2 Jul 2018

RITUAL LEBARAN 2018

Sungkem kpd kedua orangtua sbg bentuk hormat
Lebaran Syawal atau dalam istilah Masyarakat Jawa "badha" adalah hari sukacita setelah sebulan berpuasa wajib pada bulan Romadhon. Hari Badha atau ba'da hari sukacita oleh para pendahulu masyarakat Jawa dilaksanakan dengan gegap gempita dan menjadi budaya di seluruh pelosok kawasan dimana masyarakat Jawa berada tanpa kecuali bahkan sampai menembus batas keyakinan apakah warga masyarakat setempat sebagai muslim, kristen, penganut Budha atau Hindu. Pokoknya pada tanggal 1 Syawal sampai 7 hari kedepan, seluruh warga masyarakat tumpah ruah merayakannya. 
Sungkeman atau "ujung" kepada Kakek Nenek media saling memaafkan
 
Setiap sesepuh kampung pasti mendapat jatah dikunjungi oleh yang muda untuk saling bermaafan. Warga sepuh pun akhirnya menyediakan makanan dan minuman semampunya agar para pemuda yang hadir di rumahnya merasa krasan bersilaturahmi di rumahnya. Oleh karenanya mau tidak mau warga sepuh pun merasa mendapat penghormatan dari yang muda sehingga diharapkan yang muda menghaturkan salam hormat dan permaafan. Begitu pula yang muda pun menginginkan do'a restu warga sepuh, agar segala kesalahan dan dosa-dosanya dengan warga sepuh dimaafkan.
 
Lain perkampungan Jawa lain pula di perkampungan Sunda, Betawi, Bugis, Melayu Kalimantan, dll. Namun, pada intinya pada hari H sampai H + 7, bahkan sampai sebulan kedepannya masih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bertemu mempererat tali silaturahmi.

Ada yang Lain dengan Lebaran 2018  

Sungkem kepada Ibu
Berkembangnya teknologi komunikasi dan semakin canggihnya Handphone Android, munculnya aplikasi BBM, WhatsApp dan Telegram telah merubah pola komunikasi antar individu. Komunikasi yang semula pada tahun 98 HP hanya bisa untuk SMS, pada awal tahun 2000 BBM bisa membentuk Grup dalam satu Keluarga, satu kantor, tetapi terbatas pada jumlah tidak lebih dari 20 orang se idea.

Teknologi Android dan WhatsApp dapat menampung ratusan anggota untuk komunikasi dalam satu grup. Muncullah idea untuk mengumpulkan sanak keluarga se-keluarga besar atau dalam masyarakat Jawa disebut Sak Gotrah yang sering disebut Trah. Hal ini mengingat adanya kemajuan jaman, yang mengharuskan saudara satu bapk/ibu terpisah jauh dari tempat kelahirannya dan kesibukan pekerjaan yang mengakibatkan tidak bisa saling ketemu dalam kurun waktu yang cukup lama. Terlebih lagi jika dalam satu kakek/nenek atau satu kakek buyut, bisa jadi dalam kurun waktu yang cukup lama persaudaraan hilang atau dalam istilah Jawa "kepaten obor", kehilangan jejak untuk menyambung tali silaturahmi.

Dalam Grup WA untuk berhimpun dan menyelenggarakan temu silaturahmi ada yang mengumpulkan anggotanya dalam satu Kakek/Nenek, ada yang mengumpulkan dalam satu Alumni bahkan dalam satu kegiatan bisnisnya.

Video dibawah adalah Kumpul Trah dalam 7 Generasi diatasnya dibawah Panji-panji "Posong Sagotrah" yang banyak dihadiri dari Brayat Karodiryo, diselenggarakan di Dusun Kenteng - Penggaron, Kec. Sawangan, Kab. Magelang - Jawa Tengah.   

Hadir dalam kempal brayat adalah sesepuh dari Brayat Kartowiryo yaitu keluarga Mbak Samidi Margowangsan (bapak saya), Mbah Sutrisno dari Brayat Kartodiryo sedang menanam pohon kenangan Sawo Manila. 
Pohon Sawo dalam brayat ini bernilai sejarah. Konon pada Perjanjian Giyanti (tahun 1799) yang dilanjutkan dengan Perang Diponegoro (tahun 1825) pohon kerabat Keraton Mataram memberikan "sesengker" tanda kehidupan, untuk menanam Pohon Sawo sebagai pertanda bahwa dia sebagai keluarga (darah Mataram) yang suatu saat terjadi peristiwa perang dengan Belanda, maka keluarga pemilik Pohon Sawo itu dapat didatangi untuk mengungsi/bersembunyi dari kejaran Pemerintah Belanda.

Era digital telah dimanfaatkan untuk menunjang kegiatan silaturahmi pada hari-hari  lebaran misalnya untuk memastikan berapa orang yang akan datang dalam mengumpulkan sanak keluarga dan handai taulan.