Siapa Sosok Sodongso...
Maksud penelusuran Silsilah Sodongso bagi Brayat turun waris Posong Sagotrah adalah upaya menelusuri Pepunden Cikal Bakal Trah yang menurunkan 10 putra/putri yang dikenal oleh Turun Waris saat ini (2022).
Penelusuran secara visual berupa dokumen, penuturan primer dari Sesepuh Trah dan Situs Petilasan yang mengindikasikan keberadaan sosok aslinya juga belum diketemukan karena sesepuh yang mengenali silsilah sudah tidak ada lagi. Oleh karenanya, penelusuran dilakukan menggunakan logika alternatif antara lain :
(1) Mengumpulkan penuturan, kisah cerita yang pernah didengar oleh beberapa ahli waris yang bisa dipertanggungjawabkan;
(2) Mengunjungi situs petilasan dan
(3) Menelusuri lewat metafisik "kekuatan ilmu olah batin" kemampuan supranatural dari beberapa ahli waris yang menggeluti bidang tersebut yang secara kebetulan saat ini (2022) ada yang mewarisinya.
Adapun tujuan penelusuran Silsilah Sodongso adalah untuk mencari titik terang siapa sebenarnya Sosok Sodongso. Tujuan lebih jauh adalah untuk memberikan pencerahan kepada generasi turun waris Tokoh Sodongso bahwa yang bersangkutan mengetahui silsilah Sang Tokoh secara lebih (credible) terpercaya, jauh dari tujuan mencari pengakuan (jw : ngaku-ngaku) sebagai keturunan Darah Biru.
Penelusuran Bukti-bukti Penuturan Otentik :
Mengumpulkan bukti-bukti penuturan autentik kisah-kisah yang diceritakan Pinisepuh dan Turun Waris yang mendapatkan informasi metafisik dari seorang ahli supranatural "linuwih".
Sosok Sodongso mempunyai 10 (sepuluh) anak dan masih terjaga hubungan silaturahminya hingga saat ini. Kesepuluh anak Kabuyutan tersebut adalah sbb :
1. Kartowirjo (Gangsan)
2. Djojo (Bendan)
3. Kartorejo (Butuh kulon)
4. Kartodirjo (Posong)
5. Kartodurjo (Butuh kulon)
6. Pm (Popongan)
7. Pm (Mawungan)
8. Niti (Plalangan)
9. Pawiro (Gadingsari)
10.Kartodimedjo (Posong)
Catatan Penuturan Turun Waris sbb :
Tahun 2022, turun waris dari 10 (sepuluh) kabuyutan tersebut di atas masih memelihara tali silaturtahmi walaupun belum secara lengkap dan intensif melakukan acara-acara keakraban, namun sudah cukup bagus terselenggara khususnya untuk yang berdomisili dai Jakarta dan sekitarnya. Namun demikian dari sekian turun waris kesepuluh kabuyutan belum ada yang tahu pasti siapa Pepunden Cikal Bakal yang menurunkan kesepuluh Sosok Kabuyutan tersebut di atas, namun upaya untuk mencari dan menemukan melalui berbagai cara semakin lama semakin menemukan titik terang.
Tahun 1970an Mbah Urip Muljodikromo (kakaknya kakek saya Walijo Ronoredjo) menceritakan bahwa jaman dia kecil sering mendengarkan kisah cerita-cerita ayahnya Ranudikromo (asal Melati - Sleman, Yogyakarta), adanya keakraban Mbah Sodongso dengan adik kerabatnya Kuncen Kyai Kasan Iman dan Mbah Urip sering diajak Sebo ke Keraton Mataram Jogja dan Solo.
Tahun 2003 Mbah Slamet Sahli (Dampit) adik kandungnya nenek saya Yung Irah menceritakan bahwa Pepunden Posong Sagotrah bernama Sodongso atau Eyang Sodong adalah sosok yang sangat sakti, memiliki ilmu Pancasona yang tidak mati jika menyentuh bumi dan berumur sangat panjang dari tahun 1785an seumuran Pangeran Diponegoro meninggal awal tahun 1900an. Eyang Sodong atau Mbah Sodongso sangat tidak suka kepada Pemerintah Belanda sebagai dampak dari Perjanjian Giyanti dan penangkapan P. Diponegoro di Karesidenan Kedu - Magelang.
Sodongso adalah Aktor peristiwa heroik pada pembakaran Kantor Pusat Pemerintahan Belanda di Semarang yang dikenal sebagai Gedong Papak, Pasar Johar - Semarang. Gedung tersebut penjagaannya super ketat, namun dengan waskithaning ngelmu kanuragan yang dimilikinya, beliau bisa masuk, membakar gedung dan keluar gedung tanpa diketahui oleh Security yang berjaga di depan pintu masuk kantor.
Cerita dari Mbak Budi Bekasi (nenek asli Gondang, lahir di Lampung, domisili di Jakarta, 2022), bahwa nenek buyutnya sering menuturkan tentang Sodongso, tetapi ybs tidak begitu faham maksud dan tujuannya cerita tersebut, karena belum tahu siapa sebenarnya Tokoh Sodongso kaitannya dengan turun waris yang dikenal sekarang.
Penuturan Mbah Partodikromo (1974) dan Mbah Sarwadi (2019), bahwa kakeknya adalah masih Kerabat Mataram yang bernama Mbah Sodongso yang "mlesit" ke daerah Sawangan - Magelang pasca ditangkapnya P. Diponegoro di Kantro Karesidenan Kedu di Magelang tahun 1830. Namun selama hidupnya tidak pernah menyebutkan nama aslinya.
Catatan Wikipedia tertulis satu dari 24 (duapuluh empat) Istri Selir adalah BRAy. Puspitalangen, melahirkan anak bergelar Bendara Pangeran Harya
Hadinegara (BPH Hadinegara). Ia bersama adiknya membantu Pangeran Dipanegara memimpin peperangan sebagai senopati melawan Belanda. Dalam penyamarannya di daerah Sawangan - Magelang pasca penangkapan P. Diponegoro, beliau bersama adiknya menamakan dirinya sebagai Kyai Kasan Iman tinggal di Kuncen - Mangunsari dan adiknya Kyai Jati Teken di Margowangsan - Sawangan. Dua bersaudara kerabat P. Diponegoro ini menjalani kehidupan sehari-hari sebagai petani dan untuk menjalin kekerabatan dengan Keluarga Mataram, pada waktu-waktu tertentu mengajak keluarganya "sebo" silaturahmi ke Ngarso Dalem di Yogyakarta.
Penelusuran Fisik Situs Petilasan
Lokasi yang dikunjungi adalah situs-situs di Pesarean Mudal Kulon, Pesarean Mudal Wetan, Kuncen, Gadingsari, Puncak Gunung Kuli, Pesarean Lor Pesarean Kidul Margowangsan.
Pada saat penelusuran Petilasan di Pesarean Kuncen, dijelaskan oleh Pengelola Situs petilasan yaitu Bapak Ibrahim asal Wonolobo (Juni 2021) dijelaskan tentang penemuan petilasan, proses penggalangan Turun Waris, penelusuran ke Arsip Keraton Mataram Yogyakarta. Dalam penuturannya, Sosok Kyai Kasan Iman adalah seorang Tokoh Senopati Mataram putra Hamengu Buwana III adik Pangeran Diponegoro lain Ibu. Pada masa pelariannya ke Dsn Kuncen, beliau menjadi warga kampung menyamar dengan nama samaran Kyai Kasan Iman.
Arsip Keraton Yogyakarta Hadiningrat mendapatkan nama aslinya bahwa Kyai Kasan Iman adalah Bendara Raden Mas (BRM) Somawijoyo yang lahir dari BRAy. Puspitalangen dan bergelar Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Hadinegoro alias Diponido, alias Suryo Ing Ngalogo. Kemudian petilasan Kyai Kasan Iman yang berupa batu sederhana diperbaiki dan diresmikan oleh KRT Hastonegoro Bupati Puroloyo Kotagede & Imogiri Karaton Ngayogjokarto di Dusun Kuncen, Desa Mangunsari, Kec. Sawangan, Kab. Magelang pada tanggal 26 November 2006.
Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan Catatan Wikipedia yang menjelaskan Selir dan anak-anak Hamengku Buwana III.
Dalam kisah penuturan yang diwariskan secara turun-temurun oleh beberapa sesepuh Ahli Waris Sodongso , Kyai Kasan Iman adalah kakak kandung Sodongso.
Penelusuran Situs di Pesarean Kulon Dsn Mudal ditemukan Nisan R. Djojonegoro yang dipercaya oleh ahli warisnya sebagai Saudara lain Ibu dengan Pangeran Diponegoro. Namun ahli warisnya belum menemukan bukti tertulis atau hasil penelusuran dari Keraton Mataram Yogyakarta Hadiningrat dan mungkin tidak menginginkan adanya Pengakuan Resmi Keraton Mataram untuk menjaga keakraban di internal kerabat R. Djojonegoro dan dengan masyarakat pada umumnya.
Hasil penelusuran Situs ke Puncak Gunung Kuli ditemukan petilasan yang dipercaya sebagai makam Pangeran Dipokusumo yang mungkin juga merupakan salah satu dari 9 (sembilan) Dipo saudara dan kerabat Pangerang Diponegoro. Di petilasan ini tidak ada petunjuk tertulis atau penuturan dari Sesepuh setempat tentang kepastian nama Tokoh lain selain Dipokusumo. Dimungkinkan yang disemayamkan di Puncak Gunung Kuli adalah Tokoh-tokoh Sentono Agung sebelum Perjanjian Giyanti Tahun 1775.
Penelusuran di Pesarean Lor tepatnya di pojok Timur Selatan terdapat petilasan yang dibatasi dengan batu yang merupakan kawasan makam keluarga yaitu Mbah Kartowirjo, Mbah Selar, Mbah Isah Martoredjo, Mbah Supotaruno, dll. Nisan di tempat itu tidak ada yang mewah, tidak ada tanda-tanda petilasan seorang Tokoh yang diagung-agungkan. Yang ada adalah di lokasi tersebut ahli warisnya terlihat rajin berziarah yang ditandai dengan areal yang selalu bersih dan bertabur bunga-bunga layu di atas nisannya. Disitulah kira-kira Mbah Sodongso disemayamkan, namun Sesepuh di Dsn Margowangsan bahkan masyarakat sekitarnya tidak ada yang tahu persis Petilasan Sodongso itu, yang mana.
Hasil Penelusuran Metafisik
Ahli Waris Sodongso yang Menggeluti Metafisik Supranatural (2022) sbb :
- Bapa Sepuh Slamet Hari Chandra bin Sutardjo Hardjosusiswo/Parinem (Mbah Guru), Posong yang berdomisili di Semarang
- Paklik Sisworo bin Slamet Sahli, Dampit Mertoyudan yang berdomisili di Bukateja - Purbalingga
- Mbak Sus binti Sastro Rame, Gunung Lemah yang berdomisili di Ungaran
- Bulik Asmoro binti Suharti binti Dalilah bin Pawiro, Gadingsari yang berdomisili di Wanasri - Tirtosari
- Mas Kyai Edy Paryanto bin Suparman, Bulu - Padasoka yang berdomisili di Lenteng Agung - Depok.
- Adapun sosok Supranatural diluar Waris yang pernah mengunjungi Petilasan di Pesarean Lor dan Pesarean Kidul Dsn Margowangsan, Kuncen, Mudal dan yang menjadi Nara Sumber supporting informasi adalah Dimas Aryo - Pacitan yang berdomisili di Tangerang.
Meditasi adalah cara olah batin yang lebih dalam untuk bisa bertemu dengan Seseorang Tokoh, bilamana tokoh tersebut memang sosok yang berilmu tinggi.
Hasil penelusuran Dimas Aryo dari Pacitan yang bersamadi di Rumah Pak Samidi Margowangsan (Juni 2021) ditemui Para Tokoh (Danyang) Pedukuhan Margowangsan, a.l Mbah Sodong (Sodongso) dan Danyang Pedukuhan Margowongsan yang berbentuk Ular ber-Mahkota. Namun, oleh karena bukan ahli waris dan tidak ada komunikasi apapun antara keduanya, maka pertemuan hanya pertemuan tanpa meninggalkan pesan apapun. Dalam alam bawah sadar hanya memperlihatkan ciri berpakaian ala orang kampung memakai penutup kepala "iket", menyimpan kotak dan cupu berisi koin emas yang merupakan harta karun yang masih tersimpan secara gaib sampai saat ini.
Lebih jauh dalam komunikasi tersebut, badan alus Sodongso menjelaskan bahwa selama Perang Diponegoro beliau sebagai Senopati yang memimpin perang di medan laga mempertaruhkan jiwa raganya demi kejayaan bangsa. Tentunya menjadi Senopati sudah barang tentu berbaju tebal dalam makna kejawen keimanan kepada Tuhan YME dan ilmu kanuragan yang mumpuni yang tidak mempan tajamnya peluru dan senjata tajam. Disamping itu dalam menjalankan peperangan sudah barang tentu berbekal juga materi (harta) yang diceritakan bahwa sisa materi tersebut dikasihkan kepada anak-cucunya dan sampai wafatnya masih tersisa cukup banyak dan disimpan secara metafisik sebagai harta karun yang sampai saat ini (2022) masih ada. Barang tersebut suatu saat akan dibagikan kepada turun warisnya. Harta Karun tersebut secara filosofis bisa merupakan sanepa/peribahasa yang berarti bahwa harta akan menjadi hak ahli warisnya manakala ybs menjadi manusia yang bisa mewarisi karakter beliau dalam pengabdiannya kepada masyarakat luas.
Dalam meditasi yang dilakukan Paklik Sisworo tersebut diatas, badan alus sosok Sodongso ngendika bahwa beliau bernama asli Pangeran Wirjo Dipoleksono alias Kyai Jati Teken yang mempunyai pusaka Waringin Sungsang yang digunakan untuk perang bersama P. Diponegoro mengelabuhi Belanda.
Semasa hidupnya Sodongso menjalin komunikasi secara intensif dengan saudaranya di Kuncen yang bernama Kyai Kasan Iman (BPH Hadinegoro) dan (pm Gadingsari) dilaksanakan sebagaimana biasanya.
Salah satu Brayat (Margowangsan) Kartowirjo bin Sodongso :
Bapak Samidi Adisumarto bin Walijo Ronoredjo/Yung Irah binti Setro Saiman bin Karto Wirjo
bin Sodongso (Pangeran Wirjo Dipoleksono)
bin Hamengku Buwono III
bin Hamengku Buwono II
bin Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi)
bin Amangkurat IV
bin Paku Buwana I
bin Amangkurat I (Sunan Tegalarum)
bin Hanyokrokusumo (Sultan Agung)
bin Hanyakrawati
bin Panembahan Senopati
bin Ki Ageng Pemanahan
bin Ki Ageng ngEnis
bin Ki Ageng Selo
bin Ki Getas Pendowo
bin Bondan Kejawan (Dyah Lembu Peteng)
bin BRAWIJAYA Bhre Kertabhumi...(Raja Majapahit terakhir)
Walaupun penelusuran ini sifatnya adalah analisis dari penuturan metafisik yang otektik dan kunjungan bukti fisik situs yang sudah disahkan oleh Arsip Keraton Mataram (2006) oleh Pejabat Keraton Yogyakarta dan diabadikan pada Nisan Kyai Kasan Iman di Pekuburan Kuncen - Gadngsari, Kec. Sawangan, Kab. magelang, Jawa Tengah, dus kebenaran yuridis "keberadaan Sodongso" alias Pangeran Wirjo Dipoleksono sudah terbukti dan diakui oleh Turun Waris Sodongso saat ini.
Sekilas Kelebihan Sosok Sodongso
Beberapa kelebihan Mbah Sodongso yang diceriterakan pada Sesepuh sbb :
- Sejak P. Diponegoro ditipu yg sedianya akan diajak berunding dan yang terjadi adalah ditangkap Belanda di Kantor Karesidenan Kedu, maka Kerabat P. Diponegoro berpencar menyelamatkan diri dari kejaran Belanda. Hal ini tercatat bahwa dalam wawancaranya Belanda dengan P. Diponegoro : "Siapa saudara sekandung P. Diponegoro?" Pangeran menjawab : "saya dan adik dan kakak saya beda ibu ada 9 orang Dipo".
- Hingga Belanda pergi dari Nusantara karena kalah perang melawan Jepang, tidak seorang pun dari 9 Dipo, kecuali P. Diponegoro yang berhasil ditangkap Belanda, karena masing-masing menyamar menjadi rakyat biasa dan memegang kesaktian diatas rata-rata kesaktian manusia, termasuk Diponido (Kyai Kasan Iman), Wiryo Dipoleksono (Kyai Jati Teken alias Sodongso) yang menyingkir ke daerah Sawangan - Kab. Magelang.
- Tahun 1825 - 1925 belum ada Handphone, Mbah Sodongso dan Mbah Kyai Kasan Iman dalam komunikasi dengan menggunakan apa saja yang ada di depannya, mis : mengetuk kursi yang dibarengi dengan mantra, maka 2 (dua) orang bersaudara kemudian bertemu di suatu tempat untuk saling tukar informasi.
- Diceritakan oleh Mbah Slamet Sahli kalau Mbah Sodongso pernah menonton "wayang kulit" di Surabaya, oleh karena masyarakat setempat sangat hormat dengan Tokoh Baladewa, suatu saat Ki Dalang memainkan tokoh tsb. Sebagian besar penonton duduk dan hormat semua. Mbah Sodongso tidak mau duduk, maka dikeroyoklah beliau menggunakan benda tajam oleh massa penonton. Anehnya Mbah Sodongso tidak ada luka sedikit pun dan menjadi terkenal sebagai Wong Sakti dari Magelang.
- Suatu saat Mbah Sodongso bergerilya ke Kantor Pemerintahan Belanda di Semarang yang lebih dikenal "Gedong Papak" di Pasar Johar. Gedung tersebut dijaga oleh Security lengkap dengan senjata api dan alarm karena gedung tersebut menyimpan barang-barang dan naskah berharga. Secara logika sulit orang bisa masuk gedung dan keluar tanpa terdeteksi, namun Mbah Sodongso bisa masuk gedung tanpa diketahui oleh Security dan keluar gedung sekaligus membakar gedung tersebut.
- Mbah Sodongso mempunyai Pusaka Waringin Sungsang dan Ajimat Pancasona. Di usia tuanya Mbah Sodongso mungkin berumur lebih dari 100 tahun dan pada saat mau wafatnya berulang kali setelah jenazah dimandikan hidup kembali.
Demikian sekilas penelusuran Silsilah Sodongso alias Pangeran Wirjo Dipoleksono yang merupakan Saudara Kyai Kasan Iman alias BPH Hadinegoro inggih Pangeran Diponido yang merupakan adik lain Ibu dengan P. Diponegoro. Pangeran-pangeran yang dikenal secara luas sebagai 9 (Sembilan) Dipo ini pasca Perang Diponegoro dikejar oleh Belanda dan memilih hidup di pedesaan menanggalkan semua atribut Darah Ratu namun tetap berjuang mengusir Belanda dengan caranya masing-masing.
Semoga tulisan tersebut diatas dapat bermanfaat khususnya bagi segenap Ahli Waris Sodongso baik yang sudah tercatat dalam Buku Trah maupun yang belum.
Kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun kesempurnaan postingan Blog.
Cungkup Makam Wetan, berumur ratusan tahun Sentono Agung Nyi Suntiaking disemayamkan di sini |
Cungkup Kuno Makam Kidul berumur ratusan tahun Sosok Kyai Margowongso sering menampakkan diri |
Bahan Pustaka
Bahan Bacaan Terkait (dikutip dari Wikipedia), sebagai rujukan asal-usul P. Wirjo Dipoleksono alias Sodongso sebagai anak dari salah satu Selir Sri Sultan Hamengkubuwana III.
Sri Sultan Hamengkubuwana III nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels.
Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta setelah peristiwa pemberontakan Raden Ronggo. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwana II di Cirebon.
Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.
Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja.
Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:
- Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.
- Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja.
- Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.
Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Karena Hamengkubuwana masih berusia 10 tahun, maka Paku Alam I ditunjuk sebagai wali raja.[4] Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.[2]
Permaisuri
- Gusti Kanjeng Ratu
Kencana
putri Kanjeng Raden Tumenggung Sasradiningrat I dan Bendara Raden Ayu Saradiningrat. Ia adalah cucu Hamengkubuwana I dari pihak ibu. - Gusti Kanjeng Ratu Hemas
putri Ki Tumenggung Wirasantika atau Raden Rangga Prawiradirja I, Bupati Madiun. - Gusti Kanjeng Ratu
Wandhan
putri Raden Tumenggung Yudhakusuma dan Bendara Raden Ayu Yudhakusuma. Ia adalah cucu Hamengkubuwana I dari pihak ibu.
Selir (dan lainnya)
- Bendara Raden Ayu Mangkarawati melahirkan P. Diponegoro
- Bendara Raden Ayu Puspitalangen
- Bendara Raden Ayu Kalpikawati
- Bendara Raden Ayu Surtikawati
putri Ki Tumenggung Jayadirja dari Kulon Progo. - Bendara Raden Ayu Panukmawati
- Bendara Raden Ayu Kusumadiningrum
- Bendara Raden Ayu Lesmanawati
- Bendara Raden Ayu Dayapurnama
juga dikenal sebagai Bendara Raden Ayu Ngrayung Asmara - Bendara Raden Ayu Mindarsih
- Bendara Raden Ayu Dewaningrum
- Bendara Raden Ayu Puspawati
- Bendara Raden Ayu Widya
- Bendara Raden Ayu Padmawati
- Bendara Raden Ayu Madarsih
- Bendara Raden Ayu Puspitaningsih
- Bendara Raden Ayu Mulyasari
- Bendara Raden Ayu Puspitasari
- Bendara Raden Ayu Mulyaningsih
- Bendara Raden Ayu Sasmitaningsih
- Bendara Raden Ayu Rangasmara
- Bendara Raden Ayu Murtiningrum
- Bendara Raden Ayu Adiningdia
putri Bendara Pangeran Harya Panular. - Bendara Raden Ayu Adiningsih
- Bendara Raden Ayu Suryaningalogo
Anak
(dan lainnya)
- Bendara Raden Mas
Mustahar/Bendara Raden Mas Antawirya
lahir dari BRAy. Mangkarawati, bergelar Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Ia adalah Pahlawan Nasional RI. - Bendara Raden Mas Samawijaya
lahir dari BRAy. Puspitalangen, bergelar Bendara Pangeran Harya Hadinegara. Ia membantu Pangeran Dipanegara sebagai Patih. - Bendara Pangeran
Harya Surya Brangta
lahir dari BRAy. Kalpikawati, juga bergelar Bendara Pangeran Harya Purbadiningrat. - Bendara Raden Mas Ambiya
lahir dari BRAy. Dayapurnama, bergelar Bendara Pangeran Harya Hadisurya. - Bendara Pangeran Harya Hadisurya II
lahir dari BRAy. Puspawati, juga dikenal sebagai Pangeran Ngah'Abdu'l Rahim. - Bendara Pangeran Harya Suryawijaya
lahir dari BRAy. Widya. - Bendara Raden Mas Gerantul
lahir dari BRAy. Madarsih, bergelar Bendara Pangeran Harya Natabrata dan Bendara Pangeran Harya Suryadipura. Ia dibuang ke Ternate tahun 1849. - Bendara Pangeran Harya Suryadipura II
lahir dari BRAy. Sasmitaningsih. Ia ikut dalam pemberontakan Pangeran Dipanegara. - Gusti Raden Mas Ibnu
Jarot
lahir dari GKR. Kencana, naik takhta sebagai Hamengkubuwana IV. - Bendara Pangeran Harya Suryadi
lahir dari BRAy. Rangasmara. - Bendara Pangeran Harya Tepasana
lahir dari BRAy. Mulyaningsih. - Bendara Raden Ajeng Murtinah
lahir dari BRAy. Surtikawati. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Dhanudiningrat, cucu Hamengkubuwana I dari pihak ibu. - Bendara Raden Ayu Wiranegara
lahir dari GKR. Kencana. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Wiranegara, putra Raden Tumenggung Jayaningrat, Bupati Rename.
Bacaan
- M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
- Fredy Heryanto. 2007. Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Sumber :
- Wikipedia, Silsilah Raja-raja Jawa, 2022
- Mbah Urip, Margowangsan (sumber penuturan, 1970)
- Mbah Slamet Sahli, Dampit Mertoyudan (sumber info penuturan, 2003)
- Mbah Sarwadi, Jakarta (sumber info penuturan, 2019)
- Pak Samidi Adisumarto, Margowangsan (sumber info penuturan, 1970 - 2021)
- Pakde Turmudi, Matgowangsan (sumber penuturan, 2012)
- Paklik Sisworo bin Slamet Sahli, Bukateja (sumber info metafisik, 2022)
- Mbak Sus binti Sastro Rame, Ungaran (sumber info metafisik, 2021)
- Dimas Aryo, Pacitan yg berkunjung ke Margowangsan (sumber info metafisik, 2022)
- Mas Bitri Susilo, Indramayu (sumber info penuturan berdasarkan metafisik seorang Kyai, 2022)
- Mbak Budi Bekasi - Lampung (sumber info penuturan, 2022)
- Pak Ibrahim, Wonolobo (sumber info penuturan dan info Situs Kyai Kasan Iman alias BPH Hadinegoro, 2022)
Bagan Silsilah Sodongso (P. Wirjo Dipoleksono)