Etimologi
Kata
Ideologi pertama sekali diperkenalkan oleh filsuf
Prancis Destutt
de Tracy
pada tahun 1796.
Kata ini berasal dari bahasa Prancis
idéologie,
merupakan gabungan 2 kata yaitu, idéo
yang mengacu kepada gagasan dan logie
yang mengacu kepada logos,
kata dalam bahasa Yunani
untuk menjelaskan logika dan rasio. Destutt de Tracy menggunakan kata
ini dalam pengertian etimologisnya,
sebagai "ilmu yang meliputi kajian tentang asal usul dan hakikat
ide atau gagasan.
Definisi
Lambang Partai pada Pemilu I Thn 1955 (52 Partai) - Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (Gunawan Setiardjo, 2003).
Ideologi
(mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang
kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran
tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak
menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk
menyebarkannya.
Sehingga
dalam Konteks definisi ideologi inilah tanpa memandang sumber dari
konsepsi Ideologi, maka Islam adalah agama yang mempunyai kualifikasi
sebagai Ideologi dengan padanan dari arti kata Mabda’ dalam konteks
bahasa arab.
Apabila
kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga
ideologi atau mabda’. Yaitu Kapitalisme,
Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam.
Untuk saat ini dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu
atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, saat
ini tidak diemban oleh satu negara pun, melainkan diemban oleh
individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini
tetap ada di seluruh penjuru dunia.
Sumber
konsepsi ideologi kapitalisme dan Sosialisme berasal dari buatan akal
manusia, sedangkan Islam berasal dari wahyu Allah SWT (hukum syara’)
bukan issue SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok) yang dicetuskan
rezim Soeharto dalam menghindari terpecahbelahnya kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Ibnu
Sina mengemukakan masalah tentang ideologi dalam Kitab-nya "Najat",
dia berkata:
"Nabi
dan penjelas hukum Tuhan serta ideologi jauh lebih dibutuhkan bagi
kesinambungan ras manusia, dan bagi pencapaian manusia akan
kesempurnaan eksistensi manusiawinya, ketimbang tumbuhnya alis mata,
lekuk tapak kakinya, atau hal-hal lain seperti itu, yang paling
banter bermanfaat bagi kesinambungan ras manusia, namun tidak perlu
sekali."
Ideologi politik
Ir. Soekarno Bapak Bangsa & Tokoh Nasionalisme |
Ideologi
politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan
bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan ringkasan
order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya
dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya
dilaksanakan.
Contoh
ideologi yang populer adalah : anarkisme,
kapitalisme,
komunisme,
komunitarianisme,
konservatisme,
neoliberalisme,
Demokrasi
Islam,
demokrasi
kristen,
fasisme,
monarkisme,
nasionalisme,
nazisme,
liberalisme,
libertarianisme,
sosialisme,
dan demokrat
sosial.
Kepopuleran
ideologi berkat pengaruh dari "moral
entrepreneurs",
yang kadangkala bertindak dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi
politik adalah badan dari ideal,
prinsip, doktrin,
mitologi
atau simbol
dari gerakan
sosial,
institusi,
kelas,
atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan budaya yang sama.
Merupakan dasar dari pemikiran politik yang menggambarkan suatu
partai
politik
dan kebijakannya.
Perkembangan
Ideologi di Indonesia
Sejak
Belanda menerapkan "politik
ethik"
atau lebih dikenal dengan politik balas budi, maka Pemerintah
Belanda mulai membuka diri untuk memberi peluang anak-anak dan pemuda
Indonesia mengikuti pendidikan formal, walaupun masih selektif
terbatas pada golongan Pejabat Pemerintah atau lebih dikenal
"amtenar". Alih-alih memberikan kebebasan meraih pendidikan
bagi anak-anak negera jajahan, justru para pemuda yang bersekolah
sampai pendidikan tinggi bahkan sekolah ke luar negeri mulai berfikir
cerdas untuk mendongkel Pemerintah Belanda.
Para
pemuda yang mendapat kesempatan sekolah di luar negeri, pulang ke
Indonesia membawa faham-faham ideologi untuk membangkitkan jiwa
patriotisme bangsa. Terlebih lagi pada masa menjelang proklamasi kemerdekaan, faham Nasionalisme dipopulerkan oleh
Soekarno, dkk hingga puncaknya terbentuk organisasi kepemudaan di seluruh negeri dan
melahirkan Soempah Pemoeda thn 1928.
Pemahaman
masing-masing ideologi di tingkat akar rumput (grass-root)
diperkenalkan dan digerakkan oleh pemuda-pemuda melalui underbow
(sempalan) di berbagai bidang profesi yang digeluti saat itu, seperti
halnya : dunia seni budaya, profesi pertanian dan nelayan, profesi
kekaryaan dan intelektual.
Dalam
perkembangannya, setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaannya
tahun 1945 dan terbentuk UUD-45 yang memberi peluang warganya untuk
hidup berkumpul dan berserikat, maka berbagai ideologi politik
disosialisasikan dengan sangat cepat sampai ke akar rumput melalui
pembentukan partai-partai politik. Namun, ideologi-ideologi yang
bergaris keras dan adanya infiltrasi pengaruh kepentingan
negara-negara besar, maka mulai menampakkan diri adanya keinginan
partai politik dengan figur yang ada di dalam partai yang
bersangkutan berperan untuk menjadi Penguasa di negeri sendiri.
Kecenderungan
figur suatu rezim yang berkuasa cukup lama cenderung untuk menjadi
penguasa seumur hidup. Kemantapan suatu figur akan menimbulkan kecemburuan
bagi figur yang lain yang berada di luar partai penguasa.
Situasi sosial yang semakin bergejolak denderung akan muncul partai garis keras yang mengganggu ststus
quo kekuasaan dan berakibat pemberangusan atau pembubaran partai oleh
Penguasa saat itu. Posisi figur penguasa yang melegenda di kancah percaturan politik dunia, kayaknya menjadi batu
sandungan bagi Negara-negara adidaya yaitu blok barat yang dibawah
kendali USA dan blok timur dibawah kontrol Uni Sovyet. Figur Soekarno
yang menciptakan kekuatan negara ketiga berketetapan pada politik
luar negeri "bebas aktif" dan tidak memihak blok manapun
sontak menjadi rebutan oleh blok barat dan timur.
Pada rezim Soekarno pemahaman ideologi politik lebih leluasa. Orang
bebas memilih membentuk dan memilih ideologi apapun sebagai wujud
implementasi dari amanah UUD-45 untuk berserikat. Ideologi politik di
Indonesia mengalami perkembangan pesat. Pembentukan partai politik
tumbuh bak jamur di awal musim penghujan. Tokoh-tokoh politik
bermunculan di seantero penjuru tanah air. Namun sejarah harus berjalan dan puncaknya
peristiwa 1965, kekuasaan Soekarno harus berhenti.
Ideologi
Politik di Tengah Masayrakat
Pasca
peristiwa 1965, Indonesia mengalami fase perkembangan pemahaman ideologi yang luar
biasa. Pada masa kekuasaan rezim sebelumnya masyarakat bebas
berpolitik, bebas membentuk kelompok-kelompok diskusi, namun setelah
peristiwa traumatik tersebut diatas maka rezim menawarkan ideologi
baru yang lain daripada yang lain yaitu "ideologi kekaryaan" dibawah naungan Golongan Karya.
Rezim mempopulerkan perubahan ideologi yang mendasar dari poli-isme (banyak faham) menjadi mono-isme (satu faham), yaitu faham kekaryaan yang berorientasi pada pembangunan di segala bidang.
Rezim mempopulerkan perubahan ideologi yang mendasar dari poli-isme (banyak faham) menjadi mono-isme (satu faham), yaitu faham kekaryaan yang berorientasi pada pembangunan di segala bidang.
Untuk mengawal ideologi baru itu rakyat digiring untuk anti rezim sebelumnya dan menjauhi kegiatan politik bahkan Nama Partai Golongan Karya tidak mau disebut Partai Golongan Karya. Semua yang berbau
faham Soekarno diminimalisasikan untuk difahami oleh setiap warga negara.
Semua pemahaman yang berbau politik diasosiasikan sebagai hal yang negatif dan dijauhkan dari
pemikiran warga negara. Seakan-akan berpolitik akan berakibat sebagaimana
peristiwa 1965, seluruh anggota partai mendapat celaka, diasingkan dan dihilangkan hak politiknya. Situasi demikian mendorong pola pikir bahwa seluruh warga negara Indonesia mau tidak mau, suka
tidak suka harus sefaham dengan faham rezim, tidak ada kata
berseberangan dan beda pendapat atau penolakan program. Bilamana hal tersebut dilanggar maka yang bersangkutan akan berresiko
untuk dimonitor secara khusus oleh Aparat Kemananan dan dikucilkan secara politis.
Pada
Rezim Soeharto rakyat di seluruh negeri ingin dirubah dari
multi-faham menjadi mono-faham yaitu kekaryaan dengan motor penggerak
adalah ABRI dan Pegawai Pemerintah. Ajaran yang dihembuskan setengah
dipaksakan adalah rasa kebangsaan tanpa violance dibawah payung
Golongan Karya. Partai yang semula berjumlah puluhan dengan tangan
besinya dirombak menjadi 3 partai yaitu Golongan Karya, Partai
Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia yangmana ketiga-tiganya tersebut adalah dibawah kontrol kekuasaan Rezim.
Jargon faham yang ditawarkan kepada masyarakat adalah "negara aman
rakyat tenteram". Untuk itu pengelolaan keamanan negara dikontrol secara optimal penuh untuk memantau geliat-geliat setiap oknum dan golongan mulai dari pusat sampai ke tingkat RT.
Selama
masa kekuasaan rezim, rakyat seluruh negeri dibayangi dengan ketakutan
untuk mengatakan berseberangan dengan kebijakan Soeharto.
Kesetiaan terhadap kekuasaan pun dilakukan
secara rapi pada saat penyaringan penerimaan Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Pada saat itu lapangan pekerjaan masih sulit didapat, sehingga penerimaan PNS
menjadi idola bagi setiap pencari pekerjaan. Oleh karena itu setiap
menjelang Pemilihan Umum 5 (lima) tahun sekali dilakukan
penerimaan calon PNS dengan penyaringan yang begitu ketat. Calon PNS
yang mendaftar pun membludak. Disinilah kesempatan menjaring massa pemilih sekaligus ajang monitoring ideologi massa dilakukan, mulai dari asal-usul lahir, anak
keturunan, keorganisasian, faham yang dianut, dls. Modus demikian sangat efektif dalam rangka
penggiringan massa calon pemilih untuk menentukan "vote"
kepada partai Rezim saat itu.
Norma
politik "kekaryaan" diajarkan kepada setiap Warga Negara Indonesia secara
rapi melalui panataran-penataran yang dikendalikan oleh Lemhanas lewat Institusi Pemerintah di
masing-masing Departemen dan Pemerintah Daerah. Untuk memantau
perkembangan partai di suatu Lembaga pemerintah, maka di setiap
Depertemen dikaryakan Staf Khusus yang disebut "Litsus" dan Babinsa untuk memonitor massa di Wilayah Kecamatan.
Program ini sangat positip karena Penataran sampai ke
pelosok negeri, sehingga hampir seluruh WNI mengetahui hak dan
kewajiban berbangsa dan bernegara. Ditambah lagi dibentuknya Komando
Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) langsung dibawah komando
Presiden yang bisa langsung menangkap oknum yang memenuhi kriteria sebagai pelaku instabilitas. Kekuasaan semakin mengakar kuat mencengkeram, siapa
pun yang berseberangan atau yang diduga akan melakukan de-stabilitas akan
ditangkap bahkan tidak sedikit yang dihilangkan atau diamankan sampai pada waktu yang tidak ditentukan.
Dari
segi kekuasaan, program politik tersebut diatas sangat efektif untuk
mempertahankan kekuasaannya. Namun program pemantauan yang terlalu
ketat, ditambah lagi dengan kepentingan oknum untuk mempertahankan
posisinya dalam kekuasaan pemerintahan, maka terjadi arogansi (abuse
of power) dan terjadilah rasa antipati terhadap program dan merembet
kepada antipati terhadap pemerintah.
Perkembangan
Demokrasi Pasca Rezim Orde Baru
Sejak
tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998, maka semua orang di Indonesia
merasa memiliki hak untuk berpolitik dan hak pertisipasi jalannya
pemerintahan melalui perwakilan. Tidak terkecuali di perkampungan pun
demokrasi melanda warga setempat. Bilamana dirinya atau kelompok
masyarakat merasa dirugikan oleh pihak-pihak tertentu, maka tidak
segan-segan angkat bicara menggunakan kosa kata yang sering diucapkan
para politisi yag mereka lihat di media TV, memberanikan diri
menghadap Pejabar Daerah setempat.
Fenomena
sosial demikian akan lebih tepat bilamana masyarakat sudah cukup
berpendidikan dan banyak pengalaman dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dan akan menjadi kontra produktif bilmana dilakukan oleh
mereka yang belum cukup pendidkan dan pengalamannya, sementara yang
mereka tuntut sangat tinggi kaitannya dengan ketentuan perundangan.
Oleh karena minimalnya pengetahuan peraturan dan hukum yang mereka
miliki, maka yang terjadi adalah kalimat "pokoknya kami dapat
sesuatu" dan berakhir dengan tindakan melanggar batas aturan
kemudian bersinggungan dengan tindak chaos yang dikategorikan
kriminal sehingga harus singgah di Sel Tahanan Kepolisian.
Apapun
yang terjadi di tengah masyarakat, itu sudah merupakan perkembangan
kehidupan demokrasi yang luar biasa.
Pemilihan
Presiden yang semula dipilih melalui perwakilan di MPR dan berkembang
menjadai pemilihan langsung kepada Oknum Calon Presiden sejak tahun
2004, 2009 dan 2014 telah banyak mengalami perubahan baik dari sisi
positip bahkan sisi negatifnya. Secara kebetulan calon presiden hanya
2 kandidat, maka dengan berkembangnya ilmu infomasi elektronik, maka
perang di dunia virtual tak terhindarkan. Partai-partai pun
mempersiapkan diri mengambil peran dalam pembentukan kekuasaan pada
masa persiapan pil-leg maupun pilpres. Kaderisasi partai Golkar yang
notabene mendapatkan ajaran kepartaian pada saat menjadi Partai
Pemerintah selama rezim Soeharto 32 tahun, telah melahirkan
kader-kader partai yang handal. Sementara kader Partai Persatuan
Pembangunan (P3) dan Partai Demokrasi Inndonesia (PDI) bentukan rezim
kurang begitu terlihat buah produk kaderisasi selama rezim Soeharto.
Kader kedua partai tersebut justru lebih banyak mengadopsi norma
politik daripada Partai-partai asalnya. Misalnya, kader-kader P3
mengadopsi norma-norma politik Nahdatul Ulama (KH Ashari Cs) dan
Muhamadiyah (KH Achmad Dahlan) sedangkan PDI lebih banyak mengadopsi
norma politik daripada Partai Nasional Indonesia yang dibentuk oleh
Presiden Pertama Soekarno.
Fenomena
baru perpolitikan di Indonesia pasca reformasi yang notabene
terlemparnya partai Golkar sebagai partai penguasa kepemerintahan
telah membentuk kristal-kristal kepiawaian bagi para kader-kadernya.
Rekam jejak partai Golkar telah tercatat sejak saat itu hingga kini.
Program menuju kembalinya partai menjadi Partai Penguasa dan atau
berkontribusi kepada kekuasaan adalah Politik 2 kaki. Satu kaki
tetap berpegang pada penguatan kader dan satu kaki lainnya
melenggangkan kadernya masuk kedalam (kandidat) Partai Penguasa.
Masuknya Jusuf Kalla (JK) sebagai Wakil Presiden pada rezim Indonesia
Bersatu jilid-1 yang kemudian terjadi penguatan organisasi dengan
dipilihnya JK menjadi Ketum Golkar sehingga terjadi penguatan
kader-kadernya di Legislatif menjadikan Partai Golkar berperan dalam
pemerintahan SBY. Namun, kekalahan JK pada Pilpres 2009 pun masih
menyisakan kader-kadernya tetap bergabung di Sekretariat Gabungan
dibawah kontrol SBY, sehingga masih berperan dalam pemerintahan.
Wacana
Pilpres 2014 dengan icon capres pilihan rakyat Jokowi (JKW) yang
menggandeng JK adalah fenomena baru, karena JK sebagai kader Golkar
maju atas nama pribadi yang diminta Ketum PDIP dan kesanggupan JK
menemani JKW. Golkar terpecah menjadi 2 kubu untuk kepentingan
politik 2 kaki. Kalau JKW menang maka Golkar dari kubu JK akan
berkontribusi dalam pemerintahan kedepan dan kalau Prabowo yang
menang, maka kubu AR Bakrie yang akan menguat.
Kandidat Presiden pada Pilpres 2014 |
Segi
Positip dan Negatifnya Keberpihakan
Bergesernya
ideologi politik kepada ideologi materialistik di tengah masyarakat
menyeret kandidat pimpinan pemerintahan apakah itu Lurah, Bupati,
Gubernur bahkan Presiden harus berfikir jauh lebih matang dalam
persiapan elektasi atau pemilihan umum. Ukuran legitimasi tidak
sekedar diukur dari ketebalan pemahaman norma politik partai, tetapi
bagi masyarakat awam yang termasuk "swing-vote" atau masa
mmengambang adalah seberapa besar figur kandidat telah dan akan
memberikan dampak materi kesejahteraan kepada voter atau pemilih.
Secara realita, tidak jarang kandidat Anggota Legislatif harus
merelakan harta kekayaannya hilang untuk membayar proses menawarkan
dirinya untuk dipilih oleh rakyat pemilih. Tidak sedikit pula yang
pada akhirnya stabilitas pikiran terganggu bahkan tidak normal lagi
karena harta kekayaannya habis untuk hal tersebut diatas.
Segi
positip keberpihakan adalah terjadinya solidaritas antara pemilih dan
yang dipilih dan mempererat tali silaturahim secara tidak langsung.
Tanpa mengesampingkan ketidakjujuran proses elektasi, tersalurnya
materi dalam bentuk uang dari kandidat kepada calon pemilih, walaupun
termasuk kategori pelanggaran hukum, peristiwa tersebut telah andil
dalam distribusi uang kepada masyarakat bawah, walaupun hal tersebut
tidak seluruhnya benar pasti memilih kandidat yang memberinya.
Keberpihakan secara wajar akan mempererat kedekatan secara moral dan
rasa manfaat kontribusi bilamana kandidat terpilih sebagai pemenang.
Perasaan bangga dan harga diri akan terwadahi menjadi kelompok
pemenang yang bisa jadi diperhitungkan di dalam lingkungan keluarga
dan masyarakat sekitarnya.
Segi
negatifnya, bilamana keberpihakan dilakukan secara berlebihan bahkan
sampai melakukan proses indoktrinasi ideologi, maka terjadilah
militansi buta yang kita kenal pada rezim Soekarno ada istilah
kesetiaan tanpa reserve. Dalam ideologi nasionalisme yang dibawa oleh
figur Soekarno dimanifestasikan dengan ucapan "pejah gesang
nderek Bung Karno", dls.
Bilamana
hal tersebut terjadi di lingkungan keluarga akan terjadi perpecahan
yang sulit untuk bersatu kembali. Tidak sedikit bentrokan antar
kelompok bahkan kakak-beradik tidak tegur sapa sepanjang hayat karena
perbedaan ideologi dan keberpihakan kepada figur tertentu.
Keberpihakan secara berlebihan akan berakibat kepada pembelaan yang
berlebihan pula walaupun sejatinya figur yang didukung terbukti
bersalah. Sebagian dari mereka bahkan menganggap figur yang didukung
adalah manusia setengah dewa, manusia super dan menjurus kepada
pengkultusan dan menyebutnya sebagai "the people can do no
wrong".
Pada
akhirnya, marilah kita benahi diri kita masing-masing dalam
menjalankan hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Kita memihak dengan kadar sewajarnya tidak perlu terseret
kepada hegemoni politik, terbakar dengan manifesto politik yang
menjadi jargon figur, partai dan kelompok-kelompok faham tertentu
walaupun diucapkan dengan kata-kata manis menyentuh hati setiap
orang.
Semoga
bermanfaat.
Referensi :
- Annonim, Wikipedia, 2006, Ideologi Terjemahan Bebas
- Cranston, Maurice,Ideology, 2006
- Machiavelli, Ideology Politics, 2006
- Gunawan Setiardjo, 2003, Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.