POSONG SAGOTRAH (1)
PENGANTAR
Tercatat
adanya beberapa informasi dari alur waris dan sumber terpercaya yang
masih sugeng hingga tahun 2010 adanya kisah nyata asal-usul
Trah terkait “Induk Posong Sagotrah” .
Induk Trah yang disebut Mbah Posong dikisahkan sebagai kerabat Mataram pasca Perjanjian Giyanti yang mempunyai kawaskithan linuwih. Tanah Posong masih berupa hutan yang terletak di pertemuan S. Dadar dan S. Mangu. Adik-adiknya bermukim di Gading dan Kuncen, masih di sekitar Dusun Posong. Kehadirannya di Dusun Posong mlesit dari lingkungan kerajaan, sekedar memenuhi ketetapan hati ketidaksetujuannya dengan sikap Pangeran Sambernyowo memihak kepada Belanda, sementara diketahui Belanda banyak menggunakan tipu muslihat dalam mengembangkan kekuasaannya.
Posong bukan daerah pengasingan bagi keluarga kerajaan, tetapi sekedar tempat menikmati hidup dalam situasi jauh dari hiruk-pikuk politik kerajaan yang mulai tahun 1500 - 1700 terjadi perang saudara di lingkungan kerajaan Mataram. Perang yang berkepanjangan boleh dibilang memakan jiwa ratusan ribu jiwa rakyat pengikut pihak-pihak yang bertikai. Posong zaman dahulu adalah sebuah Dusun kecil, hanya dihuni 20 KK dan hingga sekarang jumlah itu tidak bertambah dengan alasan satu dan lain hal.
Selama dalam masa kehidupannya di Dusun Posong, beliau menjalani hidupnya sebagai rakyat jelata dan tidak menunjukkan bahwa beliau adalah seorang berdarah biru. Dalam investigasi dengan pinisepuh, Induk Trah Posong, Gading dan Kuncen tidak ada yang tahu siapa sebenarnya nama aslinya.
Mitos Pedukuhan Margowangsan
Mitos Tokoh pedukuhan Margowangsan yaitu Kyai Soro, Kyai Margowongso, R. Dirgonegoro dan Nyi Sunti Aking yang pernah menempati Dusun Margowangsan hingga ajalnya tidak terkait erat dengan kehadiran Induk Trah Posong. Kyai Soro dan Kyai Margowongso adalah penduduk asli Dusun Margowangsan yang sudah eksis sebelum Sunan Kalijogo melakukan penyebaran agama Islam tahun 1500-an. Nyi Suntiaking dan R. Dirgonegoro hadir pasca perang Diponegoro tahun 1825 - 1830. Induk Trah Posong datang lebih duluan pasca Perjanjian Giyanti (tahun 1775) dan namun sulit ditelusuri karena tidak adanya situs tertulis. Penelusuran akhirnya ditempuh dengan menggabungkan masukan dari para pinisepuh satu dengan pinisepuh lainnya dikaitkan dengan situs peninggalan berupa batu nisan di Pekuburan Kidul Dsn Margowangsan dan Pekuburan Besar Dsn. Mudal. Di Pekuburan Mudal terdapat Nisan-nisan kuno yang dikenal dengan Nisan Nyi Suntiaking, R. Dirgonegoro dan Nisan R. Joyonegoro yang termasuk bentuk nisan modern.
Posong bukan daerah pengasingan bagi keluarga kerajaan, tetapi sekedar tempat menikmati hidup dalam situasi jauh dari hiruk-pikuk politik kerajaan yang mulai tahun 1500 - 1700 terjadi perang saudara di lingkungan kerajaan Mataram. Perang yang berkepanjangan boleh dibilang memakan jiwa ratusan ribu jiwa rakyat pengikut pihak-pihak yang bertikai. Posong zaman dahulu adalah sebuah Dusun kecil, hanya dihuni 20 KK dan hingga sekarang jumlah itu tidak bertambah dengan alasan satu dan lain hal.
Selama dalam masa kehidupannya di Dusun Posong, beliau menjalani hidupnya sebagai rakyat jelata dan tidak menunjukkan bahwa beliau adalah seorang berdarah biru. Dalam investigasi dengan pinisepuh, Induk Trah Posong, Gading dan Kuncen tidak ada yang tahu siapa sebenarnya nama aslinya.
Kenapa Mengasingkan Diri...?
Dikisahkan secara turun-temurun
dari generasi kepada generasi berikutnya, bahwa 3 Induk Trah Posong
adalah tokoh yang masih terkait dengan peristiwaa Perjanjian Gianti tgl.13 Februari 1755.
Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara VOC dengan Mataram yang diwakili Paku Buwana-II. Dalam proses penandatanganan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo VII (KGPA-VII) atau Pangeran Sambernyowo tidak dilibatkan padahal salah satu isi kesepakatannya ada penyerahan daerah kekuasaan pesisir utara kepada VOC dan pemerintahan eksekutif berada ditangan Pepatih Dalem (Bupati) dan Gubernur bukan ditangan Sultan. Di lain pihak Pangeran Mangkubumi yang tadinya sama-sama dgn Pangeran Sambernyowo memberontak VOC justru bersama-sama PB-II berbalik memihak VOC. Akhirnya malah memutar menjadikan Pangeran Sambernyowo menjadi musuh bersama (VOC/PB-II dan P. Mangkubumi). Keputusan Paku Buwono II (PB-II)
yang sudah memberikan daerah pesisir utara tidak bisa dicabut oleh PB-III pengganti PB-II.
Perjanjian ini dikendalikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda dan bisa
dikatakan hilangnya kedaulatan Kerajaan Mataram dan dimulainya
penjajahan secara politis sejak tahun 1755. (Soedarisman Poerwokoesoemo, KPH, Mr, 1985).
Inti perjanjian berpihak kepada VOC (Belanda) dari aspek perdagangan, kedaulatan menentukan Bupati dan hilangnya peisisir utara Jawa kepada VOC/Kumpeni, ditambah lagi PB-III yang terlalu dekat Kumpeni untuk menyingkirkan familinya sendiri (R.M.Said atau P. Sambernyowo), menuai pemberontakan bahkan bentrokan antar pendukung Pangeran Sambernyowo dan PB-III terjadi dimana-mana.
Inilah perkiraan sebab musabab para pengikut Pangeran Mangkubumi dan PB-III melakukan tindakan mlesit dari kerajaan, menetap di suatu tempat yang dianggap nyaman dan tetap teguh tanpa henti berupaya mengusir Pemerintah Kolonial Belanda dari Bumi Nusantara.
Inti perjanjian berpihak kepada VOC (Belanda) dari aspek perdagangan, kedaulatan menentukan Bupati dan hilangnya peisisir utara Jawa kepada VOC/Kumpeni, ditambah lagi PB-III yang terlalu dekat Kumpeni untuk menyingkirkan familinya sendiri (R.M.Said atau P. Sambernyowo), menuai pemberontakan bahkan bentrokan antar pendukung Pangeran Sambernyowo dan PB-III terjadi dimana-mana.
Inilah perkiraan sebab musabab para pengikut Pangeran Mangkubumi dan PB-III melakukan tindakan mlesit dari kerajaan, menetap di suatu tempat yang dianggap nyaman dan tetap teguh tanpa henti berupaya mengusir Pemerintah Kolonial Belanda dari Bumi Nusantara.
Indikasi bahwa Induk Trah masih dari lingkungan Keraton adalah adanya hubungan baik yang tetap dipelihara dengan keluarga Mataram yaitu ritual pisowanan rutin
“sebo” ke keraton Mataram (Surakarta) yang dilakukan oleh 3 bersaudara bersama anak-anaknya setiap musim tertentu. Namun, ritual ini tidak pernah diceriterakan asal-muasalnya, maksud dan tujuannya, keterkaitannya dengan kerabat
Kerajaan. Kesan feodalistis, sehingga lambat laun acara “sebo”
tinggal kenangan hilang Ritual rutin sebo tidak terrekam, sehingga
lambat laun acara tersebut tidak dilanjutkan oleh generasi
berikutnya.
Mitos Pedukuhan Margowangsan
Mitos Tokoh pedukuhan Margowangsan yaitu Kyai Soro, Kyai Margowongso, R. Dirgonegoro dan Nyi Sunti Aking yang pernah menempati Dusun Margowangsan hingga ajalnya tidak terkait erat dengan kehadiran Induk Trah Posong. Kyai Soro dan Kyai Margowongso adalah penduduk asli Dusun Margowangsan yang sudah eksis sebelum Sunan Kalijogo melakukan penyebaran agama Islam tahun 1500-an. Nyi Suntiaking dan R. Dirgonegoro hadir pasca perang Diponegoro tahun 1825 - 1830. Induk Trah Posong datang lebih duluan pasca Perjanjian Giyanti (tahun 1775) dan namun sulit ditelusuri karena tidak adanya situs tertulis. Penelusuran akhirnya ditempuh dengan menggabungkan masukan dari para pinisepuh satu dengan pinisepuh lainnya dikaitkan dengan situs peninggalan berupa batu nisan di Pekuburan Kidul Dsn Margowangsan dan Pekuburan Besar Dsn. Mudal. Di Pekuburan Mudal terdapat Nisan-nisan kuno yang dikenal dengan Nisan Nyi Suntiaking, R. Dirgonegoro dan Nisan R. Joyonegoro yang termasuk bentuk nisan modern.
Kesimpulan,
bahwa Induk Trah Posong adalah “warga pendatang” dari kalangan Laskar Mataram
pasca ontran-ontran politik perang saudara Kerajaan Mataram tahun 1500 - 1700-an.
Induk
Keturunan Posong terdiri dari 3 (tiga) orang bersaudara yang tinggal
Posong, Kuncen dan Gadingsari yang tidak diketahui pasti asal muasalnya.
Penuturan para sesepuh yang disampaikan secara turun-temurun, ketiga
orang bersaudara tersebut adalah Laskar Mataram yang masih terkait
dengan ontran-ontran politik Mataram pasca Perjanjian Gianti pada masa
Pemerintahan Mataram tahun 1775 M.
Penulisan Induk keturunan dari Posong yang selanjutnya disebut “Posong Sagotrah" dan pada generasi tahun 2000-an ini merupakan generasi ke-enam.
Bagan 1. Ilustrasi Asal-usul Induk Trah Posong (Thn 1775) |
Penulisan Induk keturunan dari Posong yang selanjutnya disebut “Posong Sagotrah" dan pada generasi tahun 2000-an ini merupakan generasi ke-enam.
Dalam hal ini Induk Trah Dusun Kuncen dan Gadingsari tidak banyak disinggung oleh karena minimalnya informasi. Silsilah Induk Trah Posong menampilkan sekilas petunjuk garis keturunan yang masih dapat diidentifikasi saat ini.
Dalam tulisan ini Penulis mengetengahkan keturunan yang terkait dengan
generasi pertama dari Induk Trah Posong antara lain adalah Karto Wiryo yang
diperkirakan hidup pada tahun 1880-an hingga 1930-an yang merupakan "cikal bakal" brayat (keluarga besar) yang kemudian
migrasi ke Dusun Margowangsan Dusun sebelah selatan Dusun Posong.
Sumber informasi adalah dari pelaku sejarah yaitu “mBah Sahli Slamet (alm)” yang berdomisili di Dusun Dampit, Mertoyudan,
Magelang, mBah Udo Taruno (Amin) Dusun Bendan, Sawangan, Bapak saya
Samidi, Pak Suharto Ngaglik nDuwur, Bapak Turmudi (Jakarta) dan
lain-lain yang ditulis mulai tahun 2001 - 2007. Tulisan ini masih perlu
penyempurnaan melalui klarifikasi dan konfirmasi dengan sumber-sumber
yang masih ingat dan faham terhadap garis keturunan ini. Mohon dapat hubungi kami jika pembaca memiliki informasi untuk melengkapi tulisan ini.
Kepada
Sesepuh dan Pinisepuh serta sumber informasi yang tidak dapat
disebutkan satu per satu disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
dan bagi mereka yang merasa memiliki data akurat tetapi belum
tertampung, Penulis mengharapkan dapat membantu melengkapi guna
perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut.
Catatan :
- Situs Batu Nisan tinggi menjulang sekitar 2 M di Pekuburan Mudal yang bertuliskan nama : R. Joyo Negoro alur silsilahnya tidak ditulis secara runut. Keluarga Ibu Saljum Margowangsan dan Ibu Mari Sawangan adalah beberapa keturunan R. Joyonegoro.
- Situs Batu Nisan di Pekuburan Mudal yang terbuat dari batu persegi, bentuknya sederhana dan lebih panjang (± 2,5 M) dari batu nisan di sekelilingnya, dipercaya oleh masyarakat sebagai kuburannya Nyi Sunti Aking, istri dari R. Dirgonegoro yang keduanya pernah tinggal di Dsn Margowangsan pasca Perang Diponegoro tahun 1830.
Bersambung ke tulisan berikutnya.
Referensi :
1. Anonim, 1985, Wikipedia, Perjanjian Gianti
2. Soedarisman Poerwokoesoemo, KPH, 1985, Gadjah Mada University Press.
ASAL-USUL INDUK TRAH POSONG DAN IDENTIFIKASI KERABAT DARI KETURUNAN PERTAMAReferensi :
1. Anonim, 1985, Wikipedia, Perjanjian Gianti
2. Soedarisman Poerwokoesoemo, KPH, 1985, Gadjah Mada University Press.
POSONG SAGOTRAH (2)
1. Maksud
Penulisan silsilah Posong Sagotrah bermaksud ingin menelusuri alur keturunan langsung mBah Setro Saiman yang diambil dari pelaku sejarah dan sumber lain yang masih ingat dan faham garis keturunan.
2. Tujuan
Tujuan penulisan silsilah Posong Sagotrah dan khususnya Keturunan I pada Jalur Trah Karto Wiryo yang menurunkan a.l Setro Saiman di Dusun Margowangsan adalah untuk menelusuri jejak keturunan secara keseluruhan. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan penelusuran bagi generasi sekarang dan yang akan datang bilamana suatu saat berkeinginan menjalin kembali tali silaturahmi yang lebih akrab dan lebih indah. Sukur-syukur bisa membangun sebuah “Forum atau Lembaga” yang mengurusi tali silaturahmi Posong Sagotrah.
3. Rererensi
Rererensi Silsilah Posong Sagotrah didapat dari :
Pelaku sejarah yang faham dan kuat ingatannya yaitu Mbah Slamet Sahli yang lahir di Margowangsan tahun 1929 dan wafat tahun 2005. Beliau bermukim di Dampit - Mertoyudan yang merupakan Buyut dari Kartowiryo, Cucu Setro Saiman dan anak Keempat dari 6 bersaudara dari Setro Saiman. Selama investigasi dengan beliau dari tahun 2003 sampai 2005, dicatat cukup banyak informasi dari Induk Trah, Canggah, Buyut, sampai beberapa generasi yang ada saat itu (2005). Namun, investigasi tidak menemukan nama Induk Trah, hanya disebut bahwa Induk Trah masih dari lingkaran Mataram.
Pelaku sejarah yang lain yang faham dan masih kuat ingatannya adalah keluarga saya sendiri yaitu Bapak saya Pak Samidi, Paklik Sugeng, Pakde Turmudi.
Disamping Mbah Sahli, sumber saksi hidup yang lain adalah catatan Pak Harto Ngaglik Nduwur tahun 2011. Data sama persis dengan investigasi dari Mbah Slamet Sahli. Menurut Pak Harto, sebagian tulisan bersumber dari Mbah Slamet Sahli.
Anonim, tamu yang datang ke rumah dan saya temui sendiri (tidak menyebutkan namanya) bahwa Induk Trah Posong adalah lingkaran Mataram yang menetap di pedesaan sebagai rakyat jelata, tidak ingin menampakkan sebagai keturunan darah biru.
Counter check, setelah digambarkan kedalam pohon silsilah, dimintakan konfirmasi kepada sanak famili bahkan yang tertulis bersangkutan apakah namanya, urut-urutan, tempat tinggal dan lain sebagainya sudah sesuai, atau ada kesalahan fatal dalam rangka perbaikan bagan silsilah.
Informasi lain terkait dengan sejarah Trah, adalah study keterkaitan situs leluhur berupa nisan-nisan di Pekuburan Margowangsan, Posong dan Mudal.
4. Penuturan Pinisepuh Sekitar Induk Trah
Silsilah
Posong Sagotrah ditulis bedasarkan informasi dari berbagai sumber
pelaku sejarah dan sumber terpercaya lainnya yang mempunyai nilai-nilai
adat dan karakter suatu keturunan. Implikasinya terhadap anak keturunan
yang peduli terhadap arti Keluarga Besar atau Brayat adalah bahwa
dokumen keturunan merupakan salah satu perangkat untuk menemukan mata
rantai sanak saudara dan kerabat yang sudah tercerai berai tidak
diketahui serta mengetahui siapa dan dari mana seseorang berasal.
Penulisan
silsilah ini tidak ada maksud sedikit pun untuk melakukan dekomunitasi
atau pemahaman yang menjurus kepada kondisi ekslusif keluarga dengan
menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh seseorang bahkan
keinginan mengaku-aku sebagai keturunan Darah Biru. Sebaliknya
improvisasi penulisan juga bukan untuk memojokkan kekurangan seseorang
yang mengarah kepada bentuk pembunuhan karakter terhadap anak keturunan
seseorang.
Pencantuman
Nama Individu, Brayat dan Keluarga Besar dalam tulisan ini adalah
sekedar gambaran dari salah satu kelebihan yang dimiliki oleh yang
bersangkutan sebagai sample suatu tindakan dengan harapan dapat menjadi
pelajaran bagi kita semua sebagai generasi penerus.
Dikisahkan
secara turun-temurun dari generasi kepada generasi berikutnya, bahwa
peristiwa Perjanjian Gianti adalah kesepakatan yang dilaksanakan antara Pemerintah Penjajah
Belanda (VOC) dengan Kerajaan Mataram yang diwakili oleh Paku Buwono-II dan Pangeran Mangkubumi pada masa pemerintahan
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo VII (KGPAA-VII) atau Pangeran Samber Nyowo yang
dilaksanakan di pedukuhan kecil Giyanti pada tahun 1775 M. Pada saat penandatanganan PB-II sudah dalam keadaan sakit dankemudian digantikan PB-III.
Pangeran Mangkubumi yang semula bersama KGPAA-VII menentang VOC berbalik mendukung VOC dan KGPAA menjadi musuh PB-III dan P. Mangkubumi.
Konon, mendengar salah satu isi perjanjian yang berisi keberpihakan Pangeran kepada Pemerintah Belanda (VOC), penyerahan pesisir utara Jawa Tengah dan juga penentuan Bupati dan Gubernur ada ditangan VOC, maka sebagian pengikut P. Mangkubumi yang tidak setuju terhadap sikap Pangeran memilih tidak ikut pulang ke kerajaan dan “mlesit” tersebar di pedukuhan yang diinginkan.
Namun, mlesitnya Sang Laskar Mataram ke daerah Lembah Merbabu yang subur makmur itu dikisahkan hanya sekedar istirahata sejenak menenangkan pikiran untuk sementara, walaupun pada kenyataannya tinggal di Dusun Margowangsan sampai wafat. Yang menarik perhatian publik di sekitarnya adalah tidak diketemukannya barang wasiat miliknya yang menunjukkan seseorang adalah anak keturunannya. Yang ada adalah masyarakat di sekitar Pekuburan seperti Sawangan, Mudal, Maren, Butuh, Kebokuning dan Margowangsan tetap "nguri-uri" melestarikan ritual "Nyadran" setiap menjelang bulan Puasa Romadhon. Mereke yang datang adalah dari semua kelompok agama (Muslim & Kristen) duduk bersama memanjatkan doa (Islam) kepada Tuhan YME dengan menghadap "nasi tumpeng" dan seabreg kue basah. Tidak ketinggalan anak-anak dari Dusun sekitarnya ikut meramaikan acara "nyadranan", menambah ramainya acara ritual.
Pangeran Mangkubumi yang semula bersama KGPAA-VII menentang VOC berbalik mendukung VOC dan KGPAA menjadi musuh PB-III dan P. Mangkubumi.
Konon, mendengar salah satu isi perjanjian yang berisi keberpihakan Pangeran kepada Pemerintah Belanda (VOC), penyerahan pesisir utara Jawa Tengah dan juga penentuan Bupati dan Gubernur ada ditangan VOC, maka sebagian pengikut P. Mangkubumi yang tidak setuju terhadap sikap Pangeran memilih tidak ikut pulang ke kerajaan dan “mlesit” tersebar di pedukuhan yang diinginkan.
Namun, mlesitnya Sang Laskar Mataram ke daerah Lembah Merbabu yang subur makmur itu dikisahkan hanya sekedar istirahata sejenak menenangkan pikiran untuk sementara, walaupun pada kenyataannya tinggal di Dusun Margowangsan sampai wafat. Yang menarik perhatian publik di sekitarnya adalah tidak diketemukannya barang wasiat miliknya yang menunjukkan seseorang adalah anak keturunannya. Yang ada adalah masyarakat di sekitar Pekuburan seperti Sawangan, Mudal, Maren, Butuh, Kebokuning dan Margowangsan tetap "nguri-uri" melestarikan ritual "Nyadran" setiap menjelang bulan Puasa Romadhon. Mereke yang datang adalah dari semua kelompok agama (Muslim & Kristen) duduk bersama memanjatkan doa (Islam) kepada Tuhan YME dengan menghadap "nasi tumpeng" dan seabreg kue basah. Tidak ketinggalan anak-anak dari Dusun sekitarnya ikut meramaikan acara "nyadranan", menambah ramainya acara ritual.
Logika
mlesitnya para Laskar Mataram pada Perpecahan dalam tubuh Kerajaan
Mataram dibenarkan oleh W. van der Molen, 1997 dalam bukunya Twaalf
eeuwen Javaanse literatuur dan R. Ng. Yasadipoera , 1892 dalam bukunya
Babad Surakarta ingkang ugi nama Babad Gijanti bahwa sepanjang tahun
1746 – 1775 pasca dikabulkannya permintaan Van Imhoff (VOC) kepada Sunan
Pakubuwana II untuk menguasai 2/3 pesisir utara Jawa dan keputusan
Kerajaan untuk menunjuk Bupati harus seizing VOC. Tercatat selama 9
tahun mulai dari peristiwa tahun 1746 tersebut diatas sampai Perjanjian
Gijanti dan berakhir dengan Perjanjian Salatiga tahun 1775 terjadi
Perang Saudara dalam Kerajaan Mataram dan 50 % penduduk Jawa tewas oleh
saudaranya sendiri.
5. Bukti Petilasan
Petilasan Para Kerabat dan Laskar Mataram yang "mlesit" dari lingkungan kerajaan adalah :
- Pangeran Dirgonegoro dikebumikan di Pekuburan Mudal dekat Sumber Mata Air "Mudal" dengan Nisan cukup besar dan diletakkan pada tatakan Nisan yang cukup tinggi (± 2 M).
- Nyai Suntiaking (perempuan) dikebumikan di Pekuburan yang sama dengan P. Dirgonegoro, namun posisi Nisannya terpisah terletak di pojok barat pekuburan dengan bentuk Nisan panjang, di sampingnya ditanam Pohon Kamboja.
- Mbah Posong (Pm), Mbah Gadingsari dan Mbah Kuncen, semuanya tidak diketahui namanya berturut-turut dikebumikan di Pekuburan Dusun Posong dan Gadingsari dan menjadi satu dengan pekuburan masyarakat biasa.
- Induk Trah
Ada
petunjuk bahwa Induk Trah Posong adalah satu dari beberapa Laskar
Mataram yang mlesit dari lingkungan Kerajaan (mohon periksa Bagan 1 pada
tulisan sebelumnya Posong Sagotrah (1). Kisah selanjutnya, bahwa selama
mlesit mereka tidak menunjukkan sebagai tokoh kerajaan, tetapi justru
menjalani hidup sebagaimana orang awam dengan segala perlikau sebagai
masyarakat kecil di pedesaan. Dalam kondisi hidup di pedesaan, hubungan
baik dengan lingkungan Kerajaan tetap dipelihara dengan baik dengan
melaksanakan ritual ‘sebo” ke Kasunanan di Solo (bukan Mataram
Ngayogjokarto Hadiningrat) hingga tahun 1930-an (dikisahkan Mbah Mangun,
Bengan Kidul, 1970). Namun, ritual ini tidak pernah diceriterakan
asal-muasal ritual, maksud dan tujuannya, keterkaitannya dengan kerabat
Kasunanan. Ritual sebo tidak terrekam, dan dipelihara sehingga lambat
laun acara tersebut tidak dilanjutkan oleh generasi berikutnya.
Ibarat atau pepatah “legi rembesing madu”
kira-kira
artinya bahwa ketokohan yang melekat pada seseorang pada suatu
generasi yang redup pada generasi berikutnya, diyakini pada suatu saat akan
muncul generasi yang mewakili ketokohan leluhurnya.
Alkisah, ada 3 (tiga) orang bersaudara yang dikenang sebagai asal-usul “Induk Trah”
tinggal di Dukuh Posong, Gadingsari dan Kuncen. Mereka bertiga selalu
melakukan kontak komunikasi. Dikisahkan, bahwa alat komunikasi yang
digunakan bilamana suatu saat akan bertemu untuk merencanakan sesuatu,
cukup mengetuk “dingklik” tempat untuk duduk berjemur, maka
mereka bertiga segera berkumpul untuk membicarakan sesuatu. Namun,
hingga sekarang siapa nama-nama Induk Trah tidak ada yang ingat dan
tidak ada bentuk rekaman yang bisa menjadi bahan penelusuran untuk
didokumentasikan. Saya pernah sowan kepada Mbah Parto Posong (1970-an),
menanyakan siapa nama Mbah Posong yang sering disebut-sebut induk trah,
beliau hanya ngendiko “pokoke Mbah Posong, aku ora ngerti” Yang beliau
ingat, bahwa Setro Saiman adalah keturunan pertama yang berdomisili di
Margowangsan dan Mbah Parto adalah cucu dari adiknya Setro Saiman “anak
enom, anak tuwa”.
- Generasi Pertama
Bilamana
ditelusuri, dari tahun 1775 sampai tahun 2000 sudah 225 tahun atau
melewati 3 generasi kalau dihitung rata-rata umur generasi 70 tahun.
Generasi pertama, yang tercatat dengan baik adalah jalur Posong yang
menurunkan 11 anak. Sedangkan jalur Gadingsari dan Kuncen tidak banyak
diketahui.
Ilustrasi
silsilah Induk Trah (Bagan 1) dan Generasi pertama (Bagan 2), bisa
dilihat bahwa jumlah dan penyebaran domisili anak keturunannya sudah
sulit untuk ditelusuri. Jika pola pembinaan tali silaturahmi seperti
halnya arisan, paguyuban dan sejenisnya sudah sulit dilakukan, maka
upaya minimal adalah mengembangkan wacana “kunci petunjuk” dari suatu
keluarga terhadap keluarga besar.
Kunci
Petunjuk penelusuran ini dimaksudkan untuk mempermudah pengenalan
dengan menyebut tokoh keluarga yang lebih dikenal atau ditokohkan oleh
masyarakat sekitarnya. Tentunya penyebutan tidak mengesampingkan tokoh
lain yang bisa jadi lebih senior atau status sosialnya lebih tinggi.
Diharapkan dengan petunjuk kerabat ini, bagi keluarga yang akan
menelusuri lebih jauh kepada keluarga dekatnya, dapat mendekati langsung
kepada tokoh yang bersangkutan. Sebagai gambaran, seseorang yang sudah
jauh baik tempat maupun tali silaturahmi, suatu saat ingin mendekatkan
diri kembali kepada sanak saudara dekatnya, namun yang ia kenal hanya
nama nenek/kakek atau personal lainnya. Dengan adanya petunjuk
penelusuran ini akan mempermudah identifikasi dan meyakinkan langkah
pendekatan.
Tahun
2010, keturunan yang masih bisa diidentifikasi adalah cucu dari
Keturunan Pertama yang masih sugeng sudah berusia diatas 70 tahun-an
atau buyut pada usia 50 tahun-an.
Berikut
Kerabat Trah Jalur Induk Posong dan Kuncen yang masih bisa
diidentifikasi. Sedangkan Jalur Gadingsari belum ditampilkan di Blog ini
karena sangat kurang informasi.
Jalur Induk Trah Posong :
Daftar Identifikasi Kerabat dari Jalur Induk Posong dan Kuncen pada tahun 2010, disajikan sbb :
Bagan 2. Silsilah Induk Trah Posong 9 Keturunan, 35 Cucu + Pm (Thn 1800 -1930) |
Jalur
Induk Posong, oleh karena saya ada pada posisi jalur tersebut, maka
pencatatan yang diperoleh dari mBah Sahli Slamet Dampit Mertoyudan dan
rekam Bapak Suharto Ngaglik nDuwur tahun 2007 dapat diperiksa Bagan 2
Silsilah Induk Pertama Posong Sagotrah pada tulisan sebelumnya.
Daftar Identifikasi Kerabat dari Jalur Induk Posong dan Kuncen pada tahun 2010, disajikan sbb :
1. Kerabat Canggah Karto Wiryo (Margowang-san/Gangsan)
Canggah KartoWiryo punya 6 org anak
Canggah KartoWiryo punya 6 org anak
(1) Buyut Selar (Gangsan) :
Keluarga Buyut Mbah Isah (Margowangsan/Gangsan), Mbah Marjono (Gangsan),Mbah Marsan (Gangsan)
Keluarga Buyut Mbah Isah (Margowangsan/Gangsan), Mbah Marjono (Gangsan),Mbah Marsan (Gangsan)
(2) Buyut Darmin (Gondang Lor) :
Buyut Dramin : Kurang faham
- Keluarga Mbah Harto, Mbah Suyono (Gondang Lor); Keluarga Pak Sarmadi, Pak Darsono (Wonolobo)
Buyut Dramin : Kurang faham
- Keluarga Mbah Harto, Mbah Suyono (Gondang Lor); Keluarga Pak Sarmadi, Pak Darsono (Wonolobo)
(3) mBah Sri (Talaman) : Keluarga mBah Jamal (Talaman), Rambeanak (Mbah Sri Help)
(4) mBah Setro Saiman (Gangsan) : Keluarga Pak Guru Samidi (Gangsan), Suyatmi (Pondok Gede Jakarta).
(5) mBah Rus (Gangsan) : Hilang pada jaman perang kemerdekaan
(6) mBah Tambeng/Supo (Gangsan) : Keluarga mBah Supo Taruno /mBah Minem (Gangsan).
2. Kerabat mBah Joyo (Posong)
(1) Mbah Kuncung (Bendan) : Keluarga mBah Pak Santoso Bendan.
(2) Mbah Mardi (Butuh Kulon) :Keluarga Mbah Parto (Butuh Kulon)
(3) Mbah Cokro Kamto (Butuh Kulon) : Keluarga Pak ngGolo (Santan)
(4) Mbah Sumini (Kebokuning) : Keluarga Pak Sukardi (Kebokuning)
3. Kerabat mBah Kartorejo (Posong)
(1) Mbah Darmi (Bantul) : Keluarga mbah Wiro/Mayor (purn) Sunarno alm(Gangsan)
(2) Mbah Karto Atmojo (Magelang) : Tidak diketahui
(3) Mbah Karto Wardoyo (Purworejo) : Tidak diketahui
(4) Mbah Kus (Purworejo) : Tidak diketahui
(5) Mbah Niti (Posong) : Keluarga Pak Kuntarto/Widodo (Butuh Kulon)
4. Kerabat mBah Rusmin (Popongan) :
Keluarga Kontho Alm (Popongan)
5. Kerabat mBah Karto Diryo (Posong)
(1) Rumini (ngLampu/Pager) : Belum dikonfirmasi
(2) Mbah Mangun (Butuh Kln) : Kel. Bu Kusdiyah/Pak Nasikin (Butuh Kln) & Pak Kustoyo (Kbkuning)
(3) Mbah Mul (Mungkidan) : Keluarga mBah Suwarno (Mungkidan)
(4) Mbah Madi (Transmigrasi ke Sumatera) : Tidak diketahui
(5) Mbah Parto (Posong) : Keluarga mBah Sutrisno (Yogyakarta)
(6) Mbah Sardi (Purworejo) : Pm
(7) Mbah Murman (Posong) : Keluarga Bu Titik (Smg), Carolina (Bekasi), Romo Iwan, Romo Riyo
(8) Mbah Muryam/kembaran mBah Murman (Kebokuning) : mBah Harjo Surono (alm)
(9) Mbah Samini (Tampir Kulon) : Keluarga Pak Guru Rubiyoto, Ibu Sulisah (Tampir Wetan).
(10) Mbah Parinem (Posong) : Keluarga Pak Harijanto (Smg), Bu Tatik (Posong), Pak Muk (Smg)
(11) Mbah Suminem (Posong) : Keluarga mBah Projo (Posong).
6. Kerabat pm (Mawungan)
Belum dikonfirmasi hubungannya dengan Mbah Sastro Rame Gunung Lemah
7. Kerabat Mbah Niti (Plalangan, Sawangan)
Tidak ada informasi
8. Kerabat Mbah Pawiro (Gadingsari)
(1) Mbah Diro (Jetis Kaliwungu) : Tidak diketahui
(2) Mbah Mul (Senden) : Tidak diketahui
(3) Mbah Dalilah (Gading) : Keluarga Pak Koco (Gadingsari)
(4) Mbah Saparman (Bengan Lor) : Keluarga mBah Guru Parman (Bengan Lor)
(5) Mbah Mardi (Yogyakarta) : Pm
9. Kerabat mBah Karto Dimejo/Mbah Lurah (Posong)
(1) Mbah Pawiro Gempol/Mbah Pucung (Ngaglik Ngisor) : Keluarga Pak Suherman (alm) (Ngaglik Ngisor), Keluarga Pak Suparman (Bulu)
(2) Mbah Karto Karsini (Ngaglik nDuwur) : Keluarga bapak Suharto, alm (Ngaglik nDuwur)
Jalur Induk Kuncen :
1. Kerabat mBah Ireng (Kuncen, Bengan Lor)
(1) mBah Darsi (Bengan Lor)
2. Kerabat mBah Bagong
(1) Keluarga Mbah Bagong (Gangsan, tinggal di Surabaya), Sri/Slamet (Gangsan)
(2) Keluarga Bu Darsi (Kuncen)
Sumber Referensi Pustaka :
Bersambung pada tulisan berikutnya
Bersambung ke tulisan berikutnya.
POSONG SAGOTRAH (5)
Jalur Kerabat mBah Kartowiryo (Margowangsan/Gangsan)
Trah Selar menempati keluarga paling besar di Kec. Sawangan. Mbah Selar mempunyai 3 (tiga) orang anak dan 18 (delapan belas) cucu, meliputi :
B. Trah Tambeng/Supo Taruno
Demikian
penampilan Posong Sagotrah (5), kepada pemirsa yang secara kebetulan
membaca dan ada sesuatu yang kurang sempurna pada tulisan dan Diagram
Pohon Keturunan tersebut diatas, mohon koreksi untuk kesempurnaan
tulisan.
Dari diagram Trah diatas, kami sangat berharap ada tanggapan yang bisa jadi salah tulis, kurang lengkap, dan lain-lain untuk menyempurnakan tulisan lebih lanjut.
Anggota yang hadir cukup banyak sekitar 30 orang.
Putro-wayah Brayat Kartowiryo : Saya sendiri
Putro-wayah Brayat Kartodiryo yang hadir :
(2) Keluarga Bu Darsi (Kuncen)
Sumber Referensi Pustaka :
1) “http://id.wikipedia.org/wiki/babad Giyanti”
2) Raden Ngabehi Yasadipura, 1885-92, Babad Surakarta ingkang ugi nama Babad Giyanti, Soerakarta : Toef & Kalf
3) Raden Ngabehi Yasadipura, 1937-39, Babad Giyanti, Batawi-Centrum : Balai Pustaka
4) Poerbatjaraka, 1952, Kepustakaan Djawa, Amsterdam/Djakarta : Djambatan
5) W. Van der Nolen, 1997, Twaalf eeuwen Javaanse literatuur, Leiden.
Bersambung pada tulisan berikutnya
POSONG SAGOTRAH (3)
Silsilah Canggah Kartowiryo & Daftar Kerabat Kartowiryo Saat Ini
1. Maksud
Penulisan Kerabat Kartowiryo dalam "Pohon Keturunan" silsilah Posong Sagotrah bermaksud ingin mengemukakan Nama-nama dan Domisili Kerabat yang ada saat ini (2010). Secara factual kerabat Kartowiryo relatif lebih jelas dan sering ketemu baik di Dusun Margowangsan maupun di Jakarta pada acara Lebaran dan atau Natalan.
2. Ruang Lingkup
Penelusuran jejak keturunan secara keseluruhan dalam Kerabat Kartowiryo sudah dalam tingkat “Canggah”.
Kendala kesulitan terjadi pada identifikasi detail terhadap keluarga yang secara kebetulan merantau ke P. Sumatera, sehingga data tidak bisa secara utuh menyajikan data keluarga sampai pada anak cucu “canggah/anak buyut”.
Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan penelusuran bagi siapa saja yang menjumpai Blog ini untuk menjalin tali silaturahmi yang lebih akrab dalam kerangka pembinaan keakraban antar keturunan Trah Posong.
3. Referensi
Penelusuran
Kerabat Kartowiryo dilakukan dengan wawancara kekeluargaan terhadap
Mbah Sahli Slamet Dampit – Mertoyudan (2006). Beliau ini terlihat sangat
kuat ingatannya dalam merekam peristiwa-peristiwa masa lalu dan
merupakan Pelaku Sejarah yang disegani dalam kerabatnya. Nama-nama
pelaku sejarah untuk referensi pendataan adalah sbb :
a) Mbah Sahli Slamet, Dampit Mertoyudan (2006)
b) Bapak saya Pak Guru Samidi, Margowangsan (2009)
c) Pak Lik saya Pak Sugeng, Purwokerto (1991)
d) Pak Turmudi, Tangerang (2013)
d) Pak Turmudi, Tangerang (2013)
4. Penuturan Pinisepuh Sekitar Kerabat Kartowiryo
Silsilah Trah Karto Wiryo, 1890 - 1940 |
Canggah Kartowiryo adalah Anak sulung dari 9 bersaudara. Beliau bermukim di Dusun Margowangsan, sebelah selatan Dusun Posong.
Ada apa dengan ilmu kanuragan?
Jika
zaman sekarang ketokohan ditunjukkan dari derajat formal sebagai
Pejabat Negara, Pajabat Perusahaan Negara atau Swasta serta
kesuksesannya dalam kewirausahaannya, maka kala itu ketokohan seseorang
ditunjukkan dari kemampuannya oleh kanuragan dan kepiawaiannya menggaet
Artis Tradisional (Ledek). Dikisahkan, bahwa suatu saat Mbah Karto
menonton wayang kulit di Surabaya yang sebagian besar penontonnya adalah
orang Madura. Pada saat Ki Dalang menampilkan Raja Mandura (Baladewa),
maka adat orang Madura jika Baladewa dimainkan, maka seluruh penonton
yang semula pada berdiri harus duduk, menghormati Sang Wayang Idolanya.
Nah, Mbah Kartowiryo tidak mau duduk, maka seketika itu dihakimi massa
dengan menggunakan senjata aslinya Clurit. Berkat keampuhan ilmunya,
maka Mbah Karto tidak lecet sedikitpun dan massa pada mundur melihat
manusia yang dikeroyok massa dengan senjata tajam kok tidak mati. Masih
banyak lagi kisah-kisah yang tidak ditulis disini menyangkut sepak
terjang peri kehidupannya Mbah Kartowiryo dan anak-anaknya yang masih
menyukai ilmu kanuragan tersebut diatas. Silahkan disimak Bagan 4.
Kerabat Kartowiryo.
Mbah Setro Saiman mempunyai 6 anak yaitu :
Mbah Irah/Ngadinem (Gangsan) yang menurunkan Samidi (Gangsan), Kuru (Dampit), Sugeng (Purwokerto):
Mbah Setro Saiman mempunyai 6 anak yaitu :
Mbah Irah/Ngadinem (Gangsan) yang menurunkan Samidi (Gangsan), Kuru (Dampit), Sugeng (Purwokerto):
- Mbah Urip (Banyakan, Mertoyudan) tidak ada keturunan;
- Mbah Djuweni (Lampung), menurunkan Sukri (Lmpg), Sukir (Lmp), Suroso (Lmp)
- Mbah Slamet Sahli (Dampit), menurunkan Melik (Dampit, Melok (Purwokerto), Siswono (Purbalingga) dan Siswanto (Jakarta).
- Mbah Amin Udotaruno, menurunkan Siti (Jakarta), Suyatmi (Jakarta), Sukarni (Jakarta), Sarmini (Jakarta), Suyono (Bendan), Sudari (Padang) dan Sugi (Bendan)
- Kimpul, menurunkan Sudadi (Jakarta)
Keluarga Mbah Kartowiryo ini tersebar mulai dari Dusun Gangsan, Bendan, Mertoyudan, Lampung dan keluarga terbesar di Jakarta dari keluarga Mbah Amin Udotaruno.
Pada tahun 2010, dari 6
bersaudara tersebut diatas yang masih sugeng tinggal Mbah Amin pada usia
sekitar 90 tahun (kelahiran tahun 1920). Dengan "agemanipun" dan
falsafah hidup "simply living" narimo ing pandum" beliau diberi
kesehatan dan usia cukup panjang. Namun, semuanya adalah upaya dan
takdir Allah, semoga dalam usianya yang panjang tetap didampingi dengan
kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarganya, amin.
Kami mengharapkan adanya masukan tanggapan terhadap diagram tersebut. Bisa jadi ada yang belum tercover atau kurang lengkap. Llebih indah lagi jika ada keluarga yang memberikan masukan model IT yang bisa meningkatkan penampilan atau memudahkan akses komunikasi kepada seluruh keluarga besar.
Keluarga Mbah Kartowiryo ini tersebar mulai dari Dusun Gangsan, Bendan, Mertoyudan, Lampung dan keluarga terbesar di Jakarta dari keluarga Mbah Amin Udotaruno.
Silsilah Trah Setro Saiman 1930 - 1960 |
Kami mengharapkan adanya masukan tanggapan terhadap diagram tersebut. Bisa jadi ada yang belum tercover atau kurang lengkap. Llebih indah lagi jika ada keluarga yang memberikan masukan model IT yang bisa meningkatkan penampilan atau memudahkan akses komunikasi kepada seluruh keluarga besar.
Kerabat
lainnya dari Kerabat Setro Saiman seperti Silsilah Mbah Selar dan Mbah
Tambeng (Istri Mbah Supo Taruno) akan ditampilkan pada Tulisan
berikutnya.
Catatan :
Adapun Kerabat Setro Saiman yang masih gelap belum bisa ditampilkan adalah Kerabat Mbah Darmin Gondang Lor Kec. Mungkid.
Adapun Kerabat Setro Saiman yang masih gelap belum bisa ditampilkan adalah Kerabat Mbah Darmin Gondang Lor Kec. Mungkid.
Berlanjut ke Tulisan berikutnya
POSONG SAGOTRAH (4)
PENELUSURAN TRAH SELAR
Penelusuran
Posong Sagotrah pada Trah Selar sama dengan Petunjuk penelusuran Trah
Kartowiryo yang sebagian besar berdomisili di Dusun Magowangsan. Trah
Selar berasal dari Jalur Induk Posong yang merupakan anak sulung dari 6
(enam) orang anak Mbah Setro Saiman.
Saya tulis ulang, generasi pertama Jalur Induk Posong :
Jalur Kerabat mBah Setro Saiman (Margowangsan/Gangsan)
(1) mBah Selar (Gangsan) : Keluarga mbah Isah, Pak Guru Tris (Gangsan)
(2) mBah Darmin (Gondang Lor) : Keluarga Sarmadi bapaknya Hermanto (Wonolobo)
(3) mBah Sri (Talaman) : Keluarga mBah Jamal (Talaman)
(4) mBah Kartowiryo (Gangsan) : Keluarga Pak Guru Samidi (Gangsan)
(5) mBah Rus (Gangsan) : Hilang pada jaman perang kemerdekaan
(6) mBah Tambeng (Gangsan) : Keluarga mBah Supo/mBah Minem (Gangsan)
Trah
Selar menempati keluarga paling besar di dusun Margowangsan dan
Kecamatan Sawangan, yaitu Famili Mbah Ali/Isah adalah Keluarga Pak Guru
Sutrisno, Bu Guru Sadiyah (almh), Bu Saidah (almh), Pak Guru Sukasah,
Pak Sarno, Pak Suparto, periksa pohon keturunan (silsilah). Dari Famili
Mbah Marsan adalah Pak Guru Sumadi, Pak Turmudi (Jkt), Pak Rahmat (alm)
dan Nedi. Dari Famili Mbah Marjono adalah Pak Suwito (Bdg). Lainnya,
berdomisili di Kiyudan, Talaman, Banjengan (Dukun).
Keluarga Mbah Isah (Gangsan)
Keluarga Mbah Isah (Gangsan)
Di
Jakarta, Trah Selar meliputi brayat Mbah Marsan yaitu keluarga Pak
Dulrahman (alm) di Bintaro, famili Pak Turmudi di Komplek Merpati Mas,
Tangerang. Famili dari Mbah Ali adalah Tri Yanjono (Guru SMA Kemurnian,
Cengkareng).
Bersambung ke tulisan berikutnya.
POSONG SAGOTRAH (5)
Penelusuran Trah Selar (Sulung) & Trah Tambeng
Penelusuran
Posong Sagotrah pada Trah Selar dan Trah Tambeng kuranglebih sama
dengan Petunjuk penelusuran Trah Kartowiryo yang sebagian besar
berdomisili di dusun Magowangsan. Trah Selar berasal dari Jalur Induk
Posong yang merupakan anak sulung dan Trah Tambeng adalah anak bungsu
dari 6 (enam) orang anak Mbah Setro Saiman.
Saya tulis ulang, generasi pertama Jalur Induk Posong :
Jalur Kerabat mBah Kartowiryo (Margowangsan/Gangsan)
(1) mBah Selar (Gangsan) : Keluarga mbah Isah, Pak Guru Tris (Gangsan)
(2) mBah Darmin (Gondang Lor) : Keluarga Mbah Guru Suharto (Gondang Lor), Pak Sarmadi (Wonolobo)
(3) mBah Sri (Talaman) : Keluarga mBah Jamal (Talaman), Mbah Sri (Gangsan) dari suami kedua Rambianak dan (pm, Kiyudan) dari suami pertama.
(4) mBah Setro Saiman (Gangsan) : Keluarga Pak Guru Samidi (Gangsan)
(5) mBah Rus (Gangsan) : Hilang pada jaman perang kemerdekaan
(6) mBah Tambeng/Isteri Mabh Supo Taruno (Gangsan) : Keluarga mBah Supo/mBah Minem (Gangsan)
- Trah Selar :
Trah Selar, Margowangsan |
Trah Selar menempati keluarga paling besar di Kec. Sawangan. Mbah Selar mempunyai 3 (tiga) orang anak dan 18 (delapan belas) cucu, meliputi :
a) Famili Mbah Ali/Isah, mempunyai 10 orang anak meliputi :
1. Isah (Talaman), tidak ada anak
2. Dulsujak (Talaman), 7 anak (Jilin, Trimah, Tinah, Sarno, Ning, Heru, Kun)
3. Nah (Sukorini), Pm
4. Yaminah (Dukun), Pm
5. Suparto (Gangsan), 4 anak (Haryanto, Sri, Tutik, Tari)
6. Sutrisno (Gangsan), 4 anak (Heny, Yanjono, Agus, Rahmat)
7. Marsidah (Gangsan), 2 anak (Sis, Sus)
8. Sadiyah (Gngsan, almh), anak tunggal (Kantri)
9. Sukasah (Gangsan), 2 anak (Gunawan, Rini)
10. Marisah (Sawangan), 3 anak (Anto, Wawan, Uut)
b) Famili Mbah Marjono, mempunyai anak tunggal yaitu Pak Suwito (Bdg).
c) Famili Mbah Marsan (Mbah Mah), mempunyai 7 orang anak meliputi :
1. Ahmad (Gangsan), 6 anak (Waliyah, Bitri, Budi, Wiwin, Ambar, Agus)
2. Turmudi (Gangsan), 5 anak (Widaryadi/Ti, Budi, Junaedi, Ning, Joko)
3. Sumadi/Sadiyah (Gangsan), anak tunggal (Kantri)
4. Din (Sumbar), anak tunggal (Sumi)
5. Dulrahman (Bendan), 3 anak (Arif, Nia, Rahman)
6. Sumrihati (Kiyudan), 3 anak (Ita, Agus, Risa)
7. Ari (Banjengan), 3 anak (Rin, Nanang, Andi)
Periksa pohon keturunan (Silsilah Trah Selar).
Keluarga
Mbah Buyut Selar dengan 3 anaknya ini sekarang sudah sangat banyak dan
ntersebar mulai dari Dusun Gangsan sendiri, Talaman, Kiyudan, Banjengan
(Dukun) dan Jakarta.
B. Trah Tambeng/Supo Taruno
Nama
Tambeng diambil dari anak sulung yang bernama “Said” tetapi keluarga
menyebutnya “Tambeng”, sehingga orangtuanya dipanggil Mbah Tambeng.
Anak bungsu Mbah Setro Saiman ini mempunyai 6 (enam) anak dan sebagian besar merantau keluar dari Dusun Margowangsan, meliputi :
a) Famili
Mbah Said atau Tambeng (Lampung) mempunyai 3 anak (Surti, Semarang),
Sir (Semarang), Surahmat (Purwokerto), Siti (Semarang)
Keluarga Mbah Said, jarang menengok kampong halamannya di Gangsan, sehingga dalam tulisan ini belum tertulis.
b) Famili Mbah Hilal (Muntilan), 2 anak (Din, Jumrodah) keduanya di Muntilan.
c) Famili Mbah Minem (Gangsan), anak tunggal (Teguh) di Madiun
d) Famili Mbah Tamyis (Salatiga), 3 anak yaitu Sumi (Gangsan), Tamyis (Salatiga), Dalmini (Gangsan).
e) Famili Nap (Madiun), 3 anak yaitu Tatik/Teguh (Madiun), Agus (Madiun), Singgih (Muntilan).
Periksa pohon keturunan (Silsilah Trah Tambeng).
Dari diagram Trah diatas, kami sangat berharap ada tanggapan yang bisa jadi salah tulis, kurang lengkap, dan lain-lain untuk menyempurnakan tulisan lebih lanjut.
Kepada
Bapak saya (Pak Guru Samidi), Pakde Turmudi di Tangerang, Mbah Minem di
Gangsan dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang
telah membantu penyusunan diagram silsilah, saya dan keluarga
menyampaikan apresiasi yang tinggi dan mohon maaf jika ada yang kurang
berkenan.
Semoga bermanfaat.
Jakarta, September 2010
Kumpul Brayat Lintas Generasi di Semarang,
27 Desember 2014
Kumpul Brayat Lintas Generasi di Semarang,
27 Desember 2014
Kumpul
Brayat Trah Posong di rumah mbak Antin Jln. Imam Bonjol bulan Desember
2014 di rumah mbak Antin (Sundari) Semarang adalah kumppul brayat yang
ke-4 (kurang faham). Luar biasa, kumpulan dihadiri sesepuh yang sudah
sepuh-sepuh, generasi ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 dari Induk Trah Posong
subhanallah.
Mbah
Buyut Murman (putri) adalah satu-satunya generasi ke-2 dari Induk
Trah yang masih sugeng. Saya menyebut mBah Buyut dengan beliau (foto
disamping), alhamdulillah pinaringan yuswo 95 tahun dan kondisinya masih
segar bugar dan paningalipun jernih. Beliau melahirkan 8 (delapan)
putra dan putri dan hadir pada kumpul-kumpul ini, sbb :
- Bu Titik (SMg)
- Bu Carolina (Bekasi)
- Romo Iwan (Smg)
- Bu Murtiningsih (Kebumen)
- Romo Riyo Mursanto (Smg)
- Bu Muryanti (Antin) (Smg)
- Pak Indro (Yogya)
- Bu Wulandari (Bu nDari, Jkt)
Mbah Muk dan Saya |
Kumpul
brayat Posong kali bisa dikatakan kumpul Canggah Kartodiryo Generasi-I
dari Induk Trah. Mengulang kembali tulisan terdahulu, Canggah Kartodiryo
adalah anak ke-4 dari Induk Trah yang mempunyai 11 anak sbb :
- Mbah Buyut Rumini (Lampung)
- Mbah Buyut Mangun ndalan (Butuh)
- Mbah Buyut Mul (Mungkidan)
- Mbah Buyut Madi (Gunung Sewu -Tanggamus - Lampung)
- Mbah Buyut Parto (Posong)
- Mbah Buyut Sardi (Purworejo)
- Mbah Buyut Murman (Mgl)
- Mbah Buyut Muryam (Kebokuning)
- Mbah Buyut Samini (Tampir Kulon)
- Mbah Buyut Parinem/Mbah Guru (Posong)
- Mbah Buyut Suminem (Posong)
Kumpul
brayat di Semarang yang hampir lengkap kedua adalah Brayat Mbah
Parinem, kecuali keluarga Mbah Widiyanto (alm) di Malang. Keluarga Mbah
Parinem mempunyai 5 keturunan sbb :
- Mbah Widiyanto (alm) Malang
- Keluarga Mbah Hariyanto (Smg)
- Keluarga Mbah Hartatik (Posong)
- Keluarga Mbah Hari (Smg)
- Keluarga Mbah Harjanto Slamet /Muk (Smg)
Mbah Carilne & Kerabat Mbah Guru Parinem |
Kembali
ke pembicaraan ke Sorosilah Induk, bahwa Induk Trah Posong adalah 3
bersaudara dengan Induk Trah Kuncen dan Gading. Induk Trah Posong
mempunyai 9 keturunan meliputi :
- Canggah Kartowiryo, 6 keturunan (Margowangsan, Gondang lor, Talaman)
- Canggah Joyo, 4 keturunan (Bendan, Butuh, Kebokuning)
- Canggah Kartodiryo, 11 keturunan (tsb diatas)
- Canggah Kartorejo, 5 keturunan (Posong, Bantul, Magelang, Purworejo)
- Canggah Popongan, 1 keturunan (Popongan)
- Canggah Mawungan, (belum terkonfirmasi sambungan dgn Mbah Sastro Rame Gunung Lemah)
- Canggah Niti Plalangan, (belum terkonfirmasi keberadaannya)
- Canggah Pawiro (Gading), 6 keturunan (Jetis Kaliwungu, Gading, Bengan Lor, Yogya)
- Canggah Kartodimejo/Mbah Lurah, 3 keturunan (Ngaglik nduwur, Ngaglik ngisor, Talun)
Kumpul brayat tangggal 27 Desember 2014 di Semarang dihadiri 3 Canggah :
- Canggah Kartowiryo diwakili saya sendiri dari Brayat Canggah Kartowiryo - Buyut Setro Saiman, Mbah Ngadinem - Margowangsan.
- Canggah Mawungan (Pm Pak Sastro Rame - Gunung Lemah)
- Canggah Kartodiryo diwakili oleh 6 Buyut sbb :
- Buyut Murman seperti tersebut diatas,
- Buyut Mul diwakili oleh Sapto (Mungkidan),
- Buyut Parto : Keluarga Mbah Tris (Yogya), Nana, Joko (Jkt),
- Buyut Parinem : Keluarga Mbah Yan, Mbah Hari dan Mbah Muk (Smg),
- Buyut Samini : Keluarga Mbah Rubiyoto(Tampir Kulon) dan
- Buyut Suminem : Keluarga Mbah Projo (Posong).
Semoga upaya "ngumpulke balung pisah" Trah Posong dapat terwujud, amin.
Alon-alon sambil membina tali silaturohim, sambil mencari bentuk komunitas.
Alon-alon sambil membina tali silaturohim, sambil mencari bentuk komunitas.
Keluarga Mbah Buyut Mul (Sapto), Buyut Setro Saiman (saya), dll |
Keluarga Mbah Tris dan Mabh Suti Posong |
Mbah Sutrisno & Mbah Hari |
Foto Lintas Generasi, Buyut, anak, cucu,cicit |
Keluarga MbahBuyut Parinem |
- Tulisan ini pasti banyak yang belum masuk, jauh dari lengkap. Sumonggo dipun koreksi untuk mnyambung dan mempererat tali silaturahim.
- Kisah-kisah leluhur kalau ada yang punya, silahkan tentunya yang baik-baik saja. Seperti diketahui bersama bahwa Brayat Kartowiryo Margowangsan pernah mengalami masa heroik pada zamannya walaupun termasuk agak kurang etis ditampilkan (pernah saya singgung pada Tulisan sebelumnya).
Kumpul Brayat di Cilandak, Juni 2014
Kumpul
Brayat Trah Posong baru dimulai beberapa bulan di tahun 2014. Saya
bergabung dalam kumpul brayat dari anak keturunan Karto Diryo Posong
yang mempunyai 11 anak. Posisi saya diluar brayat tsb karena saya
berasal dari brayat Karto Wiryo Gangsan anak pertama dari Induk Trah
Posong.
Kumpul
Brayat di Cilandak kali ini sebagian besar dihadiri dari Brayat Karto
Diryo Posong. Brayat lain yang hadir ada dari Brayat Kartowiryo Gangsan,
Karto Dimejo Posong (Mas Eddy mBulu turunan Mbah Pawiro Gempol Ngaglik
ngisor), Brayat Mbah Parinem, Mbah Parto, Mbah Murman, Mbah Muryam.
Kegiatan
dalam bentuk Arisan yang dilaksankan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Foto
diatas diambil pada saat kumpulan di Rumah Bapak Riyadi / Mbak Nana
putra mbak Suti wayah Mbah Parto Posong di Cilandak - Pasar Minggu tgl.
22 Juni 2014 yang dihadiri oleh 35 orang.
Terus
terang saya mengucapkan banyak terimakasih atas diundangnya saya dalam
Kumpul Brayat kali ini. Betapa tidak, saya tidak faham satu dengan
lainnya yang hadi kecuali dengan Mbak Nana dan Mas Edy Mbulu. Mungkin
karena merasa satu darah, maka pertemuan yang dimulai dengan perkenalan
seperti mengenal orang asing pun berubah menjadi percakapan "rinaketan sedulur cedak".
Percakapan mulai dari mengurut nama orang tua, mbah-mbah, paman,
sesepuh yang masih di kampung, tempat tinggal, posisi rumah di kampung,
pekerjaan, saudara dan perkembangan kampung saat ini.
Pembicaraan
untuk pertama kali bertemu pasti masih memilih dan memilah mana yang
sekiranya enak didengar dan santun diutarakan. Ada satu kata yang
tersimpan dalam benak masing-masing yaitu niat ingin menyatukan sanak
keluarga sedarah yang sudah terserak kemanpun arahnya "ngumpulke balung
pisah" yang semula sudah tidak tahu dimana dan kemana mereka hidup dalam
mencari penghidupan masing-masing. Tentunya hidup menuruti nasib adalah
kehendak Yang Kuasa. Ada yang menjadi Pemimpin dan Tokoh Agama, ada
yang menjadi Pejabat, ada yang berprofesi sebagai guru, pekerja atau
karyawan dan lain sebagainya. Syukur alhamdulillah diantara mereka tidak
ada yang merasa "aku" yang lebih baik darimu, tetapi aku adalah
sedarah, nunggal Induk, Trah Posong.
Semoga dapat ngremboko dan dilestarikan oleh generasi sekarang dan berikutnya.
Amin.
KEMPAL BRAYAT 14 JUNI 2015
DI RUMAH MBAK BUDI (LAMPUNG) DI BEKASI
Kempal Brayat kali ini dilaksanakan di Rumah mBak Budi (Lampung) di Komplek Perumahan Pondok Pekayon Indah XI/30. Posisi rumah bisa ditempuh dari Tangerang melalui Tol dalam kota lanjut Tol Cikampek, keluar di pintu Bekasi Barat. Begitu keluar tol ketemu prapatan di depan Mal Bekasi Raya belok kekanan melangkahi jalan Tol Cawang - Cikampek. Dari posisi itu ketemu prapatan belok kekanan lurus ketemu Naga Mall, lurus sekitar 200 M di sebelah kanan ada Gerbang Pondok Pekayon Indah.
Begitu masuk komplek perumahan, jalan mentok ketemu Jln Ketapang XIII belok kekanan dan diurut sebelah kanan akan ketemu Ketapang XI, posisi rumah di Pojok Ketapang XI.
KEMPAL BRAYAT 14 JUNI 2015
DI RUMAH MBAK BUDI (LAMPUNG) DI BEKASI
Kempal Brayat kali ini dilaksanakan di Rumah mBak Budi (Lampung) di Komplek Perumahan Pondok Pekayon Indah XI/30. Posisi rumah bisa ditempuh dari Tangerang melalui Tol dalam kota lanjut Tol Cikampek, keluar di pintu Bekasi Barat. Begitu keluar tol ketemu prapatan di depan Mal Bekasi Raya belok kekanan melangkahi jalan Tol Cawang - Cikampek. Dari posisi itu ketemu prapatan belok kekanan lurus ketemu Naga Mall, lurus sekitar 200 M di sebelah kanan ada Gerbang Pondok Pekayon Indah.
Begitu masuk komplek perumahan, jalan mentok ketemu Jln Ketapang XIII belok kekanan dan diurut sebelah kanan akan ketemu Ketapang XI, posisi rumah di Pojok Ketapang XI.
Anggota yang hadir cukup banyak sekitar 30 orang.
Putro-wayah Brayat Kartowiryo : Saya sendiri
Putro-wayah Brayat Kartodiryo yang hadir :
Buyut Parto Posong : Keluarga Mbak Nana, Mas Joko (Jkt)
Buyut Murman Semarang : Keluarga Kanjeng Mami Carolina (Bekasi selatan); Mas Indro (Jakarta)
Buyut Mangun Butuh Kulon : Keluarga Supriadi (Tangerang)
Buyut Samini Tampir Kulon : Mbak Tutik dan Cs (Bogor)
Buyut Madi Lampung : Mbak Budi (pemilik rumah)
Acara cukup meriah dengan acara pokok arisan, sekedar sarana pengikat saja.
Pada masa perintisan dengan misi "ngumpulke balung pisah", perlu kehati-hatian mengingat sebelumnya satu dengan yang lain tidak saling kenal. Bersyukur bahwa masing-masing menyadari tanpa paksaan berasal dari Trah Posong.
Ada modal dasar yang cukup kuat untuk dapat dikembangkan menjadi lebih besar dan bermakna dalam menjalin tali silaturahim, yaitu "pengakuan diri berasal dari Trah Posong". Tentunya konsolidasi sampai ke tahap "terorganisasi" akan memakan waktu cukup lama. Acara guyon, sekedar ketemu, salaman kehadiran dan salaman selamat jalan adalah sederhana namun mempunyai makna yang cukup besar. Forum perlu mengambangkan "spirit hadir" pada setiap acara serupa dan acara-acara penting lainnya yang terjadi pada masing-masing warga.
Sumonggo pelan-pelan, sambil memperbaiki sistem komunikasi lewat media sosial WhattsApp, Group BBM dan saling sapa per telepon, kita berdo'a semoga perkumpulan akan berkembang semakin besar dan lebih bermakna lagi. Insya allah.
Rahayu ingkang pinanggih wonten ing kempal brayat ingkang bade dhateng, wulan September 2015.
Mbak Budi dan tamunya terlibat pembicaraan arisan |
Mas Indro dan Pemilik rumah sdg negosiasi bisnis |