Pepatah Jawa "Desa mawa cara negara mawa tata" dalam Bahasa Indonesia adalah "lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya", yang berarti masing-masing lokasi dan komunitas memiliki aturan sendiri-sendiri. Demikianlah peribahasa yang tumbuh di dalam setiap komunitas di Nusantara ini. Beraneka ragam adat dan budaya membuat negeri ini seperti mozaik yang indah dan menghiasi setiap sudut kampung atau kawasan yang dihuni oleh sekelompok warga atau komunitas.
Kasus yang akan saya angkat dalam tulisan ini adalah tentang tatacara bertamu dan implikasinya terhadap keakraban dalam bermasyarakat, berbisnis sampai pada nepotisme dalam dunia birokrasi di lembaga usaha swasta ataupun dalam Pemerintahan.
Di Tanah Jawa khususnya di daerah pegunungan sekitar Merapi dan Merbabu, katakanlah wilayah Kec. Sawangan bagian pegunungan, Kec. Dukun bagian pegunungan jika kita lewat di muka rumah seseorang, maka jangan kaget walaupun sebelumnya kita tidak kenal, warga setempat yang kita lewati pastilah dia teriak dengan lantanag meminta kita singgah "mampir". "Pinarak mas......, tindak pundi..?" yang artinya "singgah mas, mau kemana?" warga menganggap hal tsb wajar dan harus dilaksanakan. Jika ternyata benar-benar kita singgah, maka dengan spontan mereka menawarkan sesuatu, apakah minum, makanan kecil bahkan makan.
Jangan heran, kalau peristiwa pertama kali kita singgah kemudian kita ditawari sesuatu dan kita menolak, maka selamanya tidak akan ditawari lagi. Namun, jika kita ditawari sesuatu kita makan, maka sewaktu-waktu kita singgah harus kita makan. Tidak jarang terjadi, seseorang karena keramahannya, biarpun ke rumah seseorang dalam rangka berdagang atau tujuan lain, maka dia harus makan sampai kekenyangan.
Suatu hal yang diluar kelaziman, jika seseorang sudah makan di beberapa tempat, diminta harus makan juga di tempat yang lainnya. Tetapi itulah adat kebiasaan suatu komunitas dalam "menempatkan tamu sebagai bagian dari dirinya". Dan pantang bagi seseorang jika sudah disuguhi sesuatu, justru kita tolak. Entah kebetulan atau tidak, maka setelah itu pasti ada kejadian yang membuat kerugian bagi yang bersangkutan.
Adat kebiasaan tsb diatas juga terjadi kemiripannya di Tanah Bugis (Enrekang, Shoppeng, Sidrap, dll, Sulawesi Selatan). Disana, tamu adalah berkah bagi yang punya rumah. Siapapun yang bertamu di rumah seseorang, dipastikan kita mendapat sambutan yang hangat. Pemilik rumah pun bergegas memasak apa yang ada di dapur dan kita diminta untuk makan. Jika sudah disuguhi makan, maka harus dimakan, minimal dicicipi. Suatu hal dianggap "pamali" atau tabu jika makanan atau minuman yang sudah disajikan tidak kita sentuh sekalipun dan suatu hal keanehan kecelakaan bisa terjadi dalam perjalanan pulang.
Kemiripan adat kebiasaan tsb diatas juga terjadi di masyarakat Melayu dan Dayak di Kab. Sintang, Prov. Kalbar (yang aku kenal) dalam menerima tamu.
Dalam adab bertamu secara Islam, bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR.Bukhari). Adab bagi tamu yang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang diundang maka datangilah!”
Implikasi Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berusaha dan Bernegara
Kasus tersebut yang pertama diatas, jika perasaan kekeluargaan sudah terpaut sedemikian rupa, maka urusan perdagangan hasil bumi pun akan terikat secara emosional. Maksudnya, jika seseorang seharusnya bisa menjual barang hasil bumi kepada pedagang lain (A) dengan harga yang lebih tinggi, oleh karena sudah terikat ikatan emosionalnya dengan pedagang (B) maka barang akan dijual kepada pedagang (B). Begitu seterusnya, sampai kepada persoalan hubungan kekeluargaan pun seseorang akan merasa sebagai satu kesatuan yang harus dihargai dan dibela mati-matian manakala seseorang yang dianggap sebagai "kemenakan" merasa diganggu oleh kepentingan lain.
Bahkan, dalam dunia kelembagaan swasta ataupun birokrasi pemerintahan, tidak jarang kita jumpai bahwa karir seseorang melejit karena dibawa oleh Pejabat Seniornya yang masih atau dianggap sebagai "kemenakan". Orang lain walaupun dari sisi kemampuan dan prestasinya kalah dengan "Klik" sistem kemenakan tidak mendapatkan posisi yang diinginkan karena bukan kemenakan.
Suatu hal yang tidak diinginkan oleh semua fihak adalah jika hal tersebut sudah berdampak "eksesive" negatif misalnya jika suatu hubungan khusus sudah menyerempet kepada urusan finansial. Dampak yang lebih serius dari sistem kemenakan adalah terjadi Nepotik bahkan Korupsi yang merugikan suatu usaha atau keuangan negara oleh karena adanya klik berakibat terjadi korupsi yang disengaja dilakukan dan sebelumnya sudah disepekati bersama untuk kepentingan bersama "berjamaah".
1. Pengalaman pribadi
2. Admin Radiodagu, http://radiodagu.com/, Adab Bertamu, Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar