28 Agu 2010

" “Daun Sirih”, Obat Herbal Serbaguna Sepanjang Masa

Ada sebuah tradisi pada masyarakat pedesaan kita yang masih berlaku hingga sekarang, yakni bila seseorang sakit gigi, apakah pada bagian gusi ataupun sampai longgar mau tanggal, maka petik saja 4-5 lembar daun sirih tua. Lalu, cuci-bersih, remas-remas, masukkan ke dalam gelas atau cangkir, tambahkan air panas secukupnya digodok dengan 1 gelas air. Setelah masak, biarkan sampai dingin. Airnya gunakan sebagai bahan kumur atau minum sebagian, sampai habis. Jangan heran jika 1-2 hari kemudian, rasa sakit tiba-tiba menjadi hilang dan kedudukan gigi yang sudah longgar mulai baik, serta hilang semua penderitaan sakit gigi yang menyiksa.

 Kebiasaan lainnya, di antara para wanita, yang tiba-tiba terasa gatal sekitar "kawasan vagina" yang beberapa hari tidak hilang-hilang, dengan mencucinya dengan air daun sirih beberapa kali, dengan takaran 8-10 lembar untuk jumlah air panas sekira 1/2 ember (lk. 5 liter), rasa gatal-gatal yang mengganggu, akan hilang secara tiba-tiba.

Tradisi lainnya adalah penggunaan daun sirih untuk mencuci ”kawasan vagina” yang selalu berlendir sehingga mengganggu hubungan intim suami istri. Caranya, daun sirih direbus dan air rebusannya digunakan untuk mencuci “kawasan vagina” setiap pagi atau sore. Dengan cara demikian, (konon) hubungan intim akan lebih segar, lebih lancar, dan tidak lagi terganggu oleh lendir yang berlebih.

Kandungan kimia :

Sirih (Piper betle) adalah jenis tanaman perambat yang diakui banyak kegunaannya di hampir semua tempat di Indonesia dan memiliki nama beragam. Misalnya ranub (Aceh), belo (Batak Karo), demban (Batak Toba), lahina atau tawuo (Nias), sireh, sirih (Palembang), suruh, sirih (Minang), canbai (Lampung), seureuh (Sunda). Namun, nama yang paling umum adalah sirih.

Kandungan kimia yang terdapat pada daun sirih terdri dari minyak asiri, hidroksikavicol, kavicol, kavibetol, allylprokatekol, karvacrok, eugenol, p-cymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, terpenena, fenil propada, tanin, dan sebagainya. Karena kelengkapan kandungan zat/senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Bahkan di dalam upacara adat pun, peranan daun sirih sangat dominan, seperti antara lain dalam upacara “ngeuyeuk seureuh" sehari sebelum pernikahan di keluarga Sunda, "sekapur" sirih pada acara-acara di kawasan Sumatra.

Yang paling menonjol adalah manfaat daun sirih untuk pengobatan, yang jumlahnya sangat banyak, mulai sebagai obat batuk, bronchitis, gangguan lambung, rematik, menghilangkan bau badan, keputihan, dan sebagainya. Bahkan, rebusan daun sirih juga sangat bermanfaat untuk obat sariawan, pelancar dahak, pencuci luka, obat gatal-gatal, obat sakit perut yang melilit, obat jantung, menghentikan pendarahan.

Penanaman sirih tidak berbentuk kebun. Di pedesaan, hampir semua pekarangan rumah, walau hanya satu pohon saja, sirih ditanamkan. Sehingga begitu diperlukan, tinggal memetik sesuai kebutuhan. Budi daya tanaman sirih sangat sederhana, umumnya berbentuk stekan batang dewasa yang memiliki bagian bukunya (yang akan menghasilkan akar kalau ditanamkan), atau disetek pada bagian bukunya di atas. Kalau kemudian sediaan batang-bibit tersebut, ditanamkan pada tanah gembur dan basah, hanya dalam waktu singkat, tunas akan tumbuh. Perlu disiapkan kayu atau batang karena sirih merupakan tanaman perambat. Kalau tanah tempat tumbuhnya gembur dan lembap (misal selalu dilakukan penyiraman sesuai kebutuhan) dalam waktu singkat rambatannya akan memenuhi batang perambat sejak dari dasar (dekat tanah) sampai ke bagian pucuk tanaman.

Kegunaan

Beberapa cara penggunaan daun sirih untuk banyak kegunaan, seperti yang sudah diakui di mana-mana antara lain:

1. Sebagai obat untuk diminum. Caranya, 10-15 lembar daun sirih tua direbus dengan air bersih. Usahakan tidak menggunakan air ledeng yang masih tercium bau kaporitnya. Setelah mendidih dan didinginkan, kemudian disaring, saringannya ditempatkan di dalam gelas. Umumnya penambahan air untuk merebus 10-15 lembar daun sirih, adalah 4-6 gelas, serta setelah penggodokan lebih baik menggunakan daun sirih baru.

Manfaat saringan godokan daun sirih ini, antara lain untuk menghilangkan sakit gigi/sakit gusi, atau untuk memperkuat kedudukan gigi yang mulai goyang. Setelah 2-3 kali menggunakan air rebusan ini, rasa sakit dan goyahnya kedudukan gigi, akan berkurang atau hilang samasekali.

Rebusan air bersih ini pun, dapat digunakan untuk menghilangkan bau badan atau bau keringat. Tanpa diminum tetapi digunakan sebagai cairan kumur-kumur, godokan daun sirih dapat digunakan untuk menghilangkan bau mulut, menghilangkan sariawan, menghentikan pendarahan pada gusi dan memperkuat kedudukan gigi.

2. Sebagai obat luar, misal kudis, gatal-gatal, koreng, bisul, luka bakar, dan sebagainya. Caranya, daun sirih yang digunakan sekira 20-25 lembar, dihancurkan atau daunnya diiris-iris, kemudian ditambah air bersih secukupnya, dan dijadikan sebagai pencuci atau "pengompres". Rasa sakit ataupun gejala sakit, dalam 5-6 kali pemakaian akan segera hilang.

Seperti untuk pengobatan bisul, selain menghilangkan bengkak, rasa sakit juga akan segera hilang. Hal yang sama juga untuk jerawat, setelah beberapa penggunaan dengan cara dioleskan atau dilulurkan, jerawat akan segera hilang.

Akhirnya bagi ibu-ibu yang baru melahirkan serta memiliki kelebihan produksi ASI, maka daun sirih dapat digunakan untuk menguranginya dengan cara antara lain:

Beberapa lembar daun sirih, jangan terlalu tua dan jangan terlalu muda, diolesi minyak kelapa permukaan atasnya, dihangatkan sebentar, kemudian tempelkan pada payudara yang agak membengkak. Dalam beberapa hari di samping bengkaknya akan hilang, juga kelebihan ASI akan teratasi.***

Selamat mencoba :
Agus Prasodjo
Referensi :
Naskah Unus Suriawiria (Dosen Bioteknologi ITB)

26 Agu 2010

Dusun ngGelap yang Aku Kenang

Assalamu'alaikum wr. wb.

Dusun Gelap atau orang setempat menyebut ngGelap (ater-ater hanusworo "ng" menunjukkan tempat dan kata dasar "Gelap") bukan berarti dunia gelap (jw : peteng), tetapi lebih mendekati harfiah Jawa Pegunungan yang berarti "petir". Lintasan listriknya disebut k "thathit" atau kilat. Penggunaan kata samber nggelap berarti  disambar petir.


Rumah Nenekku dan perumahan pada sebagian warga
dgn karakter atap genteng, lantai tanah, gebyok kayu besiar (sengon)



Dalam ingatanku kampung yang terletak di kaki Bukit Kuli (baca ngGunung Kuli), yang berada di Desa Poodosoka Kec. Sawangan Kab. Magelang ini, adalah sebuah kampung tempat ibuku dilahirkan dan tempat aku dikala kecil bermain bersama teman sebaya, walaupun sifatnya hanya secara kebetulan menengok famili ke kampung tersebut. Kampung ngGelap yang berada di ketinggian ± 700 M dpl, jenis tanah lempung Latosol kuning hitam, curah hujan kurang dan sering terjadi kekeringan pada saat kemarau panjang.

Pada masa kecilku tahun 1970-an, matapencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah petani lahan kering atau tegalan, berternak sapi dan sebagian lagi pedagang . Kenanganku pada masa kecil tidur di Rumah Nenekku terasa tinggal di gurun pasir. Jika musim panas dengan rentang waktu cukup panjang, tanah kering berdebu, matahari mengenai kulis jadi bersisik, persediaan air di Sungai Gono ± 3 Km di sebelah barat laut kampung mengering, Kali Nongo ± 2 Km di sebelah timur kampung  semakin lama semakin mengering juga. Panas matahari di musim kemarau hanya terasa pada tengah hari. Selebihnya waktu panas sinar matahari terkalahkan dengan angin dingin pegunungan. Warga setempat terlihat selalu mengenakan sarung yang tampak membalut tubuh bagian atas biar pun di siang bolong. 

Tidur di dipan panjang (amben) terasa udara dingin di malam hari menusuk tulang walaupun sudah berselimut sarung dan tikar. Sanitasi pada saat itu masih sangat kurang, situasi ekonomi masih sangat terbatas sehingga belum ada upaya mengalirkan air dari mata air pegunungan ke kampung. Kondisi masyarakatnya sangat-sangat tradisional. Sesaji bakar kemenyan masih dilakukan di lokasi-lokasi angker seperti kuburan, mata air tempat warga kampung mandi dan "ngangsu" mengambil air untuk minum.

Iklim di daerah tersebut sampai kearah puncak G. Merbabu bisa dibilang beriklim kering. Pada musim penghujan, hari-hari hujan hanya berjalan sangat singkat, kalau musim kemarau sangat panjang dan kandungan kelembaban udara . Sungai-sungai kering di musim kemarau dan banjir di musim penghujan. Kesulitan air pada musim kemarau menyebabkan sanitasi kurang diperhatikan pada masa itu. Nah, bagaimana saat itu aku menengok famili di kampung seperti itu? Wah, sulit diceriterakan khususnya pada saat buang hajat, harus menggunakan teknologi khusus "peper". Tetapi kondisi sekarang sudah berubah lebih baik, tidak ditemukan lagi teknologi kuno tersebut karena warga membuat pipa saluran air dari mata air di Dusun Clebung Gunung yang jaraknya sekitar ± 4 Km dari kampung.

Perasaan sangat bertolak belakang jika dibandingkan kampung tempat kakekku di Margowangsan yang dikelilingi sawah dan sungai di sebelah utara dan selatannya dengan aliran air yang tidak pernah kering. Sudah sewajarnya kebiasaan di kampungku Margowangsan yang buang hajat tinggal nangkring di K. Krasak jika bermalam di rumah nenekku di ngGelap aku harus berlari menuju Kali Nongo yang berjarak ± 2 Km sambil menahan "ngampet" agar barang tidak keluar di jalan demi membuang segumpal barang. Kenangan ini tak terlupakan sepanjang sejarah. Bagaimana jika sakit perut di malam hari? Atau di siang hari tetapi di tengah perjalanan ternyata tidak kuat menahan sakit perut? Situasi demikian harus mencari tempat yang rimbun agar tidak dilihat orang yang biasanya di tegalan atau kebon kosong. Terus pakai apa mencucinya, sementara tidak ada air tersedia cukup. Air hanya untuk memasak di dapur dan memasak nira menjadi gula merah. Kejadian ini ternyata warga setempat sudah terbiasa dan bukan barang baru lagi, sehingga sudah jamak "bau wangi" selalu mewarnai di setiap akses jalan dari dan menuju kampung tersebut yang dihiasi pepohonan tanaman tegalan.

Dari kiri, Mbah Ramli (alm), Mbah Siti (adik nenek) dan Ibu saya (Tarmini)


Dusun ngGelap juga menyimpan kenangan mistis, karena kampung yang berdekatan dengan G. Kuli dipercaya warga (pada masa itu) sebagai bukit tertua di Tanah Jawa dan mempunyai hubungan erat dengan kehidupan Nyi Roro Kudul. beberapa kejadian mistis a.l,  jika pada suatu saat ada Burung Merpati terbang malam dan arahnya ke selatan, maka warga mempercayai burung merpati tersebut adalah merpati Gunung Kuli yang melapor ke Nyi Roro Kidul bahwa akan ada musibah penyakit (pandemi). Jika suatu saat terdengar "lampor" atau suara gemuruh seperti ramainya orang di pasar melintas diatas langit, maka akan ada anak kecil yang akan meninggal dibawa oleh pasukannya Nyi Roro Kidul.

Kakekku yang bernama mBah Ali adalah pedagang sapi yang meninggal akibat dampak sceenering (penurunan nilai) mata uang rupiah dan nenekku yang merupakan kerabat dari Kopen Desa Podosoka. Beliau meninggalkan tegalan cukup luas namun tidak meninggalkan ilmu kepada ibuku karena sekolah paling tinggi di kampung itu hanya sampai Kelas 2 SD. Masih bersyukur ibuku punya bakat berdagang sehingga hidupnya tidak terlalu kesulitan.

Jika dilihat dari kondisi lingkungannya, kondisi masyarakat petani ladang mendakati petani subsistence, atau petani yang hanya bisa hidup untuk mencukupi dirinya sendiri. Hanya warga yang mempunyai terobosan untuk hidup lebih kratif saja yang bisa meningkat kesejahteraannya misalnya berternak ayam, berdagang hasil bumi keluar daerah atau mencari alternatif menanam tanaman yang mempunyai nilai pasar tinggi dan sesuai dengan kondisi tanah dan lingkungan setempat seperti lada, apel, anggur, dls tetapi hal ini perlu penelitian mendalam.

Kesan mendalam terhadap kampung tersebut adalah bahwa masyarakatnya hampir seluruh kampung adalah satu famili dengan budaya tradisional yang penuh keakraban tetap dipertahankan, seperti halnya mengerjakan tanah tegalan, membangun rumah dan ritual "nyadran" menjelang bulan romadhon. Budaya nyadran yang dilakukan setiap tahun merupakan undangan secara spiritual kepada seluruh warga dimana pun berada untuk bisa pulang kampung melaksanakan sambahyang kubur mendoakan arwah para leluhur di lokasi yang ditentukan yaitu di samping areal pekuburan.

Nyadran bagi saya bukan ajaran musyrik karena niatku bukan meminta doa kepada para arwah nenek moyang tetapi mendoakan arwah leluhur yang sudah mendahului kita. Lebih jauh lagi dilihat dari aspek sosiologi, ritual nyadran adalah media dakwah, sliaturahmi, membina ketebalan iman dan membina jiwa sosial untuk berbagi makanan kepada sanak saudara.

Tulisan saya tersebut diatas adalah sekelumit kenangan dan masih banyak lagi jika dituangkan dalam tulisan.Tentunya kondisi sekarang sudah jauh berbeda. Warga dusun ngGelap sudah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi, minimal SLTA,  pola penghidupan sudah bervariasi tidak hanya berladang seperti halnya berdagang, pegawai Pemerintah dan wiraswasta beternak ayam broiller. Sanitasi sudah meningkat dengan mmengalirkan mata air menggunakan pipa paralon dari Dusun Clebung nGunung di sebelah timur Bukit Kuli. Yang tetap dipertahankan adalah pola kemasyarakatannya yaitu kekeluargaan yang tinggi dengan tetap memelihara tali silaturahmi, minimal sekali dalam setahun yaitu pada hari-hari "nyadran" dan "lebaran". Kita bertamu ke setiap rumah warga, maka harus siap-siap perut dikempeskan untuk "menikmati suguhan di setiap rumah". Silaturahmi lebaran atau istilah umum disebut "ujung" identik dengan ritual bertamu yang harus "menikmati hidangan makan" yang telah disediakan pemilik rumah. Ternyata adat demikian terjadi di seluruh masyarakat khususnya di sekeliling lereng G. Merbabu dan Merapi. Adat istiadat yang ekstrim, jika seseorang bertamu pertama kali ditawarkan sesuatu untuk dimakan ternyata si tamu tidak berkenan menerima tawaran pemilik rumah, maka selamanya si tamu tersebut tidak akan ditawarkan apapun. 

Ooo, ternyata adat tersebut diatas terjadi juga di masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dan masyarakat Dayak & Melayu di Kalimantan, perihal penawaran suguhan adalah merupakan "pamali" jika ditawari suguhan dan tidak dicicipi sekalipun, maka diyakini akan membawa bencana bagi yang bersangkutan.


Salam hormat saya kepada sanak famili yang kebetulan membaca tulisan ini. Jik kurang berkenan mohon dikomentari, saran serta kritik yang konstruktif kami harapkan untuk kesempurnaan tulisan yang akan datang.

Wassalam,
Agus Prasodjo