19 Mei 2016

"Margowangsan Karang Abang (lautan api) Sebuah Palagan yang Terlupakan



Ilustrasi pembakaran perkampungan (bukan situasi sebenarnya kurban pembakaran Belanda th 1947)
Introduksi



Tulisan ini adalah Fakta Sejarah bukan Fiksi. Saya menulis kisah ini karena terisnpirasi dari tayangan salah satu Stasion TV Swasta yang menayangkan kisah perjuangan masyarakat yang berjudul “Membuka Tabir antara Karawang dan Bekasi”. Gigihnya perjuangan dan gugurnya ribuan pahlawan tak dikenal di daerah tersebut, seharusnya Negara memberikan suatu apresiasi perhatian khusus kepada masyarakat dan lokasi peristiwa, apakah berupa monumen perjuangan atau bentuk lain, justru terlupakan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.



Sejarah mencatat bahwa pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, secara defakto di dalam diri masyarakat telah tertanam bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 telah terlahir Bangsa Indonesia. Setiap orang yang tinggal di wilayah Indonesia teguh mempertahankan kemerdekaannya dari kolonisasi Bangsa Belanda dan bertekad mandiri, apapun resiko yang akan terjadi.



Bagi Bangsa kolonial, baik Belanda, Inggeris dan Jepang mereka hanya mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia secara de-yure (formal) setelah ada perjanjian dan diakui kesepakatan kemerdekaan. Beberapa kali Konferensi atau Perjanjian antara Pemerintah Belanda dengan Aktifis Indonesia dan terakhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag th 1949, bahwa bahwa Bangsa Indonesia tetap pada pendiriannya ingin mandiri, merdeka terlepas dari kekuasaan bangsa lain. Walaupun secara de yure Indonesia merdeka tahun 1949, tetapi dalam diri setiap warga Indonesia tetap mengakui secara de fakto bahwa Indonesia merdeka sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Akal bulus Belanda untuk menancapkan kuku kekuasaannya untuk menundukkan bangsa Indonesia telah dimulai sejak berdirinya VOC Tahun 1602 di Batavia. Pada awalnya hanya berdagang rempah-rempah, namun kemudian merambah untuk menguasai wilayah dan pemerintahan serta membentuk Lembaga Keamanan berikut Benteng Pertahanan untuk melindungi keberadaan Pemerintah. Pemberontakan demi pemberontakan terjadi untuk mengusir Belanda. 
Dalam rangka memperkuat kekuasaan, Belanda merekrut warga pribumi untuk melawan Pemberontak yang berasal dari warga pribumi yang tidak setuju dengan kolonisasi atau penjajahan.  Bahkan Belanda menggunakan strategi "ädu domba" untuk memecahbelah kekuatan warga pribumi. Politik pecahbelah yang bersejarah adalah Perjanjian Giyanti (1779) yang pada intinya Belanda memecah Kekuatan Mataram menjadi 4 penguasa berikut dengan wilayah kekuasaannya masing-masing yaitu Kasunanan Mataram Surakarta, Mangkunegaran Surakarta, Kasultanan Mataram Yogyakarta dan Pakualaman Yogyakarta.  
Belanda memegang hegemoni kekuasaannya dalam menentukan pilihan Bupati di seluruh wilayah Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Kepongahan Belanda tidak sampai disitu, penguasaan wilayah Mataram di Pesisir Utara hadiah dari Paku Buwana II pun merambah sampai ke wilayah kekuasaan Mataram termasuk dalam kekuasaannya dalam memungut pajak tanah dan penentuan jalur transportasi, hingga pecah Perang Diponegoro selama 5 tahun (1825 - 1830) yang dikenal dengan Perang Jawa dan berakhir dengan "pengkhianatan" perundingan/penangkapan Pangeran di Kota Magelang yang melibatkan laskar pemuda dari daerah Kab. Magelang sebagai pengiring sang Pangeran. Pemerintah Belanda merasa kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Indonesia yang bergerak massif dan sporadis. Perang atau “clash” yang terjadi pasca proklamasi semakin sengit.


Pemerintah Hindia Belanda pun tidak menyerah begitu saja. Pemerintah Belanda justru banyak merekrut putera-putera pribumi untuk berperang melawan bangsanya sendiri (politik adu domba).




Perjuangan Anak Cucu Laskar Mataram


Jika ditarik garis lurus Dusun Margowangsan dan sekitarnya hanya berjarak 15 Km dari Kota Magelang, Ibukota Karesidenan Kedu pada jaman pendudukan kolonial Belanda.


Masyarakat Sawangan – Magelang khususnya Dusun Margowangsan dan sekitarnya sudah mengenal kelicikan Belanda sejak adanya intervensi Belanda dalam Perjanjian Giyanti dan drama Perundingan Perundingan antara Pemerintah Belanda dan P. Diponegoro di Kantor Karesidenan Kedu di Magelang. Pengawal setia Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirdjo akhirnya pun juga tertangkap di daerah Sawangan. Namun, para pengikutnya tidak tinggal diam. Pada waktu-waktu tertentu para sahabat dan anak keturunan Sang Pangeran melakukan penyerangan secara gerilya ke tangsi-tangsi Belanda di Kota Magelang. 
 

Konon menjelang clash kedua tahun 1949 Belanda merencanakan penyerangan massif di beberapa kota besar pusat-pusat perlawanan rakyat kepada Pemerintah Belanda seperti di Ambarawa, Surabaya, Magelang, dll untuk menunjukkan eksistensinya sebagai Pemerintah Hindia Belanda yang masih eksis di negeri ini. 
Tidak luput daerah kantong kekuatan perlawanan rakyat Kecamatan Sawangan yang berpusat di Dusun Margowangsan menjadi salah satu sasaran penyerangan, tepatnya dengan membumihanguskan ruma-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Laskar Kemerdekaan.



Kenapa Margowangsan...



Pertama, Dusun Margowangsan dan sekitarnya sebelum Perang Diponegoro sudah dihuni oleh tokoh Mataram pasca Perjanjian Giyanti dari keluarga dan sahabat Paku Buwana-III  yang notabene merupakan kelompok yang menentang isi perjanjian. Artinya, sudah ada bibit turun-temurun bahwa nenek moyang masyarakat Dusun ini “Anti Belanda”. Dalam perkembangannya, pemuda-pemuda dari dusun ini bersama dengan Laskar dari beberapa tempat sering melakukan penyerangan ke Tangsi-tangsi tentara Belanda di Kota Magelang. Secara tidak langsung mereka para pemudanya terdidik berpolitik untuk memerangi Pemerintah Belanda.



Kedua, Pasca Peperangan Diponegoro yang berakhir dengan drama pengkhianatan Pangeran Diponegoro meminta agar Saudaraku 9 Dipo dilepaskan untuk tetap berjuang melawan Pemerintah Kolonial Belanda.  Oleh karenanya seluruh Saudaranya menyebar mulai dari Daerah Magelang sampai Pati di Pesisir Utara Jawa dengan tetap menyimpan dendam kusumat yang sulit untuk dilupakan. Otak culas Belanda mengkhianati suatu perjanjian tidak bisa dihapus dan semakin membakar semangat menggangu Tangsi-tangsi Belanda di Kota Magelang. 

Tercatat keluarga dan Sahabat Pengeran Diponegoro banyak yang tinggal domisili di Margowangsan dan sekitarnya, mis : Pangeran Wirjo Dipoleksono alias Sodongso, R. Djojonegoro, R. Dirgonegoro, Ny. Suntiaking, Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Hadinegoro alias Kyai Kasan Iman alias Diponido, R. Dipokusumo, dll yang hidup bersama masyarakat pedesaan dengan menyamarkan nama dan identitasnya. Anak cucu mereka ini secara turun temurun gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan berbagai bentuk partisipasinya.



Ketiga, Dusun Margowangsan adalah Pusat para gerilyawan tangguh dan mumpuni dalam bertempur. Dari Dusun ini banyak lahir Tokoh-tokoh sakti, pemberani dan didukung oleh pengaruh yang kuat di masyarakat serta kekayaan secara materi diatas rata-rata kekayaan masyarakat pedesaan di sekitarnya. Banyak rumah-rumah tembok besar dan pekarangan luas yang menggambarkan kekuatan materi melebihi Dusun-dusun di sekitarnya.

Pasca proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia merintis kekuatan rakyat dengan membentuk satuan keamanan yang berasal dari pemuda laskar, banyak pemuda dusun ini yang mendaftar menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebelumnya anggota TKR juga sudah ada yang menjadi KNIL pada penjejahan Belandan dan Heiho pada jaman penjajahan Jepang. Kelompok ini sangat militan dan aktif melakukan penyerangan ke Tangsi di Magelang. Tercatat beberapa pemuda anngota TKR di Dusun Margowangsan mis : Tamyis, Hilal, Sapar, Pawiro, Suwito, Ahmad dan masih banyak lagi. Mereka adalah para Laskar tangguh yang diincar untuk dihabisi Belanda.





Belanda Membumihanguskan Dusun Margowangsan



Tahun 1947 Pemuda Laskar yang tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat  (TKR) mencium adanya rencana gerakan Belanda yang akan membumihanguskan Dusun Margowangsan. Tiga hari sebelum penyerbuan Warga pedusunan sudah mengungsi. Sebagian besar mereka mengungsi ke Desa Jati yang berjarak sekitar 5 Km kearah Timur laut Dusun Margowangsan dan sebagian kecil mengungsi di lobang di tengah aliran irigasi Bendungan Kali Krasak yang jalurnya melewati lahan cadas.



Pada suatu hari datanglah tentara Belanda ke Dusun Margowangsan mencari Tokoh-tokoh Pemuda yang diduga sering melakukan penyerangan ke Tangsi Belanda di Magelang. Boro-boro menangkap otak pelaku gerilya (extreemist), Belanda tidak menemukan satu orang pun yang tinggal di Dusun ini. Semua rumah sudah ditinggal mengungsi oleh penghuninya, tidak tahu warga lari kemana.



Kemarahan Belanda karena tidak menemukan ekstrimis, maka mereka membakarnya sebagian rumah-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyiannya. Tercatat rumah yang dibakar sebanyak 49 (empatpuluh sembilan) rumah dari 78 total rumah di Dusun Margowangsan. Tercatat 4 (empat) unit Rumah Mbah Supo yang notabene merupakan rumahnya Mbah Tamyis salah satu Anggota TKR dibakar tetapi khusus rumah khusus Mbah Supo utuh, berkat kesaktian yang dimiliki beliau. Semua rumah yang dibakar terindikasi sebagai rumah-rumah para pemuda Laskar yang aktif sering melakukan penyerangan ke Tangsi Belanda di Magelang, seperti sudah ada ditandai oleh mata-mata Belanda.
 

Peristiwa pembakaran rumah Dusun Margowangsan tidak berdiri sendiri. Pasti ada informasi spionase sebelumnya yang sampai ke telinga Belanda. Para Pemuda Laskar pun bekerja siang malam mencari mata-mata "spion" dibalik pembakaran rumah oleh Belanda. Tertangkaplah seorang warga penghuni dusun yang kebetulan dari etnis “Non-Jawa” dan diadili secara adat dengan segala sangsinya di Rumah Mbah Supo seorang Sesepuh Dusun.



Sudah barang tentu pembakaran rumah bagi warga Pedusunan yang termasuk golongan masyarakat mapan secara sosial ekonomi merasa terpukul. Rumah-rumah gedung megah dengan pekarangan luas hangus seketika. Banyak warga khususnya para kaum ibu-ibu yang stress, jatuh sakit dan meninggal akibat “peristiwa bumi hangus tahun 1947”.



Mereka ingin melupakan peristiwa tersebut diatas. Seluruh dinding dan fondasi rumah dirobohkan. Hanya satu gedung yang ditinggalkan sebagai kenangan yaitu Rumah Mbah Karto Dimedjo yang terletak di sebelah timur selatan jalan yang dibiarkan tetap berdiri menyisakan kenangan kekayaan masa lalu.





Kontribusi Perjuangan Berlanjut


Margowangsan sebagai Dusun sekaligus Pasar pusat transaksi tradisional yaitu Pasar Besar Ngesengan. Peristiwa pembakaran tahun 1947 bagi Belanda bukan titik terakhir. Belanda mengincar tokoh-tokoh militan dari Dusun ini dan Belanda mengirim mata-mata.



Para laskar pun sudah berpengalaman menghadapi situasi perang. Mereka terdidik secara alami sejak dari kecil. Suatu hari Para Laskar berhasil menangkap mata-mata Belanda yang tengah beroperasi dan langsung dieksekusi dan dikubur di sebelah selatan Pasar. Kuburannya masih ada dan dipelihara oleh salah seorang warga hingga sekarang.

Perjuangan pinisepuh dalam kontribusinya ikut berperang melawan penjajah menginspirasi generasi berikutnya untuk tetap berkontribusi dalam perjuangan membela keamanan negara
Dusun Margowangsan pada jaman kemerdekaan dikenal sebagai basis koordinasi para Laskar untuk menghadapi clash Belanda. Tercatat dalam ingatan pinisepuh, bahwa salah satu rumah dekat Masjid tepatnya rumah Bapak Guru Saljum yang dikenal sebagai salah satu anak keturunan R.Djojonegoro (adik tiri P. Diponegoro), kemudian di rumah Bpk. Suparman (Bulu - Podosoka) digunakan sebagai basis TKR dan Laskar dari berbagai daerah. Pada jaman perjuangan, beberapa petinggi negeri dahulu pernah bermarkas di dua rumah ini a.l Sarwo Edhywibowo (alm) mantan Pangkostrad, R. Sudharmono (alm) mantan Wapres RI, dll.
 
Jangan disalahkan bilamana anak-anak muda baik laki-laki maupun perempuan banyak yang mendaftarkan diri masuk lembaga kemiliteran dan sebagian terjun ke bidang politik dan bertugas di Pemerintahan. 



Implikasi Pembakaran Dsn Margowangsan bagi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Pedusunan


Secara kebetulan penangkapan dan pembantaian Spionase Belanda oleh Pemuda Laskar yang dikubur di dekat Pasar Ngesengan. Secara psikologis massa di pasar terpengaruh oleh peristiwa kematian “rojopati” seorang spion Belanda dengan segala bentuk berita yang berkembang. Secara tidak disengaja bahwa pengaruh peristiwa tersebut diatas membawa perkembangan massa yang semakin hari semakin surut minat para pembeli dan penjual yang datang ke Pasar.



Terakhir penampakan 2 (dua) Los Pasar masih terlihat pada tahun 1970, 1 Los Pasar berubah menjadi Gedung Sekolah Dasar, 1 Los Pasar Gudang Garam berubah menjadi Pos Pelayanan Malaria dan akhirnya mati sama sekali setelah Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto mulai membangun Rumah Dinas Camat, Markas Sektor Polisi, Markas Komando Rayon Militer, Rumah Dinas Dokter berikut Paramedis dan Lokasi Pengungsian Kurban Letusan Gunung Merapi.



Tempat penguburan Spionase Belanda walaupun tanpa nisan, namun penduduk terdekat (Mbah Sri Help alm dan Mbah Peni) yang notabene justru Rumah Orngtuanya menjadi salah satu kurban pembakaran Pemerintah Belanda, justru tergerak hatinya untuk selalu membersihkan kubur pemakaman di Belakang Gedung Pengungsian Kurban Merapi, hingga sekarang.



Perang melawan Pemerintah Belanda berlangsung ratusan tahun. Tidak terhitung berapa harta menjadi terbuang hangus terbakar, berapa ribu nyawa masyarakat pribumi melayang menjadi kurban perlawanan, berapa tetes airmata tercurah akibat kehilangan harta benda miliknya dan nyawa sanak saudaranya. Biarkan negara tidak mengenalnya, biarkan rezim tidak mencatatnya, PAHLAWAN KEMERDEKAAN TAK DIKENAL adalah syuhada sejati. 
Semoga  anak cucu para pejuang dapat menikmati jerih-payah perjuangan para Pahlawan yang telah mendahului kita, amin. 

Legi Rembesing Madu...
Bibit dan Bobot nama besar ketokohan seseorang akan menurun pada generasi berikutnya, entah generasi yang keberapa nama besar yang bersangkutan akan menitis.
  
Tercatat nama-nama tokoh besar lahir dari Kawasan ini yang tampil diberbagai bidang pemerintahan maupun non pemerintahan dan mulai tahun 1970 hingga saat ini (2015), antara lain :   
  • Mbah Sosro, Wedana Klaten thn 1960-an, asli Margowangsan;
  • Mbah Carik Kardanun, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Magelang thn 1955, asli Margowangsan;
  • Drs. Suparman, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Magelang thn 1970-an, asli Bulu - Podosoka; 
  • Drs. Baridin, Kepala Sekolah SMA Negeri Magelang sekaligus pendiri SMA Negeri Magelang Kelas Jauh di Blabak, sebagai cikal bakal SMAN Muntilan dari Dsn Posong 
  • Kolonel Sugito, Perwira TNI AU (thn 1990-an), asli Margowangsan;  
  • Kolonel Murwani Korp Wanita Angkatan Darat (KOWAD) 1980-an, asli Margowangsan
  • Letnan Kolonel Polisi Moh. Juweni (alm) thn 1990-an, asli Mudal;
  • Mayor Polisi Sunarno (alm) thn 2010-an, asli Margowangsan;
  • Kolonel Lilik Sudaryati (alm) Korp Wanita Angkatan Darat (KOWAD) thn 2010-an, asli Margowangsan;
  • Majend Herindra, Pangdam Siliwangi tahun 2015 dan Wakil Menteri Pertahanan RI periode 2019 - 2024, asli Penggaron - Desa Gondowangi 
  • Tahun 2000-an hingga saat ini Pejabat Negara, Profesional, Tokoh Agama bermunculan yang tidak ditulis satu per satu disini    


Merdeka negriku, damai sejahtera nan sentausa rakyatnya......insya allah. 







Sumber berita :

Kisah ini saya himpun dari pitutur, cerita turun temurun para Pelaku Sejarah yang bertindak sebagai Laskar Pemuda, pemilik rumah kurban pembakaran dan penduduk pedusunan yang ikut mengungsi dari penyerangan Belanda yang pada saat ini (tahun 2016) usianya sudah diatas 70 tahun, bahkan sudah ada yang 85 tahun.

  1. Anonim (…...), Fakta dan Cerita turun temurun sesepuh Dusun Margowangsan
  2. Pak Samidi (1995), Kisah kegigihan pemuda Margowangsan dalam bergerilya di Tangsi, Mgl
  3. Pak Suryadi Achmad (2016), Berita WA Kisah Pengalaman Bumi Hangus Dusun Margowangsan.