Gunung Merbabu berada di perbatasan Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Salatiga. Nama Merbabu sendiri berasal dari kata "maharu = meru" (gunung) dan "abu" (abu) yang berarti gunung yang berwarna abu-abu karena pada saat meletus seluruh permukaan tanahnya tertutup oleh material abu vulkanik dan berwarna abu-abu.
Asal usul nama Merbabu, terdapat versi yang beredar di kalangan Keraton Mataram. Konon, di bumi telah berdiri beberapa kerajaan yang saling berperang. Salah satu kerajaan itu, yakni Mamenang, merupakan kerajaan pemenangnya. Kerajaan itu berada di bawah pimpinan Maharaja Kusumawicitra.
Waktu itu Resi Sengkala atau Jaka Sengkala atau Jitsaka atau umum menyebutnya Ajisaka — telah memberikan nama-nama gunung di seluruh Jawa. Sebelum datang ke Pulau Jawa, sang resi adalah raja yang bertahta di Kerajaan Sumatri. Karena kemenangan Maharaja Kusumawicitra itu, maka segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya diganti namanya disesuaikan dengan kebudayaan Mamenang. Nama Gunung Candrageni, yang semua diberi nama Ajisaka, lantas Kusumawicitra menggantinya menjadi Gunung Merapi. Begitu pula dengan Gunung Candramuka, diubah menjadi "Gunung Merbabu". Sehingga kita mengenal nama Gunung Merapi dan Merbabu.
Dalam naskah-naskah masa pra-Islam ada seorang sakti dari tataran Sunda bernama Bujangga Manik yang seorang pengelana yang hidup pada tahun 1500-an dan pernah singgah dan membuat pertapaan di lereng Merbabu. Bujangga Manik menyebut Gunung Merbabu sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Perjalanan Bujangga Manik di lereng G. Merbabu tecatat dalam naskah catatan Belanda, namun perlu dilakukan konfirmasi dan penelitian lebih lanjut (Rsi Hindu-Sunda karya KRT. Kusumotanoyo yang dimuat dalam buku Gema Yubileum HIK, Yogyakarta, 1987).
Gunung ini terletak di wilayah Magelang dan Boyolali dengan puncak yang paling tinggi 3142 m dpl. Puncak Gn.Merbabu dapat ditempuh dari 4 jalur yaitu Cunthel, Thekelan (8 jam), Wekas (6 jam) atau dari Selo (6 jam). Pemandangan gunung merbabu merupakan selah satu yang terindah di tanah jawa sehingga banyak orang yang mengunjunginya.
Gunung ini di kenal memiliki 7 buah puncak dengan 2 puncak tertinggi yaitu puncak Syarif (3119 mdpl) dan Puncak Trianggulasi (3142 mdpl). Lima (5) puncak lainya adalah Watugubuk, Watutulis, Gegersapi, Ondorante dan Kentengsongo. Gunung ini juga memiliki 5 buah kawah yaitu kawah Condrodimuko, kawah Kombang, Kendang, Rebab, dan kawah Sambernyowo.
Diyakini oleh (sebagian) warga masyarakat setempat bahwa Puncak Watugubuk atau batu dangau adalah gapura menuju alam kerajaan setan.
Puncak gunung Merbabu berada pada ketinggian 3.145 meter di atas permukaan air laut. Menurut catatan Geologi, gunung ini pernah meletus pada tahun 1560, 1570 dan 1797 bersamaan dengan awal penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijogo ke beberapa daerah di Jawa Tengah termasuk di kawasan lereng Gunung Merbabu. Indikasi dakwah Kanjeng Sunan di kawasan ini dapat dikenali dengan legenda yang berkembang di masyarakat setempat yang lebih dikenal dengan "Mesjid Tiban" yang diyakini masyarakat adanya mesjid yang terjadi dengan seketika tatkala Kanjeng Sunan berdakwah di lokasi itu. Salah satu contoh mesjid tiban adalah bangunan mesjid di Dusun Margowangsan dan Dusun Kebo Kuning, Desa/Kec. Sawangan. Menurut ceritera pinisepuh, terbangunnya kedua bangunan masjid tersebut berbarengan dengan munculnya legenda "makhluk astral" berupa ular naga yang disebut Kyai Margowongso dan kerbau bule disebut Kyai Kebo Kuning. Diyakini oleh warga setempat bahwa kedua makhluk tersebut merupakan keajaiban yang ditinggalkan Sunan Kalijogo di kawasan itu pasca dakwah sekitar tahun 1500-an, namun tidak diketahui tahunnya apakah berbarengan atau tidak dengan datangnya pengembaraan Tokoh Spiritual Islam dari Tanah Pasundan bernama Bujangga Manik ke kawasan lereng Merbabu.
Keajaiban bangunan diperkuat dengan kekuatan mistis pelengkap peralatan masjid seperti "soko guru masjid", "kenthongan" dan "bedhug" yang dipercaya sebagai hasil karya Kanjeng Sunan Kalijogo. Fisik kenthongan asli akhirnya hilang tidak diketahui entah kemana, sedangkan Soko Guru asli masih terlihat pada saat renovasi tahun 1970-an. Keangkeran masjid dan lingkungannya masjid dibarengi dengan mitos penunggu lingkungan kedua Dusun tersebut dengan munculnya Kyai Kebokuning dalam bentuk kerbau dan Kyai Margowongso dalam bentuk ular raksasa yang menampakkan diri pada waktu-waktu tertentu.
Keajaiban bangunan diperkuat dengan kekuatan mistis pelengkap peralatan masjid seperti "soko guru masjid", "kenthongan" dan "bedhug" yang dipercaya sebagai hasil karya Kanjeng Sunan Kalijogo. Fisik kenthongan asli akhirnya hilang tidak diketahui entah kemana, sedangkan Soko Guru asli masih terlihat pada saat renovasi tahun 1970-an. Keangkeran masjid dan lingkungannya masjid dibarengi dengan mitos penunggu lingkungan kedua Dusun tersebut dengan munculnya Kyai Kebokuning dalam bentuk kerbau dan Kyai Margowongso dalam bentuk ular raksasa yang menampakkan diri pada waktu-waktu tertentu.
Dalam catatan sejarah Babad Tanah Jawa, daerah lereng Merbabu adalah ajang peperangan dalam konflik politik internal Kerajaan Mataram dan meninggalkan jejak berupa peninggalan pusaka-pusaka leluhur yang dibawa oleh para Laskar yang sebagian kemudian bermukim di Lereng Merbabu pasca perang saudara. Karakter heroic mantan laskar tersebut masih meninggalkan jejak hingga saat ini dengan indikasi pola perilaku keturunan para Laskar yang berkecenderungan untuk belajar ilmu kanuragan guna mempertahankan kehidupan (survival) dan kesempurnaan hidup bathiniahnya. Konflik politik kerajaan mataram tahun 1500-an berakhir dengan Perjanjian Giyanti tahun 1779 yang ditandatangani oleh pihak Kompeni dan Mataram di Desa Giyanti berlanjut pada Perang Diponegoro tahun 1825 - 1830. Tercatat ada sepasang sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro a.l
- Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Hadinegoro yaitu Senopati Perang Diponegoro. BPH Hadinegoro alias Pangeran Sumowijoyo alias Pangeran Suryo Ing Ngalogo alias Diponido yang dalam penyamarannya hidup di Pedukuhan Kuncen - Mangunsari - Kec. Sawangan - Kab. Magelang pasca Perang Diponegoro 1830 sebagai Kyai Kasan Iman.
- Pangeran Wirjo Dipoleksono alias Kyai Jati Teken alias Sodongso yang merupakan adik BPH Hadinegoro yang hidup di Pedukuhan Margowangsan, Desa/Kecamatan Sawangan - Kab. Magelang. Kakak beradik diangkat Senopati oleh Pangeran Diponegoro dalam memimpin pemerontakan melawan Pemerintah Belanda. Baik BPH Hadinegoro maupun P.Wirjo Dipoleksono lahir dari Hamengku Buwono III dengan Selir BRAy Puspitolangen.
- Pangeran Dirgonegoro alias P. Djojonegoro dan Nyai Suntiaking juga bermukim di Pedukuhan Margowangsan - Sawangan - Magelang hingga meninggal dan jasadnya dikubur di pekuburan Mudal.
Tipu muslihat Belanda tidak akan dilupakan oleh anak cucu laskar Pangeran bersama masyarakat sekitarnya. Pasca tertangkapnya Pangeran dengan tipu muslihat dengan label "perundingan", maka bermunculan tokoh-tokoh sakti dari Lereng Merbabu yang turut andil dalam Perang Gerilya dalam merebut kemerdekaan RI. Masyarakat lereng Merbabu dikenal sebagai ksatria gagah berani di medan perang. Situasi peperangan dalam kurun waktu yang cukup lama telah membentuk kepribadian sifat heroisme masyarakat setempat dengan memanifestasikan dalam bentuk kesenian tradisional yang bernuansa peperangan dengan berbagai versi misalnya : Jathilan, Jalantur, Cakalele, Tari Campur, Soreng, dls.
Dilihat dari anthropologi linguistik, warga masyarakat Lereng Merbabu adalah komunitas yang memiliki intonasi Bahasa Jawa khas dan tidak ditemukan di daerah lain. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Jawa Ngoko dengan kosa kata yang sedikit berbeda dengan kosa kata masyarakat di daerah lain.
Dari sisi keyakinan, masyarakat sangat faham untuk membedakan antara keberadaan kekuatan alam dengan aqidah agama yang dianut. Dalam hal mana dilakukan untuk kelestarian budaya dan hal mana harus meluruskan aqidah beragama. Sebagian besar warga masih melakukan ritual-ritual : Wiwit pada awal penanaman padi dan palawija, Kirab 1 Sura, Saparan, Nyadran menjelang bulan Ramadhon, selamatan 3-hari, 7 hari, 100 hari dan 1000 hari pasca kematian seseorang.
Di wilayah lereng Merbabu masih dikenal adanya anak yang lahir dengan rambut gembel (gimbal) yang diyakini sebagai penjelmaan Bathara Kala. Jika rambut sudah panjang dan sudah waktunya dipotong, maka pemotongan rambut harus dilakukan "ruwat" atau membuang "sukerto" agar tidak menjadi malapetaka bagi dirinya maupun bagi masyarakat di sekitarnya. Adanya keyakinan bahwa G. Merbabu ditunggu oleh Dahyang Tokoh Pewayangan Bagong yang umurnya lebih tua. Bilamana G. Merapi menyemburkan lava tidak mungkin akan mengarah ke G. Merbabu. Oleh karenanya, wilayah G. Merbabu digunakan untuk daerah pengungsian, manakala terjadi letusan G. Merapi.
Kepercayaan tersebut diatas adalah proses sejarah yang harus dilakoni oleh generasi pada zamannya. Pada tahun 1500 - 1945 ada kecenderungan untuk mencari jati diri yang bisa menyelamatkan dirinya dari ancaman fisik penjajah, sehingga tidak sedikit warga Lereng Merbabu yang demen berguru olah kanuragan (kesaktian fisik). Generasi ini bermunculan tokoh-tokoh sakti yang notabene adalah sisa-sisa Laskar Mataram dan Pengikut P. Diponegoro yang memiliki militansi tinggi dalam memerangi keberadaan Kompeni yang bermarkas di Magelang. Kelompok warga masyarakat ini menamakan diri sebagai "kenthol sawangan" yang bermakna jiwa ksatria laki-laki dari daerah Sawangan dan sekitarnya.
Generasi tahun 1945 - 1960 adalah masa transisional dari dominasi popularitas dari tingkat kesaktian fisik menjadi kecenderungan peningkatan pendidikan. Pada zaman ini bermunculan Pejabat-pejabat yang populer di Ibukota Republik dan di Ibukota abupaten. Generasi tahun 1960 hingga saat ini adalah generasi kompetitif. Setiap warga dengan sumberdaya yang mereka miliki bersaing tanpa mengenal batas wilayah dan waktu.
Fenomena kompetisi dengan pemanfaatan sumberdaya telah dan sedang terjadi dengan pengumpulan harta kekayaan di satu pihak dan pengurasan harta kekayaan dilain fihak. "wolak waliking jaman" orang kaya jadi miskin dan orang miskin jadi kaya adalah resiko perubahan jaman yang dilakoni oleh generasi kompetitif. Fenomena demikian benar-benar terjadi di wilayah ini.
Sebagian warga masih ada yang menjalankan adat kejawen sebagai bentuk manifestasi dalam mempertahankan adat budaya lokal tanpa merusak aqidah. Banyak pemuka agama (Kyai) generasi tua yang berguru (nyantri) di Pondok-pondok Pesantren di Jawa Timur.
tepatnya tgl.22 Februari 2000 berdiri Pondok Pesantren Modern Darul Qiyam Gontor-6 di Dusun Gadingsari atas prakarsa Tokoh Masyarakat setempat yang juga mantan Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI (Bpk. K.H. Kafrawi) dan istrinya (Ibu Qayyumi) di Dusun Gadingsari dengan nama Pondok Modern Gontor VI Darul Qiyam. Dalam proses belajar mengajar Ponpes ini mengacu kepada kurikulum Ponpes Modern Darusalam Gontor - Ponorogo. Guru Ponpes berasal dari senior pondok yang bersifat sukarela (tidak digaji), Santri berasal dari warga setempat dan seluruh penjuru Tanah Air. Uang pemondokan hanya sekedar untuk uang makan sebulan cukup Rp.450.000,-/bln (2011). Dengan berdirinya Pondok Pesantren ini maka semakin harum nama warga Sawangan - Lereng Merbabu yang dulu lebih dikenal dengan atribut Kaum Santri Abangan, semakin lama tergantikan dengan generasi Islam modern.
Dari aspek penghidupan, sebagian besar warga masyarakat Lereng Merbabu sebagai Petani lahan kering (tegalan) khususnya di sebelah utara S. Mangu dan sebagian kecil Petani lahan basah (sawah) khususnya wilayah yang mendapat aliran sungai Mangu dan S. Pabelan. Sebagian kecil lainnya berprofesi sebagai Wiraswastawan dan Pegawai Negeri. Dilihat dari karakteristik hubungan timbal balik antar warga, komunikasi dilakukan secara tradisional. Gethok-tular dari satu orang kepada orang lain dalam disseminasi berita, kenthongan, bedug dan pengeras suara masjid-masjid sangat efektif dalam penyebarluasan informasi.
Kearifan Lokal Warga Lereng Merbabu
Jika di Tanah Pasundan ada adat Sunda Wiwitan, di sekitar Kab. Blora dan Pati ada adat "Sedulur Sikep", maka di sekitar Lereng Merbabu ada kearifan lokal khas daerah setempat dengan beberapa perkecualian.
Warga Lereng Merbabu meliputi wilayah Kecamatan Sawangan, Ngablak dan Candimulyo berpenghidupan sebagai petani tanah kering dan sebagian kecil khususnya di wilayah Kec. Sawangan bagian bawah sebagai petani tanah basah (tanah loh) karena mendapat pasokan air dari aliran sungai dari lereng G. Merapi yang. Kondisi tanah dan iklim di Lereng Merbabu berbeda dengan tanah di sekitar Lereng Merapi. Tanah lereng Merbabu latosol merah, subur dengan iklim relatif lebih kering dibandingkan dengan tanah di Lereng Merapi yang sebagian besar grumusol aluvial sangat subur dengan iklim basah.
Aksesibilitas dari perkotaan menuju perkampungan dan antar kampung sudah diperkeras hot-mixed asphalt mulai tahun 1980. Bahkan jalur jalan asphalt sudah menjangkau areal pertanian sampai di perbatasan perkampungan paling atas di daerah Gerdu, Soronalan sampai Wonolelo.
Dari aspek komunikasi, tower repeater jaringan komunikasi sattelite sudah dibangun sampai di Puncak Merbabu, sehingga warga perkampungan sudah terbiasa berhubungan dengan dunia luar dengan menggunakan alat komunikasi Hand Phone, CPU dan Lap Top.
Kondisi kesuburan tanah, iklim, sarana jalan, aksesibilitas, komunikasi berpengaruh terhadap karakter masyarakat setempat. Walaupun perkampungan warga Lereng Merbabu sudah tergolong "open akses", namun dalam hal-hal tertentu tetap ada yang dipertahankan dalam kerangka kelestarian adat budaya dan penghidupan mereka yang menjadi ciri khas melekat sebagai pandangan hidup bermasyarakat. Beberapa hal tsb, a.l
- Tedak Wewaler
Wewaler atau disebut juga "pamali" bukan ajaran agama tetapi adat budaya yang diwariskan secara lisan turun-temurun. Warga setempat sangat menghargai tedak wewaler yang diwariskan oleh para sesepuh dan diyakini sebagai pedoman larangan melakukan sesuatu. Jika wewaler dilanggar maka secara kebetulan atau adanya daya sugesti, yang bersangkutan akan menemui sial.
Beberapa contoh wewaler a.l "aja turu wayah surup / candik ala.." jangan tidur waktu menjelang maghrib, "aja nyapu wayah bengi.." jangan menyapu pada malam hari, "aja clewa-clewo nek omong mundak kedaden" jangan bicara clometan nanti benar-benar terjadi, dll masih bersifat larangan dalam berperilaku.
Dalam kaitannya dengan dorongan semangat menggapai kinerja, beberapa wewaler yang masih banyak dianut adalah adanya : "bangun tidur jangan sampai keduluan ayam mencari makan" yang berarti harus bangun pagi-pagi untuk segera bekerja, "ngupoyo kadidene tumetesing banyu saduwure watu item, ing tembe watu biso bolong", yang berarti berupaya keras setiap hari, secara tekun terus menerus, suatu saat upaya tsb akan kesampaian juga.
Dalam kaitannya dengan dorongan semangat menggapai kinerja, beberapa wewaler yang masih banyak dianut adalah adanya : "bangun tidur jangan sampai keduluan ayam mencari makan" yang berarti harus bangun pagi-pagi untuk segera bekerja, "ngupoyo kadidene tumetesing banyu saduwure watu item, ing tembe watu biso bolong", yang berarti berupaya keras setiap hari, secara tekun terus menerus, suatu saat upaya tsb akan kesampaian juga.
- Semedulur
Semedulur berarti mengakui bahwa semua manusia adalah saudara yang perlu diperlakukan dengan baik tidak memandang siapa dan darimana asalnya. Suasana keakraban antar Warga Lereng Merbabu dan antara Warga dengan orang lain yang belum dikenal (tamu) sangat terbuka. Dalam filosofi bermasyarakat dikenal "mampir mbedang atau ngombe wedang" yang berarti mengajak persaudaraan.
Jika kita masuk perkampungan lewat di depan rumah orang jangan kaget pasti akan diteriaki "tindak pundi mas.., dik, pinarak rumiyin..." (mau kemana mas, dik, singgah dulu. Warga yang memanggil kita pun mencatat dalam hati. Jika saat itu kita terus singgah dan duduk di teras seadanya, maka akan disuguhi minum teh dan makanan yang ada di rumah dan warga mempersilahkan merahabinya sambil bicara tanya jawab sepuasnya, sampai pertamuan selesai. Jika saat itu kita tidak meminum dan makan yang disediakan, warga menilai tidak menghargai jerih payah untuk membuat saduara baru yang berarti telah menolak adat budaya setempat. Akibat perbuatan itu, maka jika kita lewat di depannya, maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah melihat warga menyapa kita atau menyodorkan suguhan.
Persaudaraan antar warga antar perkampungan sangatlah erat. Nama seseorang dan kontribusi terhadap kehidupan warga akan membawa popularitas seseorang. Dari aspek hubungan persaudaraan antar individu, antar famili dan antar perkampungan dilakukan penuh keakraban. Jika seseorang belum dikenal, maka akan mananyakan "sopo bapakmu nang (laki-laki) , nok (perempuan)", yang berarti menanyakan bapaknya siapa. Oleh karenanya, performance seorang bapak sangat menentukan dalam citra bermasyarakat di masyarakat Lereng Merbabu. Citra positif atau negatif sang ayah akan melekat kepada anaknya. Konotasinya, jika seorang anak berprestasi dan memiliki kinerja cemerlang, maka warga akan menyebutnya : "dasar anake bapak A, wis lumrah yen legi rembesing madu" yang berarti sudah wajar seorang anak berprestasi cemerlang karena keturunan dari seorang bapak yang baik. Akan tetapi seorang mendapat konotasi negatif mis : "endah-endah anake Bapak B, yen pancen dasare wingko yo ora mungkin katon kencono" yang artinya penilaian seorang anak bengal dinilai dari kejelekan tabiat seorang bapak.
Dalam hal penelusuran individu di seluruh perkampungan sangat mudah. Setiap orang yang tinggal di wilayah Lereng Merbabu saling mengenal satu sama lain. Jika seseorang masuk ke wilayah Kecamatan Sawangan dan bagian atas Candimulyo, maka begitu menanyakan nama seseorang, maka akan ditunjukkan dimana rumahnya dan keberadaan yang bersangkutan saat itu.
Pada prinsipnya, semedulur adalah fenomena pola tindak-tanduk masyarakat dalam bentuk olah verbal bahkan pengorbanan materi untuk membangun dan memelihara tali slaturahmi yang diyakini akan membawa berkah selama-lamanya.
Pada prinsipnya, semedulur adalah fenomena pola tindak-tanduk masyarakat dalam bentuk olah verbal bahkan pengorbanan materi untuk membangun dan memelihara tali slaturahmi yang diyakini akan membawa berkah selama-lamanya.
- Ngalah Mekalah
Filosofi menghindari perpecahan di dalam tata kehidupan bermasyarakat ini sangat umum di seantero wilayah dimana masyarakat Jawa berada. Sikap kalah mekalah ini adalah bentuk pemaaf yang luar biasa, walaupun sebenarnya bisa melawan secara fisik, namun demi sesuatu manfaat yang lebih besar, maka dengan jiwa besarnya memilih untuk tidak melakukan serangan balik (feedback).
Namun, jangan harap anda mendengarkan kata maaf jika tekanan sudah diluar batas kelayakan dan harga dirinya merasa terinjak. Mereka akan menunjukkan perlawanan baik secara tidak terus terang, kasat mata (mistis)untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar maupun secara fisik jika dianggap dengan cara melawan secara halus sudah tidak berpengaruh terhadap perubahan sikapnya.
Kalah mekalah bisa berubah bentuk menjadi sikap pemberani, jika dibarengi dengan i'tikat pembelaan terhadap kebenaran dalam melawan kenistaan.
- Temen tinemu
Warga masyarakat lereng Merbabu yang penghidupannya bertani di lahan lahan kering (tegalan) dan sebagian di lahan pengairan dikenal sebagai masyarakat yang ulet. Begitu pula yang hidup di sektor non pertanian dikenal sangat teguh memegang amanah. Orangtua dalam menyampaikan pesan kepada anak-anaknya dengan filosofi "sapa temen bakal tinemu, jer basuki mawa bea" yang berarti segala sesuatu keberhasilan harus dibarengi dengan upaya. Temen adalah kekuatan hati memegang komitmen terhadap perjuangan mencapai suatu tujuan luhur.
Alhasil, wasyukurillah berkah dari menghindari pantangan-pantangan moral, memelihara silaturahmi, mengalah atau menghindari konflik dan komitmen "temen" memegang teguh amanat leluhur, maka hingga saat ini warga lereng Merbabu selalu dalam kondisi gemah ripah, titi tentrem dalam lindungan Yang Maha Kuasa, insya allah.
Alhasil, wasyukurillah berkah dari menghindari pantangan-pantangan moral, memelihara silaturahmi, mengalah atau menghindari konflik dan komitmen "temen" memegang teguh amanat leluhur, maka hingga saat ini warga lereng Merbabu selalu dalam kondisi gemah ripah, titi tentrem dalam lindungan Yang Maha Kuasa, insya allah.
Demikian sekelumit tinjauan aspek anthropologi terhadap warga di lingkungan kami warga Lereng Merbabu.
Sumber Pustaka :
- Anonim (2011) Babad Tanah Jawa, http://www.wikipedia.or.org/
- KRT. Kusumotanoyo, 1987, Rsi Hindu-Sunda dimuat dalam buku Gema Yubileum HIK, Yogyakarta.