2 Okt 2010

Matinya Pasar Ngesengan & Prospek “Pasar Gangsan”

Pendahuluan
Ilustrasi Pasar Hewan Ngesengan tempo dulu
Pasar Ngesengan berasal dari kata Ng+Seng+an, kurang lebih artinya Pasar yang bangunan Los Pasar-nya atapnya tebuat dari logam "Seng". Pasar Ngesengan dibuat pada jaman Belanda sekitar tahun 1930-an untuk mengakomodasikan transaksi jual beli masyarakat di daerah Desa Sawangan dan sekitarnya. Jika memperhatikan cerita para pinisepuh yang mengalami kehidupan zaman Pemerintahan Belanda, hampir di setiap Desa di Kecamatan Sawangan Kab. Magelang sudah dibangun Pasar dengan hari pasar yang hari pasarannya sudah disusun berurut rolling dari pasar yang satu dengan pasar lainnya. Pasar-pasar yang dibuat sebelum kemerdekaan RI yang beroperasi maupun yang sudah tinggal nama, sbb :

  1. Pasar Bengan posisinya di Kantor Desa Mangunsari dengan hari pasar “Wage” (tinggal nama);

  2. Pasar Ngesengan (Gangsan) posisi pasar di komplek Puskesmas dan Perumahan Camat Kec. Sawangan dengan hari pasar “Pon” (tinggal nama);

  3. Pasar Bulu di perempatan Dusun Bulu, pada zaman Pemerintah Desa Pak Rito (Gelap) dipindah ke Bengkok pojok Dsn Bulu, dengan hari Pasar Paing, (masih beroperasi sampai sekarang);

  4. Pasar Ngangkruk di Ngangkruk- Gunung Kuli, Desa Podosoko, lokasi masih ada, sekarang sudah berubah fungsi bukan pasar transit pagi dini hari;

  5. Pasar Banyu Temumpang (Tumpang), Desa Krogowanan merupakan transit menuju Pasar Talun di Kec. Dukun (masih berfungsi sampai sekarang);

  6. Pasar Nglumut posisi di Gedung SD Krogowanan, khusus pasar hewan dengan hari pasar “Pon” (tinggal nama).
Pasar Ngesengan adalah pasar besar yang dibangun untuk perdagangan umum meliputi pasar hewan, sayuran, sandang dan barang-barang sekunder. Pasar ini cukup ramai setingkat dengan Pasar Talun dan Pasar Mungkid di Blabak. Petani yang memasarkan hasil bumi dan Tengkulak serta pedagang lainnya banyak yang datang dari luar Kecamatan, walaupun akses jalan dari jalan Provinsi Magelang-Blabak-Muntilan belum beraspal tetapi sudah cukup lebar dan sudah diperkeras.   Mobil angkutan barang dari Muntilan yang mengangkut barang-barang hasil bumi dari  Pasar menuju Muntilan sudah berjalan lancar. Pasar hewan (sapi, kerbau, kambing dan kuda) sudah berjalan dan pada umumnya untuk diperdagangkan ke Pasar-pasar yang lebih besar di Pasar Kota Muntilan, Magelang dan Yogyakarta. Petani mengangkut hasil dagangan dari daerah Tegalan Sawangan bagian Timur Laut menggunakan Kuda Beban (kuda poni). Pengelolaan Pasar sudah berjalan sebagaimana layaknya pasar besar.

Kaum Chinese juga sudah ada di lokasi pasar Ngesengan yang terkenal disebut Bah Urip, yang semula menempati Pasar Blabak pasca tragedi “massacre” di Kota-kota Jawa Tengah tahun 1950-an sebagai dampak kebijakan Pemerintah Pusat tentang Alokasi Wilayah Usaha bagi Kaum Chinese. Bah Urip dan keluarganya sempat diselamatkan dari tragedi berdarah oleh anggota keamanan dan migrasi dari Blabak ke Pasar Bengan, kemudian pindah dan menetap di dekat Pasar Ngesengan hingga meninggal. Terakhir anak keturunan bah Urip menempati rumah sekaligus Toko di dekat Pasar Ngesengan pada tahun 1990 dan sekarang anak cucunya tersebar di Muntilan dan Magelang. Rumah yang sekaligus dijadikan Warung Kelontong pun sekarang sudah tidak berbekas, berpindah tangan dan dibangun menjadi Toko Swalayan dan Ruko.

Sekelumit Kisah Senjakala Pasar Ngesengan

Menjelang kemerdekaan RI tahun 1945, Pasar Ngesengan pernah menjadai sasaran serangan tentara Belanda. Pasar Ngesengan adalah salah satu konsentrasi massa yang tidak luput dari sasaran Agresi Militer Belanda pra proklamasi kemerdekaan dan pasca kemerdekaan untuk merebut kembali kekuasaannya di RI pada tahun 1949. Sudah tidak diragukan lagi komitmen nasionalisme "Wong Sawangan". Sejak pecahnya Mataram oleh intervensi Belanda menjelang Perjanjian Giyanti  pada hingga Perang Diponegoro, laskar pejuang kemerdekaan anak-anak muda Gangsan pun tidak tinggal diam dengan adanya agresi Belanda sampai ke kampung-kampung.
Pada suatu ketika ada seorang tentara Belanda memasuki daerah sekitar Pasar melakukan patroli terbunuh oleh Laskar yang notabene adalah anak-anak muda Gangsan. Mungkin kematian tentara Belanda ini tidak terdengar sampai ke Pemerintah Kabupaten waktu itu, sehingga tidak menjadi catatan sejarah. Identitas tentara Belanda yang terbunuh pun tidak diketahui. Jenazahnya dikubur di belakang Pasar Ngesengan dan tidak diketahui oleh siapa pun. Posisi kuburan tepatnya di belakang Gedung Olah Raga di depan Kantor Polsek Kec. Sawangan. Hingga sekarang, lokasi kuburan sering dibersihkan oleh Warga terdekat. Sekali waktu warga di sekitar lokasi kuburan diperlihatkan penampakan tentara Belanda yang terbunuh tersebut.

Cerita Perjuangan Laskar anak-anak muda Gangsan tersebut diatas adalah penyebab utama berangsur-angsur melorotnya wibawa dan karakter Pasar Ngesengan. Mulai saat itu Pasar yang semula dipadati pedagang dan pembeli berangsur-angsur meninggalkan arena transaksi mereka di pasar tsb.


Ilustrasi Pedagang Bumbu Dapur 
Pasar Ngesengan Tempo Dulu


Tahun 1971 saya masih duduk di bangku Kelas 6 SD masih terlihat 2 Los Pasar di sebelah selatan jalan yang kemudian dirubah menjadi Ruang Kelas SD Sawangan II dan 2 Los Pasar lagi di sebelah selatan jalan dirubah menjadi Gudang Garam dan Klinik Kesehatan yang ditunggu oleh Manteri Kesehatan (Bapak Dulhamid) dan Asisten Manteri  (Ramidi) serta banguan bekas loading hewan-hewan yang akan dinaikkan/diturunkan di sebelah timur lokasi pasar yang sekarang dilaihfungsikan menjadi Badan Kredit Kecamatan (BKK). Dua (2) Los Pasar di sebelah utara jalan masih ramai berfungsi sebagai layaknya pasar. Penjual bumbu dapur dan jajan pasar terbesar adalah Mbah Rus Bengan, Mbah Seni Gangsan, Mbah Urip Gangsan dan Bu Hadi, Bu Ajun membuat warung di sebelah barat dan utara diluar pasar. Bah Urip/Nyah Bunder berjualan lengkap barang-barang kelontong.

Versi lain awal mulanya kemerosotan Pasar Ngesengan adalah cerita mistik, bahwa Pada awal berdirinya pasar, ada "pamali"  tidak diperkenankan areal pasar digunakan untuk hal-hal yang berbau "porno". Suatu saat  pamali dilanggar, yaitu pasar hewan yang juga tempat menambatkan kuda-kuda pengangkut barang hasil bumi dari daerah tegalan digunakan untuk mengawinkan kuda. Acara mengawinkan kuda ini sempat menyedot perhatian bagi pengunjung pasar. 
Namun, terlepas dari cerita kepercayaan mistis dan pamali tersebut datas, pada kenyataannya Pasar Ngesengan tidak terdukung oleh faktor-faktor penunjang selayaknya lokasi transaksi dari penjual dan pembeli, yang akhirnya ditinggalkan oleh para peminat.



Terakhir tutupnya Pasar Ngesengan adalah tahun 1972, Pemerintah Kabupaten Magelang membangun mulai fasilitas Perumahan Camat dengan menggusur 2 (dua) Los Pasar di sebelah utara jalan dan pembangunan Puskesmas serta Perumahan Danramil dengan menggusur 2 (dua) Los Pasar di sebelah selatan jalan. TAMATLAH RIWAYAT PASAR NGESENGAN.
Penduduk di sekitar lokasi pasar yang menggantungkan hidupnya dari berjualan sayur mayur pada saat itu tidak tahu alasan Pemerintah Kabupaten menggusur Pasar tanpa pengganti lokasi pasar. Bisa jadi karena anggaran pembangunan pada awal PELITA-I, untuk Perumahan Camat, Danramil dan Puskesmas, sementara lokasi pembangunan belum ditentukan atau tidak dialokasikan anggaran untuk pembebasan tanah. Lahan yang mudah dan gratis dari biaya pembebasan adalah pasar, jadilah pembangunan di situ. Ini perkiraan saya sesuai pengalamannya menjadi Pemimpin Proyek APBN untuk penghijauan dan reboisasi di Sulsel tahun 1991.

Masa kesepian dari transaksi di pasar berlanjut selama kurang lebih 20 tahun hingga tahun 1993/1994 dengan penbangunan Pasar oleh Pemerintah Kabupaten yang terletak di sebelah utara Dusun Gangsan, sekitar 600 M di sebelah utara pasar Ngesengan.

Dapatkah Karakter Pasar Ditentukan Tanpa Upaya?
Ada keyakinan masyarakat setempat khususnya orang-orang tua, jika akan membangun pasar yang nantinya akan memakmurkan warga di sekitarnya maka harus bisa mencuri “lincak” bangku kecil yang terbuat dari bambu untuk tempat dasar orang jualan dari Pasar yang sudha Ramai, terserah dari pasar mana tidak ada prasyarat. Ganjil bin aneh dan tidak bisa dinalar maksudnya. Salah-salah jika ketahuan yang punya si pencuri lincak jadi bulan-bulanan massa, badan babak belur. Jelas persyaratan tersebut tidak akan dilakukan oleh warga di sekitar Lokasi Pasar Sawangan ini pada saat menjelang peresmian pasar oleh Bupati.
Ada pendapat lain, bahwa keberadaan Pasar adalah wahyu, maksudnya pasar tidak perlu ditentukan koordinat posisinya atau dibangun permanen, orang akan datang dengan sendirinya jika lokasi memang membawa rizki untuk transaksi jual beli. Contohnya pasar Tumpang dan Nglumut biarpun tidak dibangun permanen dengan anggaran Pemerintah, toh sudah masyarakat menjadikan lokasi tersebut sebagai pasar.   
Karakter pasar yang menurut rencana akan dijadikan Pasar Transit dengan fasilitas Kios dan Los Pasar, berangsur-angsur melorot.
Fakta menunjukkan bahwa pola perdagangan di pasar ini bahwa barang-barang dagangan yang ditawarkan kepada pembeli tidak disuplai dari hasil produksi warga sekitar. Tengkulak dari luar daerah tidak ada yang datang karena tidak ada komoditas yang diperdagangkan secara spesifik. Lihat, yang bertahan dan sukses adalah beberapa orang saja yang benar-benar mereka adalah pedagang tulen dari sejak usia anak-anak.


  • Yu Yati  memasarkan barang-barang konsumsi dapur yang dibeli dari Pasar Muntilan, bukan hasil produksi warga sekitar

  • Yu Mur memasarkan tahu, tempe dan barang-barang kebutuhan dapur yang dibeli dari luar warga sekitar;

  • Lik Ti / Lik Man melayani jasa parut kelapa, minyak tanah dan  barang-barang kelontong kebutuhan sehar-hari. 

  • Beberapa pedagang lain dengan barang dagangan kebutuhan dapur. 

  •    

    Pembeli barang-barang kebutuhan dapur didominasi oleh Ibu-ibu Karyawan Pemerintah setempat yang tidak sempat pergi ke sawah atau ibu-ibu yang lain dengan kesibukan yang tinggi.   

    Othak-athik Mathuk
    Jika masyarakat tedahulu berfikiran demikian, maka bagi masyarakat modern harus mengambil makna arti dari mencuri lincak dimaksud. Kira-kira kalau diothak-athik makna pencurian adalah tindakan mengambil sesuatu secara tidak sah atau tidak diketahui pemiliknya. Dalam hal ini mencuri ilmu dari pasar tetangga yang sudah ramai dikunjungi masyarakat bermakna mencuri sesuatu yang sudah dikerjakan oleh pasar tetangga untuk diterapkan di pasar yang baru. Apa yang dikerjakan oleh pasar tetangga harus bisa dilakukan di pasar yang baru, dilihat dari aspek managerialnya, adat-istiadatnya, pengelolaan fasilitasnya, dan lain sebagainya. Apakah penerapan ilmu per-pasar-an di Talun, Tumpang, atau Bulu sudah diterapkan di Pasar Gangsan? Jawabannya “Pasar Ngesengan tidak bisa mencuri menajemen dari pasar tetangga”. Yang ada adalah pengunjung semakin lama semakin sepi dan semakin sepi. Tentunya ada yang salah.

    Dimana Letak Salah Urusnya?
    Target prinsip adalah minimalisasi kendala dan memperkuat peluang.
    Menurut pengamatan saya dari jauh, kendalanya a.l

    • Kelengkapan fasilitas pasar, tidak dipagar sehingga keamanan barang yang disimpan oleh pedagang di Los Pasar atau Tuko tidak terjamin;

    • Manajemen Pasar tidak mengikuti perkembangan lingkungan pedagang dan petani khususnya ketersediaan fasilitas pendukung permodalan, mis : Bank Perkreditan atau lembaga serupa yang dibangun di Pasar.

    • Penghuni pasar bukan pedagang tulen. Sampai kapan pun jika penghuninya adalah sekedar orang punya duit yang bisa beli dagangan tetapi tidak bisa memasarkan, maka selamanya akan tidak berkembang.

    • Tidak mempunyai komoditas “Unggulan” yang menjadi daya tarik bagi tengkulak atau pembeli dari luar daerah Sawangan untuk datang ke Pasar. Komoditas tidak harus berupa barang hasil bumi, jasa dan produk handcraft tidak tersentuh sama sekali.

    • Tidak ada jaminan keamanan. Psikologis massa tidak merasa ada dalam keamanan dan kenyamanan dalam bertransaksi selayaknya pasar sebagai fasilitas transaksi. Maksudnya, sudah terlalu banyak dan meresahkan baik kalangan pedagang maupun pembeli yang “opyak” sering kehilangan uang tanpa adanya transaksi. Hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada bimbingan antisipasi dan solusinya. Awam yang menduga karena perbuatan “Thuyul” dls yang tidak masuk akal. Kalau memang benar, kenapa masih ada yang mampu berdagang hingga sekarang? Ada sesuatu yang salah pada sistem kemasyarakatannya barangkali atau daya pikir ybs. Masalah ini berlarut-larut tanpa ada solusi campurtangan Tokoh Masyarakat dan Aparat Keamanan dalam penyelesaian kasus ini....!!!  

    • Tidak ada yang bertanggungjawab terhadap maju dan mundurnya kemakmuran warga di sekitar Pasar atau Kemakmuran Pasar.

    Mampukah Mengatasi Kendala?
    Jika dilihat kendala tersebut diatas, fenomena yang sedang berjalan di masyarakat setempat adalah mereka tidak mau disibukkan dengan urusan orang banyak, tidak mau menambah pekerjaan yang tidak membawa keuntungan bagi dirinya. Dengan kata lain, rasa kegotongroyongan sudah pudar.  "APATIS" terhadap lingkungan sudah menggejala. Menurut pemikiran saya perlu dikaji lagi wacana dibawah.

    • Untuk meminimalisasi Kendala agar point-point tsb diatas diperhatikan, walaupun perlu waktu, tenaga dana yang tidak sedikit. Semua harus ikut bertangungjawab mencari jalan keluarnya secara bertahap.

    • Utamakan prioritas penanganan mulai yang berat sampai yang paling ringan. Misalnya, kalau yang terberat adalah keamanan, semua warga harus sepakat berperang melawan "ketidakstabilan". Tariklah kasus mistik menjadi kasus kriminal, sehingga Polisi pun nantinya bisa menyeret si pemilik thuyul dengan bukti-bukti yang kuat.

    • Berikan insentif bagi pedagang-pedagang, pelaku usaha tulen ke Pasar. Saya yakin pasar akan maju. Bisa dicoba mengundang Chinese satu orang saja (jangan banyak-banyak) nanti pedagang lokal kalah bersaing dan terdesak, justru akan menimbulkan masalah baru.

    • Beri kesempatan usaha bagi Pedagang Tulen dengan permodalan yang cukup.

    • Tolak para petualang masuk pasar, oknum seperti ini hanya akan memanfaatkan keuntungan semata, kios pasar dijadikan barang dagangan untuk dijual kembali kepada orang lain.
    • Hal khusus yang mengkhawatirkan dan masuk kategori "kondisi miskin secara struktural" adalah karena produktifitas warga yang rendah untuk melakukan upaya produksi yang berdampak pada daya beli masyarakat yang rendah.  Hal ini memerlukan pengentasan yang memerlukan penanganan berkelanjutan dengan dana yang cukup besar. 
    • Harus ada yang berdiri di depan "mandegani" untuk duduk bersama diantara semua pihak yang terlibat dengan kehidupan pasar dalam rangka mengidentifikasi masalah, mengorganisasikan pelaku pasar, merencanakan kegiatan, melangkah mencari solusi dan mengevaluasi kembali yang sudah dikerjakan.

    Demikian, sekedar tulisan kenangan dan wawasan, semoga bermanfaat.
    Oktober, 2010.

    Referensi :
    • Penuturan Pinisepuh Dsn Gangsan sebagai Pelaku Sejarah Berdirinya hingga tutupnya Pasar Ngesengan. 

    1 komentar:

    Unknown mengatakan...

    Pasar mburi omah ki kayane angel lik arep maju. Nek pasar ki ben pedagang2 besar do teka mrene ya kudu ana komoditas andalan, ana pedagang sing bener2 bisa mengkoordinir modal dlm jumlah besar, serius lik bisnis.