekitar ± 4 Km dari kampung.

Perasaan sangat bertolak belakang jika dibandingkan kampung tempat kakekku di Margowangsan yang dikelilingi sawah dan sungai di sebelah utara dan selatannya dengan aliran air yang tidak pernah kering. Sudah sewajarnya kebiasaan di kampungku Margowangsan yang buang hajat tinggal nangkring di K. Krasak jika bermalam di rumah nenekku di ngGelap aku harus berlari menuju Kali Nongo yang berjarak ± 2 Km sambil menahan "ngampet" agar barang tidak keluar di jalan demi membuang segumpal barang. Kenangan ini tak terlupakan sepanjang sejarah. Bagaimana jika sakit perut di malam hari? Atau di siang hari tetapi di tengah perjalanan ternyata tidak kuat menahan sakit perut? Situasi demikian harus mencari tempat yang rimbun agar tidak dilihat orang yang biasanya di tegalan atau kebon kosong. Terus pakai apa mencucinya, sementara tidak ada air tersedia cukup. Air hanya untuk memasak di dapur dan memasak nira menjadi gula merah. Kejadian ini ternyata warga setempat sudah terbiasa dan bukan barang baru lagi, sehingga sudah jamak "bau wangi" selalu mewarnai di setiap akses jalan dari dan menuju kampung tersebut yang dihiasi pepohonan tanaman tegalan.

Dari kiri, Mbah Ramli (alm), Mbah Siti (adik nenek) dan Ibu saya (Tarmini)


Dusun ngGelap juga menyimpan kenangan mistis, karena kampung yang berdekatan dengan G. Kuli dipercaya warga (pada masa itu) sebagai bukit tertua di Tanah Jawa dan mempunyai hubungan erat dengan kehidupan Nyi Roro Kudul. beberapa kejadian mistis a.l,  jika pada suatu saat ada Burung Merpati terbang malam dan arahnya ke selatan, maka warga mempercayai burung merpati tersebut adalah merpati Gunung Kuli yang melapor ke Nyi Roro Kidul bahwa akan ada musibah penyakit (pandemi). Jika suatu saat terdengar "lampor" atau suara gemuruh seperti ramainya orang di pasar melintas diatas langit, maka akan ada anak kecil yang akan meninggal dibawa oleh pasukannya Nyi Roro Kidul.

Kakekku yang bernama mBah Ali adalah pedagang sapi yang meninggal akibat dampak sceenering (penurunan nilai) mata uang rupiah dan nenekku yang merupakan kerabat dari Kopen Desa Podosoka. Beliau meninggalkan tegalan cukup luas namun tidak meninggalkan ilmu kepada ibuku karena sekolah paling tinggi di kampung itu hanya sampai Kelas 2 SD. Masih bersyukur ibuku punya bakat berdagang sehingga hidupnya tidak terlalu kesulitan.

Jika dilihat dari kondisi lingkungannya, kondisi masyarakat petani ladang mendakati petani subsistence, atau petani yang hanya bisa hidup untuk mencukupi dirinya sendiri. Hanya warga yang mempunyai terobosan untuk hidup lebih kratif saja yang bisa meningkat kesejahteraannya misalnya berternak ayam, berdagang hasil bumi keluar daerah atau mencari alternatif menanam tanaman yang mempunyai nilai pasar tinggi dan sesuai dengan kondisi tanah dan lingkungan setempat seperti lada, apel, anggur, dls tetapi hal ini perlu penelitian mendalam.

Kesan mendalam terhadap kampung tersebut adalah bahwa masyarakatnya hampir seluruh kampung adalah satu famili dengan budaya tradisional yang penuh keakraban tetap dipertahankan, seperti halnya mengerjakan tanah tegalan, membangun rumah dan ritual "nyadran" menjelang bulan romadhon. Budaya nyadran yang dilakukan setiap tahun merupakan undangan secara spiritual kepada seluruh warga dimana pun berada untuk bisa pulang kampung melaksanakan sambahyang kubur mendoakan arwah para leluhur di lokasi yang ditentukan yaitu di samping areal pekuburan.

Nyadran bagi saya bukan ajaran musyrik karena niatku bukan meminta doa kepada para arwah nenek moyang tetapi mendoakan arwah leluhur yang sudah mendahului kita. Lebih jauh lagi dilihat dari aspek sosiologi, ritual nyadran adalah media dakwah, sliaturahmi, membina ketebalan iman dan membina jiwa sosial untuk berbagi makanan kepada sanak saudara.

Tulisan saya tersebut diatas adalah sekelumit kenangan dan masih banyak lagi jika dituangkan dalam tulisan.Tentunya kondisi sekarang sudah jauh berbeda. Warga dusun ngGelap sudah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi, minimal SLTA,  pola penghidupan sudah bervariasi tidak hanya berladang seperti halnya berdagang, pegawai Pemerintah dan wiraswasta beternak ayam broiller. Sanitasi sudah meningkat dengan mmengalirkan mata air menggunakan pipa paralon dari Dusun Clebung nGunung di sebelah timur Bukit Kuli. Yang tetap dipertahankan adalah pola kemasyarakatannya yaitu kekeluargaan yang tinggi dengan tetap memelihara tali silaturahmi, minimal sekali dalam setahun yaitu pada hari-hari "nyadran" dan "lebaran". Kita bertamu ke setiap rumah warga, maka harus siap-siap perut dikempeskan untuk "menikmati suguhan di setiap rumah". Silaturahmi lebaran atau istilah umum disebut "ujung" identik dengan ritual bertamu yang harus "menikmati hidangan makan" yang telah disediakan pemilik rumah. Ternyata adat demikian terjadi di seluruh masyarakat khususnya di sekeliling lereng G. Merbabu dan Merapi. Adat istiadat yang ekstrim, jika seseorang bertamu pertama kali ditawarkan sesuatu untuk dimakan ternyata si tamu tidak berkenan menerima tawaran pemilik rumah, maka selamanya si tamu tersebut tidak akan ditawarkan apapun. 

Ooo, ternyata adat tersebut diatas terjadi juga di masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dan masyarakat Dayak & Melayu di Kalimantan, perihal penawaran suguhan adalah merupakan "pamali" jika ditawari suguhan dan tidak dicicipi sekalipun, maka diyakini akan membawa bencana bagi yang bersangkutan.


Salam hormat saya kepada sanak famili yang kebetulan membaca tulisan ini. Jik kurang berkenan mohon dikomentari, saran serta kritik yang konstruktif kami harapkan untuk kesempurnaan tulisan yang akan datang.

Wassalam,
Agus Prasodjo