Samidi Adisumarto bin Ronoredjo |
Walidjo bin Ranu Wiharjo berasal dari Dusun Penen Desa Ngaglik, Kecamatan Denggung Kabupaten Mlati dan istrinya Asih binti Setro Saiman bin Kartowirjo yang berasal dari Pepunden Posong. Konon pepunden Posong berasal dari kerabat Kasunanan Mataram yang mlesit keluar dari lingkungan kerajaan pasca Perjanjian Giyanti bersama beberapa Tokoh Mataram lainnya seperti R. Djonegoro, Kyai Margowongso (Margowangsan), R. Hadinegoro (Kuncen), Kyai Gelap Sayuto dan R. Dipo Kusumo (Gelap dan Kopen) di yang jasadnya dimakamkan di puncak bukit Gunung Kuli - Podosoko.
Tahun 2017 ini bapak sudah berumur 87 tahun. Suatu umur yang tidak lagi disebut muda lagi tetapi sudah terlalu sepuh. Di kampung pun kawan-kawan sepantaran sudah mendahului menghadap Ilahi. Walaupun umur sudah sepuh, namun dalam kegiatan sehari-hari jiwa dan semangat kerja bapak sungguh luar biasa. Sebagai pensiunan PNS Guru SD yang pensiun tahun 1993 yang berarti sudah 21 tahun menikmati masa pensiun. Selama menjalani masa pensiun selama itu, beliau tidak sekedar ongkang-ongkang kaki menikmati hari-hari istirahat tetapi justru disibukkan dengan berbagai kegiatan pada pagi, siang dan sore hari.
Mengisi Waktu Luang dengan Kegiatan Bermanfaat
Tidak ada waktu luang dalam menjalani kehidupan sehari-hari walaupun sudah terlepas dari kewajiban tugas negara yaitu mengajar sebagai Guru Sekolah Dasar. Kegiatan yang diulang-ulang dan dilakukan dengan konsisten mengakibatkan budaya disiplin yang luar biasa dan bisa menjadi panutan bagi anak cucunya.
Setiap hari disibukkan dengan bangun pagi jam 05.00 wib langsung mengambil air wudhu dan sembahyang subuh, kemudian dilanjutkan dengan "mbedang" minum teh manis dengan makan snack seadanya, kadang singkong goreng, tempe goreng bahkan hanya cukup dengan gula jawa.
Setelah selesai acara mbedang bapak langsung mengambil cangkul dan sabit dan pergi ke sawah di seelah barat perkampungan, sebelah timur pasar kampung dan diatas lokasi sendang. Ketiga tempat tersebut bukan lahan miliknya sendiri. Lahan garapan di sebelah barat perkampungan seluas 3500 M2 adalah tanah sewa milik Pak Harto (alm) kerabat trah wayah Mbah Karto Karsini. Lahan garapan di atas sendang juga tanah sewa milik Mbah Minem (alm) anak Mbah Supotaruno (alm) dan lahan garapan sebelah timur perkampungan plus sebelah selatan Dusun Mudal adalah tanah milik sendiri.
Yang dilakukan Bapak di sawah disesuaikan dengan kemampuan tenaga yang ada untuk tidak terlalu memakan banyak tenaga, cukup membersihkan rumput, mengalirkan air dari selokan ke areal persawahan, merompes dedaunan tanaman yang telah mati, menopang batang kacang panjang dengan galah bambu (lanjaran) dan kegiatan ringan lainnya. Kegiatan tersebut dilakukan setiap pagi sampai jam 10.00 setiap hari sehingga areal garapan sangat bersih.
Jam 10.00 WIB bapak pulang ke rumah, mandi dan jam 12.00 makan siang yang dilanjutkan dengan sembahyang Dhuhur pada jam 12.30 WIB. Setelah sembahyang Dhuhur waktunya istirahat sampai jam 14.30 WIB.
Jam 14.30 WIB berangkat ke sawah lagi di lokasi berbeda yang dilakukan secara bergilir atau di satu tempat bilamana masih ada kegiatan yang memerlukan keseriusan di suatu lokasi. Pekerjaan sawah untuk waktu sore dilakukan sampai jam 17.00 WIB, manakala matahari sudah mulai gelap semua kegiatan di sawah ditinggalkan.
Rutinitas malam hari diisi dengan berdoa setelah sembahyang Maghrib dan Isya. Waktu sehabis sembahyang sampai tidur jam 11.00 WIB digunakan untuk bertemu anggota keluarga di rumah mana membicarakan tentang kegiatan esok harinya, mana perlunya pembalian pupuk, bibit, pelengkap sarana pertanian seperti pupuk, galah bambu (lanjaran), keperluan menyewa tenaga fisik untuk mengolah tanah, menyemprot hama, memanen dan mengundang pembeli untuk menjual hasil panen bahkan perbincangan Rukun Tangga sekampung diluar kegiatan pertanian.
Samidi dimasa muda |
Sekilas Masa Kecil Samidi
Dikisahkan oleh yang bersangkutan, sejarah kehidupan Bapak saya semenjak kecil sangat memprihatinkan. Cerita perjuangan hidup masa kecil Bapak masa kecilnya di tahun 1930-an sebagai anak tukang kayu dan nenek usaha tempe hidup di rumah yang berpindah-pindah menempati pekarangan orang karena kedua orang tuanya tidak memiliki lahan pekarangan. Baru pada tahun 1950-an Nenek bisa membeli pekarangan yang ditempati sekarang milik kerabat dekat yaitu Mbah Supotaruno, yaitu suami dari Mbah Tambeng si anak "wuragil" dari Mbah canggah Kartowiryo.
Bapak dan 2 orang adiknya yaitu Paklik Kuru Ramidi dan Paklik Sugeng hidup dengan penuh kesederhanaan dan keterbatasan. Seorang Samidi sekolah hanya sampai tingkat SR singkatan dari Sekolah Rakyat (SD jaman sekarang). Setelah lulus SR bapak menganggur karena tidak dimungkinkan untuk melanjutkan ke tingkat SLTP yang waktu itu hanya ada di Muntilan dengan jarak sekitar 10 Km dari perkampungan. Yang jelas tidak cukup biaya untuk sekolah kesana. Selama menganggur itu banyak yang dia kerjakan, ya jual bibit kayu Jati, ya membantu mencangkul Mbah Parto Posong, dls.
Diceritakan saking terbatasnya kondisi sosial, salah satu family terdekatnya yaitu Mbah Parto ngendika kepada bapak :
Bapak : "pripun mbah caranipun supados kula saged uwal saking kahanan kekirangan puniki"
Mbah Parto : "nek tak arani kahananmu, kowe kuwi saking lik ora duwe ancik-ancik"
Ancik-ancik disini dimaksudkan adalah tidak punya pendidikan yang cukup apalagi modal untuk berdagang atau usaha yang lain untuk menopang kehidupannya.
Mendengar kalimat filosofis Mbah Parto Posong, maka segala upaya lahir maupun bathin dilakoni untuk bisa kelura dari dunia kekurangan dan keterbatasan. Seorang Samidi menjalani dagang sepeda, bibit kayu Jati dan usaha kecil-kecilan yang lain hanya sekedar memenuhi tuntutan perut.
Laku spiritual juga dilakoni dengan berpuasa diluar bulan puasa memanjatkan doa kepada Tuhan agar dirinya dan anak-cucunya dirahmati dengan pendidikan yang cukup agar dalam menjalani hidup dan kehidupannya dimudahkan dan mendapatkan ridhaNya.
Upaya lahiriyah dan bathiniah dilakoni dengan khusu' tetapi tidak memaksakan diri untuk menganiaya organ tubuh untuk bekerja tidak sewajarnya tetapi lebih dari melatih kesabaran mengendalikan hawa nafsu.
Nasib Mujur dari Seorang Tokoh Guru
Di Dsn. Margowangsan ada seorang tokoh Guru jaman belanda yang namanya Mbah Saljum. Beliau bisa belajar sampai ke jenjang yang tinggi di sekolah guru karena orangtuanya termasuk orang kaya dan keturunan ningrat yang dipersyaratkan oleh Belanda. Konon istri Mbah Saljum masih keturunan dari R. Djojonegoro yaitu saudara lain ibu dengan Pangeran Diponegoro yang dimakamkan di Pekuburan Mudal.
Mbah Guru Saljum mempunyai kepedulian yang luar biasa. Beliau mempunyai obsesi untuk bisa mengangkat harkat anak-anak muda Dusun Margowangsan dikirim ke Kota Muntilan - Kab. Magelang untuk sekolah di Sekolah Guru Bantu (SGB) yang diselenggarakan oleh Pemerintah RI sebagai Guru Bantu (honorer) pada awal-awal pemerintahan setelah merdeka. Tidak sedikit anak-anak muda Dusun Margowangsan, Kebokuning, Sawangan dan sekitarnya dikirim untuk sekolah di SGB Muntilan yang notabene ikatan dinas Pemerintah.
Tentunya untuk masuk menjadi murid SGB perlu persyaratan yang sesuai dengan kebutuhan sebagai calon pengajar. Celakanya anak-anak muda yang akan dikirim ke SGB ada yang kurang umurnya, ada yang terlalu tua ada yang jumlah nilai di Ijazahnya kurang. Mbah Saljum adalah seorang yang sangat bijak dan penuh dengan inovasi kreatif pada zamannya. Maka Mbah Saljum berakrobat agar seluruh pemuda yang dikirim dapat masuk diterima di SGB. Bagi yang kurang umur ditambah, yang terlalu tua dikurangi (termasuk bapak saya Samidi).
Tangan Tuhan telah mengubah nasib para pemuda kampung dari sebelumnya sebagai para penganggur menjadi guru-guru yang siap berjuang mengajar dimanapun ditempatkan (benum).
Seorang Samidi mulai benum tahun 1959 mengajar di kampungnya sendiri. Karakter sebagai seorang guru mulai terlihat dengan sosok seorang yang keras dalam mengajar memperjuangkan anak-anak muridnya banyak dikenang oleh mantan murid-muridnya. Keinginan untuk membentuk karakter murid agar memiliki jiwa pejuang hidup sangat kuat dengan sering mengajarkan filosofi "tetesing banyu sing ngenani watu item, suwening suwe watu bisa bolong" yang berarti suatu tindakan yang dikerjakan dengan tekun dilakukan berulang-ulang insya allah akan mencapai tujuan. Biarpun tidak pandai kalau belajar tekun diulang-ulang setiap hari, insya allah akan menjadi anak yang pandai. Hal tersebut juga disebut "sapa temen bakal tinemu".
Empat orang Anak-anaknya Lulus Perguruan Tinggi
Suatu kebanggaan seorang Samidi, walaupun sekolahnya di SGB setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) tetapi saya melihat buku-buku yang dipelajari cukup bermutu tinggi. Bapak banyak belajar tentang Ilmu Jiwa Anak (Psikologi Anak). Dengan menguasai ilmu jiwa anak, seorang guru faham tentang tahapan-tahapan transfer pengetahuan atau proses belajar mengajar mengikuti situasi kejiwaan anak didik pada usia dini.
Beliau sering menanggapi pola belajar mengajar yang dilakukan para guru jaman sekarang, seakan-akan tidak mengenal psikologi anak yang beliau pelajari. Tahapan-tahapan memberikan pelajaran seakan-akan ingin meloncat kepada pencapaian ilmu yang lebih tinggi tetapi belum saatnya diberikan kepada situasi psikologis anak usia dini.
Guru Dengan Karakter Keras dan Disegani
Anak-anak muridnya mengenal bapak sebagai guru yang keras. Mata pelajaran yang diajarkan kadang dibumbui dengan kalimat filosofis budaya kejawen misalnya : sapa gawe nganggo, sapa temen tinemu lir tumetesing banyu ing watu item, dll. Kekerasan secara fisik kepada anak didik pun pernah dilakukan, misalnya melempar penghapus, kapur, dll, karena si anak sangat nakal. Untung belum ada Undang-undang Perlindungan Anak. Orangtua si anak justru berterima kasih karena sejak diperlakukan, si anak berubah sikap yang tadinya pemalas menjadi rajin.
Karakter keras dalam mendidik anak muridnya di sekolahan terbawa pada pendidikan anak-anaknya di rumah. Semua anaknya didorong agar anak-anaknya berprestasi. Jika membaca sekali belum hafal agar diulangi, diulangi dan diulangi sampai hafal. Kalau sudah hafal upayakan agar faham dengan persoalan. Akan lebih bagus lagi kalau belajar sekaligus memahami pelajaran, sehingga pelajaran akan masuk kedalam hati atau dengan kata lain menghayati pelajaran. Bilamana pelajaran dapat dihayati ditambah lagi dengan doa dimalam hari setelah belajar, maka insya allah menghadapi ulangan atau ujian akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Bagi anak-anak usia kuliah pola belajar dengan memahami pelajaran akan memudahkan dalam mempelajari ilmu yang digeluti. Dengan hanya menghafal kata kunci, maka dalam menghadapi ujian kuliah, tulisan Text Book yang berlembar-lembar cukup dengan hanya memahami beberapa kata atau beberapa kalimat saja.
Keberhasilan menyekolahkan anaknya yang pertama menjadi cambuk bagi adik-adiknya. Selisih umur yang cukup jauh antara anak pertama dengan anak kedua, ketiga dan keempat, menyebabkan pola pembiayaan sekolah yang masih agak longgar pada anak pertama dan pembiayaan anak yang kedua, ketiga dan keempat jelas sangatlah berat. Walaupun dengan biaya yang sangat terbatas, perjuangan anak-anaknya yang luar biasa dan diiringi dengan doa kedua orang tua alhamdulillah semuanya lulus universitas.
Profile Simbok : Tarmini pada umur 75 tahun |
Perjuangan hidup menuju kemuliaan tidaklah murah. Perjuangan harus dibayar dengan tenaga, pikiran dan segenap inovasi langkah yang kadang dianggap tidak umum dilakukan oleh orang kebanyakan, yang tidak mengenal waktu dan tidak mengenal lelah pada zamannya. Orang Jawa memberikan istilah perjuangan luar biasa dengan "sirah dianggo sikil, sikil dianggo sirah". Perjuangan kadang harus mengorbankan sebagian kepemilikannya untuk memperoleh keberhasilan yang lebih besar yang disebut investasi. Namun tidak kalah pentingnya do'a Ibu Bapak nyata sekali memiliki andil dalam keberhasilan perjuangan tersebut.
Ajaran Kejujuran dan Kebenaran
Jujur adalah kesesuaian hati dengan tindakan dan ucapannya sedangkan kebenaran adalah kepatuhan menjalankan kegiatan sesuai dengan aturan baik aturan tertulis maupun yang tidak tertulis.
Setiap orangtua pasti menginginkan anak-anaknya hidup berkecukupan tidak terlalu kesulitan dalam menjalani hidup dan mencari penghidupan. Namun, orangtua saya tidak juga menginginkan anaknya bermasalah karena penghidupannya tidak benar. Dengan kata lain agar anak-anaknya "temen" atau mensyukuri terhadap pekerjaan dengan petunjuk Allah. Dengan bekerja penuh semangat dan bisa mengelola kejujuran, insya allah akan mendapatkan keberhasilan sesuai dengan perjuangannya.
Dari kiri : Harsanto, Dowo, Bapak, Simbok, Aku, Budi |
Ajaran kebenaran perlu diajarkan sejak usia dini. Rumah adalah forum implementasi aturan dengan aturan keluarga. Segala sesuatu yang dilakukan oleh orangtuanya akan dilihat dan diingat oleh anak-anaknya apakah itu kelakuan yang baik ataupun yang tidak baik. Orangtua sebagai "Panutan" adalah rangkaian film yang dilihat terus menerus setiap hari bagi anak-anaknya. Dari ayah sebagai seorang guru dan ibu pengusaha kecil sekaligus pedagang adalah film yang komplementer saling melengkapi dalam peri kehidupan saya dan tiga orang adik-adik saya. Tindakan guru yang memberi suri tauladan bagi anak didiknya di sekolahan banyak mempengaruhi karakter anak-anaknya dalam menjalani proses belajar mengajar mulai dari usia dini masuk TK dan SD sampai di bangku kuliah. Ayah saya lebih mengedepankan pemahaman penghayatan terhadap pelajaran untuk memperoleh hasil tes atau ujian yang memuaskan. Terlebih lagi penghayatan terhadap pelajaran akan tertanam dalam ingatan, insya allah.
Taat proses belajar mulai dari membaca sampai dengan menghayati itulah ajaran kebenaran karena dengan penghayatan palajaran maka akan dapat menganalisis maksud pertanyaan yang diujikan oleh guru sehingga akan bisa menjawab pertanyaan tes atau ujian. Bilamana proses tidak dilalui hanya mengutamakan hasil, bisa jadi si anak dapat bertindak curang, tidak perlu belajar cukup dengan cara nyontek atau "ngerpek" pada saat ujian, untuk sekedar mendapatkan hasil yang tinggi walaupun tidak memuaskan hati tetapi justru meracuni hati bertindak tidak semestinya atau dengan kata lain bertindak tidak jujur.
Masih banyak lagi contoh tindakan atau ujaran orangtua dalam mendidik arti kebenaran dalam menjalani hidup dan penghidupan. Misalnya, dalam melakukan pekerjaan sehari-hari di tempat kerja, pada umumnya orangtua akan merasa senang dan bahagia jika anak-anaknya cepat memiliki materi untuk memenuhi segala keperluan hidupnya tanpa melihat darimana proses mendapatkan rejeki. Tetapi tidak demikian dengan orangtua kami. Orangtua kami lebih menginginkan anak-anaknya mendapatkan rejeki sesuai dengan hak nya agar hidupnya barokah, dalam arti dalam menikmati rejeki dari hasil kerjanya akan membuat hidup bahagia, bermanfaat bagi orang kebanyakan jauh dari mara bahaya dalam segala bentuk yang membuat celaka di kemudian hari.
Nikmatilah rejeki yang didapat sesuai dengan hak-nya. Apalah gunanya jika rejeki melimpah tetapi tidak barokah, hanya membuat kesusahan di kemudian hari.
Semoga bermanfaat.
Sumber : Bapak saya sendiri Samidi yang diceritakan kepada saya pada waktu-waktu senggang.