Profile Raden Samin Soerosentiko (1859 - 1914) |
SAMIN, fenomena sosiokultural perlawanan anti kemapanan Pemerintah Belanda yang represif otoritarian.
Samin konotasinya selvishy (“mbeguguk nguto waton” pepatah Jw), tidak mau diperintah, semaunya sendiri dan minimalnya wawasan pengetahuan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apakah Samin adalah Suku atau Komunitas penganut suatu faham? Mengapa penilaian orang tentang orang samin selalu berkonotasi negatif? Atau justru sebaliknya yaitu sebuah hegemoni politik tingkat tinggi? Mari kita simak rangkuman tulisan dibawah.
Asal-usul Sejarah Samin
Samin menurut Peniliti Sosiologi Titi Mumfangati (2004), adalah suatu fenomena sosiologi kultural yang unik dan penuh pesan moral dari seorang Tokoh Masyarakat berdarah ningrat yang bernama Raden Kohar atau Samin Soerosentiko, yang kemudian bergelar Praboe Panembahan Soeryongalam (1859-1914) yang dimanifestasikan dalam bentuk pembangkangan terhadap regulasi pengenaan pajak Pemerintah Penjajah Belanda dengan cara-cara tertentu yang tergolong aneh nyleneh. Tingkahlaku tersebut kemudian diikuti dan diamini oleh pengikutnya yang lebih dikenal dengan “SAmi-sami aMIN”.
Samin yang bernama asli Raden Kohar lahir di Desa Ploso, Kedhiren, kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora. Ia lahir dari ayah bernama Raden Soerowijoyo yang kemudian disebut Samin Sepuh. Raden Soerowijoyo masih bertalian darah dengan Kyai Keti dari Rajegwesi – Bojonegoro dan Pangeran Kusumaningayu, seorang Bupati Sumoroto, Kab. Tulungagung - Jatim (http://www.blorakab.go.id/). Nama Raden Kohar kemudian dirubah menjadi Samin adalah bentuk penyamaran seorang bangsawan di dalam masyarakat umum di pedesaan, agar kehadirannya bisa diterima oleh rakyat jelata. Dia adalah seorang utopis yang berarti pemimpi suatu tatanan politik dan tata sosial sesuai yang diinginkan *).
Secara historis pandangan hidup Samin atau saminisme adalah pandangan sebagain ajaran Syiwa-Budha atau Budhi-Dharma sebagai sinkretisme antara hindhu budha yang dianut oleh masyarakat di bantaran lembah Bengawan Solo sekitar Boyolali dan Surakarta (Wikipedia, 2004). Ajaran Syiwa-Budha pun tidak seratus persen karena tidak mengakui adanya reinkarnasi. Saminisme mempercayai Roh manusia yang meninggal tidak menitis ke dunia tetapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Ajaran saminisme lebih mendekati aliran kepercayaan kejawen sebagaimana filosofi pewayangan yang di dalamnya misalnya istilah tapabrata, gemar prihatin, narimo ing pandum kalah, mekalah, dst demi ketenangan pikir, kemenangan akhir dan mencintai keadilan.
Dalam Buku “Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah, 2004” Samin merasa terpukul melihat realitas kehidupan masyarakat dibawah pemerintahan Belanda. Banyak nasib rakyat pedesaan sengsara dan tidak pandang bulu mewajibkan membayar pajak terhadap rakyat miskin atau kaya. Hidup rakyat di sekitar hutan Jati dengan tanah yang tidak subur hidupnya sangat menderita, sementara Pemerintah Belanda justru semakin giat melakukan perampasan tanah rakyat untuk perluasan lahan hutan milik perusahaan negara (Titi Mumfangati, 2004).
Dari sisi sosiologis, ajaran Saminisme adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap pemerintahan kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia.
Melihat kondisi tersebut Samin yang kemudian disebut Raden Samin Soerosentiko dan kemudian masyarakat setempat menyebutnya Kyai Samin bertindak ala Robinhood melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Untuk menghimun kekuatan melawan pemerintah Belanda, dia menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Langkah intelektual Kyai Samin dengan melakukan langkah membrandalkan diri ini tidak untuk memperkaya dirinya sendiri tetapi untuk membiayai pembangunan ekonomi masyarakat miskin (Titi Mumfangati, 2004). Mulai saat itu seorang Samin dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “SAmi-sami aMIN” yang artinya sama-sama setuju. Istilah Kyai di masyarakat Jawa tidak harus pendakwah Agama Islam, tetapi lebih sebagai penghargaan terhadap benda hidup (manusia, hewan) atau benda-benda pusaka yang bertuah bagi masyarakat banyak.
Tentunya tindakan tersebut diatas mengandung makna bathin yang dirasakan oleh awam atau akar rumput. Tindakan Samin ternyata mendapat sambutan di hati masyarakat akar rumput di sekitarnya. Namun dalam perjalannanya ajaran samin dipengaruhi oleh Ki Ageng Pengging yang mengajarkan ajaran ke-Islaman Tradisional dari ajaran Syeh Siti Jenar. Kyai Samin Surosentiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani dan rakyat jelata) dengan cara ceramah di Pendopo-pendopo Kantor Desa. Isi dari ceramahnya adalah keinginan membangun Kerajaan Amartapura yang menginginkan suatu kerajaan yang makmur berkeadilan dan berdaulat dengan kondisi rakyatnya sejahtera tanpa campurtangan asing.
Kyai Samin menyusun Kitab Samin yang yang berjudul “Serat Jamus Kalimasada”, dengan kitab-kitab pedoman hidup “pandom” kehidupan masyarakat Samin. Pesan substantif hegemoni pergerakan yang dikumandangkan yaitu meliputi kebijaksanaan (jatmiko) dalam berkehendak, beribadah, mawas diri, upaya mengatasi bencana alam dan jatmiko untuk selalu berpedoman pada budi pekerti luhur.
Pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL, dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Melihat gelagat perkembangan pengaruh kekuatan politik seorang Kyai Samin, Pemerintah Belanda mencekalnya. Samin Surosentiko ditangkap oleh anthek Belanda Raden Pranolo, yaitu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke Sawahlunto – Sumatera Barat berikut Mahakarya Sastra-nya “Serat Jamus Kalimasada” dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914.
Namun, perjuangan Kyai Samin tidak sia-sia. Pengikut ajaran Samin menganggapnya Kyai Samin tidak meninggal, hanya arwahnya yang mukhsa naik ke Surga dan pengikut Samin tetap meneruskan perjuangannya melawan Pemerintah Belanda melalui amalan ajaran-ajarannya.
Pokok-pokok Ajaran Samin
Dari beberapa tulisan, ajaran Samin bersumber dari agama Syiwa-Budha. Beberapa pokok pikiran warga Samin diantaranya menguasai adanya kekuasaan tertinggi (sang Hyang Adi Budha), ramah dan belas kasih terhadap sesama mahluk, tidak terikat kepada barang-barang dunia kegembiraan dan kesejahteraan, serta memelihara keseimbangan batin dikalangan antar warga. Orang Samin dengan jelas mencita-citakan membangun negara asli pribumi yang bebas dari campur tangan orang kulit putih, tiada dominasi barat satupun. Ajaran politik warga pengikut Saminisme yaitu cinta dan setia kepada amanah leluhur, kearifan tetua, cinta dan hormat terhadap pemerintahan yang dianggap sebagai orang tua dan sesepuh rohani, hormat dan setia pada dunia intelektual. Ciri visual wong Samin adalah gaya kepolosan, lugu dan maunya sendiri, sehingga terkesan “dungu” dan tidak menerima saran perintah orang lain.
Saminisme mengajarkan kesetaraan, kesederhanaan, kebajikan serta selalu mengingat Tuhan. Ajaran kehidupan sehari-hari, orang samin memegang tiga “angger-angger” atau pokok ajaran yang bersifat lisan, meliputi :
Pertama,
Angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk) berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong”. Maksudnya orang dilarang untuk berbuat jahat, perang mulut, iri, mencuri.
Kedua,
Angger-angger pengucap (hukum bicara) berbunyi “Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu”. Dalam berbicara, orang harus meletakkan pembicaraannya di antara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka ini mungkin hanyalah simbolik belaka. Pada dasarnya, setiap orang harus menjaga omongannya dari kata-kata kotor dan menyakiti hati orang lain. Orang harus berbicara dengan baik kepada orang lain.
Ketiga,
Angger-angger lakonana (hukum tentang apa yang harus dikerjakan) berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni” Orang harus selalu bersabar serta tidak sombong.
Dalam menjalankan ketiga Angger-angger diatas dalam praktek pola kehidupan sehari-hari :
- Memandang agama yaitu pegangan hidup, semua agama sama tidak membeda-bedakan agama apapun, tidak pernah mengingkari atau membenci agama, yang penting hidup adalah tabiat perikehidupannya tetapi tidak pernah menyebut nama agamanya.
- Menghindari mengganggu orang lain, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang.
- Bersikap sabar dan jangan sombong.
- Memahami kehidupannya, hidup adalah bersatunya jasad dengan roh yang akan abadi selamanya. Manusia yang meninggal, hanya menanggalkan pakaiannya dan roh-nya tidaklah meninggal. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.
- Berbicara harus bisa menjaga apa yang diucapkan, jujur dan saling menghormati.
- Dilarang berdagang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”.
- Tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang. Dalam kegiatan ekonomi terdapat filosofi yang dijunjung tinggi yaitu “tuno sathak bathi sanak” yang berarti lebih penting memiliki saudara banyak daripada rugi harta.
Dalam catatan yang ditemukan di Desa Tapelan, peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi. Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal “manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi”. Perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai “rangka umanjing curiga yaitu tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya. Diibaratkan ilmu ke-Tuhan-an yang menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati.
Pandangan hidup ajaran samin terhadap ketuhanan adalah apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjianNya. Roh manusia yang meninggal tidak menitis ke dunia (reinkarnasi) sebagai binatang bagi manusia yang banyak dosa dan menitis sebagai manusia bagi manusia yang tidak banyak dosa, tetapi bersatu kembali dengan Tuhannya.
Dalam implementasi ajaran, sebagai bentuk non-kooperatif terhadap Pemerintah Belanda, kehidupan sehari-hari masyarakat Samin tidak boleh bersekolah, tidak memakai peci, tidak memakai celana panjang tetapi celana komprang dan tidak boleh berdagang.
Adanya rasa persaudaraan ini mendorong kebiasaan gotong-royong dan saling membantu (lung-tinulung) antar sesamanya. Apabila diantara orang Samin ada yang mempunyai gawé (hajat), yang menurut istilah mereka disebut “adang akéh”. Semua kerabatnya datang dari segala pelosok dengan membawa bahan-bahan mentah yang akan dimasak dan dimakan bersama (Titi Mumfangati, dkk, 2004). Seperti yang diajarkan oleh Samin Surosentiko, bahwa dalam hidup di masyarakat harus tertanam rasa “gilir-gumanti” yaitu bila kali ini dibantu orang lain, maka ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan, tanpa diharapkan oleh pihak yang bersangkutan, ia berkewajiban untuk membantu (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII). Namun, pandangan gilir gumanti dalam hal jenis barang dan kuantitasnya tidak harus sama dengan pada saat yang bersangkutan membantu tetapi semampunya, sehingga tidak tertanam rasa berhutang materi.
Rasa kebersamaan yang ditanamkan Samin Surosentiko sangatlah tinggi bahkan boleh dikatakan tidak ada kepemilikan pribadi dalam komunitas Samin. Hal tersebut tercermin dalam filosofi dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké (milikmu juga milikku, milikku juga milikmu, apabila diperlukan oleh saudaranya maka akan diikhlaskan) (Titi Mumfangati, dkk, 2004).
Suatu hal yang tergolong ekstrim dan tidak bisa dinalar dengan akal masyarakat pada umumnya adalah penggunaan property orang lain untuk kepentingan pribadinya, misalnya bilamana seseorang hendak pergi ke kota dan berbelanja di pasar, padahal ia tak punya uang sama sekali, tanpa ragu ia pergi ke rumah tetangganya yang dekat dan berkata; “Sedulur, aku mélu nganggo klambimu” (“Saudara, aku ikut memakai bajumu”), atau bahkan “Aku melu nganggo dluwang itunganmu” (“Aku ikut memakai uangmu”). (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII). Bagimana mungkin uang seseorang dipakai untuk keperluan belanja orang lain tanpa pamrih apapun dan tidak mengharapkan uang kembali. Namun, pemberian uang tersebut semampu yang memberi dan pemakaian belanja pun hanya secukupnya, sehingga tidak terkesan merampok harta tetangga untuk kekayaan orang lain.
Penanaman rasa egaliter atau persamaan hak dicerminkan Kyai Samin dalam penggunaan bahasa Ngoko (Jawa kasar) dalam setiap percakapan kepada siapapun tanpa mau menggunakan Boso Kromo Hinggil (Jawa halus) yang memang lebih sering dipakai oleh orang yang berstatus lebih rendah kepada yang lebih tinggi (Joko Susilo, 2003). Misalnya antara anak muda dengan orang tua, atau buruh dengan majikannya mereka ditanamkan menggunakan bahasa ngoko.
Kedekatan dan pemeliharaan kelestarian alam sekitarnya tidak dapat terpisahkan. Baginya, pekerjaan yang paling mulia dan sesuai dengan kondisi mereka adalah sebagai seorang petani. Agar hasil kerjanya dapat berkesinambungan, mereka mengelola alam dengan sangat arif. Mereka terbiasa membagi hasil panen menjadi empat bagian yang sama besar. Bagian pertama disisakan untuk bibit pada musim tanam berikutnya. Bagian kedua, disediakan untuk kebutuhan makan setiap hari. Bagian ketiga, yaitu bagian yang disediakan untuk keperluan sekunder mis : pakaian dan keperluan lainnya dan Bagian keempat, yaitu bagian yang disediakan untuk input sarana produksi mis : penggarapan sawah atau ladang dan ongkos menuai atau panen (Hasan Anwar, 1979).
Dalam hal pendidikan dasar, mereka memandang pelajaran atau sekolah adalah pelajaran hidup dan kehidupan. Sekolah yang dimaksud oleh masyarakat samin adalah orangtua mengajari anaknya adalah dengan menyapu, memasak, mencangkul, menanam benih padi palawija dan panen hasil pertanian. Adapun sekolah formal seperti TK, SD, SMP dst adalah kelengkapan pelajaran dasar adat istiadat. Namun, dalam perkembangannya sedikit demi sedikit mulai berubah sesuai dengan keinginan masing-masing dalam memilih sekolahan dan kemampuan intelektualnya.
Saminisme sangat berhati-hati dalam menjaga ucapannya. Apa yang diucapkan adalah "janji atau sabdo" sesuai filsofi “rembugé sing ngati-ati” Para pengikutnya dianjurkan untuk berkata terus terang, apa adanya dan jujur. Saking ketatnya menjaga sikap kejujurannya, ia menghindari pekerjaan sebagai pedagang yang dianggapnya pasti berkata tidak jujur.
Wong Samin tidak mengenal kata canda atau sapaan pergaulan atau lebih dikenal oleh masyarakat Jawa "lamis". Dalam menanggapi ucapan orang lain sedulur sikep seperti menanggapi sesama sedulur sikep "jujur", sehingga sering terjadi kesalahpahaman bilamana masyawarakat non saminisme menawarkan sesuatu yang bersifat "lamis" bicara sekedar menjada persaudaraan ditanggapi serius oleh wong samin, mis : Pedagang makanan menyapa, menyuruh mampir makan soto..., maka wong samin dengan sigapnya makan soto dan pergi dari warung tanpa bayar, kalau ditanya kok tidak bayar, maka dijawab "janjinya disuruh mampir makan soto"... dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang oleh wong samin dianggap wajar dinalar oleh masyarakat umum nyleneh tidak umum.
*) Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Dalam implementasi ajaran, sebagai bentuk non-kooperatif terhadap Pemerintah Belanda, kehidupan sehari-hari masyarakat Samin tidak boleh bersekolah, tidak memakai peci, tidak memakai celana panjang tetapi celana komprang dan tidak boleh berdagang.
Adanya rasa persaudaraan ini mendorong kebiasaan gotong-royong dan saling membantu (lung-tinulung) antar sesamanya. Apabila diantara orang Samin ada yang mempunyai gawé (hajat), yang menurut istilah mereka disebut “adang akéh”. Semua kerabatnya datang dari segala pelosok dengan membawa bahan-bahan mentah yang akan dimasak dan dimakan bersama (Titi Mumfangati, dkk, 2004). Seperti yang diajarkan oleh Samin Surosentiko, bahwa dalam hidup di masyarakat harus tertanam rasa “gilir-gumanti” yaitu bila kali ini dibantu orang lain, maka ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan, tanpa diharapkan oleh pihak yang bersangkutan, ia berkewajiban untuk membantu (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII). Namun, pandangan gilir gumanti dalam hal jenis barang dan kuantitasnya tidak harus sama dengan pada saat yang bersangkutan membantu tetapi semampunya, sehingga tidak tertanam rasa berhutang materi.
Rasa kebersamaan yang ditanamkan Samin Surosentiko sangatlah tinggi bahkan boleh dikatakan tidak ada kepemilikan pribadi dalam komunitas Samin. Hal tersebut tercermin dalam filosofi dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké (milikmu juga milikku, milikku juga milikmu, apabila diperlukan oleh saudaranya maka akan diikhlaskan) (Titi Mumfangati, dkk, 2004).
Suatu hal yang tergolong ekstrim dan tidak bisa dinalar dengan akal masyarakat pada umumnya adalah penggunaan property orang lain untuk kepentingan pribadinya, misalnya bilamana seseorang hendak pergi ke kota dan berbelanja di pasar, padahal ia tak punya uang sama sekali, tanpa ragu ia pergi ke rumah tetangganya yang dekat dan berkata; “Sedulur, aku mélu nganggo klambimu” (“Saudara, aku ikut memakai bajumu”), atau bahkan “Aku melu nganggo dluwang itunganmu” (“Aku ikut memakai uangmu”). (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII). Bagimana mungkin uang seseorang dipakai untuk keperluan belanja orang lain tanpa pamrih apapun dan tidak mengharapkan uang kembali. Namun, pemberian uang tersebut semampu yang memberi dan pemakaian belanja pun hanya secukupnya, sehingga tidak terkesan merampok harta tetangga untuk kekayaan orang lain.
Penanaman rasa egaliter atau persamaan hak dicerminkan Kyai Samin dalam penggunaan bahasa Ngoko (Jawa kasar) dalam setiap percakapan kepada siapapun tanpa mau menggunakan Boso Kromo Hinggil (Jawa halus) yang memang lebih sering dipakai oleh orang yang berstatus lebih rendah kepada yang lebih tinggi (Joko Susilo, 2003). Misalnya antara anak muda dengan orang tua, atau buruh dengan majikannya mereka ditanamkan menggunakan bahasa ngoko.
Kedekatan dan pemeliharaan kelestarian alam sekitarnya tidak dapat terpisahkan. Baginya, pekerjaan yang paling mulia dan sesuai dengan kondisi mereka adalah sebagai seorang petani. Agar hasil kerjanya dapat berkesinambungan, mereka mengelola alam dengan sangat arif. Mereka terbiasa membagi hasil panen menjadi empat bagian yang sama besar. Bagian pertama disisakan untuk bibit pada musim tanam berikutnya. Bagian kedua, disediakan untuk kebutuhan makan setiap hari. Bagian ketiga, yaitu bagian yang disediakan untuk keperluan sekunder mis : pakaian dan keperluan lainnya dan Bagian keempat, yaitu bagian yang disediakan untuk input sarana produksi mis : penggarapan sawah atau ladang dan ongkos menuai atau panen (Hasan Anwar, 1979).
Dalam hal pendidikan dasar, mereka memandang pelajaran atau sekolah adalah pelajaran hidup dan kehidupan. Sekolah yang dimaksud oleh masyarakat samin adalah orangtua mengajari anaknya adalah dengan menyapu, memasak, mencangkul, menanam benih padi palawija dan panen hasil pertanian. Adapun sekolah formal seperti TK, SD, SMP dst adalah kelengkapan pelajaran dasar adat istiadat. Namun, dalam perkembangannya sedikit demi sedikit mulai berubah sesuai dengan keinginan masing-masing dalam memilih sekolahan dan kemampuan intelektualnya.
Saminisme sangat berhati-hati dalam menjaga ucapannya. Apa yang diucapkan adalah "janji atau sabdo" sesuai filsofi “rembugé sing ngati-ati” Para pengikutnya dianjurkan untuk berkata terus terang, apa adanya dan jujur. Saking ketatnya menjaga sikap kejujurannya, ia menghindari pekerjaan sebagai pedagang yang dianggapnya pasti berkata tidak jujur.
Wong Samin tidak mengenal kata canda atau sapaan pergaulan atau lebih dikenal oleh masyarakat Jawa "lamis". Dalam menanggapi ucapan orang lain sedulur sikep seperti menanggapi sesama sedulur sikep "jujur", sehingga sering terjadi kesalahpahaman bilamana masyawarakat non saminisme menawarkan sesuatu yang bersifat "lamis" bicara sekedar menjada persaudaraan ditanggapi serius oleh wong samin, mis : Pedagang makanan menyapa, menyuruh mampir makan soto..., maka wong samin dengan sigapnya makan soto dan pergi dari warung tanpa bayar, kalau ditanya kok tidak bayar, maka dijawab "janjinya disuruh mampir makan soto"... dan masih banyak lagi kejadian-kejadian yang oleh wong samin dianggap wajar dinalar oleh masyarakat umum nyleneh tidak umum.
*) Kamus Besar Bahasa Indonesia :
uto·pis 1 a berupa khayal; bersifat khayal; 2 n orang yg memimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yg hanya bagus dl gambaran, tetapi sulit untuk diwujudkan.
Berlanjut ke tulisan berikutnya.......
Sumber Pustaka :
- Anonim, 1987, Sedulur Sikep, Tempo No. 12 tahun XVII
- Annonim, 2003, http://wikipedia.or.id, Masyarakat Samin
- Anonim, 2000, Kamus Besar Bahasa Indonesia
- Anonim, 2003, www.blorakab.go.id
- Anonim, 2000, Kamus Besar Bahasa Indonesia
- Soerjono Soekanto (999), Ideologi Kumpulan gagasan ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan dan agama.
- Ramlan Surbakti (1999) Fungsi utama ideologi dalam Masyarakat
- Sastroatmodjo (2003), Daerah Persebaran Saminisme
- Titi Mumfangati (2004), adalah suatu fenomena sosiologi kultural yang unik dan penuh pesan moral dari seorang Tokoh Masyarakat berdarah ningrat yang bernama Raden Kohar atau Samin Surosentiko
- Suyami, (2007), Citra Perlawanan Wong Samin Terhadap Pemerintah Belanda
- Grandi Hendrastomo (2011), Meluruskan Kembali Konotasi Negatif Wong Samin.