21 Jan 2011

TRAWANG RIWAYATMU DULUU.....

Ngluku & nggaru dan ritual "bedah sawah" adalah pamandangan sebelum tandur
Warga Kec. Sawangan di Jakarta (dulu) mempunyai Wadah Paguyuban Bernama "Trawang" Sayang wadah tempat menumpahkan uneg-uneg dan nostalgia bagi para sepu tempo doeloe, hanya seumur jagung....

Pada tahun 1993/1994 saya dan teman-teman di Jakarta yang berasal dari Kec. Sawangan membentuk wadah paguyuban bernama Trawang yang berarti Trah Sedulur Sawangan yang didukung oleh para sepuh dan pinisepuh yang sudah lama tinggal di Jakarta kala itu. Manfaat paguyuban ini sangat besar dan sudah dirasakan oleh semua yang terlibat. Disamping sebagai pengikat tali silaturahmi juga menjadi forum komunikasi antar sesama migran dalam berbagai hal a.l dukungan karir, informasi lowongan pekerjaan dan membantu pemikiran program pembangunan ekonomi di pedesaan Kec. Sawangan.

Pada tahun 1990, saya secara kebetulan baru saja mutasi kerja dari Ujung Pandang (Makasar) ke Jakarta dan tinggal di rumah Bapak Ir. Sutrisno Darmodihardjo seorang asli Dsn. Bayat - Klaten di Pasar Minggu - Jaksel. Kantor saya di Departemen Kehutanan di Gedung Manggala Wana Bhakti, Senayan - Jakarta Pusat.
Suatu saat saya mau pulang kantor melewati Lobby Gedung Manggala Wana Bhakti, lewatlah Sdr. Muhamad Nadhir alumnus Fak Geologi UGM kelahiran Kali Tengah Desa Gondowangi , Kec. Sawangan.  Pembicaraan sampai kepada kesimpulan bahwa dia akan ikut pulang ke rumahku di Pasar Minggu - Jaksel di Jl. Kemuning Raya No.11 Pasar Minggu. 

Getuk, gatot, tiwul adalah makanan ndeso yg selalu hadir dalam
pertemuan-pertemuan Pengurus & Anggota Trawang
Rumah tersebut adalah rumah kakaknya Bapak Ir. Sutrisno D. yang secara kebetulan beliau mutasi dari kantor Manggala Wana Bhakti ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Oleh karena anaknya ada yang sekolah di SMA 8 Pasar Minggu, maka saya diminta tinggal di rumah tersebut sekaligus mengawasi dia.
Sdr. Muhamad Nadhir pada saat itu tinggal di Condet dan bekerja di Konsultan Perpetaan di kawasan Tebet. Pertemanan semakin dekat dan akhirnya dia memutuskan pindah jadi serumah dengan saya di Pasar Minggu. Pertemanan merembet kepada teman-teman sepantaran dia dan kenal warga yang berasal dari Kec. Sawangan - Magelang migrasi ke Jakarta yaitu : Drs. Suteko (Piyungan), Drs. Didik (Wonolobo), Witoro (Kentengsari) dan Mbak Susi (Piyungan). Pada awalnya pertemanan sekedar saling memperkenalkan teman lain dan menyambangi kantor masing-masing. Selanjutnya ada idea untuk membentuk wadah paguyuban yg mencakup satu kecamatan Sawangan. Secara kebetulan saya masih jomblo, jadi bisa menyambangi siapa saja sedulur Sawangan yang dikenal, dimana pun berada di kawasan Jabodetabek.  Perkenalan sesama migran urbanisasi semakin luas dan muncul idea untuk membentuk "wadah paguyuban".
Sawah Kulon Omah, subur makmur kang sarwo tinandur
Suatu saat saya mendekati Bapak Drs. Sukarno Karnain (Kabag Keuangan INHUTANI-I)  piyantun  kelahiran Kentengsari yang aku kenal dari teman di INHUTANI-I. Pembicaraan dengan beliau sampai kepada idea untuk membangun wadah paguyuban meneruskan aspirasi para migran urbanisasi tesebut diatas. Gayung bersambut, beliau ternyata mempunyai 2 saudara kandung yaitu Ir. Sukarso Karnain (Pejabat di Bina Marga)  dan Drs. Sukarto Karnain (Pejabat di Dep. Transmigrasi).  Dari Bapak-bapak tersebut, ditemukan nama-nama beken warga Sawangan yang sudah lama tinggal di Jakarta seperti Drs. Kafrawi, MA (Sekjen Depag, dari Gadingsari),  DR. Herjuno (Nasri), Drs. Ahmad (Kentengsari), Drs. Tepung (Piyungan), dls.
Pertemuan pertama kali sekaligus pembentukan Wadah Paguyuban dilaksanakan di rumah Bapak Sukarno Karnain di kawasan Cinere yang lokasinya berada di Jakarta bagian selatan Provinsi Jawa Barat. 

Persiapan Pembentukan Paguyuban
Awal tahun 1993 saya mengundang pertama kali pada hari Minggu teman-teman di Pasar Minggu membahas rencana pokok paguyuban, pola rekrutmen anggota dan nama wadah paguyuban. Pembahasan cukup "gayeng" karena yang paling banyak dibicarakan dalam pertemuan justru riwayat masing-masing sewaktu masih sekolah di SMP, SMA dan keanekaragaman profesi dan umur. Tidak ada hasil konkrit secara organisasi dalam pertemuan perdana ini.
Pertemuan kedua berselang 4 bulen berikutnya pada bulan puasa dengan acara buka puasa bersama di Pasar Minggu. Saya mengundang lebih banyak anggota berdasarkan masukan dari para teman-teman urban. Pembahasan sangat efektif dan menghasilkan agenda untuk 2 sampai 3 bulan kedepannya dalam rangka pembentukan wadah paguyuban. Rencana beberapa alternatif tempat pertemuan, orang-orang yang diundang, nama paguyuban, model forum yang akan dilakukan dan peralatan yang harus dibawa di lokasi pertemuan dengan target pertemuan yang akan dilaksanakan bisa sukses. Secara konsep, persiapan untuk mencapai target sudah matang.
Berikutnya adalah "saya bergerilya" mendekati Bapak-bapak yang sekiranya bersedia ditempati sebagai tempat pertemuan yaitu pertama di Kebayoran Lama dan kedua di Cinere. Ditetapkanlah  lokasi pertemuan di rumah Bapak Sukarno Karnen. Kemudian undangan mulai dibuat, semua adalah pengurus untuk membantu kegiatan administrasi dan gethok-tular menyampaikan undangan pertemuan. 

Pertemuan Pembentukan Paguyuban    
Pertemuan dilaksanakan di Rumah Bapak Sukarno Karnen Cinere pada bulan September 1993. Tidak dinyana-nyana, dengan mengandalkan gethok-tular, yang hadir fantastis, mencapai 30 orang dari berbagai kalangan, umur dan profesi. Bapak Sukarno Karnain adalah orang yang sangat baik hati, dermawan dan konsisten dalam menjalani hidup berasal dari  kampung dan tetap setia "ngendikan" menggunakan bahasa Jawa Halus.
Hidangan ala kampung pun menjadi pemandangan yang tak terduga sebelumnya seperti gathot, thiwul, gethuk parut dan pecel. Suasana pertemuan bak reuni bagi beliau-beliau yang pada zaman mereka sekolah harus berangkat dari rumah di kawasan Kec. Sawangan berjalan kaki menysuri jalan tanah dan melewati jembatan bambu Kali Pabelan di Surodadi atau Gunung Lemah yang sering banjir pada saat musim penghujan. Para orang tuanya yang hidup sebagai petani menyerahkan sepenuhnya semangat dan kemampuan anaknya menempuh sekolah terdekat yaitu Kota Muntilan. Saat itu kendaraan umum belum dijumpai. Akses jalan tanah yang menghubungkan Kota Blabak menuju Banyuroto di ujung lereng G. Merbabu dan Wonolelo di lereng G. Merapi kadang dilewati truk milik Pengusaha angkutan barang dari Kota Muntilan. 
Bapak-bapak pinisepuh saling mengenang pada saat banjir K. Pabelan di Gunung Lemah atau Surodadi harus berjalan kearah barat menuju Dsn. Blangkunan dimana terdapat jembatan kereta api melintang di K. Pabelan yang pasti bisa digunakan untuk menyeberang Kali Pabelan dikala banjir. Mereka riuh rendah berkelakar mengenang masa sekolah khususnya pada masa sekolah di tingkat SLTP atau SLTA di Muntilan.
Disepakati nama paguyuban adalah Trawang diambil dari Trah Sedulur Sawangan. Kenapa Trah? Oleh karena nama Sawangan adalah trademark daerah Lembah dan Lereng Merbabu dan Merapi yang mencakup aliran Sungai Krasak, S. Mangu, S. Dadar di Kec. Sawangan dan sebagian Kec. Mungkid. Dengan demikian jika dibatasi wilayah administratif Kec. Sawangan, akan terbatasi hanya sampai Dsn. Wonolobo dan Dsn. Piyungan di batas bagian barat dan batas bagian timur sampai di Wonolelo dan Banyuroto.

 Pertemuan berikutnya adalah di Kebayoran Lama dan pertemuan ketiga adalah di Rumah Bapak Tepung di Petukangan Utara Ciledug.  Pertemuan semakin gayeng karena disamping membahas penyempurnaan AD/ART, forum paguyuban sudah melangkah kepada saling memberi informasi lowongan pekerjaan, sharing tukar informasi dalam meniti karir seseorang karyawan dan membahas program kontribusi migran Jakarta terhadap pembangunan Kec. Sawangan. 
Hasil konkrit forum komunikasi adalah masuknya beberapa orang anggota (perempuan) di Asuransi Jiwa dari dukungan  sesepuh (Pejabat Asuransi Jiwa Jakarta Pusat) dan pengiriman pemuda Desa Sawangan (4 orang) untuk dikirim ke Perusahaan Persuteraan Alam di Sukabumi. Dan masih banyak lagi program paguyuban yang akan dilakukan.

Sayang, paguyuban tidak berumur panjang berbarengan dengan kesibukan para penginisiatif sekaligus pengurus muda. Saya sendiri desersi dari Dephut ke perusahaan swasta hingga sekarang, Sdr. Muh. Nadhir berkeluarga dan harus ikut pindah ke Wonosari mengikuti karir istrinya hingga sekarang, Didik Istiana pindah pekerjaan dari Kuningan menjadi karyawan LSM Kemanusiaan dan Suteko semakin padat acar belajar mengajar.
Tamatlah riwayatnya... ohh ... Trawang... akankah ada penerus yang bisa membangkitkan kembali....??? 





1 komentar:

Anonim mengatakan...

Trawang... tinggal kenangan, mungkinkah akan bangkit kembali... apa perlu konsultan