Ilustrasi pembakaran perkampungan (bukan situasi sebenarnya kurban pembakaran Belanda th 1947) |
Introduksi
Tulisan
ini adalah Fakta Sejarah bukan Fiksi. Saya menulis kisah ini karena terisnpirasi dari tayangan salah satu Stasion TV Swasta yang
menayangkan kisah perjuangan masyarakat yang berjudul “Membuka
Tabir antara Karawang dan Bekasi”. Gigihnya perjuangan dan gugurnya
ribuan pahlawan tak dikenal di daerah tersebut, seharusnya Negara
memberikan suatu apresiasi perhatian khusus kepada masyarakat dan
lokasi peristiwa, apakah berupa monumen perjuangan atau bentuk lain,
justru terlupakan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah
mencatat bahwa pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia,
secara defakto di dalam diri masyarakat telah tertanam bahwa pada tanggal 17
Agustus 1945 telah terlahir Bangsa Indonesia. Setiap orang yang
tinggal di wilayah Indonesia teguh mempertahankan kemerdekaannya dari
kolonisasi Bangsa Belanda dan bertekad mandiri, apapun resiko
yang akan terjadi.
Bagi
Bangsa kolonial, baik Belanda, Inggeris dan Jepang mereka hanya mengakui
kemerdekaan bangsa Indonesia secara de-yure (formal) setelah ada perjanjian dan diakui
kesepakatan kemerdekaan. Beberapa kali Konferensi atau Perjanjian
antara Pemerintah Belanda dengan Aktifis Indonesia dan terakhir
Konferensi Meja Bundar di Den Haag th 1949, bahwa bahwa Bangsa Indonesia
tetap pada pendiriannya ingin mandiri, merdeka terlepas dari
kekuasaan bangsa lain. Walaupun secara de yure Indonesia merdeka tahun 1949, tetapi dalam diri setiap warga Indonesia tetap mengakui secara de fakto bahwa Indonesia merdeka sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Akal bulus Belanda untuk menancapkan kuku kekuasaannya untuk menundukkan bangsa Indonesia
telah dimulai sejak berdirinya VOC Tahun 1602 di Batavia. Pada awalnya hanya berdagang rempah-rempah, namun kemudian merambah untuk menguasai wilayah dan pemerintahan serta membentuk Lembaga Keamanan berikut Benteng Pertahanan untuk melindungi keberadaan Pemerintah. Pemberontakan demi pemberontakan terjadi untuk mengusir Belanda.
Dalam rangka memperkuat kekuasaan, Belanda merekrut warga pribumi untuk melawan Pemberontak yang berasal dari warga pribumi yang tidak setuju dengan kolonisasi atau penjajahan. Bahkan Belanda menggunakan strategi "ädu domba" untuk memecahbelah kekuatan warga pribumi. Politik pecahbelah yang bersejarah adalah Perjanjian Giyanti (1779) yang pada intinya Belanda memecah Kekuatan Mataram menjadi 4 penguasa berikut dengan wilayah kekuasaannya masing-masing yaitu Kasunanan Mataram Surakarta, Mangkunegaran Surakarta, Kasultanan Mataram Yogyakarta dan Pakualaman Yogyakarta.
Belanda memegang hegemoni kekuasaannya dalam menentukan pilihan Bupati di seluruh wilayah Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Kepongahan Belanda tidak sampai disitu, penguasaan wilayah Mataram di Pesisir Utara hadiah dari Paku Buwana II pun merambah sampai ke wilayah kekuasaan Mataram termasuk dalam kekuasaannya dalam memungut pajak tanah dan penentuan jalur transportasi, hingga pecah Perang Diponegoro selama 5 tahun (1825 - 1830) yang dikenal dengan Perang Jawa dan berakhir dengan "pengkhianatan" perundingan/penangkapan Pangeran di Kota Magelang yang melibatkan laskar pemuda dari
daerah Kab. Magelang sebagai pengiring sang Pangeran. Pemerintah Belanda merasa kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Indonesia yang
bergerak massif dan sporadis. Perang atau “clash”
yang terjadi pasca proklamasi semakin sengit.
Pemerintah
Hindia Belanda pun tidak menyerah begitu saja. Pemerintah Belanda
justru banyak merekrut putera-putera pribumi untuk berperang melawan
bangsanya sendiri (politik adu domba).
Perjuangan
Anak Cucu Laskar Mataram
Jika ditarik
garis lurus Dusun
Margowangsan dan sekitarnya hanya berjarak 15 Km dari Kota Magelang,
Ibukota Karesidenan Kedu pada jaman pendudukan kolonial Belanda.
Masyarakat
Sawangan – Magelang khususnya Dusun Margowangsan dan sekitarnya
sudah mengenal kelicikan Belanda sejak adanya intervensi Belanda
dalam Perjanjian Giyanti dan drama Perundingan Perundingan antara Pemerintah Belanda dan P. Diponegoro di
Kantor Karesidenan Kedu di Magelang. Pengawal setia Pangeran
Diponegoro, Sentot Prawirodirdjo akhirnya pun juga tertangkap di
daerah Sawangan. Namun, para pengikutnya tidak tinggal diam. Pada waktu-waktu tertentu para sahabat dan anak
keturunan Sang Pangeran melakukan penyerangan secara gerilya ke tangsi-tangsi Belanda di Kota Magelang.
Konon
menjelang clash kedua tahun 1949 Belanda merencanakan penyerangan
massif di beberapa kota besar pusat-pusat perlawanan rakyat kepada
Pemerintah Belanda seperti di Ambarawa, Surabaya, Magelang, dll untuk
menunjukkan eksistensinya sebagai Pemerintah Hindia Belanda yang
masih eksis di negeri ini.
Tidak luput daerah kantong kekuatan
perlawanan rakyat Kecamatan Sawangan yang berpusat di Dusun
Margowangsan menjadi salah satu sasaran penyerangan, tepatnya dengan membumihanguskan ruma-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Laskar Kemerdekaan.
Kenapa
Margowangsan...
Pertama,
Dusun Margowangsan dan sekitarnya sebelum Perang Diponegoro sudah
dihuni oleh tokoh Mataram pasca Perjanjian Giyanti dari keluarga dan
sahabat Paku Buwana-III yang notabene
merupakan kelompok yang menentang isi perjanjian. Artinya, sudah ada bibit
turun-temurun bahwa nenek moyang masyarakat Dusun ini “Anti
Belanda”. Dalam perkembangannya, pemuda-pemuda dari dusun ini
bersama dengan Laskar dari beberapa tempat sering melakukan
penyerangan ke Tangsi-tangsi tentara Belanda di Kota Magelang. Secara
tidak langsung mereka para pemudanya terdidik berpolitik untuk
memerangi Pemerintah Belanda.
Kedua,
Pasca Peperangan Diponegoro yang berakhir dengan drama pengkhianatan Pangeran Diponegoro meminta agar Saudaraku 9 Dipo dilepaskan untuk tetap berjuang melawan Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karenanya seluruh Saudaranya menyebar mulai dari Daerah Magelang sampai Pati di Pesisir Utara Jawa dengan tetap menyimpan dendam kusumat yang sulit untuk dilupakan. Otak culas
Belanda mengkhianati suatu perjanjian tidak bisa dihapus dan semakin
membakar semangat menggangu Tangsi-tangsi Belanda di Kota
Magelang.
Tercatat keluarga dan Sahabat Pengeran Diponegoro banyak yang tinggal domisili di Margowangsan dan sekitarnya, mis : Pangeran Wirjo Dipoleksono alias Sodongso, R. Djojonegoro, R. Dirgonegoro, Ny. Suntiaking, Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Hadinegoro alias Kyai Kasan Iman alias Diponido, R. Dipokusumo, dll yang hidup bersama masyarakat pedesaan dengan menyamarkan nama dan identitasnya. Anak cucu mereka ini secara turun temurun gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan berbagai bentuk partisipasinya.
Tercatat keluarga dan Sahabat Pengeran Diponegoro banyak yang tinggal domisili di Margowangsan dan sekitarnya, mis : Pangeran Wirjo Dipoleksono alias Sodongso, R. Djojonegoro, R. Dirgonegoro, Ny. Suntiaking, Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Hadinegoro alias Kyai Kasan Iman alias Diponido, R. Dipokusumo, dll yang hidup bersama masyarakat pedesaan dengan menyamarkan nama dan identitasnya. Anak cucu mereka ini secara turun temurun gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan berbagai bentuk partisipasinya.
Ketiga,
Dusun Margowangsan adalah Pusat para gerilyawan tangguh dan mumpuni
dalam bertempur. Dari Dusun ini banyak lahir Tokoh-tokoh sakti,
pemberani dan didukung oleh pengaruh yang kuat di masyarakat serta
kekayaan secara materi diatas rata-rata kekayaan masyarakat pedesaan di sekitarnya. Banyak rumah-rumah tembok besar dan pekarangan
luas yang menggambarkan kekuatan materi melebihi Dusun-dusun di
sekitarnya.
Pasca
proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia merintis
kekuatan rakyat dengan membentuk satuan keamanan yang berasal dari
pemuda laskar, banyak pemuda dusun ini yang mendaftar menjadi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Sebelumnya anggota TKR juga sudah ada yang
menjadi KNIL pada penjejahan Belandan dan Heiho pada jaman penjajahan
Jepang. Kelompok ini sangat militan dan aktif melakukan penyerangan
ke Tangsi di Magelang. Tercatat beberapa pemuda anngota TKR di Dusun
Margowangsan mis : Tamyis, Hilal, Sapar, Pawiro, Suwito, Ahmad dan masih banyak lagi. Mereka adalah para Laskar tangguh yang diincar untuk dihabisi Belanda.
Belanda
Membumihanguskan Dusun Margowangsan
Tahun 1947 Pemuda
Laskar yang tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) mencium adanya rencana gerakan
Belanda yang akan membumihanguskan Dusun Margowangsan. Tiga hari
sebelum penyerbuan Warga pedusunan sudah mengungsi. Sebagian
besar mereka mengungsi ke Desa Jati yang berjarak sekitar 5 Km kearah
Timur laut Dusun Margowangsan dan sebagian kecil mengungsi di lobang
di tengah aliran irigasi Bendungan Kali Krasak yang jalurnya melewati lahan cadas.
Pada
suatu hari datanglah tentara
Belanda ke Dusun Margowangsan mencari Tokoh-tokoh Pemuda yang diduga
sering melakukan penyerangan ke Tangsi Belanda di Magelang. Boro-boro
menangkap otak pelaku gerilya (extreemist), Belanda tidak menemukan
satu orang pun yang tinggal di Dusun ini. Semua rumah sudah ditinggal
mengungsi oleh penghuninya, tidak tahu warga lari kemana.
Kemarahan
Belanda karena tidak menemukan ekstrimis, maka mereka membakarnya
sebagian rumah-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyiannya.
Tercatat rumah yang dibakar sebanyak 49 (empatpuluh sembilan) rumah
dari 78 total rumah di Dusun Margowangsan. Tercatat 4 (empat) unit Rumah Mbah Supo yang notabene merupakan rumahnya Mbah Tamyis salah satu Anggota TKR dibakar tetapi khusus rumah khusus Mbah Supo utuh, berkat kesaktian yang dimiliki beliau. Semua rumah yang dibakar terindikasi sebagai rumah-rumah para pemuda Laskar yang aktif sering melakukan penyerangan ke Tangsi Belanda di Magelang, seperti sudah ada ditandai oleh mata-mata Belanda.
Peristiwa
pembakaran rumah Dusun Margowangsan tidak berdiri sendiri. Pasti ada
informasi spionase sebelumnya yang sampai ke telinga Belanda. Para Pemuda Laskar pun bekerja siang
malam mencari mata-mata "spion" dibalik pembakaran rumah oleh Belanda.
Tertangkaplah seorang warga penghuni dusun yang kebetulan dari etnis
“Non-Jawa” dan diadili secara adat dengan segala sangsinya di Rumah Mbah Supo seorang Sesepuh Dusun.
Sudah
barang tentu pembakaran rumah bagi warga Pedusunan yang termasuk
golongan masyarakat mapan secara sosial ekonomi merasa terpukul.
Rumah-rumah gedung megah dengan pekarangan luas hangus seketika.
Banyak warga khususnya para kaum ibu-ibu yang stress, jatuh sakit dan
meninggal akibat “peristiwa bumi hangus tahun 1947”.
Mereka
ingin melupakan peristiwa tersebut diatas. Seluruh dinding dan
fondasi rumah dirobohkan. Hanya satu gedung yang ditinggalkan sebagai
kenangan yaitu Rumah Mbah Karto Dimedjo yang terletak di sebelah
timur selatan jalan yang dibiarkan tetap berdiri menyisakan kenangan
kekayaan masa lalu.
Kontribusi Perjuangan Berlanjut
Margowangsan
sebagai Dusun sekaligus Pasar pusat transaksi tradisional yaitu Pasar Besar Ngesengan.
Peristiwa pembakaran tahun 1947 bagi Belanda bukan titik terakhir. Belanda mengincar
tokoh-tokoh militan dari Dusun ini dan Belanda mengirim mata-mata.
Para
laskar pun sudah berpengalaman menghadapi situasi perang. Mereka
terdidik secara alami sejak dari kecil. Suatu hari Para Laskar berhasil menangkap mata-mata Belanda yang tengah beroperasi dan langsung dieksekusi dan dikubur di sebelah selatan
Pasar. Kuburannya masih ada dan dipelihara oleh salah seorang warga hingga sekarang.
Perjuangan pinisepuh dalam kontribusinya ikut berperang melawan penjajah menginspirasi generasi berikutnya untuk tetap berkontribusi dalam perjuangan membela keamanan negara.
Dusun Margowangsan pada jaman kemerdekaan dikenal sebagai basis koordinasi para Laskar untuk menghadapi clash Belanda. Tercatat dalam ingatan pinisepuh, bahwa salah satu rumah dekat Masjid tepatnya rumah Bapak Guru Saljum yang dikenal sebagai salah satu anak keturunan R.Djojonegoro (adik tiri P. Diponegoro), kemudian di rumah Bpk. Suparman (Bulu - Podosoka) digunakan sebagai basis TKR dan Laskar dari berbagai daerah. Pada jaman perjuangan, beberapa petinggi negeri dahulu pernah bermarkas di dua rumah ini a.l Sarwo Edhywibowo (alm) mantan Pangkostrad, R. Sudharmono (alm) mantan Wapres RI, dll.
Jangan disalahkan bilamana anak-anak muda baik laki-laki maupun perempuan banyak yang mendaftarkan diri masuk lembaga kemiliteran dan sebagian terjun ke bidang politik dan bertugas di Pemerintahan.
Perjuangan pinisepuh dalam kontribusinya ikut berperang melawan penjajah menginspirasi generasi berikutnya untuk tetap berkontribusi dalam perjuangan membela keamanan negara.
Dusun Margowangsan pada jaman kemerdekaan dikenal sebagai basis koordinasi para Laskar untuk menghadapi clash Belanda. Tercatat dalam ingatan pinisepuh, bahwa salah satu rumah dekat Masjid tepatnya rumah Bapak Guru Saljum yang dikenal sebagai salah satu anak keturunan R.Djojonegoro (adik tiri P. Diponegoro), kemudian di rumah Bpk. Suparman (Bulu - Podosoka) digunakan sebagai basis TKR dan Laskar dari berbagai daerah. Pada jaman perjuangan, beberapa petinggi negeri dahulu pernah bermarkas di dua rumah ini a.l Sarwo Edhywibowo (alm) mantan Pangkostrad, R. Sudharmono (alm) mantan Wapres RI, dll.
Jangan disalahkan bilamana anak-anak muda baik laki-laki maupun perempuan banyak yang mendaftarkan diri masuk lembaga kemiliteran dan sebagian terjun ke bidang politik dan bertugas di Pemerintahan.
Implikasi
Pembakaran Dsn Margowangsan bagi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Pedusunan
Secara
kebetulan penangkapan dan pembantaian Spionase Belanda oleh Pemuda
Laskar yang dikubur di dekat Pasar Ngesengan. Secara psikologis massa
di pasar terpengaruh oleh peristiwa kematian “rojopati” seorang
spion Belanda dengan segala bentuk berita yang berkembang. Secara
tidak disengaja bahwa pengaruh peristiwa tersebut diatas membawa
perkembangan massa yang semakin hari semakin surut minat para pembeli
dan penjual yang datang ke Pasar.
Terakhir
penampakan 2 (dua) Los Pasar masih terlihat pada tahun 1970, 1 Los
Pasar berubah menjadi Gedung Sekolah Dasar, 1 Los Pasar Gudang Garam
berubah menjadi Pos Pelayanan Malaria dan akhirnya mati sama sekali
setelah Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto mulai membangun Rumah
Dinas Camat, Markas Sektor Polisi, Markas Komando Rayon Militer,
Rumah Dinas Dokter berikut Paramedis dan Lokasi Pengungsian Kurban
Letusan Gunung Merapi.
Tempat
penguburan Spionase Belanda walaupun tanpa nisan, namun penduduk
terdekat (Mbah Sri Help alm dan Mbah Peni) yang notabene justru Rumah
Orngtuanya menjadi salah satu kurban pembakaran Pemerintah Belanda,
justru tergerak hatinya untuk selalu membersihkan kubur pemakaman di
Belakang Gedung Pengungsian Kurban Merapi, hingga sekarang.
Perang
melawan Pemerintah Belanda berlangsung ratusan tahun. Tidak terhitung
berapa harta menjadi terbuang hangus terbakar, berapa ribu nyawa
masyarakat pribumi melayang menjadi kurban perlawanan, berapa tetes
airmata tercurah akibat kehilangan harta benda miliknya dan nyawa
sanak saudaranya. Biarkan negara tidak mengenalnya, biarkan rezim
tidak mencatatnya, PAHLAWAN KEMERDEKAAN TAK DIKENAL adalah syuhada
sejati.
Semoga anak cucu para pejuang dapat menikmati jerih-payah perjuangan para Pahlawan yang telah mendahului kita, amin.
Legi Rembesing Madu...
Bibit dan Bobot nama besar ketokohan seseorang akan menurun pada generasi berikutnya, entah generasi yang keberapa nama besar yang bersangkutan akan menitis.
Tercatat nama-nama tokoh besar lahir dari Kawasan ini yang tampil diberbagai bidang pemerintahan maupun non pemerintahan dan mulai tahun 1970 hingga saat ini (2015), antara lain :
Merdeka negriku, damai sejahtera nan sentausa rakyatnya......insya allah.
Semoga anak cucu para pejuang dapat menikmati jerih-payah perjuangan para Pahlawan yang telah mendahului kita, amin.
Legi Rembesing Madu...
Bibit dan Bobot nama besar ketokohan seseorang akan menurun pada generasi berikutnya, entah generasi yang keberapa nama besar yang bersangkutan akan menitis.
Tercatat nama-nama tokoh besar lahir dari Kawasan ini yang tampil diberbagai bidang pemerintahan maupun non pemerintahan dan mulai tahun 1970 hingga saat ini (2015), antara lain :
- Mbah Sosro, Wedana Klaten thn 1960-an, asli Margowangsan;
- Mbah Carik Kardanun, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Magelang thn 1955, asli Margowangsan;
- Drs. Suparman, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Magelang thn 1970-an, asli Bulu - Podosoka;
- Drs. Baridin, Kepala Sekolah SMA Negeri Magelang sekaligus pendiri SMA Negeri Magelang Kelas Jauh di Blabak, sebagai cikal bakal SMAN Muntilan dari Dsn Posong
- Kolonel Sugito, Perwira TNI AU (thn 1990-an), asli Margowangsan;
- Kolonel Murwani Korp Wanita Angkatan Darat (KOWAD) 1980-an, asli Margowangsan
- Letnan Kolonel Polisi Moh. Juweni (alm) thn 1990-an, asli Mudal;
- Mayor Polisi Sunarno (alm) thn 2010-an, asli Margowangsan;
- Kolonel Lilik Sudaryati (alm) Korp Wanita Angkatan Darat (KOWAD) thn 2010-an, asli Margowangsan;
- Majend Herindra, Pangdam Siliwangi tahun 2015 dan Wakil Menteri Pertahanan RI periode 2019 - 2024, asli Penggaron - Desa Gondowangi
- Tahun 2000-an hingga saat ini Pejabat Negara, Profesional, Tokoh Agama bermunculan yang tidak ditulis satu per satu disini.
Merdeka negriku, damai sejahtera nan sentausa rakyatnya......insya allah.
Sumber
berita :
Kisah
ini saya himpun dari pitutur, cerita turun temurun para Pelaku Sejarah yang bertindak sebagai Laskar Pemuda, pemilik
rumah kurban pembakaran dan penduduk pedusunan yang ikut mengungsi
dari penyerangan Belanda yang pada saat ini (tahun 2016) usianya sudah diatas 70 tahun, bahkan
sudah ada yang 85 tahun.
- Anonim (…...), Fakta dan Cerita turun temurun sesepuh Dusun Margowangsan
- Pak Samidi (1995), Kisah kegigihan pemuda Margowangsan dalam bergerilya di Tangsi, Mgl
- Pak Suryadi Achmad (2016), Berita WA Kisah Pengalaman Bumi Hangus Dusun Margowangsan.