26 Jun 2014

Pemahaman Ideologi, Keberpihakan Politik dan Implikasinya di Tengah Masyarakat


Etimologi
Kata Ideologi pertama sekali diperkenalkan oleh filsuf Prancis Destutt de Tracy pada tahun 1796. Kata ini berasal dari bahasa Prancis idéologie, merupakan gabungan 2 kata yaitu, idéo yang mengacu kepada gagasan dan logie yang mengacu kepada logos, kata dalam bahasa Yunani untuk menjelaskan logika dan rasio. Destutt de Tracy menggunakan kata ini dalam pengertian etimologisnya, sebagai "ilmu yang meliputi kajian tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan.


Definisi

Lambang Partai pada Pemilu I Thn 1955 (52 Partai)
Ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa (Machiavelli, 2006).
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (Gunawan Setiardjo, 2003).
Ideologi (mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.
Sehingga dalam Konteks definisi ideologi inilah tanpa memandang sumber dari konsepsi Ideologi, maka Islam adalah agama yang mempunyai kualifikasi sebagai Ideologi dengan padanan dari arti kata Mabda’ dalam konteks bahasa arab.
Apabila kita telusuri seluruh dunia ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga ideologi atau mabda’. Yaitu Kapitalisme, Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Untuk saat ini dua mabda pertama, masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang ketiga yaitu Islam, saat ini tidak diemban oleh satu negara pun, melainkan diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini tetap ada di seluruh penjuru dunia.
Sumber konsepsi ideologi kapitalisme dan Sosialisme berasal dari buatan akal manusia, sedangkan Islam berasal dari wahyu Allah SWT (hukum syara’) bukan issue SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok) yang dicetuskan rezim Soeharto dalam menghindari terpecahbelahnya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ibnu Sina mengemukakan masalah tentang ideologi dalam Kitab-nya "Najat", dia berkata:
"Nabi dan penjelas hukum Tuhan serta ideologi jauh lebih dibutuhkan bagi kesinambungan ras manusia, dan bagi pencapaian manusia akan kesempurnaan eksistensi manusiawinya, ketimbang tumbuhnya alis mata, lekuk tapak kakinya, atau hal-hal lain seperti itu, yang paling banter bermanfaat bagi kesinambungan ras manusia, namun tidak perlu sekali."

Ideologi politik

Ir. Soekarno Bapak Bangsa & Tokoh Nasionalisme
Ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan.
Kepopuleran ideologi berkat pengaruh dari "moral entrepreneurs", yang kadangkala bertindak dengan tujuan mereka sendiri. Ideologi politik adalah badan dari ideal, prinsip, doktrin, mitologi atau simbol dari gerakan sosial, institusi, kelas, atau grup besar yang memiliki tujuan politik dan budaya yang sama. Merupakan dasar dari pemikiran politik yang menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya.


Perkembangan Ideologi di Indonesia
Sejak Belanda menerapkan "politik ethik" atau lebih dikenal dengan politik balas budi, maka Pemerintah Belanda mulai membuka diri untuk memberi peluang anak-anak dan pemuda Indonesia mengikuti pendidikan formal, walaupun masih selektif terbatas pada golongan Pejabat Pemerintah atau lebih dikenal "amtenar". Alih-alih memberikan kebebasan meraih pendidikan bagi anak-anak negera jajahan, justru para pemuda yang bersekolah sampai pendidikan tinggi bahkan sekolah ke luar negeri mulai berfikir cerdas untuk mendongkel Pemerintah Belanda.
Para pemuda yang mendapat kesempatan sekolah di luar negeri, pulang ke Indonesia membawa faham-faham ideologi untuk membangkitkan jiwa patriotisme bangsa. Terlebih lagi pada masa menjelang proklamasi kemerdekaan, faham Nasionalisme dipopulerkan oleh Soekarno, dkk hingga puncaknya terbentuk organisasi kepemudaan di seluruh negeri dan melahirkan Soempah Pemoeda thn 1928.
Pemahaman masing-masing ideologi di tingkat akar rumput (grass-root) diperkenalkan dan digerakkan oleh pemuda-pemuda melalui underbow (sempalan) di berbagai bidang profesi yang digeluti saat itu, seperti halnya : dunia seni budaya, profesi pertanian dan nelayan, profesi kekaryaan dan intelektual.
Dalam perkembangannya, setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1945 dan terbentuk UUD-45 yang memberi peluang warganya untuk hidup berkumpul dan berserikat, maka berbagai ideologi politik disosialisasikan dengan sangat cepat sampai ke akar rumput melalui pembentukan partai-partai politik. Namun, ideologi-ideologi yang bergaris keras dan adanya infiltrasi pengaruh kepentingan negara-negara besar, maka mulai menampakkan diri adanya keinginan partai politik dengan figur yang ada di dalam partai yang bersangkutan berperan untuk menjadi Penguasa di negeri sendiri.
Kecenderungan figur suatu rezim yang berkuasa cukup lama cenderung untuk menjadi penguasa seumur hidup. Kemantapan suatu figur akan menimbulkan kecemburuan bagi figur yang lain yang berada di luar partai penguasa. Situasi sosial yang semakin bergejolak denderung akan muncul  partai garis keras yang mengganggu ststus quo kekuasaan dan berakibat pemberangusan atau pembubaran partai oleh Penguasa saat itu. Posisi figur penguasa yang melegenda di kancah percaturan politik dunia, kayaknya menjadi batu sandungan bagi Negara-negara adidaya yaitu blok barat yang dibawah kendali USA dan blok timur dibawah kontrol Uni Sovyet. Figur Soekarno yang menciptakan kekuatan negara ketiga berketetapan pada politik luar negeri "bebas aktif" dan tidak memihak blok manapun sontak menjadi rebutan oleh blok barat dan timur.
Pada rezim Soekarno pemahaman ideologi politik lebih leluasa. Orang bebas memilih membentuk dan memilih ideologi apapun sebagai wujud implementasi dari amanah UUD-45 untuk berserikat. Ideologi politik di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Pembentukan partai politik tumbuh bak jamur di awal musim penghujan. Tokoh-tokoh politik bermunculan di seantero penjuru tanah air. Namun sejarah harus berjalan dan puncaknya peristiwa 1965, kekuasaan Soekarno harus berhenti.

Ideologi Politik di Tengah Masayrakat
Pasca peristiwa 1965, Indonesia mengalami fase perkembangan pemahaman ideologi yang luar biasa. Pada masa kekuasaan rezim sebelumnya masyarakat bebas berpolitik, bebas membentuk kelompok-kelompok diskusi, namun setelah peristiwa traumatik tersebut diatas maka rezim menawarkan ideologi baru yang lain daripada yang lain yaitu "ideologi kekaryaan" dibawah naungan Golongan Karya. 
Rezim mempopulerkan perubahan ideologi yang mendasar dari poli-isme (banyak faham) menjadi mono-isme (satu faham), yaitu faham kekaryaan yang berorientasi pada pembangunan di segala bidang.
Untuk mengawal ideologi baru itu rakyat digiring untuk anti rezim sebelumnya dan menjauhi kegiatan politik bahkan Nama Partai Golongan Karya tidak mau disebut Partai Golongan Karya. Semua yang berbau faham Soekarno diminimalisasikan untuk difahami oleh setiap warga negara. Semua pemahaman yang berbau politik diasosiasikan sebagai hal yang negatif dan dijauhkan dari pemikiran warga negara. Seakan-akan berpolitik akan berakibat sebagaimana peristiwa 1965, seluruh anggota partai mendapat celaka, diasingkan dan dihilangkan hak politiknya. Situasi demikian mendorong pola pikir bahwa seluruh warga negara Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka harus sefaham dengan faham rezim, tidak ada kata berseberangan dan beda pendapat atau penolakan program. Bilamana hal tersebut dilanggar maka yang bersangkutan akan berresiko untuk dimonitor secara khusus oleh Aparat Kemananan dan dikucilkan secara politis.
Pada Rezim Soeharto rakyat di seluruh negeri ingin dirubah dari multi-faham menjadi mono-faham yaitu kekaryaan dengan motor penggerak adalah ABRI dan Pegawai Pemerintah. Ajaran yang dihembuskan setengah dipaksakan adalah rasa kebangsaan tanpa violance dibawah payung Golongan Karya. Partai yang semula berjumlah puluhan dengan tangan besinya dirombak menjadi 3 partai yaitu Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia yangmana ketiga-tiganya tersebut adalah dibawah kontrol kekuasaan Rezim. Jargon faham yang ditawarkan kepada masyarakat adalah "negara aman rakyat tenteram". Untuk itu pengelolaan keamanan negara dikontrol secara optimal penuh untuk memantau geliat-geliat setiap oknum dan golongan mulai dari pusat sampai ke tingkat RT.
Selama masa kekuasaan rezim, rakyat seluruh negeri dibayangi dengan ketakutan untuk mengatakan berseberangan dengan kebijakan Soeharto. Kesetiaan terhadap kekuasaan pun dilakukan secara rapi pada saat penyaringan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada saat itu lapangan pekerjaan masih sulit didapat, sehingga penerimaan PNS menjadi idola bagi setiap pencari pekerjaan. Oleh karena itu setiap menjelang Pemilihan Umum 5 (lima) tahun sekali dilakukan penerimaan calon PNS dengan penyaringan yang begitu ketat. Calon PNS yang mendaftar pun membludak. Disinilah kesempatan menjaring massa pemilih sekaligus ajang monitoring ideologi massa dilakukan, mulai dari asal-usul lahir, anak keturunan, keorganisasian, faham yang dianut, dls. Modus demikian sangat efektif dalam rangka penggiringan massa calon pemilih untuk menentukan "vote" kepada partai Rezim saat itu.

Norma politik "kekaryaan" diajarkan kepada setiap Warga Negara Indonesia secara rapi melalui panataran-penataran yang dikendalikan oleh Lemhanas lewat Institusi Pemerintah di masing-masing Departemen dan Pemerintah Daerah. Untuk memantau perkembangan partai di suatu Lembaga pemerintah, maka di setiap Depertemen dikaryakan Staf Khusus yang disebut "Litsus" dan Babinsa untuk memonitor massa di Wilayah Kecamatan. Program ini sangat positip karena Penataran sampai ke pelosok negeri, sehingga hampir seluruh WNI mengetahui hak dan kewajiban berbangsa dan bernegara. Ditambah lagi dibentuknya Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) langsung dibawah komando Presiden yang bisa langsung menangkap oknum yang memenuhi kriteria sebagai pelaku instabilitas. Kekuasaan semakin mengakar kuat mencengkeram, siapa pun yang berseberangan atau yang diduga akan melakukan de-stabilitas akan ditangkap bahkan tidak sedikit yang dihilangkan atau diamankan sampai pada waktu yang tidak ditentukan. 
Dari segi kekuasaan, program politik tersebut diatas sangat efektif untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun program pemantauan yang terlalu ketat, ditambah lagi dengan kepentingan oknum untuk mempertahankan posisinya dalam kekuasaan pemerintahan, maka terjadi arogansi (abuse of power) dan terjadilah rasa antipati terhadap program dan merembet kepada antipati terhadap pemerintah.

Perkembangan Demokrasi Pasca Rezim Orde Baru
Sejak tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998, maka semua orang di Indonesia merasa memiliki hak untuk berpolitik dan hak pertisipasi jalannya pemerintahan melalui perwakilan. Tidak terkecuali di perkampungan pun demokrasi melanda warga setempat. Bilamana dirinya atau kelompok masyarakat merasa dirugikan oleh pihak-pihak tertentu, maka tidak segan-segan angkat bicara menggunakan kosa kata yang sering diucapkan para politisi yag mereka lihat di media TV, memberanikan diri menghadap Pejabar Daerah setempat.
Fenomena sosial demikian akan lebih tepat bilamana masyarakat sudah cukup berpendidikan dan banyak pengalaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan akan menjadi kontra produktif bilmana dilakukan oleh mereka yang belum cukup pendidkan dan pengalamannya, sementara yang mereka tuntut sangat tinggi kaitannya dengan ketentuan perundangan. Oleh karena minimalnya pengetahuan peraturan dan hukum yang mereka miliki, maka yang terjadi adalah kalimat "pokoknya kami dapat sesuatu" dan berakhir dengan tindakan melanggar batas aturan kemudian bersinggungan dengan tindak chaos yang dikategorikan kriminal sehingga harus singgah di Sel Tahanan Kepolisian.
Apapun yang terjadi di tengah masyarakat, itu sudah merupakan perkembangan kehidupan demokrasi yang luar biasa.
Pemilihan Presiden yang semula dipilih melalui perwakilan di MPR dan berkembang menjadai pemilihan langsung kepada Oknum Calon Presiden sejak tahun 2004, 2009 dan 2014 telah banyak mengalami perubahan baik dari sisi positip bahkan sisi negatifnya. Secara kebetulan calon presiden hanya 2 kandidat, maka dengan berkembangnya ilmu infomasi elektronik, maka perang di dunia virtual tak terhindarkan. Partai-partai pun mempersiapkan diri mengambil peran dalam pembentukan kekuasaan pada masa persiapan pil-leg maupun pilpres. Kaderisasi partai Golkar yang notabene mendapatkan ajaran kepartaian pada saat menjadi Partai Pemerintah selama rezim Soeharto 32 tahun, telah melahirkan kader-kader partai yang handal. Sementara kader Partai Persatuan Pembangunan (P3) dan Partai Demokrasi Inndonesia (PDI) bentukan rezim kurang begitu terlihat buah produk kaderisasi selama rezim Soeharto. Kader kedua partai tersebut justru lebih banyak mengadopsi norma politik daripada Partai-partai asalnya. Misalnya, kader-kader P3 mengadopsi norma-norma politik Nahdatul Ulama (KH Ashari Cs) dan Muhamadiyah (KH Achmad Dahlan) sedangkan PDI lebih banyak mengadopsi norma politik daripada Partai Nasional Indonesia yang dibentuk oleh Presiden Pertama Soekarno.
Fenomena baru perpolitikan di Indonesia pasca reformasi yang notabene terlemparnya partai Golkar sebagai partai penguasa kepemerintahan telah membentuk kristal-kristal kepiawaian bagi para kader-kadernya. Rekam jejak partai Golkar telah tercatat sejak saat itu hingga kini. Program menuju kembalinya partai menjadi Partai Penguasa dan atau berkontribusi kepada kekuasaan adalah Politik 2 kaki. Satu kaki tetap berpegang pada penguatan kader dan satu kaki lainnya melenggangkan kadernya masuk kedalam (kandidat) Partai Penguasa. Masuknya Jusuf Kalla (JK) sebagai Wakil Presiden pada rezim Indonesia Bersatu jilid-1 yang kemudian terjadi penguatan organisasi dengan dipilihnya JK menjadi Ketum Golkar sehingga terjadi penguatan kader-kadernya di Legislatif menjadikan Partai Golkar berperan dalam pemerintahan SBY. Namun, kekalahan JK pada Pilpres 2009 pun masih menyisakan kader-kadernya tetap bergabung di Sekretariat Gabungan dibawah kontrol SBY, sehingga masih berperan dalam pemerintahan.
Wacana Pilpres 2014 dengan icon capres pilihan rakyat Jokowi (JKW) yang menggandeng JK adalah fenomena baru, karena JK sebagai kader Golkar maju atas nama pribadi yang diminta Ketum PDIP dan kesanggupan JK menemani JKW. Golkar terpecah menjadi 2 kubu untuk kepentingan politik 2 kaki. Kalau JKW menang maka Golkar dari kubu JK akan berkontribusi dalam pemerintahan kedepan dan kalau Prabowo yang menang, maka kubu AR Bakrie yang akan menguat.

Kandidat Presiden pada Pilpres 2014





































































Segi Positip dan Negatifnya Keberpihakan
Bergesernya ideologi politik kepada ideologi materialistik di tengah masyarakat menyeret kandidat pimpinan pemerintahan apakah itu Lurah, Bupati, Gubernur bahkan Presiden harus berfikir jauh lebih matang dalam persiapan elektasi atau pemilihan umum. Ukuran legitimasi tidak sekedar diukur dari ketebalan pemahaman norma politik partai, tetapi bagi masyarakat awam yang termasuk "swing-vote" atau masa mmengambang adalah seberapa besar figur kandidat telah dan akan memberikan dampak materi kesejahteraan kepada voter atau pemilih. Secara realita, tidak jarang kandidat Anggota Legislatif harus merelakan harta kekayaannya hilang untuk membayar proses menawarkan dirinya untuk dipilih oleh rakyat pemilih. Tidak sedikit pula yang pada akhirnya stabilitas pikiran terganggu bahkan tidak normal lagi karena harta kekayaannya habis untuk hal tersebut diatas.
Segi positip keberpihakan adalah terjadinya solidaritas antara pemilih dan yang dipilih dan mempererat tali silaturahim secara tidak langsung. Tanpa mengesampingkan ketidakjujuran proses elektasi, tersalurnya materi dalam bentuk uang dari kandidat kepada calon pemilih, walaupun termasuk kategori pelanggaran hukum, peristiwa tersebut telah andil dalam distribusi uang kepada masyarakat bawah, walaupun hal tersebut tidak seluruhnya benar pasti memilih kandidat yang memberinya. Keberpihakan secara wajar akan mempererat kedekatan secara moral dan rasa manfaat kontribusi bilamana kandidat terpilih sebagai pemenang. Perasaan bangga dan harga diri akan terwadahi menjadi kelompok pemenang yang bisa jadi diperhitungkan di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Segi negatifnya, bilamana keberpihakan dilakukan secara berlebihan bahkan sampai melakukan proses indoktrinasi ideologi, maka terjadilah militansi buta yang kita kenal pada rezim Soekarno ada istilah kesetiaan tanpa reserve. Dalam ideologi nasionalisme yang dibawa oleh figur Soekarno dimanifestasikan dengan ucapan "pejah gesang nderek Bung Karno", dls.
Bilamana hal tersebut terjadi di lingkungan keluarga akan terjadi perpecahan yang sulit untuk bersatu kembali. Tidak sedikit bentrokan antar kelompok bahkan kakak-beradik tidak tegur sapa sepanjang hayat karena perbedaan ideologi dan keberpihakan kepada figur tertentu. Keberpihakan secara berlebihan akan berakibat kepada pembelaan yang berlebihan pula walaupun sejatinya figur yang didukung terbukti bersalah. Sebagian dari mereka bahkan menganggap figur yang didukung adalah manusia setengah dewa, manusia super dan menjurus kepada pengkultusan dan menyebutnya sebagai "the people can do no wrong".

Pada akhirnya, marilah kita benahi diri kita masing-masing dalam menjalankan hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita memihak dengan kadar sewajarnya tidak perlu terseret kepada hegemoni politik, terbakar dengan manifesto politik yang menjadi jargon figur, partai dan kelompok-kelompok faham tertentu walaupun diucapkan dengan kata-kata manis menyentuh hati setiap orang.

Semoga bermanfaat.


Referensi :

  1. Annonim, Wikipedia, 2006, Ideologi Terjemahan Bebas
  2. Cranston, Maurice,Ideology, 2006
  3. Machiavelli, Ideology Politics, 2006
  4. Gunawan Setiardjo, 2003, Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.

Tidak ada komentar: