13 Jun 2017

Ajaran Orangtua tentang Perjuangan Hidup dan Kebenaran

Samidi Adisumarto bin Ronoredjo
Bapak saya, bernama Samidi dilahirkan oleh seorang kakek Walidjo Ronoredjo dan nenek Irah binti Setro Saiman pada tahun 1930. Tubuh kecil sekitaran 160 Cm, kulit mengkilat kecoklatan dan otot masih terlihat kalau beliau seorang pekerja juga di sawah. Sorot mata tajam dengan wajah teguh menandakan bapakku seorang pekerja fisik yang kuat, konsisten dalam berpendapat dan berwawasan jauh kedepan.

Walidjo bin Ranu Wiharjo berasal dari Dusun Penen Desa Ngaglik, Kecamatan Denggung Kabupaten Mlati dan istrinya Asih binti Setro Saiman bin Kartowirjo yang berasal dari Pepunden Posong. Konon pepunden Posong berasal dari kerabat Kasunanan Mataram yang mlesit keluar dari lingkungan kerajaan pasca Perjanjian Giyanti bersama beberapa Tokoh Mataram lainnya seperti R. Djonegoro, Kyai Margowongso (Margowangsan), R. Hadinegoro (Kuncen), Kyai Gelap Sayuto dan R. Dipo Kusumo (Gelap dan Kopen) di yang jasadnya dimakamkan di puncak bukit Gunung Kuli - Podosoko. 

Tahun 2017 ini bapak sudah berumur 87 tahun. Suatu umur yang tidak lagi disebut muda lagi tetapi sudah terlalu sepuh. Di kampung pun kawan-kawan sepantaran sudah mendahului menghadap Ilahi. Walaupun umur sudah sepuh, namun dalam kegiatan sehari-hari jiwa dan semangat kerja bapak sungguh luar biasa. Sebagai pensiunan PNS Guru SD yang pensiun tahun 1993 yang berarti sudah 21 tahun menikmati masa pensiun. Selama menjalani masa pensiun selama itu, beliau tidak sekedar ongkang-ongkang kaki menikmati hari-hari istirahat tetapi justru disibukkan dengan berbagai kegiatan pada pagi, siang dan sore hari.

Mengisi Waktu Luang dengan Kegiatan Bermanfaat
Tidak ada waktu luang dalam menjalani kehidupan sehari-hari walaupun sudah terlepas dari kewajiban tugas negara yaitu mengajar sebagai Guru Sekolah Dasar. Kegiatan yang diulang-ulang dan dilakukan dengan konsisten mengakibatkan budaya disiplin yang luar biasa dan bisa menjadi panutan bagi anak cucunya.

Setiap hari disibukkan dengan bangun pagi jam 05.00 wib langsung mengambil air wudhu dan sembahyang subuh, kemudian dilanjutkan dengan "mbedang" minum teh manis dengan makan snack seadanya, kadang singkong goreng, tempe goreng bahkan hanya cukup dengan gula jawa.

Setelah selesai acara mbedang bapak langsung mengambil cangkul dan sabit dan pergi ke sawah di seelah barat perkampungan, sebelah timur pasar kampung dan diatas lokasi sendang. Ketiga tempat tersebut bukan lahan miliknya sendiri. Lahan garapan di sebelah barat perkampungan seluas 3500 M2 adalah tanah sewa milik Pak Harto (alm) kerabat trah wayah Mbah Karto Karsini. Lahan garapan di atas sendang juga tanah sewa milik Mbah Minem (alm) anak Mbah Supotaruno (alm) dan lahan garapan sebelah timur perkampungan plus sebelah selatan Dusun Mudal adalah tanah milik sendiri. 
 
Yang dilakukan Bapak di sawah disesuaikan dengan kemampuan tenaga yang ada untuk tidak terlalu memakan banyak tenaga, cukup membersihkan rumput, mengalirkan air dari selokan ke areal persawahan, merompes dedaunan tanaman yang telah mati, menopang batang kacang panjang dengan galah bambu (lanjaran) dan kegiatan ringan lainnya. Kegiatan tersebut dilakukan setiap pagi sampai jam 10.00 setiap hari sehingga areal garapan sangat bersih. 
Jam 10.00 WIB bapak pulang ke rumah, mandi dan jam 12.00 makan siang yang dilanjutkan dengan sembahyang Dhuhur pada jam 12.30 WIB. Setelah sembahyang Dhuhur waktunya istirahat sampai jam 14.30 WIB. 
Jam 14.30 WIB berangkat ke sawah lagi di lokasi berbeda yang dilakukan secara bergilir atau di satu tempat bilamana masih ada kegiatan yang memerlukan keseriusan di suatu lokasi. Pekerjaan sawah untuk waktu sore dilakukan sampai jam 17.00 WIB, manakala matahari sudah mulai gelap semua kegiatan di sawah ditinggalkan.

Rutinitas malam hari diisi dengan berdoa setelah sembahyang Maghrib dan Isya. Waktu sehabis sembahyang sampai tidur jam 11.00 WIB digunakan untuk bertemu anggota keluarga di rumah mana membicarakan tentang kegiatan esok harinya, mana perlunya pembalian pupuk, bibit, pelengkap sarana pertanian seperti pupuk, galah bambu (lanjaran), keperluan menyewa tenaga fisik untuk mengolah tanah, menyemprot hama, memanen dan mengundang pembeli untuk menjual hasil panen bahkan perbincangan Rukun Tangga sekampung diluar kegiatan pertanian. 
Samidi dimasa muda

Sekilas Masa Kecil Samidi

Dikisahkan oleh yang bersangkutan, sejarah kehidupan Bapak saya semenjak kecil sangat memprihatinkan. Cerita perjuangan hidup masa kecil Bapak masa kecilnya di tahun 1930-an sebagai anak tukang kayu dan nenek usaha tempe hidup di rumah yang berpindah-pindah menempati pekarangan orang karena kedua orang tuanya tidak memiliki lahan pekarangan. Baru pada tahun  1950-an Nenek bisa membeli pekarangan yang ditempati sekarang milik kerabat dekat yaitu Mbah Supotaruno, yaitu suami dari Mbah Tambeng si anak "wuragil" dari Mbah canggah Kartowiryo.

Bapak dan 2 orang adiknya yaitu Paklik Kuru Ramidi dan Paklik Sugeng hidup dengan penuh kesederhanaan dan keterbatasan. Seorang Samidi sekolah hanya sampai tingkat SR singkatan dari Sekolah Rakyat (SD jaman sekarang). Setelah lulus SR bapak menganggur karena tidak dimungkinkan untuk melanjutkan ke tingkat SLTP yang waktu itu hanya ada di Muntilan dengan jarak sekitar 10 Km dari perkampungan. Yang jelas tidak cukup biaya untuk sekolah kesana. Selama menganggur itu banyak yang dia kerjakan, ya jual bibit kayu Jati, ya membantu mencangkul Mbah Parto Posong, dls.
Diceritakan saking terbatasnya kondisi sosial, salah satu family terdekatnya yaitu Mbah Parto ngendika kepada bapak : 

Bapak : "pripun mbah caranipun supados kula saged uwal saking kahanan kekirangan puniki"

Mbah Parto : "nek tak arani kahananmu, kowe kuwi saking lik ora duwe ancik-ancik"

Ancik-ancik disini dimaksudkan adalah tidak punya pendidikan yang cukup apalagi modal untuk berdagang atau usaha yang lain untuk menopang kehidupannya.

Mendengar kalimat filosofis Mbah Parto Posong, maka segala upaya lahir maupun bathin dilakoni untuk bisa kelura dari dunia kekurangan dan keterbatasan. Seorang Samidi menjalani dagang sepeda, bibit kayu Jati dan usaha kecil-kecilan yang lain hanya sekedar memenuhi tuntutan perut. 
Laku spiritual juga dilakoni dengan berpuasa diluar bulan puasa memanjatkan doa kepada Tuhan agar dirinya dan anak-cucunya dirahmati dengan pendidikan yang cukup agar dalam menjalani hidup dan kehidupannya dimudahkan dan mendapatkan ridhaNya.  
Upaya lahiriyah dan bathiniah dilakoni dengan khusu' tetapi tidak memaksakan diri untuk menganiaya organ tubuh untuk bekerja tidak sewajarnya tetapi lebih dari melatih kesabaran mengendalikan hawa nafsu.   
   

Nasib Mujur dari Seorang Tokoh Guru 
Di Dsn. Margowangsan ada seorang tokoh Guru jaman belanda yang namanya Mbah Saljum. Beliau bisa belajar sampai ke jenjang yang tinggi di sekolah guru karena orangtuanya termasuk orang kaya dan keturunan ningrat yang dipersyaratkan oleh Belanda. Konon istri Mbah Saljum masih keturunan dari R. Djojonegoro yaitu saudara lain ibu dengan Pangeran Diponegoro yang dimakamkan di Pekuburan Mudal.
Mbah Guru Saljum mempunyai kepedulian yang luar biasa. Beliau mempunyai obsesi untuk bisa mengangkat harkat anak-anak muda Dusun Margowangsan dikirim ke Kota Muntilan - Kab. Magelang untuk sekolah di Sekolah Guru Bantu (SGB) yang diselenggarakan oleh Pemerintah RI sebagai Guru Bantu (honorer) pada awal-awal pemerintahan setelah merdeka. Tidak sedikit anak-anak muda Dusun Margowangsan, Kebokuning, Sawangan dan sekitarnya dikirim untuk sekolah di SGB Muntilan yang notabene ikatan dinas Pemerintah. 

Tentunya untuk masuk menjadi murid SGB perlu persyaratan yang sesuai dengan kebutuhan sebagai calon pengajar. Celakanya anak-anak muda yang akan dikirim ke SGB ada yang kurang umurnya, ada yang terlalu tua ada yang jumlah nilai di Ijazahnya kurang. Mbah Saljum adalah seorang yang sangat bijak dan penuh dengan inovasi kreatif pada zamannya. Maka Mbah Saljum berakrobat agar seluruh pemuda yang dikirim dapat masuk diterima di SGB. Bagi yang kurang umur ditambah, yang terlalu tua dikurangi (termasuk bapak saya Samidi).
Tangan Tuhan telah mengubah nasib para pemuda kampung dari sebelumnya sebagai para penganggur menjadi guru-guru yang siap berjuang mengajar dimanapun ditempatkan (benum). 

Seorang Samidi mulai benum tahun 1959 mengajar di kampungnya sendiri. Karakter sebagai seorang guru mulai terlihat dengan sosok seorang yang keras dalam mengajar memperjuangkan anak-anak muridnya banyak dikenang oleh mantan murid-muridnya. Keinginan untuk membentuk karakter murid agar memiliki jiwa pejuang hidup sangat kuat dengan sering mengajarkan filosofi "tetesing banyu sing ngenani watu item, suwening suwe watu bisa bolong" yang berarti suatu tindakan yang dikerjakan dengan tekun dilakukan berulang-ulang insya allah akan mencapai tujuan. Biarpun tidak pandai kalau belajar tekun diulang-ulang setiap hari, insya allah akan menjadi anak yang pandai. Hal tersebut juga disebut "sapa temen bakal tinemu".

Empat orang Anak-anaknya Lulus Perguruan Tinggi 
Suatu kebanggaan seorang Samidi, walaupun sekolahnya di SGB setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) tetapi saya melihat buku-buku yang dipelajari cukup bermutu tinggi. Bapak banyak belajar tentang Ilmu Jiwa Anak (Psikologi Anak). Dengan menguasai ilmu jiwa anak, seorang guru faham tentang tahapan-tahapan transfer pengetahuan atau proses belajar mengajar mengikuti situasi  kejiwaan anak didik pada usia dini.
Beliau sering menanggapi pola belajar mengajar yang dilakukan para guru jaman sekarang, seakan-akan tidak mengenal psikologi anak yang beliau pelajari. Tahapan-tahapan memberikan pelajaran seakan-akan ingin meloncat kepada pencapaian ilmu yang lebih tinggi tetapi belum saatnya diberikan kepada situasi psikologis anak usia dini.

Guru Dengan Karakter Keras dan Disegani
Anak-anak muridnya mengenal bapak sebagai guru yang keras. Mata pelajaran yang diajarkan kadang dibumbui dengan kalimat filosofis budaya kejawen misalnya : sapa gawe nganggo, sapa temen tinemu lir tumetesing banyu ing watu item, dll. Kekerasan secara fisik kepada anak didik pun pernah dilakukan, misalnya melempar penghapus, kapur, dll, karena si anak sangat nakal. Untung belum ada Undang-undang Perlindungan Anak. Orangtua si anak justru berterima kasih karena sejak diperlakukan, si anak berubah sikap yang tadinya pemalas menjadi rajin.
 
Karakter keras dalam mendidik anak muridnya di sekolahan terbawa pada pendidikan anak-anaknya di rumah. Semua anaknya didorong agar anak-anaknya berprestasi. Jika membaca sekali belum hafal agar diulangi, diulangi dan diulangi sampai hafal. Kalau sudah hafal upayakan agar faham dengan persoalan. Akan lebih bagus lagi kalau belajar sekaligus memahami pelajaran, sehingga pelajaran akan masuk kedalam hati atau dengan kata lain menghayati pelajaran. Bilamana pelajaran dapat dihayati ditambah lagi dengan doa dimalam hari setelah belajar, maka insya allah menghadapi ulangan atau ujian akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Bagi anak-anak usia kuliah pola belajar dengan memahami pelajaran akan memudahkan dalam mempelajari ilmu yang digeluti. Dengan hanya menghafal kata kunci, maka dalam menghadapi ujian kuliah, tulisan Text Book yang berlembar-lembar cukup dengan hanya memahami beberapa kata atau beberapa kalimat saja.   

Keberhasilan menyekolahkan anaknya yang pertama menjadi cambuk bagi adik-adiknya. Selisih umur yang cukup jauh antara anak pertama dengan anak kedua, ketiga dan keempat, menyebabkan pola pembiayaan sekolah yang masih agak longgar pada anak pertama dan pembiayaan anak yang kedua, ketiga dan keempat jelas sangatlah berat. Walaupun dengan biaya yang sangat terbatas, perjuangan anak-anaknya yang luar biasa dan diiringi dengan doa kedua orang tua alhamdulillah semuanya lulus universitas.


Profile Simbok : Tarmini pada umur 75 tahun
Sungguh tidak bisa saya bayangkan bagaimana membiayai anak-anak kuliah pada masa itu. gaji seorang guru tidak seberapa. Dalam menangani beban ekonomi, Ibu saya juga tidak sedikit kontribusinya dalam menopang biaya makan dan kuliah anak-anak.Walaupun Ibu hanya lulus Sekolah Rakyat kelas 2 (Sekolah Ongko Loro) di Padasoka, naluri bisnis Ibu yang dididik sejak kecil dengan berdagang hasil bumi dari daerah Gunung Kuli ke Pasar Muntilan atau Pasar Talun yang jaraknya sekitar 10 Km naik turun jurang aliran sungai, Ibu banyak akalnya untuk mendapatkan uang dengan modal kekuatan otak dan otot kaki otot tangannya. Ibu jualan gorengan, meningkat jualan bubur, meningkat lagi jualan kain dan pakaian dikreditkan kepada warga masyarakat di pedesaan sekitar Gunung Kuli tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Allah telah menunjukkan rejekinya untuk kemuliaan anak-anaknya sampai anak-anaknya selesai kuliah semua, subhanallah. 

Perjuangan hidup menuju kemuliaan tidaklah murah. Perjuangan harus dibayar dengan tenaga, pikiran dan segenap inovasi langkah yang kadang dianggap tidak umum dilakukan oleh orang kebanyakan, yang tidak mengenal waktu dan tidak mengenal lelah pada zamannya. Orang Jawa memberikan istilah perjuangan luar biasa dengan "sirah dianggo sikil, sikil dianggo sirah". Perjuangan kadang harus mengorbankan sebagian kepemilikannya untuk memperoleh keberhasilan yang lebih besar yang disebut investasi. Namun tidak kalah pentingnya do'a Ibu Bapak nyata sekali memiliki andil dalam keberhasilan perjuangan tersebut. 

Ajaran Kejujuran dan Kebenaran  
Jujur adalah kesesuaian hati dengan tindakan dan ucapannya sedangkan kebenaran adalah kepatuhan menjalankan kegiatan sesuai dengan aturan baik aturan tertulis maupun yang tidak tertulis.

Setiap orangtua pasti menginginkan anak-anaknya hidup berkecukupan tidak terlalu kesulitan dalam menjalani hidup dan mencari penghidupan. Namun, orangtua saya tidak juga menginginkan anaknya bermasalah karena penghidupannya tidak benar. Dengan kata lain agar anak-anaknya "temen" atau mensyukuri terhadap pekerjaan dengan petunjuk Allah. Dengan bekerja penuh semangat dan bisa mengelola kejujuran, insya allah akan mendapatkan keberhasilan sesuai dengan perjuangannya. 
Dari kiri : Harsanto, Dowo, Bapak, Simbok, Aku, Budi

Ajaran kebenaran perlu diajarkan sejak usia dini. Rumah adalah forum implementasi aturan dengan aturan keluarga. Segala sesuatu yang dilakukan oleh orangtuanya akan dilihat dan diingat oleh anak-anaknya apakah itu kelakuan yang baik ataupun yang tidak baik. Orangtua sebagai "Panutan" adalah rangkaian film yang dilihat terus menerus setiap hari bagi anak-anaknya. Dari ayah sebagai seorang guru dan ibu pengusaha kecil sekaligus pedagang adalah film yang komplementer saling melengkapi dalam peri kehidupan saya dan tiga orang adik-adik saya. Tindakan guru yang memberi suri tauladan bagi anak didiknya di sekolahan banyak mempengaruhi karakter anak-anaknya dalam menjalani proses belajar mengajar mulai dari usia dini masuk TK dan SD sampai di bangku kuliah. Ayah saya lebih mengedepankan pemahaman penghayatan terhadap pelajaran untuk memperoleh hasil tes atau ujian yang memuaskan. Terlebih lagi penghayatan terhadap pelajaran akan tertanam dalam ingatan, insya allah

Taat proses belajar mulai dari membaca sampai dengan menghayati itulah ajaran kebenaran karena dengan penghayatan palajaran maka akan dapat menganalisis maksud pertanyaan yang diujikan oleh guru sehingga akan bisa menjawab pertanyaan tes atau ujian. Bilamana proses tidak dilalui hanya mengutamakan hasil, bisa jadi si anak dapat bertindak curang, tidak perlu belajar cukup dengan cara nyontek atau "ngerpek" pada saat ujian, untuk sekedar mendapatkan hasil yang tinggi walaupun tidak memuaskan hati tetapi justru meracuni hati bertindak tidak semestinya atau dengan kata lain bertindak tidak jujur.

Masih banyak lagi contoh tindakan atau ujaran orangtua dalam mendidik arti kebenaran dalam menjalani hidup dan penghidupan. Misalnya, dalam melakukan pekerjaan sehari-hari di tempat kerja, pada umumnya orangtua akan merasa senang dan bahagia jika anak-anaknya cepat memiliki materi untuk memenuhi segala keperluan hidupnya tanpa melihat darimana proses mendapatkan rejeki. Tetapi tidak demikian dengan orangtua kami. Orangtua kami lebih menginginkan anak-anaknya mendapatkan rejeki sesuai dengan hak nya agar hidupnya barokah, dalam arti dalam menikmati rejeki dari hasil kerjanya akan membuat hidup bahagia, bermanfaat bagi orang kebanyakan jauh dari mara bahaya dalam segala bentuk yang membuat celaka di kemudian hari
Nikmatilah rejeki yang didapat sesuai dengan hak-nya. Apalah gunanya jika rejeki melimpah tetapi tidak barokah, hanya membuat kesusahan di kemudian hari. 

Semoga bermanfaat.

Sumber : Bapak saya sendiri Samidi yang diceritakan kepada saya pada waktu-waktu senggang.
   
  

     




8 Sep 2016

Free Convert File PDF to JPG dan Risizing File PDF

Pembaca yang budiman,

Mari kita sharing pengetahuan terkait dengan rubah-merubah format file. Kadang kita ingin mengubah file dengan format PDF untuk dijadikan JPG untuk keperluan upload gambar yang mensyaratkan harus dalam format JPG. Namun kita kadang terbentur subscription sehingga untuk mengkonversi dari file PDF ke JPG masih perlu waktu. 

Dibawah ada aplikasi yang menyediakan free converter alias "gratis"

Silahkan Klik link dibawah :

Convert PDF to JPG for free : Simply an online, free PDF to JPG converter. Get the job done in a few seconds.

Atau bisa ditulis ke alamat situs : http://convertonlinefree.com/PDFToJPGEN.aspx


Setelah kita konversi menjadi JPG, ternyata memorynya terlalu besar untuk di-upload ke format permohonan online, sehingga terlebih dahulu PDF kita turunkan memorynya (resize) menjadi memory yang lebih kecil, kemudian kita konversi ke JPG.

Inilah aplikasi sederhana dan mudah untuk menurunkan file PDF anda :

 http://www.reducepdfsize.com/

Cukup Klik, lihat folder File, pilih Add file langsung file anda memorynya turun dan disimpan di folder khusus, disitulah file hasil "resizing" berada.

19 Mei 2016

"Margowangsan Karang Abang (lautan api) Sebuah Palagan yang Terlupakan



Ilustrasi pembakaran perkampungan (bukan situasi sebenarnya kurban pembakaran Belanda th 1947)
Introduksi



Tulisan ini adalah Fakta Sejarah bukan Fiksi. Saya menulis kisah ini karena terisnpirasi dari tayangan salah satu Stasion TV Swasta yang menayangkan kisah perjuangan masyarakat yang berjudul “Membuka Tabir antara Karawang dan Bekasi”. Gigihnya perjuangan dan gugurnya ribuan pahlawan tak dikenal di daerah tersebut, seharusnya Negara memberikan suatu apresiasi perhatian khusus kepada masyarakat dan lokasi peristiwa, apakah berupa monumen perjuangan atau bentuk lain, justru terlupakan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.



Sejarah mencatat bahwa pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, secara defakto di dalam diri masyarakat telah tertanam bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 telah terlahir Bangsa Indonesia. Setiap orang yang tinggal di wilayah Indonesia teguh mempertahankan kemerdekaannya dari kolonisasi Bangsa Belanda dan bertekad mandiri, apapun resiko yang akan terjadi.



Bagi Bangsa kolonial, baik Belanda, Inggeris dan Jepang mereka hanya mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia secara de-yure (formal) setelah ada perjanjian dan diakui kesepakatan kemerdekaan. Beberapa kali Konferensi atau Perjanjian antara Pemerintah Belanda dengan Aktifis Indonesia dan terakhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag th 1949, bahwa bahwa Bangsa Indonesia tetap pada pendiriannya ingin mandiri, merdeka terlepas dari kekuasaan bangsa lain. Walaupun secara de yure Indonesia merdeka tahun 1949, tetapi dalam diri setiap warga Indonesia tetap mengakui secara de fakto bahwa Indonesia merdeka sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Akal bulus Belanda untuk menancapkan kuku kekuasaannya untuk menundukkan bangsa Indonesia telah dimulai sejak Perjanjian Giyanti (1779) dengan hegemoni kekuasaannya dalam menentukan pilihan Bupati di seluruh wilayah Mataram. Juga dalam Perang Diponegoro yang berakhir dengan "penipuan" perundingan/penangkapan Pangeran di Kota Magelang yang melibatkan laskar pemuda dari daerah Kab. Magelang sebagai pengiring sang Pangeran. Pemerintah Belanda merasa kesulitan menghadapi perlawanan rakyat Indonesia yang bergerak massif dan sporadis. Perang atau “clash” yang terjadi pasca proklamasi semakin sengit.



Pemerintah Hindia Belanda pun tidak menyerah begitu saja. Pemerintah Belanda justru banyak merekrut putera-putera pribumi untuk berperang melawan bangsanya sendiri (politik adu domba).




Perjuangan Anak Cucu Laskar Mataram


Jika ditarik garis lurus Dusun Margowangsan dan sekitarnya hanya berjarak 15 Km dari Kota Magelang, Ibukota Karesidenan Kedu pada jaman pendudukan kolonial Belanda.



Masyarakat Sawangan – Magelang khususnya Dusun Margowangsan dan sekitarnya sudah mengenal kelicikan Belanda sejak adanya intervensi Belanda dalam Perjanjian Giyanti dan drama Perundingan Perundingan antara Pemerintah Belanda dan P. Diponegoro di Kantor Karesidenan Kedu di Magelang. Pengawal setia Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirdjo akhirnya pun juga tertangkap di daerah Sawangan. Namun, para pengikutnya tidak tinggal diam. Pada waktu-waktu tertentu para sahabat dan anak keturunan Sang Pangeran melakukan penyerangan secara gerilya ke tangsi-tangsi Belanda di Kota Magelang. 
 

Konon menjelang clash kedua tahun 1949 Belanda merencanakan penyerangan massif di beberapa kota besar pusat-pusat perlawanan rakyat kepada Pemerintah Belanda seperti di Ambarawa, Surabaya, Magelang, dll untuk menunjukkan eksistensinya sebagai Pemerintah Hindia Belanda yang masih eksis di negeri ini. 
Tidak luput daerah kantong kekuatan perlawanan rakyat Kecamatan Sawangan yang berpusat di Dusun Margowangsan menjadi salah satu sasaran penyerangan, tepatnya dengan membumihanguskan ruma-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Laskar Kemerdekaan.



Kenapa Margowangsan...



Pertama, Dusun Margowangsan dan sekitarnya sebelum Perang Diponegoro sudah dihuni oleh tokoh Mataram pasca Perjanjian Giyanti dari keluarga dan sahabat Paku Buwana-III  yang notabene merupakan kelompok yang menentang isi perjanjian. Artinya, sudah ada bibit turun-temurun bahwa nenek moyang masyarakat Dusun ini “Anti Belanda”. Dalam perkembangannya, pemuda-pemuda dari dusun ini bersama dengan Laskar dari beberapa tempat sering melakukan penyerangan ke Tangsi-tangsi tentara Belanda di Kota Magelang. Secara tidak langsung mereka para pemudanya terdidik berpolitik untuk memerangi Pemerintah Belanda.



Kedua, Pasca Peperangan Diponegoro yang berakhir dengan drama pengkhianatan dengan menangkap Pangeran Diponegoro, semakin memperruncing perasaan dendam kusumat. Otak culas Belanda mengkhianati suatu perjanjian tidak bisa dihapus dan semakin membakar semangat menggangu Tangsi-tangsi Belanda di Kota Magelang. 

Tercatat keluarga dan Sahabat Pengeran Diponegoro banyak yang tinggal domisili di Margowangsan dan sekitarnya, mis : R. Djojonegoro, R. Dirgonegoro, Ny. Suntiaking, R. Hdinegoro, R. Dipokusumo, dll yang hidup bersama masyarakat pedesaan dengan menyamarkan nama dan identitasnya. Anak cucu mereka ini secara turun temurun gigih memperjuangkan kemerdekaan dengan berbagai bentuk partisipasinya.



Ketiga, Dusun Margowangsan adalah Pusat para gerilyawan tangguh dan mumpuni dalam bertempur. Dari Dusun ini banyak lahir Tokoh-tokoh sakti, pemberani dan didukung oleh pengaruh yang kuat di masyarakat serta kekayaan secara materi diatas rata-rata kekayaan masyarakat pedesaan di sekitarnya. Banyak rumah-rumah tembok besar dan pekarangan luas yang menggambarkan kekuasaan materi melebihi Dusun-dusun di sekitarnya.

Pasca proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia merintis kekuatan rakyat dengan membentuk satuan keamanan yang berasal dari pemuda laskar, banyak pemuda dusun ini yang mendaftar menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Sebelumnya anggota TKR juga sudah ada yang menjadi KNIL pada penjejahan Belandan dan Heiho pada jaman penjajahan Jepang. Kelompok ini sangat militan dan aktif melakukan penyerangan ke Tangsi di Magelang. Tercatat beberapa pemuda anngota TKR di Dusun Margowangsan mis : Tamyis, Hilal, Sapar, Pawiro, Suwito, Ahmad dan masih banyak lagi. Mereka adalah para Laskar tangguh yang diincar untuk dihabisi Belanda.





Belanda Membumihanguskan Dusun Margowangsan



Pemuda laskar yang tergabung dalam TKR mencium adanya rencana gerakan Belanda yang akan membumihanguskan Dusun Margowangsan. Tiga hari sebelum penyerbuan Warga pedusunan sudah mengungsi. Sebagian besar mereka mengungsi ke Desa Jati yang berjarak sekitar 5 Km kearah Timur laut Dusun Margowangsan dan sebagian kecil mengungsi di lobang di tengah aliran irigasi Bendungan Kali Krasak yang jalurnya melewati lahan cadas.



Pada suatu hari (lupa tanggal dan bulan) tahun 1947 datanglah tentara Belanda ke Dusun Margowangsan mencari Tokoh-tokoh Pemuda yang diduga sering melakukan penyerangan ke Tangsi Belanda di Magelang. Boro-boro menangkap otak pelaku gerilya (extreemist), Belanda tidak menemukan satu orang pun yang tinggal di Dusun ini. Semua rumah sudah ditinggal mengungsi oleh penghuninya, tidak tahu warga lari kemana.



Kemarahan Belanda karena tidak menemukan ekstrimis, maka mereka membakarnya sebagian rumah-rumah yang dicurigai sebagai tempat persembunyiannya. Tercatat rumah yang dibakar sebanyak 49 (empatpuluh sembilan) rumah dari 78 total rumah di Dusun Margowangsan. Tercatat 4 (empat) unit Rumah Mbah Supo yang notabene merupakan rumahnya Mbah Tamyis salah satu Anggota TKR dibakar tetapi khusus rumah khusus Mbah Supo utuh, berkat kesaktian yang dimiliki beliau. Semua rumah yang dibakar terindikasi sebagai rumah-rumah para pemuda Laskar yang aktif sering melakukan penyerangan ke Tangsi Belanda di Magelang, seperti sudah ada ditandai oleh mata-mata Belanda.
 

Peristiwa pembakaran rumah Dusun Margowangsan tidak berdiri sendiri. Pasti ada informasi spionase sebelumnya yang sampai ke telinga Belanda. Para Pemuda Laskar pun bekerja siang malam mencari mata-mata "spion" dibalik pembakaran rumah oleh Belanda. Tertangkaplah seorang warga penghuni dusun yang kebetulan dari etnis “Ambon” dan diadili secara adat dengan segala sangsinya di Rumah Mbah Supo.



Sudah barang tentu pembakaran rumah bagi warga Pedusunan yang termasuk golongan masyarakat mapan secara sosial ekonomi merasa terpukul. Rumah-rumah gedung megah dengan pekarangan luas hangus seketika. Banyak warga khususnya para kaum ibu-ibu yang stress, jatuh sakit dan meninggal akibat “peristiwa bumi hangus tahun 1947”.



Mereka ingin melupakan peristiwa tersebut diatas. Seluruh dinding dan fondasi rumah dirobohkan. Hanya satu gedung yang ditinggalkan sebagai kenangan yaitu Rumah Mbah Karto Dimedjo yang terletak di sebelah timur selatan jalan yang dibiarkan tetap berdiri menyisakan kenangan kekayaan masa lalu.





Kontribusi Perjuangan Berlanjut


Margowangsan sebagai Dusun sekaligus Pasar pusat transaksi tradisional yaitu Pasar Besar Ngesengan. Peristiwa pembakaran tahun 1947 bagi Belanda bukan titik terakhir. Belanda mengincar tokoh-tokoh militan dari Dusun ini dan Belanda mengirim mata-mata.



Para laskar pun sudah berpengalaman menghadapi situasi perang. Mereka terdidik secara alami sejak dari kecil. Suatu hari Para Laskar berhasil menangkap mata-mata Belanda yang tengah beroperasi dan langsung dieksekusi dan dikubur di sebelah selatan Pasar. Kuburannya masih ada dan dipelihara oleh salah seorang warga hingga sekarang.

Perjuangan pinisepuh dalam kontribusinya ikut berperang melawan penjajah menginspirasi generasi berikutnya untuk tetap berkontribusi dalam perjuangan membela keamanan negara
Dusun Margowangsan pada jaman kemerdekaan dikenal sebagai basis koordinasi para Laskar untuk menghadapi clash Belanda. Tercatat dalam ingatan pinisepuh, bahwa salah satu rumah dekat Masjid tepatnya rumah Bapak Guru Saljum yang dikenal sebagai salah satu anak keturunan R.Djojonegoro (adik tiri P. Diponegoro), kemudian di rumah Bpk. Suparman (Bulu - Podosoka) digunakan sebagai basis TKR dan Laskar dari berbagai daerah. Pada jaman perjuangan, beberapa petinggi negeri dahulu pernah bermarkas di dua rumah ini a.l Sarwo Edhywibowo (alm) mantan Pangkostrad, R. Sudharmono (alm) mantan Wapres RI, dll.
 
Jangan disalahkan bilamana anak-anak muda baik laki-laki maupun perempuan banyak yang mendaftarkan diri masuk lembaga kemiliteran dan sebagian terjun ke bidang politik dan bertugas di Pemerintahan. 



Implikasi Pembakaran Dsn Margowangsan bagi Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Pedusunan


Secara kebetulan penangkapan dan pembantaian Spionase Belanda oleh Pemuda Laskar yang dikubur di dekat Pasar Ngesengan. Secara psikologis massa di pasar terpengaruh oleh peristiwa kematian “rojopati” seorang spion Belanda dengan segala bentuk berita yang berkembang. Secara tidak disengaja bahwa pengaruh peristiwa tersebut diatas membawa perkembangan massa yang semakin hari semakin surut minat para pembeli dan penjual yang datang ke Pasar.



Terakhir penampakan 2 (dua) Los Pasar masih terlihat pada tahun 1970, 1 Los Pasar berubah menjadi Gedung Sekolah Dasar, 1 Los Pasar Gudang Garam berubah menjadi Pos Pelayanan Malaria dan akhirnya mati sama sekali setelah Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto mulai membangun Rumah Dinas Camat, Markas Sektor Polisi, Markas Komando Rayon Militer, Rumah Dinas Dokter berikut Paramedis dan Lokasi Pengungsian Kurban Letusan Gunung Merapi.



Tempat penguburan Spionase Belanda walaupun tanpa nisan, namun penduduk terdekat (Mbah Sri Help alm dan Mbah Peni) yang notabene justru Rumah Orngtuanya menjadi salah satu kurban pembakaran Pemerintah Belanda, justru tergerak hatinya untuk selalu membersihkan kubur pemakaman di Belakang Gedung Pengungsian Kurban Merapi, hingga sekarang.



Perang melawan Pemerintah Belanda berlangsung ratusan tahun. Tidak terhitung berapa harta menjadi terbuang hangus terbakar, berapa ribu nyawa masyarakat pribumi melayang menjadi kurban perlawanan, berapa tetes airmata tercurah akibat kehilangan harta benda miliknya dan nyawa sanak saudaranya. Biarkan negara tidak mengenalnya, biarkan rezim tidak mencatatnya, PAHLAWAN KEMERDEKAAN TAK DIKENAL adalah syuhada sejati. 
Semoga  anak cucu para pejuang dapat menikmati jerih-payah perjuangan para Pahlawan yang telah mendahului kita, amin. 

Legi Rembesing Madu...
Bibit dan Bobot nama besar ketokohan seseorang akan menurun pada generasi berikutnya, entah generasi yang keberapa nama besar yang bersangkutan akan menitis.
  
Tercatat nama-nama tokoh besar lahir dari Kawasan ini yang tampil diberbagai bidang pemerintahan maupun non pemerintahan dan mulai tahun 1970 hingga saat ini, antara lain :   
  • Mbah Sosro, Wedana Klaten thn 1960-an, asli Margowangsan;
  • Mbah Kardanun, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Magelang thn 1955-an, asli Margowangsan;
  • Drs. Suparman, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Magelang thn 1970-an, asli Bulu - Podosoka;
  • Kolonel Sugito, Perwira TNI AU (thn 1990-an), asli Margowangsan;  
  • Kolonel Murwani Korp Wanita Angkatan Darat (KOWAD) 1980-an, asli Margowangsan
  • Letnan Kolonel Polisi Moh. Juweni (alm) thn 1990-an, asli Mudal;
  • Mayor Polisi Sunarno (alm) thn 2010-an, asli Margowangsan;
  • Kolonel Lilik Sudaryati (alm) Korp Wanita Angkatan Darat (KOWAD) thn 2010-an, asli Margowangsan;
  • Majend Herindra tahun 2015-an, asli Penggaron - Desa Gondowangi 
  • Tahun 2000-an hingga saat ini Pejabat Negara, Profesional, Tokoh Agama bermunculan yang tidak ditulis satu per satu disini    


Merdeka negriku, damai sejahtera nan sentausa rakyatnya......insya allah. 







Sumber berita :

Kisah ini saya himpun dari pitutur, cerita turun temurun para Pelaku Sejarah yang bertindak sebagai Laskar Pemuda, pemilik rumah kurban pembakaran dan penduduk pedusunan yang ikut mengungsi dari penyerangan Belanda yang pada saat ini (tahun 2016) usianya sudah diatas 70 tahun, bahkan sudah ada yang 85 tahun.

  1. Anonim (…...), Fakta dan Cerita turun temurun sesepuh Dusun Margowangsan
  2. Pak Samidi (1995), Kisah kegigihan pemuda Margowangsan dalam bergerilya di Tangsi, Mgl
  3. Pak Suryadi Achmad (2016), Berita WA Kisah Pengalaman Bumi Hangus Dusun Margowangsan.