16 Mei 2011

Si Bolang “Bocah Blang-blangan”


Merdeka...!!! Mandi di Sendang  

Acara TV Trans-7 dengan Judul Si Bolang Bocah Petualang menjadi inspirasi saya untuk menggerakkan jari tangan menulis karena perilaku dan tindakannya benar-benar realita kehidupan anak-anak kampung dan terjadi juga pada pribadi saya dikala masih kecil pada tahun 1970-an. Perkampungan masih asri, kebon-kebon masih rimbun penuh buah-buahan di pekarangan orang. Irigasi dan saluran air jernih dan debit airnya masih relatif besar. Persawahan dengan tanaman padi dan palawija terus menerus bergantian menghiasi lahan di sekitar perkampungan. Masyarakat desa baru segelintir yang menjadi karyawan Pemerintah dan sebagian besar masih bertani. Kehidupan keluarga saya termasuk non pertanian, tetapi suasana pertanian sangat kental karena seluruh warga kampung dipastikan "gemruduk" bilamana tiba saatnya musim penanaman padi yang disebut "wiwit" atau menanam tembakau "wur mbako"  seluruh warga kampung baik yang petani maupun bukan petani ambil bagian dalam kegiatan itu. Kesatuan pendapat dalam bermasyarakat pun relatif homogen dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama (Islam), walaupun bisa disebut tidak terlalu fanatik dengan ajaran ke-Islam-annya. Orangtua dan anak-anak terlihat berkumpul dan bekerja di saat-saat seperti tersebut diatas dan sesampai di rumah pemilik sawah mereka menikmati makan bersama dengan sayur dan lauk yang pasti murah meriah "megono dan tempe besengek" yaitu tempe utuh yang dimasak pakai bumbu kunyit dan ada kuah sedikit, sudah.  Sejarah telah mencatat, kesederhanaan orangtua dan sarana umum untuk bermain anak-anak sangat minimal, mendorong anak-anak mencari permainan sesuai kondisi alam di sekitarnya, yaitu nglayap ke persawahan dan kemana yang dia senang atau blang-blangan mengenali alam dan masyarakat di luar kampungnya. 

Mandi di Grujugan Kali Krasak
Istilah Blang-blangan berarti bermain jauh dari rumah tanpa sepengetahuan orangtua yang bisa ke sawah, ke sungai, empang, kebon tegalan orang. Sudah dipastikan anak-anak di kampungku sekarang sudah tidak demikian karena sudah banyak sarana bermain yang produktif, barang mainan yang mudah dan murah dibeli di toko-toko. Perilaku bocah pada umur belasan tahun di masa kecilku benar-benar liar dan kendali orang tua sangat minimal. Kehidupan anak-anak demikian pada kenyataannya sangat rawan terhadap resiko bahaya baik berupa bahaya kecelakaan jatuh, sakit dalam, sakit perut karena salah makan, bahaya tenggelam di kolam bahkan terlalu rawan terhadap penculikan.

Soul-mate Tenggelam di Blumbang Mesjid
Kehidupan anak kampung Si Bolang benar-benar terjadi pada diri saya tahun 1964 s/d 1971 (umur 5 s/d 12 tahun). Teman akrab saya bernama Sidik (tidak tahu nama sebenarnya), anak Mbah Guru Saljum, adiknya Mas Kelik (Ir. Abdulsyukur) yang sekarang bertugas di Dinas Perkebunan Kaltim. Sidik adalah solu-mate aku yang baik tidak nakal dan mudah akrab dengan siapa saja. Peristiwa kecebur blumbang bukan karena kenakalannya tetapi kurangnya pengawasan orangtua saat itu. Cerita singkatnya, pagi hari saya belum sempat mandi dia sudah datang ke rumah mengajak bermain. Jarak dari rumah dia ke rumah saya tidak jauh sekitar 300 M melewati kolam "blumbang" Mesjid yang cukup luas dan dalam, sekarang sudah ditimbun, posisinya di samping selatan mesjid. Dia sering bermain di rumah saya karena Kakek saya sangat sayang kepada saya, apa saja yang saya inginkan kakek pasti membuatkan dari bahan yang mudah didapat di sekitar rumah (tidak dibeli), seperti halnya : barongan, sepeda roda tiga dari kayu, kuda-kudaan kayu, dll.

Suatu saat dia mengajak bermain keluar rumah karena dia baru saja dibelikan mainan gledhekan yang bisa bunyi “othok-othok”. Kakekku belum sempat membuatkan mainan seperti itu, sehingga sebentar-sebentar gantian memainkan gledhekan tsb. Ok, siang berganti malam, malam berganti siang dan pada saat siang hari baru asyik-asyiknya bermain gledhekan dengan saya di dekat rumah saya, dia berpamitan mau pulang karena hari sudah siang, dia merasa lapar. Dia berjanji akan segera kembali bermain ke rumah saya setelah usai makan.

Innalilahi wainna Ilaihi roji'un, tidak lama berselang kenthongan besar Pak Kebayan ditabuh 8 kali, berarti ada anak kecil meninggal. Berita menggemparkan bahwa Sidik soul-mate aku ditemukan mengambang sudah tidak bernyawa di kolam mesjid. Dia meninggal pada umur ± 5 tahun. Sejak itu kakekku memperingatkan aku untuk tidak bermain jauh-jauh apalagi mendekati kolam atau sungai. Disamping banyak kolam dalam di kampung, di kampungku termasuk masih banyak tempat angker yang sering membawa petaka bagi warganya. Waktu itu ada beberapa kolam untuk memelihara ikan yang kedalamannya membahayakan anak-anak kecil, yaitu (1) kolam mesjid, (2) kolam mbah Carik Kardanun dan (3) kolam mbah Guru Saljum. Selamat jalan soul-mate Sidik.

Bertambah Umur Soul-mate Berganti
Umur semakin bertambah, keingingan untuk mengetahui dunia luar semakin menggelora. Teman sepantaran yang dekat dengan rumah saya adalah : (1) Man, adiknya Sunarto cucu Mbah Rajak dan (2) Kenyot, anaknya Mbah Semi masih cucu Mbah Rajak juga, adik Mas Yanto.
Pertemanan banyak bermain outdoor, seperti adu wayang, main kelereng di depan rumah Si Man. Man, anaknya mudah diajak bicara dan bisa mengerti teman bermainnya. Kalau Kenyot anaknya agak minderan tetapi mudah marah jika tersinggung. Kasihan anak tsb karena di pahanya terdapat bekas luka kena solet panas. Konon ceritanya, Mbah Rajak yang sehari-harinya berprofesi memproduksi gorengan : gethuk goreng, slondhokan, tape, tempe goreng, kemplang, dll. Suatu pagi hari Mbah Rajak kakung sedang sibuk menggoreng, Si Kenyot datang merengek-rengek minta sesuatu kepada Mbah-nya. Kontan saja entah ada setan lewat dari mana, solet (alat untuk mengaduk gorengan) dipukulkan ke paha Kenyot dan terjadi luka, setelah sembuh bekas pukulan solet tidak hilang hingga anak tumbuh menjadi besar.
Sesekali mereka mengajak bermain ke sawah di sbelah timur Dsn. Klorengan.
Suatu saat Si Man bersama bapak dan ibunya transmigrasi ke Sumatera, maka selesailah pertemanan saya dengan teman dekat sepantaran.


Soul-mate berganti dengan teman yang sedikit lebih tua 2 tahun diatas umur saya yaitu Mas To anak Mbah Karjo anak Pak Kebayan. Dari teman baru ini saya mendapat masukan cukup banyak tentang etika bergaul dan menghargai keluarga orang lain. Mas To di besarkan dari seorang ayah Militer dengan kedisiplinan tinggi, tetapi kenakalan anak tetap melekat pada dirinya dalam dunia permainan anak-anak. Sekarang dia bekerja sebagai Polisi dan menamatkan Sarjana Hukum pada masa tugasnya di Solo. Dari dia lah banyak didapat inisiatif bermain yang berbeda dari permainan teman sepantaran, seperti membuat gledekan dari batang pepaya, mobil-mobilan dari kulit jeruk, sebulan karet, membuat batang "benthik", layang-layang dan bermain gundu. Sesekali dia mengajari aku menggambar wayang. Pada awalnya saya menggambar "ngeblat" wayang yang dibeli di jualan mainan, lama-kelamaan bisa menggambar sendiri, meniru gambar wayang yang sering digunakan untuk adu gambar wayang. 

 
Soul-mate aku Digigit Anjing
Sekali waktu ngalyap ke sawah bengkok sebelah barat ke Dsn. Bendan yang digarap Mbah Karjo, setelah selesai bermain di sawah terus "nglurug" bermain gundhu di pelataran Mbah Gendhuk (nenek Pak Santoso), bersama Mas Pras, Mas Yono, Mas Budi yang piawai bermain gundhu. Pulangnya lewat di depan rumah Pak Suwardi. Sudah dikenal orang banyak bahwa beliau memelihara anjing yang galak, Boy namanya. Pada saat lewat jalan dari arah Mbah Sapar menuju rumah Mbah Mah, di depan rumah Pak Wardi sudah menunggu Boy yang dalam posisi mendekam. Pada awalnya tidak curiga karena si Boy sekedar jalan mendekati kami berdua. Setelah dekat, si Boy langsung menerkam paha Mas To dan menggigit pahanya. Mas To memegang paha yang digigit dan menangis lari pulang ke rumah. Si Boy langsung dikerangkeng menghindari amuk massa. Pak Wardi mendatangi Mbah Karjo untuk mencari solusi pertanggungjawabannya. Namun, si Boy tetap diincar untuk dimusnahkan karena sudah menggigit orang. Tidak lama berselang, si Boy terlihat mati diracun orang. Mas To harus menjalani suntik "anti rabies" sampai berbulan-bulan kedepan. Pertemanan dengan Mas To berlanjut sampai umur dewasa, walaupun intensitas dan pola pertemanan tidak seperti pada saat masih anak-anak. 


Berteman dengan Teman yang Beda Umurnya Agak Jauh Diatas Umur Saya
Menjelang umur 7  tahun saya tidak mempunyai teman sepantaran yang dekat dengan rumah saya. Kakekku sudah meninggal pada saat saya berumur 6 tahun, sehingga tidak ada lagi yang saya anggap dekat dengan kehidupanku. Om saya sudah tingkat SMA yang kadang-kaang menjadi teman bicara seperlunya karena alam pikirannya sudah jauh berbeda. Hanya tetanggaku saja yang sesekali dapat aku samper sekedar mengeluarkan keinginan bermain. Namun, perbedaan usia yang cukup jauh dan kebiasaan yang kurang baik dalam keseharian hidup dia, membuat pola kehidupan menjadi liar. Pada umur itu saya mengenal “memet”, mencari ikan dengan cara mengarahkan aliran air “kalen” ke sawah orang, kemudian saluran air yang mampet dikeringkan. Kadangkala jika tidak mendapatkan ikan, melirik kolam orang untuk dipancing. Walaupun jarang mendapatkan ikan tetapi kegiatan tsb cukup berbahaya jika dipathuk ular berbisa.
Kegiatan bahaya pun kadang dilakukan dengan mandi di grujugan Tri Dono Tirto yang membendung Kali Krasak dengan melompat dari pelataran tanggul dam diatas "belik" sampai ke dasar air bendungan yang tingginya sekitar 8 M. Kadang sambil mandi di kali, sekaligus mencari ikan kecil (pethul), ucheng, atau udang sungai dan cukup dijemur diatas batu langsung dimakan.
Kadang juga dari rumah membawa garam kemudian ngeluyur ke kebon orang mencari buah “mlandingan” muda “kepek” dan jika ketemu, kepek digulung dikasih garam sedikit kemudian dimakan di tempat, ya ampuun, nggragasnya waktu itu.
Sekali-sekali mencari "terikan" yaitu ubi rambat yang tertinggal setelah dipanen yang punya sawah. Terikan sering diburu anak-anak karena rasanya lebih manis setelah ebberapa hari batang ubi terpotong dan mulai tumbuh tunas. Begitu mendapat terikan langsung dicuci dan dimakan mentah, kriuk..kriukk, "nggragas" rakus beneran kalau begini. 
Kadang diajak mencari “canggal” kayu kering, yang harus memanjat pohon nangka atau pohon lain di kebon orang, walaupun di rumah saya sudah cukup kayu yang dibuat oleh kakek dan ayahku. Kalau ketahuan saya memanjat pohon pasti kena marah.
Suatu saat pernah diajak memanjat buah duku yang mulai menguning milik tetangga di kebon Mbah Tekad yang sekarang menjadi pekarangannya Mas Sutrisno anak Mbokde Yem. Belum dapat buahnya sudah ketahuan mbah Tekad dan "nglarut" akhirnya dada saya babak belur. Memanjat rame-rame mengambil buah "wuni" yang warnanya merah menyala memenuhi seluruh tangkai di pekarangan Mbah Tarjimat, ini memang diperbolehkan karena buah tersebut tidak laku dijual. Cabang pohon patah, tetapi sempat nglarut cepat sehingga tidak sampai terjatuh.


Ajaran Kebenaran Pertama Kali
Suatu ketika dengan kebiasaan jelek bertemen dengan teman, aku mencoba jalan sendiri. Dunia anak-anak kampung tetap tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Saya melihat buah jagung di sawah dekat rumah. Saya menganggap perbuatan sehari-hari dengan temanku adalah tindakan wajar. Tidak tahu kalau mengambil jagung orang adalah tindakan melanggar aturan, maka jagung saya bawa ke rumah, rencananya akan langsung dibakar didepan “luweng” perapian. Pas bapak saya duduk disitu, bapak bilang : “itu jagung dari mana?” Saya jawab saya ambil di sawah dekat rumah. Bapak menjelaskan, kalau perbuatan itu namanya mencuri barang milik orang lain. Itu tindakan melanggar aturan, bisa jadi kalau ketahuan yang punya sawah ditangkap dan dilaporkan kepada Pak Kebayan. Bapak bilang : "Sudah, jangan diulangi tindakan itu salah". Kalau ingin sesuatu, bilang kepada orangtua.
 
Saya Terserang Typhus 
Kemungkinan dari perilaku makan selama advonturir blang-blangan tak karuan, kebiasaan makan tidak mengenal kesehatan, pada usia 7 (tujuh) tahun saya terserang Typhus dan harus meringkuk di rumah selama 3 (tiga) bulan. Fasilitas dan Tenaga Medis masih minimal. Kalau berobat ke Klinik disana Manteri Kesehatan hanya bilang, karena badan panas, dia bilang "Malaria" maka diberi obat malaria, sehingga penyakit tidak sembuh. Saya akan dibawa ke RSU Muntilan tidak dana untuk berobat, terbatas sehingga hanya sekali saja berobat. Akhirnya Mbah Manteri Sutrisno Bengan Lor (ayahnya Bu Tun Bendan) datang dan memberi saran, agar hati-hati makan, setiap makan hanya nasi putih dengan lauk kuning telor. Diet ini saya jalani hampir 2 bulan lamanya.
Pada puncaknya penyakit menyerang tubuhku, saya sepanjang hari mengigau "ndleming". Dunia seperti sudah tidak aku kenali lagi apakah hari itu siang atau malam. Oleh karena sebelumnya saya diajak berwisata ke Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta, maka sepanjang hari saya seperti dikejar-kejar harimau, monyet, dll yang pernah aku lihat sebelumnya. Ayah dan ibuku sudah pasrah, badanku bertambah kurus dan rambut rontok.
Alhamdulillah Allah memberiku umur lebih panjang, saya dapat sembuh dan mulai sekolah kembali. Anehnya, hari pertama masuk setelah 3 bulan absen, nilai berhitung saya dapat 100. Teman-teman pada heran, kapan saya belajar wong ketinggalan 3 bulan sakit kok tambah encer berfikir. Alhamdulilah, setelah itu saya jarang terkena sakit serupa hingga sekarang.


 
Soul-mate “Bolang” Kebablasan
Waktu terus berlalu, selesai lulus SD, menginjak belajar SMP teman belajar dan bermain berganti pula. Teman soulmate saya yang paling dekat dan masih famili adalah “Ghen-thonk” dan beberapa orang “alm, Mas Hari” (kakak Mas Tadi)  dan “Mas Bitri” (adiknya Mbak Yah) yang umurnya 2 tahun dibawah saya dan selalu belajar di rumah jika malam hari tiba.

Bentuk permainan dan pola bermain hanyalah sekitar pelajaran, karena saya secara kebetulan sejak masuk Kelas I SMP selalu menduduki ranking atas hingga kelas III, sehingga waktu tidak banyak untuk bermain di luar. Namun demikian, bermain dan bermasyarakat dengan teman-teman yang jauh diatas umur sepantaran menjadi lebih sering, misalnya dalam permainan sepakbola, bermain kelereng antar kampung, bermain tanding layang-layang antar kampung dalam rangka mengembangkan mental dan bermasyarakat. Sekedar iseng, sekali waktu saya bersama soul-mate mencari buah-buahan  (nangka, dondong, jambu, tebu) di pekarangan tetangga tanpa merugikan secara materi dan finansial yang berarti.
Suatu saat orangtua dari soulmate saya diatas bercerai dan tidak lama kemudian meninggal. Sementara teman saya hidup bersama kakek dari Ibunya. Dari sanalah soulmate aku mndapatkan “pegangan” ajimat yang katanya tidak mempan logam tajam atau benda berat sekalipun. Keadaan ekonomi orangtua mendorong tindakan temanku semakin tidak terkendali.

Setelah tamat SMP, tahun 1975 saya cost di Kauman Muntilan dan soulmate sudah jarang komunikasi. Rumah cost saya dekat dengan Polsek Kec. Muntilan. Pada kesempatan tertentu saya pas belajar di rumah cost mendengar ada Copet ketangkap dan astaghfiirullah hal 'adhim, dia adalah soulmate aku "Ghen-thonk". Ya ampuun, katanya dia ketangkap tangan pada saat mengambil dompet orang di Pasar Muntilan.
Doaku, semoga Allah memberikan jalan yang baik kepada dia, semoga cepat sadar... . Setelah mendekam di sel Polsek Muntilan, dia dipindah ke sel Polres Magelang.
Setelah keluar dari sel Polres, sempat bekerja sebagai tukang kebon di Koramil Kec. Sawangan tempat om-nya bekerja. Namun, penyakit "clipto-mania" kumat, dia membawa kabur mesin ketik Kantor BKK dan dia kabur dari rumahnya. Setelah itu ada kabar dari tetangga Kecamatan, kalau dia ketangkap dan tangan serta kaki dilinggis hingga warga setempat sudah mefonis, kalau sembuh pun tidak akan bisa mencuri lagi. Dia langsung dibawa ke Polres Magelang. Ajimat dari kakeknya terbukti, walaupun tulang kaki dan tangan dipatahkan dengan linggis, setelah diperiksa dokter di sel Polres dia di-rongent, ternyata tulang tetap utuh.   
Sejak itu kepiawaian ber-maling ria semakin menjadi-jadi dan setelah keluar justru wilayah operasi semakin meluas hingga keluar kota bahkan kalau mendengarkan ceritanya sampai ke Sumatera dan Singapura. Suatu saat di tahun 1983, dia sempat menjadi target "penembak misterius" atau Petrus. Allah masih memberi umur panjang, dia lari entah kemana, yang akhirnya setelah operasi mereda, dia dikabarkan hidup di Solo, setelah melanglang hingga Jakarta dan P. Sumatera. 

Sekarang sudah tahun 2011, waktu sudah 36 tahun berlalu, syukur alhamdulillah soulmate aku tadi sudah sadar kembali ke jalan yang benar, sudah lolos dari operasi Petrus, sudah lolos dari pengejaran pihak yang berwajib. Dia sekarang menjadi penjaja Cafe di kampungku. Bandrek, dan makanan ringan ala kampung seperti tempe goreng, bakwan, dll, menambah penghasilan yang lumayan rutin. 


Tulisan di bulan purnama Waisyak, 16 Mei 2011

 Referensi foto :
  1. Andyfirmansyah, 2010.
  2. Sigitsubroto, 2009





4 komentar:

bepe mengatakan...

Dulu waktu sy SD kls 2 & Har, prnah jg mngalami kejebur di kolam sebelah Masjid Nggangsan. Kolam yg dmaksud bkan sprti crita org2 dulu yg lebar& dalam, skrg dpan rumah P Narno, tpi kolam kcil di smping kanan masjid. Yg prtama kjebur Har. Wktu itu sy main di kolam sblah masjid dgn Har, tiba2 Har trpeleset dan jatuh. Untung tangan Har msih bisa sy pgang, jdi tdk tnggelam. Tapi sy tdk kuat utk mnarik tbh Har ke atas. Kbetulan ada Kang Jani (alm) yg sdg main dkt KUA. Sy mnta tolong sma Kang Jani utk mnarik Har ke ats. Slang bbrp hari, gantian sy yg kjebur. Yg sy ingat krn sy ngejar belalang hitam kcil yg ada di dkt kolam, kmdian tsrpeleset & jatuh. Tpi sy sdh bisa sdkit berenang & bisa naik ke atas sndiri..Pngalaman yg tdk trlupakan

agusprasodjo.blogspot.com mengatakan...

Ingat, mesjid tempoe doeloe sangat angker. Coba perhatikan kejadian-kejadian berikut :
1. Kalau ada org naik kuda lewat depan mesjid, kalau tidak turun trs kuda dituntun, maka kuda terduduk (ndeprok), setelah orangnya turun baru kuda berdiri dan jalan sampai di prapatan jalan besar.
2. Kang Tono pernah tidur di mesjid, dipindah ke pancuran Guwo pada tengah malam.
3. Har Cebret, rame-rame tidur di mesjid, kepalanya dibentur-benturkan ke dinding
4. Keceburnya Sidik (tulisan diatas), banyak lagi yg kepleset secara termasuk saya pun pernah kepleset kecebur tetapi sudah agak besar shg tidak fatal.
5. Masa kecil Mas Suharto digindhol wewe persis turun tangga mesjid habis sholat Maghrib, dll

Anonim mengatakan...

Pak memang bapak dulu kl main kesawah ga takut diculik? banyak juga makanan di sawah, kebon orang spt si Bolang tapi kl ga bilang ama yg punya, kan dimarahi kl ketahuan..

agusprasodjo.blogspot.com mengatakan...

Lho iya takut, apalagi kl lihat mobil cap "gunting" wah pada lari, ga tahu itu iklan atau bukan, pokoknya ada mbl cap gunting lari...
Nah itu dia, buah2an pd waktu itu banyak yg menanam dan buahnya pada dipetik anak2, yg punya ga marah. Malah dia bilang kl dipetik anak2 adalah pertanda ntar lakunya lbh tinggi harganya. Hebat kan orang kampung kami