11 Des 2015

Sorosilah Sodongso (Pangeran Wirjo Dipoleksono)

Eyang Kartodiryo, satu dari 9 putra pepunden Posong
Sorosilah atau silsilah, silsilah keluarga, bagan silsilah, atau diagram silsilah adalah suatu bagan yang menampilkan hubungan keluarga dalam suatu struktur pohon sehingga disebut juga pohon keluarga (family tree). Data keturunan atau genealogi ini dapat ditampilkan dalam berbagai format. Salah satu format yang sering digunakan dalam menampilkan silsilah adalah bagan dengan generasi yang lebih tua di bagian atas dan generasi yang lebih muda di bagian bawah.
Bagan leluhur, yang merupakan suatu pohon yang menampilkan pepunden atau leluhur seorang individu, memiliki bentuk yang lebih menyerupai suatu pohon, dengan bagian atas yang lebih lebar daripada bagian bawahnya. Beberapa bagan leluhur ditampilkan dengan seorang individu berada pada sebelah kiri dan leluhurnya di sebelah kanan.
Bagan atau catatan gambaran keturunan dari seseorang sampai kepada keuturunan tertentu yang dibuat dalam bentuk "Pohon Keluarga" atau family tree. 

Sorosilah Sodongso adalah pohon keluarga yang menggambarkan anak-beranak dari Pepunden Induk Trah Sodongso (P. Wirjo Dipoleksono) yang bermukim di Dusun Margowangsan dan beranak pinak di Pedusunan Posong, Butuh, Gadingsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Sodongso menurunkan 10 orang anak hingga generasi sekarang tahun 2022 sudah sampai pada Generasi Ke-5 dan Ke-6. 

Induk Trah berjumlah 3 (tiga) bersaudara, yaitu (1) Sodongso (P.Wirjo Dipoleksono) tinggal di Margowangsan, (2) Kyai Kasan Iman (P. Diponido/BPH Hadi Negoro) tinggal di Kuncen dan (3) Annonim bermukim di Dusun Gadingsari.

Ketiga orang adik beradik tersebut belakangan diketahui sebagai Kerabat Raja-raja Mataram yaitu putera Hamengku Buwono III, adik dari P. Diponegoro beda Ibu. 

Perang Diponegoro tidak berhenti pada tipu muslihat Belanda yang super keji terhadap P. Diponegoro yang konon akan diajak berunding namun berujung dengan panangkapanan di Kantor Karesidenan Kedu di Magelang dan diasingkan ke Makasar terus ke Menado. Belanda tetap mengejar para Pengikutnya yang merupakan Adik-beradik dan Family P. Diponegoro. Oleh karenanya para Pengikutnya menyebar ke daerah sekitar  Kota Magelang. Pengikut setia P. Diponegoro tersebut lebih dikenal dengan 9 (sembilan) Dipo dan menyamar berganti nama termasuk Dipoleksono sebagai Sodongso, Diponido sebagai Kyai Kasan Iman, Dipokusumo (akhir hayatnya dikubur di puncak Gunung Kuli).

Mereka bertiga meninggalkan nama aslinya dan tidak kembali ke Mataram dalam rangka menghindari kejaran Tentara Belanda. Bahkan nama kesehariannya pun tidak banyak yang kurang dikenal masyarakat umum hingga saat ini. Sebelum peperangan P. Diponegoro melawan Tentara Belanda, di Pedusunan tersebut di atas sudah bermukim Kerabat Mataram pasca peristiwa Perjanjian Giyanti tahun 1779 dan anak keturunannya berinteraksi dengan  peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825 hingga 1830. Era perang Diponegoro inilah gelombang kedua prajurit Mataram banyak yang berinteraksi dengan pendatang gelobang pertama bahkan bermukim di daerah ini hingga akhir hayatnya. Situs nisan di beberapa makam di daerah Sawangan sebagai saksi bisu yang menunjukkan keberadaan para Tokoh Mataram bermukim dan meninggal di sini.

Bagi yang tertarik ingin mempelajari lebih jauh silahkan menelusuri situs-situs berupa Nisan-nisan di Pekuburan Posong, Mudal, Margowangsan, Gadingsari dan Kuncen. 
 
Narasumber (Mbah Slamet Sahli, 2003) ngendika keturunan pertama Pepunden Posong jumlahnya 10 orang dan diantaranya ada yang kembar. Masukan demi masukan informasi akhirnya bisa digambarkan pada Bagan Sorosilah dibawah.  

Tercatat sementara, dari 9 (sembilan) orang anak menurunkan sekitar 45 (empatpuluh lima) cucu  dan menurunkan lebih dari 100 buyut. Dari 100 buyut sudah menjadi (n) canggah dan dari n canggah menjadi (nn) Wareng dan (nnn) Udheg-udheg. Pada tahun 2015 sudah ada beberapa keturunan yang sudah sampai Udheg-udheg. 

Sebagai indikasi keberlangsungan generasi, pada tahun 2022 anak pertama pepunden sudah menginjak generasi ke-7 sedangkan putra bungsu sudah menginjak generasi ke-5 dengan usia balita hingga paruh baya. 

Silahkan periksa Bagan Sorosilah dibawah walaupun masih banyak yang belum teridentifikasi dan masih perlu direvisi, bilamana ada sumber shahih yang mengusulkan untuk direvisi. Semoga bermanfaat.

Sumber :
1. Pak Samidi, Margowangsan - Sawangan, 2003
2. Mbah Slamet Sahli, Dampit - Mertoyudan, 2003
3. Mbah Suharto, Ngaglik Nduwur - Sawangan, 2007
4. Pak Turmudi, Tangerang, 2013
5. Pak Sutrisno, Margowangsan - Sawangan, 2013
6. Pak Suryadi Ahmad, Purwokerto, 2015   
7. Yosodipuro, Babad Gijanti, 1755 (Wikipedia)



MENELUSURI SOSOK TOKOH SODONGSO
(Sodongso alias Pangeran Wirjo Dipoleksono alias Wirjo Digdonegoro)

Siapa Sosok Sodongso...

Ilustrasi Sodongso alias P.Wirjo Dipoleksono


Maksud penelusuran Silsilah Sodongso bagi Brayat turun waris Posong Sagotrah adalah upaya menelusuri Pepunden Cikal Bakal Trah yang menurunkan 10 putra/putri yang dikenal oleh Turun Waris saat ini (2022).
Penelusuran secara visual berupa dokumen, penuturan primer dari Sesepuh Trah dan Situs Petilasan yang mengindikasikan keberadaan sosok aslinya juga belum diketemukan karena sesepuh yang mengenali silsilah sudah tidak ada lagi. Oleh karenanya, penelusuran dilakukan menggunakan logika alternatif antara lain :
(1) Mengumpulkan penuturan, kisah cerita yang pernah didengar oleh beberapa ahli waris yang bisa dipertanggungjawabkan;
(2) Mengunjungi situs petilasan dan
(3) Menelusuri lewat metafisik "kekuatan ilmu olah batin" kemampuan supranatural dari beberapa ahli waris yang menggeluti bidang tersebut  yang secara kebetulan saat ini (2022) ada yang mewarisinya.

Adapun tujuan penelusuran Silsilah Sodongso adalah untuk mencari titik terang siapa sebenarnya Sosok Sodongso. Tujuan lebih jauh adalah untuk memberikan pencerahan kepada generasi turun waris Tokoh Sodongso bahwa yang bersangkutan mengetahui silsilah Sang Tokoh secara lebih (credible) terpercaya, jauh dari tujuan mencari pengakuan (jw : ngaku-ngaku) sebagai keturunan Darah Biru

 Penelusuran Bukti-bukti Penuturan Otentik :

Mengumpulkan bukti-bukti penuturan autentik kisah-kisah yang diceritakan Pinisepuh dan Turun Waris yang mendapatkan informasi metafisik dari seorang ahli supranatural "linuwih".

Sosok Sodongso mempunyai 10 (sepuluh) anak dan masih terjaga hubungan silaturahminya hingga saat ini.  Kesepuluh anak Kabuyutan tersebut adalah sbb :

1. Kartowirjo (Gangsan)
2. Djojo (Bendan)
3. Kartorejo (Butuh kulon)
4. Kartodirjo (Posong)
5. Kartodurjo (Butuh kulon)
6. Pm (Popongan)
7. Pm (Mawungan)
8. Niti (Plalangan)
9. Pawiro (Gadingsari)
10.Kartodimedjo (Posong)

Catatan Penuturan Turun Waris sbb :

Tahun 2022,  turun waris dari 10 (sepuluh) kabuyutan tersebut di atas masih memelihara tali silaturtahmi walaupun belum secara lengkap dan intensif melakukan acara-acara keakraban, namun sudah cukup bagus terselenggara khususnya untuk yang berdomisili dai Jakarta dan sekitarnya. Namun demikian dari sekian turun waris kesepuluh kabuyutan belum ada yang tahu pasti siapa Pepunden Cikal Bakal yang menurunkan kesepuluh Sosok Kabuyutan tersebut di atas, namun upaya untuk mencari dan menemukan melalui berbagai cara semakin lama semakin menemukan titik terang. 

Tahun 1970an Mbah Urip Muljodikromo (kakaknya kakek saya Walijo Ronoredjo) menceritakan bahwa jaman dia kecil sering mendengarkan kisah cerita-cerita ayahnya Ranudikromo, adanya keakraban Mbah Sodongso dengan adik kerabatnya Kuncen Kyai Kasan Iman dan Mbah Urip sering diajak Sebo ke Keraton Mataram Jogja dan Solo.    

Tahun 2003 Mbah Slamet Sahli (Dampit) adik kandungnya nenek saya Yung Irah menceritakan bahwa Pepunden Posong Sagotrah bernama Sodongso atau Eyang Sodong adalah sosok yang sangat sakti, memiliki ilmu Pancasona yang tidak mati jika menyentuh bumi dan berumur sangat panjang dari tahun 1795an seumuran Pangeran Diponegoro meninggal awal tahun 1900an. Eyang Sodong atau Mbah Sodongso sangat tidak suka kepada Pemerintahan Belanda sebagai dampak dari Perjanjian Giyanti dan penangkapan P. Diponegoro di Karesidenan Kedu - Magelang. Sodongso adalah Aktor peristiwa heroik pada pembakaran Kantor Pusat Pemerintahan Belanda di Semarang yang dikenal sebagai Gedong Papak, Pasar Johar - Semarang. Gedung tersebut penjagaannya super ketat, namun dengan waskithaning ngelmu kanuragan yang dimilikinya, beliau bisa masuk, membakar gedung dan keluar gedung tanpa diketahui oleh Security. 

Cerita dari Mbak Budi Bekasi (nenek asli Gondang, lahir di Lampung, domisili di Jakarta, 2022), bahwa nenek buyutnya sering menuturkan tentang Sodongso, tetapi ybs tidak begitu faham maksud dan tujuannya cerita tersebut, karena belum tahu siapa sebenarnya Tokoh Sodongso kaitannya dengan turun waris yang dikenal sekarang.

Penuturan Mas Bitri bin Surahmat bin Marsan Martoredjo bin Selar bin Kartowirjo bin Sodongso saat berkunjung ke seorang Kyai Kusnadi di Cirebon (2021) dalam perjumpaannya dengan Kyai Kusnadi secara metafisik diperlihatkan bahwa dirinya adalah masih Darah Mataram. Dalam alam bawah sadar Mas Bitri diperlihatkan secara lengkap mulai dari Brawijaya Bhre Kertabhumi, Raja-raja Mataram sampai kakek dan ayahnya yang sudah tiada.


Penelusuran Fisik Situs Petilasan

Lokasi yang dikunjungi adalah situs-situs di Pesarean Mudal Kulon, Pesarean Mudal Wetan, Kuncen, Gadingsari, Puncak Gunung Kuli, Pesarean Lor Pesarean Kidul Margowangsan.


Nisan Kyai Kasan Iman (BPH Hadinegoro, Kuncen)
 

Pada saat penelusuran Petilasan di Pesarean Kuncen, dijelaskan oleh Pengelola Situs petilasan yaitu Bapak Ibrahim asal Wonolobo (Juni 2021) dijelaskan tentang penemuan petilasan, proses penggalangan Turun Waris, penelusuran ke Arsip Keraton Mataram Yogyakarta sampai peresmian Petilasan Kyai Kasan Iman oleh Pejabat Keraton Yogyakarta tahun 2006. Dalam penuturannya, Sosok Kyai Kasan Iman adalah seorang Tokoh Senopati Mataram putra Hamengu Buwana III adik Pangeran Diponegoro lain Ibu. Pada masa pelariannya ke Dsn Kuncen, beliau menjadi warga kampung menyamar dengan nama samaran Kyai Kasan Iman.  Arsip Keraton Yogyakarta Hadiningrat menjelaskan, dan mendapatkan kekancingan Kyai Kasan Iman sebagai Bendoro Pangeran Haryo (BRH) Hadinegoro alias Diponido, alias Suryo Ing Ngalogo


Dalam kisah penuturan
yang diwariskan secara turun-temurun oleh beberapa sesepuh Ahli Waris Sodongso , Kyai Kasan Iman adalah adik kandung Sodongso.

Penelusuran Situs di Pesarean Kulon Dsn Mudal ditemukan Nisan R. Djojonegoro yang dipercaya oleh ahli warisnya sebagai Saudara lain Ibu dengan Pangeran Diponegoro. Namun ahli warisnya belum menemukan bukti tertulis atau hasil penelusuran dari Keraton Mataram Yogyakarta Hadiningrat dan mungkin tidak menginginkan adanya Pengakuan Resmi Keraton Mataram untuk menjaga keakraban di internal kerabat R. Djojonegoro dan dengan masyarakat pada umumnya.
Hasil penelusuran Situs ke Puncak Gunung Kuli ditemukan petilasan yang dipercaya sebagai makam Pangeran Dipokusumo yang mungkin juga merupakan salah satu dari 9 (sembilan) Dipo saudara dan kerabat Pangerang Diponegoro. Di petilasan ini tidak ada petunjuk tertulis atau penuturan dari Sesepuh setempat tentang kepastian nama Tokoh lain selain Dipokusumo. Dimungkinkan yang disemayamkan di Puncak Gunung Kuli adalah Tokoh-tokoh Sentono Agung sebelum Perjanjian Giyanti Tahun 1775.

Penelusuran saya dan Dimas Aryo di Pesarean Kidul Dsn Margowangsan terlihat Petilasan Kyai Soro Pendiri Dsn Margowangsan, Kyai Margowongso yang sering menampakkan sebagai Sosok Ular dan beberapa Tokoh Sakti lainnya yang nisannya menempati Cungkup Kuno.  Di Cungkup Kuno ini tidak ditemukan penuturan dari sesepuh masyarakat sekitar, siapa sebenarnya Tokoh-tokoh yang disemayamkan disitu. 

 

Petilasan R. Djojonegoro, Mudal Kulon - Swg

Penelusuran di Pesarean Lor tepatnya di pojok Timur Selatan terdapat petilasan yang dibatasi dengan batu yang merupakan kawasan makam keluarga yaitu Mbah Kartowirjo, Mbah Selar, Mbah Isah Martoredjo, Mbah Supotaruno, dll. Nisan di tempat itu tidak ada yang mewah, tidak ada tanda-tanda petilasan seorang Tokoh yang diagung-agungkan. Yang ada adalah di lokasi tersebut ahli warisnya terlihat rajin berziarah yang ditandai dengan areal yang selalu bersih dan bertabur bunga-bunga layu di atas nisannya. Disitulah kira-kira Mbah Sodongso disemayamkan, namun Sesepuh di Dsn Margowangsan bahkan masyarakat sekitarnya tidak ada yang tahu persis Petilasan Sodongso itu, yang mana. 


Hasil Penelusuran Metafisik

Ahli Waris Sodongso yang Menggeluti Metafisik Supranatural (2022) sbb :

  • Bapa Sepuh Slamet Hari Chandra bin Sutardjo Hardjosusiswo/Parinem (Mbah Guru), Posong yang berdomisili di Semarang
  • Paklik Sisworo bin Slamet Sahli, Dampit Mertoyudan yang berdomisili di Bukateja - Purbalingga
  • Mbak Sus binti Sastro Rame, Gunung Lemah yang berdomisili di Ungaran
  • Bulik Asmoro binti Suharti binti Dalilah bin Pawiro, Gadingsari  yang berdomisili di Wanasri - Tirtosari
  • Mas Kyai Edy Paryanto bin Suparman, Bulu - Padasoka yang berdomisili di Lenteng Agung - Depok.  
  • Adapun sosok Supranatural diluar Waris yang pernah mengunjungi Petilasan di Pesarean Lor dan Pesarean Kidul Dsn Margowangsan, Kuncen, Mudal dan yang menjadi Nara Sumber supporting informasi adalah Dimas Aryo - Pacitan yang berdomisili di Tangerang.

Meditasi adalah cara olah batin yang lebih dalam untuk bisa bertemu dengan Seseorang Tokoh, bilamana tokoh tersebut memang sosok yang berilmu tinggi.

Hasil penelusuran Dimas Aryo dari Pacitan yang bersamadi di Rumah Pak Samidi Margowangsan (Juni 2021) ditemui Para Tokoh (Danyang) Pedukuhan Margowangsan, a.l Mbah Sodong (Sodongso) dan Danyang Pedukuhan Margowongsan yang berbentuk Ular ber-Mahkota. Namun, oleh karena bukan ahli waris dan tidak ada komunikasi apapun antara keduanya, maka pertemuan hanya pertemuan tanpa meninggalkan pesan apapun. Dalam alam bawah sadar hanya memperlihatkan ciri berpakaian ala orang kampung memakai penutup kepala "iket", menyimpan kotak dan cupu berisi koin emas yang merupakan harta karun yang masih tersimpan secara gaib sampai saat ini.   

 
Tasya binti Harsanto Utomo bin Samidi bin Yung Irah Generasi Ke-7 Sodongso 

Pagi harinya Dimas Aryo saya antar ke Makam Petilasan Tokoh-tokoh besar zaman dahulu yang disemayamkan di Pesarean Lor dan Pesarean Kidul Dsn. Margowangsan, Pesarean Mudal kulon, Pesarean Mudal wetan, Kuncen dan Gadingsari. 

Penelusuran Paklik Sisworo bin Slamet Sahli dalam olah batin di suatu tempat wingit di tepi Pantai Selatan Kab. Gombong (2021), dia ditemui badan alus Mbah Sodongso dan bercerita banyak terkait perjalanan hidupnya berjuang labuh labet melawan Belanda. Dalam salah satu komunikasinya a.l bahwa semasa hidupnya khususnya pasca Perang Diponegoro beliau tinggal di Dsn Margowangsan sampai wafatnya sebagai petani biasa dan berbaur dengan masyarakat setempat dengan melakukan penyamaran/kamuflase dengan menyembunyikan Gelar Kebangsawanannya sebagai salah satu Pangeran Mataram, merubah namanya menjadi nama umum kampung, yaitu Sodongso untuk menghindari kejaran Belanda. Penyamaran tersebut juga bermaksud agar bisa menyatu ajur-ajer dalam bermasyarakat, tidak perlu disanjung dan membuat jarak antara dirinya dengan masyarakat sekitarnya. Kontribusi perjuangan dari bentuk peperangan fisik melawan Tentara Belanda dimodifikasi menjadi bentuk perlawanan gerilya mengganggu jalannya Pemerintahan Belanda serta berjuang di tengah masyarakat. 

Lebih jauh dalam komunikasi tersebut, badan alus Sodongso menjelaskan bahwa selama Perang Diponegoro beliau sebagai Senopati yang memimpin perang di medan laga mempertaruhkan jiwa raganya demi kejayaan bangsa. Tentunya menjadi Senopati sudah barang tentu berbaju tebal dalam makna kejawen keimanan kepada Tuhan YME dan ilmu kanuragan yang mumpuni yang tidak mempan tajamnya peluru dan senjata tajam. Disamping itu dalam menjalankan peperangan sudah barang tentu berbekal juga materi (harta) yang  diceritakan bahwa sisa materi tersebut dikasihkan kepada anak-cucunya dan sampai wafatnya masih tersisa cukup banyak dan disimpan  secara metafisik sebagai harta karun yang sampai saat ini (2022) masih ada. Barang tersebut suatu saat akan dibagikan kepada turun warisnya. Harta Karun tersebut secara filosofis bisa merupakan sanepa/peribahasa yang berarti bahwa harta akan menjadi hak ahli warisnya manakala ybs menjadi manusia yang bisa mewarisi karakter beliau dalam pengabdiannya kepada masyarakat luas.

Dalam meditasi yang dilakukan Paklik Sisworo tersebut diatas, badan alus sosok Sodongso ngendika bahwa beliau bernama asli Pangeran Wirjo Dipoleksono alias Wirjodigdo Negoro.

Semasa hidupnya Sodongso menjalin komunikasi secara intensif dengan saudaranya di Kuncen yang bernama Kyai Kasan Iman (BPH Hadinegoro) dan (pm Gadingsari) dilaksanakan sebagaimana biasanya. 

Samidi Adisumarto bin Walijo/Yungirah bin Kartiwirjo bin Sodongso
Adapun komunikasi ketiga  saudara kakak beradik tersebut diatas dengan Kerabat Keraton Mataram Yogyakarta dan Mataram Surakarta dilaksanakan dengan Sebo Marak Atur secara rutin (sumber : Mbah Urip Mulyadimedjo sebagai saksi kakek buyutnya yang melakukan sebo, 1970) 
Ritual Sebo ini tidak dijelaskan maksud dan tujuannya kepada anak cucunya sehingga tidak diwariskan secara turun temurun. 


Gambaran Silsilah vertikal dari keturunan secara acak saat ini :

Misal dari Brayat (Margowangsan) Kartowirjo  bin Sodongso :

Bapak saya : Samidi Adisumarto bin Yung Irah/Walijo Ronoredjo
binti Setro Saiman
bin Karto Wirjo
bin Sodongso (Pangeran Wirjo Dipoleksono)
bin Hamengku Buwono III
bin Hamengku Buwono II
bin Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi)
bin Amangkurat IV
bin Paku Buwana I
bin Amangkurat I (Sunan Tegalarum)
bin Hanyokrokusumo (Sultan Agung)
bin Hanyakrawati
bin Panembahan Senopati
bin Ki Ageng Pemanahan
bin Ki Ageng ngEnis
bin Ki Ageng Selo
bin Ki Getas Pendowo
bin Bondan Kejawan (Dyah Lembu Peteng)
bin BRAWIJAYA Bhre Kertabhumi...(Raja Majapahit terakhir)


Brayat Kartodirjo, Kartowrjo Generasi ke-5, 6 & 7 Sodongso (Semarang, 2016)
Dengan penelusuran tersebut diatas, apakah Ahli Waris akan menelusuri Silsilah Sodongso sampai ke Arsip Keraton mataram Yogyakarta Hadiningrat seperti halnya yang dilakukan oleh Ahli Waris Kyai Kasan Iman alias BPH Hadinegoro? 

Jawabannya tergantung dari niat dan kepentingannya generasi saat itu, mengingat karakter Sosok Soodongso justru menginginkan hidup dengan kesahajaan (prasojo), menyembunyikan Gelar Kebangsawanannya dan menyatu dengan masyarakat pada umumnya tidak minta disanjung-sanjung..... 

Kami sampaikan pula, walaupun penelusuran ini sifatnya adalah analisis dari penuturan metafisik yang otektik dan kunjungan bukti fisik situs yang sudah disahkan oleh Arsip Keraton Mataram yang secara keyakinan sangat dipercaya (credible) namun kebenaran yuridis "keberadaan Sodongso" alias Pangeran Wirjo Dipoleksono bagi Turun Waris saat ini belum perlu pengujian.

Demikian sekilas penelusuran Silsilah Sodongso alias Pangeran Wirjo Dipoleksono yang merupakan Saudara  Kyai Kasan Iman alias BPH Hadinegoro inggih Pangeran Diponido yang merupakan adik lain Ibu dengan P. Diponegoro. Pangeran-pangeran yang dikenal secara luas sebagai 9 (Sembilan) Dipo ini pasca Perang Diponegoro dikejar oleh Belanda dan memilih hidup di pedesaan menanggalkan semua atribut Darah Ratu namun tetap berjuang mengusir Belanda dengan caranya masing-masing.   

Semoga tulisan tersebut diatas dapat bermanfaat khususnya bagi segenap Ahli Waris Sodongso baik yang sudah ter-record dalam Buku Trah maupun yang belum. 

Kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun kesempurnaan postingan Blog.

Cungkup Makam Wetan, berumur ratusan tahun
Sentono Agung Nyi Suntiaking disemayamkan di sini
Cungkup Kuno Makam Kidul berumur ratusan tahun
Sosok Kyai Margowongso sering menampakkan diri
 





Sumber :

  1. Wikipedia, Silsilah Raja-raja Jawa, 2022
  2. Mbah Urip, Margowangsan (sumber info penuturan, 1970) 
  3. Mbah Slamet Sahli, Dampit Mertoyudan (sumber info penuturan, 2003)
  4. Mbah Sarwadi, Jakarta (sumber info penuturan, 2019)
  5. Pak Samidi Adisumarto, Margowangsan (sumber info penuturan, 1970 - 2021)
  6. Pakde Turmudi, Matgowangsan (sumber penuturan, 2012)
  7. Paklik Sisworo bin Slamet Sahli, Bukateja (sumber info metafisik, 2022)
  8. Mbak Sus binti Sastro Rame, Ungaran (sumber info metafisik, 2021)
  9. Dimas Aryo, Pacitan yg berkunjung ke Margowangsan (sumber info metafisik, 2022) 
  10.  Mas Bitri Susilo, Indramayu (sumber info penuturan berdasarkan metafisik seorang Kyai, 2022)
  11. Mbak Budi Bekasi - Lampung (sumber info penuturan, 2022)
  12.  Pak Ibrahim, Wonolobo (sumber info penuturan dan info Situs Kyai Kasan Iman alias BPH Hadinegoro, 2022)


Bagan Silsilah Posong Sagotrah














15 Jul 2015

Ritual Ibadah Puasa Ramadhan dan Lebaran

Mohon maaf kepada Ibunda atau Ujung
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, begitulah salah satu peribahasa populer. Bagi masyarakat Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara memiliki karakterisktik yang unik dalam merayakan hari kemenangan setelah sebulan penuh melaksanakan kewajiban berpuasa Romadhan sebulan penuh lamanya. 

Masyarakat muslim Melayu dalam melakukan ritual terkait dengan sangat dipengaruhi adat kebiasaan dan budaya setempat. Masyarakat  Sawangan - Magelang memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan ritual terkait dengan pelaksanaan puasa Romadhan, meliputi sbb :


Padusan
Padusan berasal dari kata "adus" yang berarti mandi yang dilakukan pada sehari sebelum hari pertama puasa.  Yang dimaksud mandi disini adalah mensucikan diri sebelum menjalankan ibadah wajib puasa. Padusan dilaksanakan di "sendang" kolam dengan sumber air dari mata air yang keluar dari dalam tanah langsung "water spring" yang lokasinya tersebar di beberapa cekungan lahan yaitu : Sendang Tumpang di Dusun
Rebutan Sego Megono saat setelah Sholat "Ied
Tumpang, Sendang Semaren di Dusun Semaren dan Sendang Mudal di Dusun Mudal. 
Masyarakat melakukan padusan dengan cara menceburkan diri dan berenang sekenanya. Seluruh tubuh termasuk rambutnya dicuci, sebagai lambang kesucian fisik sebelum melakukan ibadah puasa pada keesokan hari dan seterusnya. Untuk padusan di Sendang tumpang masayarakat sudah dibuatkan pancuran dan tidak menceburkan ke kolam.
Bagi yang tidak sempat padusan di sendang tersebut diatas masayarakat melakukan padusan di pancuran-pancuran yang dibuat di  pinggir perkampungan atau kolam-kolam warga yang dibuat sedemikain rupa agar dapat dialirkan ke pancuran untuk keperluan mandi.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan sosial, padusan sudah jarang dilakukan di Sendang oleh masyarakat secara umum. Warga sudah membuat rumah dengan tipe bangunan modern yang dilengkapi dengan kamar mandi dan toilet, sehingga mereka melakukan padusn di rumah masing-masing.

Tadarusan
Tadarus atau membaca Al-Qur'an secara bersama-sama di dalam masjid yang dilakukan setelah menjalankan Sholat Isha' dan Sholat SunnahTarawih. Tadarusan dilakukan secara bergantian sambung menyambung hingga selesai 30 Jus atau seluruh isi kitab Al-Qur'an yang disebut "khatam". Dalam satu bulan puasa Ramadhan bisa satu atau dua kali khatam.

Sebagai penyemangat kegiatan sholat tarawih dan tadarus, warga secara bergantian menyumbangkan minuman kepada para jamaah sholat dan peserta tadarus yang berupa "jaburan". Jaburan adalah sejenis minuman yang dibuat dari kelapa muda dan gula kelapa yang disuguhkan kepada peserta sholat tarawih setelah sholat tarawih. Jaburan dibuat oleh sejumlah warga secara bergilir, seluruh warga mendapat giliran membuat jaburan sehingga selama bulan Ramadhan peserta sholat tarawih akan dijamin mendapat sajian minuman hangat setelah sholat tarawih.
Bagi warga yang mampu, penyajian jaburan disertakan kue-kue secukupnya. Bilamana jaburan masih tersisa setelah dibagikan kepada peserta tarawih, masih bisa dibagikan kepada penggiat "tadarus Al-Qur'an" hingga larut malam selesai tadarus.  

Gugah-gugah Sahur
Selama bulan puasa, setiap malam secara bergantian sebagian warga berkeliling kampung dengan membawa "penthongan" membangunkan warganya untuk bangun memasak mempersiapan makan sahur. Kegiatan ini dilakukan bersamaan dengan menabuh bedug bertalu-talu yang disebut "tabuh tidur" sampai batas waktu menjelang sahur. 
Seiring dengan perkembangan teknologi, maka gugah-gugah sahur dengan tetabuhan keliling kampung tidak dilakukan lagi tergantikan dengan suara "laught speaker" di masjid-masjid, seruan membangunkan warga sudah bisa menjangkau seluruh perumahan.

Selikuran
Dalam mengamalkan ibadah puasa ada hari-hari khusus yang diperlakukan secara tradisional, misalnya pada malem puasa ke-21 atau dalam bahasa Jawa "selikur", maka warga membuat lampion tradisonal dari bambu yang dibungkus kertas transparan yang disebut "Ting" atau "Damar" atau "Lentera". Menurut tetua di kampung, Ting dibuat dalam rangka menyambut "lailatul qodar" maka setiap rumah dipasan Ting dengan harapan dengan terangnya perumahan maka lailatul qodar akan lebih mudah hadir. 
Seiring dengan perkembangan teknologi, dengan masuknya aliran listrik masuk pedesaan, maka Ting sudah ditinggalkan, warga menerangi rumahnya dengan lampu listrik.

Kirab Takbir
Hingga saat ini kirab atau arak-arakan pada malam hari dengan membawa "oncor" atau obor bambu menjelang lebaran dengan membawa tetabuhan, warga melakukan dengan keliling perkampungan, bahkan keliling jalanan dalam satu kecamatan dengan membawa kendaraan roda-4 dan roda-2. 
Bagi sebagian warga, kirab dibarengi dengan menyulut petasan. Namun untuk menjaga ketertiban petasan tidak lagi diperkenankan disulut di sembarang tempat, apalagi di dalam kerumunan masyarakat yang antusias melakukan kirab.

Takbir Malam di Masjid
Pada hari terakhir puasa Romadhan, warga masyarakat berharap-harap cemas menantikan pengumuman "sidang isbath" Pemerintah lewat media Televisi, untuk memastikan apakah esok harinya benar-benar sudah lebaran atau masih harus puasa. Begitu Pemerintah mengumumkan esok harinya lebaran, maka warga berramai-ramai menyalakan obor yang dipersiapkan sebelumnya, melakukan kirab atau arak-arakan sambil melantunkan takbir dan tahmid : "Allahhu akbar, Allahhu akbar, Allahhu akbar, Allahhuakbar wa lillahilham". 
Bagi yang tidak menngikuti kirab, maka sebagian warga melantunkan takbir dan tahmid di dalam masjid, hingga larut malam bahkan hingga pagi hari mejelang sholat Subuh.

Kenduri dan Rebutan Sego Megono
Sebagai rasa syukur kehadhirat Allah bahwa puasa telah dilaksanakan sebulan penuh, warga menyiapkan kuliner khusus lebaran untuk disajikan setelah selesai sholat "Iedul Fitri" di masjid yang disebut "megono".  Resepnya sederhana hanya nasi, parutan kelapa muda, sayuran dan ikan teri, ditambah dengan telor dan ayam bagi sebagian warga yang bersedia melengkapinya.

Megono disajikan dalam "ancak" atau lengser atau waskom, disajikan untuk dimakan bersama-sama di teras masjid setelah diberi doa oleh seorang tetua Agama setempat, beberapa saat setelah sholat Iedul Fitri selesai. Warga yang ikut dalam makan bersama sego megono adalah seluruh warga yang hadir sholat "Ied" dengan mengambil megono ditaruh di daun-daun pisang yang disediakan sebelumnya.

Tidak ada referensi khusus asal-usul Kenduri Sego megono pasca sholat "Ied". Para tetua kampung hanya menjelaskan bahwa ritual tersebut adalah bentuk rasa syukur warga atas suksesnya pelaksanaan puasa romadhan tanpa ada halangan apapun mulai dari hari pertama hingga hari terakhir puasa.

   

Menaikkan Balon
Balon plsatik mengudara
Balon asap dibuat dari lembaran plastik yang disatukan dengan menggabungkan ujung-ujungnya dan dibuat menyerupai balon dengan ukuran tertentu. Sebagai sumber asap pada awalnya warga menggunakan asap minyak tanah untuk diisikan kedalam ruangan bola plastik hingga ruangan dalam bola plastik penuh.
Untuk stabilisator agar balon plastik tetap berada di dalam ruangan balon pada saat mengudara, maka dibuatlah bola kain yang direndam kedalam minyak tanah yang disebut "asep". Asep inilah yang akan menjaga agar asap yang terkumpul di dalam ruangan bola plastik tetap berada di dalamnya sampai pada ketinggian tertentu asep mati, asap dalam balon plastik keluar ruangan dan balon plastik jatuh ke tanah.
Balon plastik biasanya disertai sejumlah petasan TNT, sehingga petasan akan tersulut dan pecah pada ketinggian tertentu. Akhir-akhir ini petasan TNT diganti dengan kemasan gas karbit yang dibungkus kedalam kantong plastik kemudian dihubungkan dengan sumbu. Pada saat sumbu sampai dipinggir kantong gas karbit, maka meletuslah gas karbit dengan dentuman yang menggelegar dan lebih aman.

Sungkeman atau Ujung

Tibalah saatnya setelah sebulan penuh berpuasa, maka anak-anak sungkem kepada orang tua, saling maaf memaafkan antara saudara, teman dan famili. Sungkeman merupakan momentum paling mengharukan yang dinanti-nantikan dalam acara tahunan untuk saling memaafkan diantara individu. Bagi masyarakat Sawangan - magelang acara ini tidak terbatas untuk warga muslim, tetapi seluruh sanak keluarga "guyub" untuk saling memaafkan. 
Momentum inilah yang membuat "ritual lebaran" tidak bisa digantikan dengan ritual-ritual pada hari selain 1 Syawal. 

Acara ujung anak-cucu kepada Orangtua se-famili, pakai baju baru 
Pertama kali di pagi hari di internal keluarga melakukan sungkeman anak-cucu kepada orangtua dan antara cucu dengan cucu, anak dengan anak di internal keluarganya sendiri.
Setelah sungkeman di internal keluarga selesai, maka dilakukan sungkeman dengan para tetangga di sekitar rumahnya dan kepada orangtua-orangtua di kampungnya mulai dari yang masih ada hubungan famili kemudian meluas kepada seluruh warga sekampung.

Hari Lebaran 'Iedul Fitri adalah daya tarik yang luar biasa sanak saudara yang berada di luar daerah bahkan di luar pulau menyempatkan diri pulang kampung (mudik) untuk bertemu dengan orangtua dan saudara dan famili serta handai taulan di kampung halaman. Saudara dan sanak famili yang sudah lama tidak berjumpa bisa bernostalgia di rumah orangtuanya masing-masing dengan makan-makan bersama dan berbagi cerita suka duka selama tidak bersama-sama keluarga.

Temu keluarga lengkap, ayah/ibu bersama anak-anaknya, lebaran 2015
Pada kesempatan ini pula mereka yang merasa pernah berkumpul dan berada dalam satu wadah, apakah satu kawan almamater satu angkatan di tingkat SD, SMP, SMA atau se-Fakultas berkesempatan mempererat tali silaturahim dengan acara kumpul-kumpul di suatu tempat "re-union".   

Dampak sosiologis secara nasional adalah terjadinya penumpukan arus transportasi di sejumlah ruas jalan, menumpuknya warga masyarakat di Bandara Udara, di suatu tempat untuk mudik bersama, terjadinya lonjakan harga kebutuhan pokok secara nasional, bahkan melonjaknya transaksi barang-barang konsumtif utnuk keperluan lebaran. 

Inilah salah satu potensi ekonomi yang luar biasa dari adanya penduduk muslim terbesar dan pengaruhnya dalam dunia transportasi, industri tekstil, perdagangan dan kemajuan sosial budaya.  

Subhanallah.

  
    

24 Jun 2015

Brayat Posong Sagotrah

POSONG SAGOTRAH (1)

PENGANTAR



Tulisan Posong Sagotrah disusun dalam rangka menelusuri garis keturunan keluarga besar dari induk keturunan keluarga besar Trah Mbah Posong yang dirasakan semakin hilang. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan untuk menjalin kembali tali silaturahim dan menjadi renungan bagi generasi sekarang untuk memetik hikmah serta manfaat adanya kekurangan dan kelebihan para leluhur pada masa kehidupan dan penghidupannya pada zaman itu.

Tercatat adanya beberapa informasi dari alur waris dan sumber terpercaya yang masih sugeng hingga tahun 2010 adanya kisah  nyata asal-usul Trah terkait  “Induk Posong Sagotrah” .  
Induk Trah yang disebut Mbah Posong dikisahkan sebagai kerabat Mataram pasca Perjanjian Giyanti yang mempunyai kawaskithan linuwih. Tanah Posong masih berupa hutan yang terletak di pertemuan S. Dadar dan S. Mangu. Adik-adiknya bermukim di Gading dan Kuncen, masih di sekitar Dusun Posong. Kehadirannya di Dusun Posong mlesit dari lingkungan kerajaan, sekedar memenuhi ketetapan hati ketidaksetujuannya dengan sikap Pangeran Sambernyowo memihak kepada Belanda, sementara diketahui Belanda banyak menggunakan tipu muslihat dalam mengembangkan kekuasaannya. 

Posong bukan daerah pengasingan bagi keluarga kerajaan, tetapi sekedar tempat menikmati hidup dalam situasi jauh dari hiruk-pikuk politik kerajaan yang mulai tahun 1500 - 1700 terjadi perang saudara di lingkungan kerajaan Mataram. Perang yang berkepanjangan boleh dibilang memakan jiwa ratusan ribu jiwa rakyat pengikut pihak-pihak yang bertikai. Posong zaman dahulu adalah sebuah Dusun kecil, hanya dihuni 20 KK dan hingga sekarang jumlah itu tidak bertambah dengan alasan satu dan lain hal.

Selama dalam masa kehidupannya di Dusun Posong, beliau menjalani hidupnya sebagai rakyat jelata dan tidak menunjukkan bahwa beliau adalah seorang berdarah biru. Dalam investigasi dengan pinisepuh, Induk Trah Posong, Gading dan Kuncen tidak ada yang tahu siapa sebenarnya nama aslinya.


Kenapa Mengasingkan Diri...?
Dikisahkan secara turun-temurun dari generasi kepada generasi berikutnya, bahwa 3 Induk Trah Posong adalah tokoh yang masih terkait dengan peristiwaa Perjanjian Gianti tgl.13 Februari 1755. Perjanjian ini merupakan kesepakatan antara VOC dengan Mataram yang diwakili Paku Buwana-II. Dalam proses penandatanganan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo VII (KGPA-VII) atau Pangeran Sambernyowo tidak dilibatkan padahal salah satu isi kesepakatannya ada penyerahan daerah kekuasaan pesisir utara kepada VOC dan pemerintahan eksekutif berada ditangan Pepatih Dalem (Bupati) dan Gubernur bukan ditangan Sultan. Di lain pihak Pangeran Mangkubumi yang tadinya sama-sama dgn Pangeran Sambernyowo memberontak VOC justru bersama-sama PB-II berbalik memihak VOC. Akhirnya malah memutar menjadikan Pangeran Sambernyowo menjadi musuh bersama (VOC/PB-II dan P. Mangkubumi). Keputusan Paku Buwono II (PB-II) yang sudah memberikan daerah pesisir utara tidak bisa dicabut oleh PB-III pengganti PB-II. Perjanjian ini dikendalikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda dan bisa dikatakan hilangnya kedaulatan Kerajaan Mataram dan dimulainya penjajahan secara politis sejak tahun 1755. (Soedarisman Poerwokoesoemo, KPH, Mr, 1985). 
Inti perjanjian berpihak kepada VOC (Belanda) dari aspek perdagangan, kedaulatan menentukan Bupati dan hilangnya peisisir utara Jawa kepada VOC/Kumpeni, ditambah lagi PB-III yang terlalu dekat Kumpeni untuk menyingkirkan familinya sendiri (R.M.Said atau P. Sambernyowo), menuai pemberontakan bahkan bentrokan antar pendukung Pangeran Sambernyowo dan PB-III terjadi dimana-mana.
Inilah perkiraan sebab musabab para pengikut Pangeran Mangkubumi dan PB-III  melakukan tindakan mlesit dari kerajaan, menetap di suatu tempat yang dianggap nyaman dan tetap teguh tanpa henti berupaya mengusir Pemerintah Kolonial Belanda dari Bumi Nusantara.
 

Indikasi bahwa Induk Trah masih dari lingkungan Keraton adalah adanya hubungan baik yang tetap dipelihara dengan keluarga Mataram  yaitu ritual pisowanan rutin “sebo” ke keraton Mataram (Surakarta) yang dilakukan oleh 3 bersaudara bersama anak-anaknya setiap musim tertentu. Namun, ritual ini tidak pernah diceriterakan asal-muasalnya, maksud dan tujuannya, keterkaitannya dengan kerabat Kerajaan. Kesan feodalistis, sehingga lambat laun acara “sebo” tinggal kenangan hilang Ritual rutin sebo tidak terrekam, sehingga lambat laun acara tersebut tidak dilanjutkan oleh generasi berikutnya. 

 
Mitos Pedukuhan Margowangsan
Mitos Tokoh pedukuhan Margowangsan yaitu Kyai Soro, Kyai Margowongso, R. Dirgonegoro dan Nyi Sunti Aking yang pernah menempati Dusun Margowangsan hingga ajalnya tidak terkait erat dengan kehadiran Induk Trah Posong. Kyai Soro dan Kyai Margowongso adalah penduduk asli Dusun Margowangsan yang sudah eksis sebelum Sunan Kalijogo melakukan penyebaran agama Islam tahun 1500-an. Nyi Suntiaking dan R. Dirgonegoro hadir pasca perang Diponegoro tahun 1825 - 1830. Induk Trah Posong datang lebih duluan pasca Perjanjian Giyanti (tahun 1775) dan namun sulit ditelusuri karena tidak adanya situs tertulis. Penelusuran akhirnya ditempuh dengan menggabungkan masukan dari para pinisepuh satu dengan pinisepuh lainnya dikaitkan dengan situs peninggalan berupa batu nisan di Pekuburan Kidul Dsn Margowangsan dan Pekuburan Besar Dsn. Mudal. Di Pekuburan Mudal terdapat Nisan-nisan kuno yang dikenal dengan Nisan Nyi Suntiaking, R. Dirgonegoro dan Nisan R. Joyonegoro yang termasuk bentuk nisan modern. 

Kesimpulan, bahwa Induk Trah Posong adalah “warga pendatang” dari kalangan Laskar Mataram pasca ontran-ontran politik perang saudara Kerajaan Mataram tahun 1500 - 1700-an.

Induk Keturunan Posong terdiri dari 3 (tiga) orang bersaudara yang tinggal Posong, Kuncen dan Gadingsari yang tidak diketahui pasti asal muasalnya. Penuturan para sesepuh yang disampaikan secara turun-temurun, ketiga orang bersaudara tersebut adalah Laskar Mataram yang masih terkait dengan ontran-ontran politik Mataram pasca Perjanjian Gianti pada masa Pemerintahan Mataram tahun 1775 M. 
 
Bagan 1. Ilustrasi Asal-usul Induk Trah Posong (Thn 1775)  


Penulisan Induk keturunan dari Posong yang selanjutnya disebut “Posong Sagotrah" dan pada generasi tahun 2000-an ini merupakan generasi ke-enam.

Dalam hal ini Induk Trah Dusun Kuncen dan Gadingsari tidak banyak disinggung oleh karena minimalnya informasi. Silsilah Induk Trah Posong menampilkan sekilas petunjuk garis keturunan yang masih dapat diidentifikasi saat ini.

Dalam tulisan ini Penulis mengetengahkan keturunan yang terkait dengan generasi pertama dari Induk Trah Posong antara lain adalah Karto Wiryo yang diperkirakan hidup pada tahun 1880-an hingga 1930-an yang merupakan "cikal bakal" brayat  (keluarga besar) yang kemudian migrasi ke Dusun Margowangsan Dusun sebelah selatan Dusun Posong.

Induk Trah Posong mempunyai 9 orang anak yang akan dijelaskan pada tulisan berikutnya. Dengan semakin banyaknya anak keturunan yang mencari penghidupannya ke seluruh penjuru tanah air, maka tali silaturahmi dengan sendirinya semakin memudar.  Pudarnya tali silaturahmi tidak hanya faktor semakin banyaknya anak keturunan, tetapi juga karena dampak perkembangan sosial akibat kemajuan zaman yang menuntut profesionalisme dan individualistis, perbedaan tingkat kesejahteraan, keberpihakan kepada salah satu golongan dakam pencalonan pemimpin lokal (baca : pemilihan Kepala Desa/Lurah), tragedi politik nasional  dan keberpihakan kepada suatu golongan atau partai politik pada saat menjelang Pemilihan Umum. Adapun perbedaan keyakinan atau agama bukan merupakan sesuatu yang dipermasalahkan.

Sumber informasi adalah dari pelaku sejarah yaitu “mBah Sahli Slamet (alm)” yang berdomisili di Dusun Dampit, Mertoyudan, Magelang, mBah Udo Taruno (Amin) Dusun Bendan, Sawangan, Bapak saya Samidi, Pak Suharto Ngaglik nDuwur, Bapak Turmudi (Jakarta) dan lain-lain yang ditulis mulai tahun 2001 - 2007. Tulisan ini masih perlu penyempurnaan melalui klarifikasi dan konfirmasi dengan sumber-sumber yang masih ingat dan faham terhadap garis keturunan ini. Mohon dapat hubungi kami jika pembaca memiliki informasi untuk melengkapi tulisan ini.

Kepada Sesepuh dan Pinisepuh serta sumber informasi yang tidak dapat disebutkan satu per satu disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan bagi mereka yang merasa memiliki data akurat tetapi belum tertampung, Penulis mengharapkan dapat membantu melengkapi guna perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut.

Catatan :
  1. Situs Batu Nisan tinggi menjulang sekitar 2 M di Pekuburan Mudal yang bertuliskan nama : R. Joyo Negoro alur silsilahnya tidak ditulis secara runut. Keluarga Ibu Saljum Margowangsan dan Ibu Mari Sawangan adalah beberapa keturunan R. Joyonegoro.
  2. Situs Batu Nisan di Pekuburan Mudal yang terbuat dari batu persegi, bentuknya sederhana dan lebih panjang (± 2,5 M) dari batu nisan di sekelilingnya, dipercaya oleh masyarakat sebagai kuburannya Nyi Sunti Aking, istri dari R. Dirgonegoro yang keduanya pernah tinggal di Dsn Margowangsan pasca Perang Diponegoro tahun 1830.

Bersambung ke tulisan berikutnya.

Referensi :
1. Anonim, 1985, Wikipedia, Perjanjian Gianti
2. Soedarisman Poerwokoesoemo, KPH, 1985, Gadjah Mada University Press.






 POSONG SAGOTRAH (2)
ASAL-USUL INDUK TRAH POSONG DAN IDENTIFIKASI KERABAT DARI KETURUNAN PERTAMA


1.       Maksud

Penulisan silsilah Posong Sagotrah  bermaksud ingin menelusuri alur keturunan langsung mBah Setro Saiman yang diambil dari pelaku sejarah dan sumber lain yang masih ingat dan faham garis keturunan. 

2.       Tujuan

Tujuan penulisan silsilah Posong Sagotrah dan khususnya Keturunan I pada Jalur Trah Karto Wiryo yang menurunkan a.l Setro Saiman di Dusun Margowangsan adalah untuk menelusuri jejak keturunan secara keseluruhan. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan penelusuran bagi generasi sekarang dan yang akan datang bilamana suatu saat berkeinginan menjalin kembali tali silaturahmi yang lebih akrab dan lebih indah. Sukur-syukur bisa membangun sebuah “Forum atau Lembaga” yang mengurusi tali silaturahmi Posong Sagotrah.  

3. Rererensi

Rererensi Silsilah Posong Sagotrah didapat dari :

Pelaku sejarah yang faham dan kuat ingatannya yaitu Mbah Slamet Sahli yang lahir di Margowangsan tahun 1929 dan wafat tahun 2005. Beliau bermukim di Dampit - Mertoyudan yang merupakan Buyut dari Kartowiryo, Cucu Setro Saiman dan anak Keempat dari 6 bersaudara dari Setro Saiman. Selama investigasi dengan beliau dari tahun 2003 sampai 2005, dicatat cukup banyak informasi dari Induk Trah, Canggah, Buyut, sampai beberapa generasi yang ada saat itu (2005). Namun, investigasi tidak menemukan nama Induk Trah, hanya disebut bahwa Induk Trah masih dari lingkaran Mataram.

Pelaku sejarah yang lain yang faham dan masih kuat ingatannya adalah keluarga saya sendiri yaitu Bapak saya Pak Samidi, Paklik Sugeng, Pakde Turmudi.

Disamping Mbah Sahli, sumber saksi hidup yang lain adalah catatan Pak Harto Ngaglik Nduwur tahun 2011. Data sama persis dengan investigasi dari Mbah Slamet Sahli. Menurut Pak Harto, sebagian tulisan bersumber dari Mbah Slamet Sahli.

Anonim, tamu yang datang ke rumah dan saya temui sendiri (tidak menyebutkan namanya) bahwa Induk Trah Posong adalah lingkaran Mataram yang menetap di pedesaan sebagai rakyat jelata, tidak ingin menampakkan sebagai keturunan darah biru.

Counter check, setelah digambarkan kedalam pohon silsilah, dimintakan konfirmasi kepada sanak famili bahkan yang tertulis bersangkutan apakah namanya, urut-urutan, tempat tinggal dan lain sebagainya sudah sesuai, atau ada kesalahan fatal dalam rangka perbaikan bagan silsilah.

Informasi lain terkait dengan sejarah Trah, adalah study keterkaitan situs leluhur berupa nisan-nisan di Pekuburan Margowangsan, Posong dan Mudal.


4.       Penuturan Pinisepuh Sekitar Induk Trah


Silsilah Posong Sagotrah ditulis bedasarkan informasi dari berbagai sumber pelaku sejarah dan sumber terpercaya lainnya yang mempunyai nilai-nilai adat dan karakter suatu keturunan. Implikasinya terhadap anak keturunan yang peduli terhadap arti Keluarga Besar atau Brayat adalah bahwa dokumen keturunan merupakan salah satu perangkat untuk menemukan mata rantai sanak saudara dan kerabat yang sudah tercerai berai tidak diketahui serta mengetahui siapa dan dari mana seseorang berasal.

Penulisan silsilah ini tidak ada maksud sedikit pun untuk melakukan dekomunitasi atau pemahaman yang  menjurus kepada kondisi ekslusif keluarga dengan menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh seseorang bahkan keinginan mengaku-aku sebagai keturunan Darah Biru. Sebaliknya improvisasi  penulisan juga bukan untuk memojokkan kekurangan seseorang yang mengarah kepada bentuk pembunuhan karakter terhadap anak keturunan seseorang.

Pencantuman Nama Individu, Brayat dan Keluarga Besar dalam tulisan ini adalah sekedar gambaran dari salah satu kelebihan yang dimiliki oleh yang bersangkutan sebagai sample suatu tindakan dengan harapan dapat menjadi pelajaran bagi kita semua sebagai generasi penerus.

Dikisahkan secara turun-temurun dari generasi kepada generasi berikutnya, bahwa peristiwa Perjanjian Gianti adalah kesepakatan yang dilaksanakan antara Pemerintah Penjajah Belanda (VOC) dengan Kerajaan Mataram yang diwakili oleh Paku Buwono-II dan Pangeran Mangkubumi pada masa pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo VII (KGPAA-VII) atau Pangeran Samber Nyowo yang dilaksanakan di pedukuhan kecil Giyanti pada tahun 1775 M. Pada saat penandatanganan PB-II sudah dalam keadaan sakit dankemudian digantikan PB-III.
Pangeran Mangkubumi yang semula bersama KGPAA-VII menentang VOC berbalik mendukung VOC dan KGPAA menjadi musuh PB-III dan P. Mangkubumi.

Konon, mendengar salah satu isi perjanjian yang berisi keberpihakan Pangeran kepada Pemerintah Belanda (VOC), penyerahan pesisir utara Jawa Tengah dan juga penentuan Bupati dan Gubernur ada ditangan VOC, maka sebagian pengikut P. Mangkubumi yang tidak setuju terhadap sikap Pangeran memilih tidak ikut pulang ke kerajaan dan “mlesit”  tersebar di pedukuhan yang diinginkan.

Namun, mlesitnya Sang Laskar Mataram ke daerah Lembah Merbabu yang subur makmur itu dikisahkan hanya sekedar istirahata sejenak menenangkan pikiran untuk sementara, walaupun pada kenyataannya tinggal di Dusun Margowangsan sampai wafat. Yang menarik perhatian publik di sekitarnya adalah tidak diketemukannya barang wasiat miliknya yang menunjukkan seseorang adalah anak keturunannya. Yang ada adalah masyarakat di sekitar Pekuburan seperti Sawangan, Mudal, Maren, Butuh, Kebokuning dan Margowangsan tetap "nguri-uri" melestarikan ritual "Nyadran" setiap menjelang bulan Puasa Romadhon. Mereke yang datang adalah dari semua kelompok agama (Muslim & Kristen) duduk bersama memanjatkan doa (Islam) kepada Tuhan YME dengan menghadap "nasi tumpeng" dan seabreg kue basah. Tidak ketinggalan anak-anak dari Dusun sekitarnya ikut meramaikan acara "nyadranan", menambah ramainya acara ritual. 

Logika mlesitnya para Laskar Mataram pada Perpecahan dalam tubuh Kerajaan Mataram dibenarkan oleh W. van der Molen, 1997 dalam bukunya Twaalf eeuwen Javaanse literatuur dan R. Ng. Yasadipoera , 1892 dalam bukunya Babad Surakarta ingkang ugi nama Babad Gijanti bahwa sepanjang tahun 1746 – 1775 pasca dikabulkannya permintaan Van Imhoff (VOC) kepada Sunan Pakubuwana II untuk menguasai 2/3 pesisir utara Jawa dan keputusan Kerajaan untuk menunjuk Bupati  harus seizing VOC. Tercatat selama 9 tahun mulai dari peristiwa tahun 1746 tersebut diatas sampai Perjanjian Gijanti dan berakhir dengan Perjanjian Salatiga tahun 1775 terjadi Perang Saudara dalam Kerajaan Mataram dan 50 % penduduk Jawa tewas oleh saudaranya sendiri.  


      5. Bukti Petilasan 

Petilasan Para Kerabat dan Laskar Mataram yang "mlesit" dari lingkungan kerajaan adalah :

  1. Pangeran Dirgonegoro dikebumikan di Pekuburan Mudal dekat Sumber Mata Air "Mudal" dengan Nisan cukup besar dan diletakkan pada tatakan Nisan yang cukup tinggi (± 2 M).
  2. Nyai Suntiaking (perempuan) dikebumikan di Pekuburan yang sama dengan P. Dirgonegoro, namun posisi Nisannya terpisah terletak di pojok barat pekuburan dengan bentuk Nisan panjang, di sampingnya ditanam Pohon Kamboja.
  3. Mbah Posong (Pm), Mbah Gadingsari dan Mbah Kuncen, semuanya tidak diketahui namanya berturut-turut dikebumikan di Pekuburan Dusun Posong dan Gadingsari dan  menjadi satu dengan pekuburan masyarakat biasa. 


  1. Induk Trah
Ada petunjuk bahwa Induk Trah Posong adalah satu dari beberapa Laskar Mataram yang mlesit dari lingkungan Kerajaan (mohon periksa Bagan 1 pada tulisan sebelumnya Posong Sagotrah (1). Kisah selanjutnya, bahwa selama mlesit mereka tidak menunjukkan sebagai tokoh kerajaan, tetapi justru menjalani hidup sebagaimana orang awam dengan segala perlikau sebagai masyarakat kecil di pedesaan. Dalam kondisi hidup di pedesaan, hubungan baik dengan lingkungan Kerajaan tetap dipelihara dengan baik dengan melaksanakan ritual ‘sebo” ke Kasunanan di Solo (bukan Mataram Ngayogjokarto Hadiningrat) hingga tahun 1930-an (dikisahkan Mbah Mangun, Bengan Kidul, 1970).  Namun, ritual ini tidak pernah diceriterakan asal-muasal ritual, maksud dan tujuannya, keterkaitannya dengan kerabat Kasunanan. Ritual sebo tidak terrekam,  dan dipelihara sehingga lambat laun acara tersebut tidak dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

Ibarat  atau pepatah “legi rembesing madu” kira-kira artinya bahwa  ketokohan yang melekat pada seseorang pada suatu generasi yang redup pada generasi berikutnya, diyakini pada suatu saat akan muncul  generasi  yang  mewakili ketokohan leluhurnya.

Alkisah, ada 3 (tiga) orang bersaudara yang dikenang sebagai asal-usul “Induk Trah” tinggal di Dukuh Posong, Gadingsari dan Kuncen. Mereka bertiga selalu melakukan kontak komunikasi. Dikisahkan, bahwa alat komunikasi  yang digunakan bilamana suatu saat akan bertemu untuk merencanakan sesuatu, cukup mengetuk “dingklik” tempat untuk duduk berjemur, maka mereka bertiga segera berkumpul untuk membicarakan sesuatu.  Namun, hingga sekarang siapa nama-nama Induk Trah tidak ada yang ingat dan tidak ada bentuk rekaman yang bisa menjadi bahan penelusuran untuk didokumentasikan. Saya pernah sowan kepada Mbah Parto Posong (1970-an), menanyakan siapa nama Mbah Posong yang sering disebut-sebut induk trah, beliau hanya ngendiko “pokoke Mbah Posong, aku ora ngerti”  Yang beliau ingat, bahwa Setro Saiman adalah keturunan pertama yang berdomisili di Margowangsan dan Mbah Parto adalah cucu dari adiknya Setro Saiman “anak enom, anak tuwa”.



  1. Generasi Pertama 

Bilamana ditelusuri, dari tahun 1775 sampai tahun 2000 sudah 225 tahun atau melewati 3 generasi kalau dihitung rata-rata umur generasi 70 tahun.  Generasi pertama, yang tercatat dengan baik adalah jalur Posong yang menurunkan 11 anak. Sedangkan  jalur Gadingsari dan Kuncen tidak banyak diketahui.

Ilustrasi silsilah Induk Trah (Bagan 1) dan Generasi pertama (Bagan 2), bisa dilihat bahwa jumlah dan penyebaran domisili anak keturunannya sudah sulit untuk ditelusuri. Jika pola pembinaan tali silaturahmi seperti halnya arisan, paguyuban dan sejenisnya sudah sulit dilakukan, maka upaya minimal adalah mengembangkan wacana “kunci petunjuk” dari suatu keluarga terhadap keluarga besar.  

Kunci Petunjuk penelusuran ini dimaksudkan untuk mempermudah pengenalan dengan menyebut tokoh keluarga yang lebih dikenal atau ditokohkan oleh masyarakat sekitarnya. Tentunya penyebutan tidak mengesampingkan tokoh lain yang bisa jadi lebih senior atau status sosialnya lebih tinggi. Diharapkan dengan petunjuk kerabat ini, bagi keluarga yang akan menelusuri lebih jauh kepada keluarga dekatnya, dapat mendekati langsung kepada tokoh yang bersangkutan. Sebagai gambaran, seseorang yang sudah jauh baik tempat maupun tali silaturahmi, suatu saat ingin mendekatkan diri kembali kepada sanak saudara dekatnya, namun yang ia kenal hanya nama nenek/kakek atau personal lainnya. Dengan adanya petunjuk penelusuran ini akan mempermudah identifikasi dan meyakinkan langkah pendekatan. 

Tahun 2010, keturunan yang masih bisa diidentifikasi adalah cucu dari Keturunan Pertama yang masih sugeng sudah berusia diatas 70 tahun-an atau buyut pada usia 50 tahun-an.

Berikut Kerabat Trah Jalur Induk Posong dan Kuncen yang masih bisa diidentifikasi. Sedangkan Jalur Gadingsari belum ditampilkan di Blog ini karena sangat kurang informasi.




Jalur Induk Trah Posong :


Bagan 2. Silsilah Induk Trah Posong 9 Keturunan, 35 Cucu + Pm (Thn 1800 -1930)
Jalur Induk Posong, oleh karena saya ada pada posisi jalur tersebut, maka pencatatan yang diperoleh dari mBah Sahli Slamet Dampit Mertoyudan dan rekam Bapak Suharto Ngaglik nDuwur tahun 2007 dapat diperiksa Bagan 2 Silsilah Induk Pertama Posong Sagotrah pada tulisan sebelumnya. 

Daftar Identifikasi Kerabat dari Jalur Induk Posong dan Kuncen pada tahun 2010, disajikan sbb :

1. Kerabat Canggah Karto Wiryo (Margowang-san/Gangsan)
   
    Canggah KartoWiryo punya 6 org anak 
(1)          Buyut Selar (Gangsan) : 

 Keluarga Buyut  Mbah Isah (Margowangsan/Gangsan), Mbah Marjono (Gangsan),Mbah Marsan (Gangsan)
(2)          Buyut Darmin (Gondang Lor) :

Buyut Dramin : Kurang faham
- Keluarga Mbah Harto, Mbah Suyono (Gondang Lor); Keluarga Pak Sarmadi, Pak Darsono (Wonolobo)
(3)          mBah Sri (Talaman) : Keluarga mBah  Jamal (Talaman), Rambeanak (Mbah Sri Help)
(4)          mBah Setro Saiman (Gangsan) : Keluarga Pak Guru Samidi (Gangsan), Suyatmi (Pondok       Gede Jakarta).
(5)          mBah Rus (Gangsan) : Hilang pada jaman perang kemerdekaan
(6)          mBah Tambeng/Supo (Gangsan) : Keluarga mBah Supo Taruno /mBah Minem (Gangsan).




2. Kerabat mBah Joyo (Posong)
(1)  Mbah Kuncung (Bendan) : Keluarga mBah Pak Santoso Bendan.
(2)  Mbah Mardi (Butuh Kulon) :Keluarga Mbah Parto (Butuh Kulon)
(3)  Mbah Cokro Kamto (Butuh Kulon) : Keluarga Pak ngGolo (Santan)
(4)  Mbah Sumini (Kebokuning) : Keluarga Pak Sukardi (Kebokuning)





3. Kerabat mBah Kartorejo (Posong)
(1)          Mbah Darmi (Bantul) : Keluarga mbah Wiro/Mayor (purn) Sunarno  alm(Gangsan)
(2)          Mbah Karto Atmojo (Magelang) : Tidak diketahui
(3)          Mbah Karto Wardoyo (Purworejo) : Tidak diketahui
(4)          Mbah Kus (Purworejo) : Tidak diketahui
(5)          Mbah Niti (Posong) : Keluarga Pak Kuntarto/Widodo (Butuh Kulon) 

4. Kerabat mBah Rusmin (Popongan) :
Keluarga Kontho Alm (Popongan)



5. Kerabat mBah Karto Diryo (Posong)
(1)          Rumini (ngLampu/Pager) : Belum dikonfirmasi
(2)          Mbah Mangun (Butuh Kln) : Kel. Bu Kusdiyah/Pak Nasikin (Butuh Kln) & Pak Kustoyo (Kbkuning)
(3)          Mbah Mul (Mungkidan) : Keluarga mBah Suwarno (Mungkidan)
(4)          Mbah Madi (Transmigrasi ke Sumatera) : Tidak diketahui
(5)          Mbah Parto (Posong) : Keluarga mBah Sutrisno (Yogyakarta)
(6)          Mbah Sardi (Purworejo) : Pm
(7)          Mbah Murman (Posong) : Keluarga Bu Titik (Smg), Carolina (Bekasi), Romo Iwan, Romo Riyo
(8)          Mbah Muryam/kembaran mBah Murman (Kebokuning) : mBah Harjo Surono (alm)          
(9)          Mbah Samini (Tampir Kulon) : Keluarga Pak Guru Rubiyoto, Ibu Sulisah (Tampir Wetan).
(10)        Mbah Parinem (Posong) : Keluarga Pak Harijanto (Smg), Bu Tatik (Posong), Pak Muk (Smg)
(11)        Mbah Suminem (Posong) : Keluarga mBah Projo (Posong).    

6. Kerabat pm (Mawungan)
Belum dikonfirmasi hubungannya dengan Mbah Sastro Rame Gunung Lemah



7. Kerabat Mbah Niti (Plalangan, Sawangan)
Tidak ada informasi



8. Kerabat Mbah Pawiro (Gadingsari)
(1)          Mbah Diro (Jetis Kaliwungu) : Tidak diketahui
(2)          Mbah Mul (Senden) : Tidak diketahui
(3)          Mbah Dalilah (Gading) : Keluarga Pak Koco (Gadingsari)
(4)          Mbah Saparman (Bengan Lor) : Keluarga mBah Guru Parman (Bengan Lor)
(5)          Mbah Mardi (Yogyakarta) : Pm

9. Kerabat mBah Karto Dimejo/Mbah Lurah (Posong)
(1)          Mbah Pawiro Gempol/Mbah Pucung (Ngaglik Ngisor) : Keluarga Pak Suherman (alm) (Ngaglik   Ngisor), Keluarga Pak Suparman (Bulu)
(2)          Mbah Karto Karsini (Ngaglik nDuwur) : Keluarga bapak Suharto, alm (Ngaglik nDuwur)





Jalur Induk Kuncen :

1.       Kerabat mBah Ireng (Kuncen, Bengan Lor)
(1)         mBah Darsi (Bengan Lor)


2.       Kerabat mBah Bagong
(1)          Keluarga Mbah Bagong (Gangsan, tinggal di Surabaya), Sri/Slamet (Gangsan)

(2)          Keluarga Bu Darsi (Kuncen)

 

Sumber Referensi Pustaka :

2)   Raden Ngabehi Yasadipura, 1885-92, Babad Surakarta ingkang ugi nama Babad Giyanti, Soerakarta : Toef & Kalf
3)   Raden Ngabehi Yasadipura, 1937-39, Babad Giyanti, Batawi-Centrum : Balai Pustaka
4)   Poerbatjaraka, 1952, Kepustakaan Djawa, Amsterdam/Djakarta : Djambatan
5)   W. Van der Nolen, 1997, Twaalf eeuwen Javaanse literatuur, Leiden.




Bersambung pada tulisan berikutnya 







POSONG SAGOTRAH (3)



Silsilah Canggah Kartowiryo & Daftar Kerabat Kartowiryo Saat Ini


1.    Maksud

Penulisan  Kerabat Kartowiryo dalam "Pohon Keturunan" silsilah Posong Sagotrah  bermaksud ingin mengemukakan Nama-nama dan Domisili Kerabat yang ada saat ini (2010). Secara factual kerabat Kartowiryo relatif lebih jelas dan sering ketemu baik di Dusun Margowangsan maupun di Jakarta pada acara Lebaran dan atau Natalan.

 

2.    Ruang Lingkup

 Penelusuran jejak keturunan secara keseluruhan dalam Kerabat Kartowiryo sudah dalam tingkat “Canggah”. 

Kendala kesulitan terjadi pada identifikasi detail terhadap keluarga yang secara kebetulan merantau ke P. Sumatera, sehingga data tidak bisa secara utuh menyajikan data keluarga sampai pada anak cucu “canggah/anak buyut”.

Diharapkan tulisan ini dapat menjadi bahan penelusuran bagi siapa saja yang menjumpai Blog ini untuk menjalin tali silaturahmi yang lebih akrab dalam kerangka pembinaan keakraban antar keturunan Trah Posong.

 


3.    Referensi

         Penelusuran Kerabat Kartowiryo dilakukan dengan wawancara kekeluargaan terhadap Mbah Sahli Slamet Dampit – Mertoyudan (2006). Beliau ini terlihat sangat kuat ingatannya dalam merekam peristiwa-peristiwa masa lalu dan merupakan Pelaku Sejarah yang disegani dalam kerabatnya. Nama-nama pelaku sejarah untuk referensi pendataan adalah sbb :
a)    Mbah Sahli Slamet, Dampit Mertoyudan (2006)
b)    Bapak saya Pak Guru Samidi, Margowangsan (2009)
c)    Pak Lik saya Pak Sugeng, Purwokerto (1991)
d)    Pak Turmudi, Tangerang (2013)


4.    Penuturan Pinisepuh Sekitar Kerabat Kartowiryo 

Silsilah Trah Karto Wiryo, 1890 - 1940

 Canggah Kartowiryo adalah Anak sulung dari 9 bersaudara. Beliau bermukim di Dusun Margowangsan, sebelah selatan Dusun Posong.  


Ada apa dengan ilmu kanuragan?
       Jika zaman sekarang ketokohan ditunjukkan dari derajat formal sebagai Pejabat Negara, Pajabat Perusahaan Negara atau Swasta serta kesuksesannya dalam kewirausahaannya, maka kala itu ketokohan seseorang ditunjukkan dari kemampuannya oleh kanuragan dan kepiawaiannya menggaet Artis Tradisional (Ledek). Dikisahkan, bahwa suatu saat Mbah Karto menonton wayang kulit di Surabaya yang sebagian besar penontonnya adalah orang Madura. Pada saat Ki Dalang menampilkan Raja Mandura (Baladewa), maka adat orang Madura jika Baladewa dimainkan, maka seluruh penonton yang semula pada berdiri harus duduk, menghormati Sang Wayang Idolanya. Nah, Mbah Kartowiryo tidak mau duduk, maka seketika itu dihakimi massa dengan menggunakan senjata aslinya Clurit. Berkat keampuhan ilmunya, maka Mbah Karto tidak lecet sedikitpun dan massa pada mundur melihat manusia yang dikeroyok massa dengan senjata tajam kok tidak mati. Masih banyak lagi kisah-kisah yang tidak ditulis disini menyangkut sepak terjang peri kehidupannya Mbah Kartowiryo dan anak-anaknya yang masih menyukai ilmu kanuragan tersebut diatas. Silahkan disimak Bagan 4. Kerabat Kartowiryo.




Mbah Setro Saiman mempunyai 6 anak yaitu :
 Mbah Irah/Ngadinem (Gangsan) yang menurunkan Samidi (Gangsan), Kuru (Dampit), Sugeng (Purwokerto):
  1. Mbah Urip (Banyakan, Mertoyudan) tidak ada keturunan;
  2. Mbah Djuweni (Lampung), menurunkan Sukri (Lmpg), Sukir (Lmp), Suroso (Lmp)
  3. Mbah Slamet Sahli (Dampit), menurunkan Melik (Dampit, Melok (Purwokerto), Siswono (Purbalingga) dan Siswanto (Jakarta).
  4. Mbah Amin Udotaruno, menurunkan Siti (Jakarta), Suyatmi (Jakarta), Sukarni (Jakarta), Sarmini (Jakarta), Suyono (Bendan), Sudari (Padang) dan Sugi (Bendan)
  5. Kimpul, menurunkan Sudadi (Jakarta)


Keluarga Mbah Kartowiryo ini tersebar mulai dari Dusun Gangsan, Bendan, Mertoyudan, Lampung dan keluarga terbesar di Jakarta dari keluarga Mbah Amin Udotaruno. 
Silsilah Trah Setro Saiman 1930 - 1960
Pada tahun 2010, dari 6 bersaudara tersebut diatas yang masih sugeng tinggal Mbah Amin pada usia sekitar 90 tahun (kelahiran tahun 1920). Dengan "agemanipun" dan falsafah hidup "simply living" narimo ing  pandum" beliau diberi kesehatan dan usia cukup panjang. Namun, semuanya adalah upaya dan takdir Allah, semoga dalam usianya yang panjang tetap didampingi dengan kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarganya, amin.  


Kami mengharapkan adanya masukan tanggapan terhadap diagram tersebut. Bisa jadi ada yang belum tercover atau kurang lengkap. Llebih indah lagi jika ada keluarga yang memberikan masukan model IT yang bisa meningkatkan penampilan atau memudahkan akses komunikasi kepada seluruh keluarga besar.

Kerabat lainnya dari Kerabat Setro Saiman seperti Silsilah Mbah Selar dan Mbah Tambeng (Istri Mbah Supo Taruno) akan ditampilkan pada Tulisan berikutnya.

Catatan :
Adapun Kerabat Setro Saiman yang masih gelap belum bisa ditampilkan adalah Kerabat Mbah Darmin Gondang Lor Kec. Mungkid.


Berlanjut ke Tulisan berikutnya




POSONG SAGOTRAH (4)

PENELUSURAN TRAH SELAR

Penelusuran Posong Sagotrah pada Trah Selar sama dengan Petunjuk penelusuran Trah Kartowiryo yang sebagian besar berdomisili di Dusun Magowangsan. Trah Selar berasal dari Jalur Induk Posong yang merupakan anak sulung dari 6 (enam) orang anak Mbah Setro Saiman.

Saya tulis ulang, generasi pertama Jalur Induk Posong :
Jalur Kerabat mBah Setro Saiman (Margowangsan/Gangsan)
(1)      mBah Selar (Gangsan) : Keluarga mbah Isah, Pak Guru Tris (Gangsan)
(2)     mBah Darmin (Gondang Lor) : Keluarga Sarmadi bapaknya Hermanto (Wonolobo)
(3)     mBah Sri (Talaman) : Keluarga mBah Jamal  (Talaman)
(4)     mBah Kartowiryo (Gangsan) : Keluarga Pak Guru Samidi (Gangsan)
(5)     mBah Rus (Gangsan) : Hilang pada jaman perang kemerdekaan
(6)     mBah Tambeng (Gangsan) : Keluarga mBah Supo/mBah Minem (Gangsan)

Trah Selar menempati keluarga paling besar di dusun Margowangsan dan Kecamatan Sawangan, yaitu Famili Mbah Ali/Isah adalah Keluarga Pak Guru Sutrisno, Bu Guru Sadiyah (almh), Bu Saidah (almh), Pak Guru Sukasah, Pak Sarno, Pak Suparto, periksa pohon keturunan (silsilah). Dari Famili Mbah Marsan adalah Pak Guru Sumadi, Pak Turmudi (Jkt), Pak Rahmat (alm) dan Nedi. Dari Famili Mbah Marjono adalah Pak Suwito (Bdg). Lainnya, berdomisili di Kiyudan, Talaman, Banjengan (Dukun).

Keluarga Mbah Isah (Gangsan)

Di Jakarta, Trah Selar meliputi brayat Mbah Marsan yaitu keluarga Pak Dulrahman (alm) di Bintaro, famili Pak Turmudi di Komplek Merpati Mas, Tangerang. Famili dari Mbah Ali adalah Tri Yanjono (Guru SMA Kemurnian, Cengkareng).

Bersambung ke tulisan berikutnya.





 POSONG SAGOTRAH (5)
Penelusuran Trah Selar (Sulung) & Trah Tambeng
Penelusuran Posong Sagotrah pada Trah Selar dan Trah Tambeng kuranglebih  sama dengan Petunjuk penelusuran Trah Kartowiryo yang sebagian besar berdomisili di dusun Magowangsan. Trah Selar berasal dari Jalur Induk Posong yang merupakan anak sulung dan Trah Tambeng adalah anak bungsu dari 6 (enam) orang anak Mbah Setro Saiman.

Saya tulis ulang, generasi pertama Jalur Induk Posong :

Jalur Kerabat mBah Kartowiryo (Margowangsan/Gangsan)
(1)      mBah Selar (Gangsan) : Keluarga mbah Isah, Pak Guru Tris (Gangsan)
(2)     mBah Darmin (Gondang Lor) : Keluarga Mbah Guru Suharto (Gondang Lor), Pak Sarmadi (Wonolobo)
(3)     mBah Sri (Talaman) : Keluarga mBah Jamal (Talaman), Mbah Sri (Gangsan) dari suami kedua Rambianak dan (pm, Kiyudan) dari suami pertama.
(4)     mBah Setro Saiman (Gangsan) : Keluarga Pak Guru Samidi (Gangsan)
(5)     mBah Rus (Gangsan) : Hilang pada jaman perang kemerdekaan
(6)     mBah Tambeng/Isteri Mabh Supo Taruno (Gangsan) : Keluarga mBah Supo/mBah Minem (Gangsan)

  1.  Trah Selar :
 
Trah Selar, Margowangsan











Trah Selar menempati keluarga paling besar di Kec. Sawangan. Mbah Selar mempunyai 3 (tiga) orang anak dan 18 (delapan belas) cucu, meliputi :

a)    Famili Mbah Ali/Isah, mempunyai 10 orang anak meliputi :
1.     Isah (Talaman), tidak ada anak
2.    Dulsujak (Talaman), 7 anak (Jilin, Trimah, Tinah, Sarno, Ning, Heru, Kun)
3.    Nah (Sukorini), Pm
4.    Yaminah (Dukun), Pm
5.    Suparto (Gangsan), 4 anak (Haryanto, Sri, Tutik, Tari)
6.    Sutrisno (Gangsan), 4 anak (Heny, Yanjono, Agus, Rahmat)
7.    Marsidah (Gangsan), 2 anak (Sis, Sus)
8.    Sadiyah (Gngsan, almh), anak tunggal (Kantri)
9.    Sukasah (Gangsan), 2 anak (Gunawan, Rini)
10. Marisah (Sawangan), 3 anak (Anto, Wawan, Uut)

b)   Famili Mbah Marjono, mempunyai anak tunggal yaitu Pak Suwito (Bdg).

c)    Famili Mbah Marsan (Mbah Mah), mempunyai 7 orang anak meliputi :
1.     Ahmad (Gangsan), 6 anak (Waliyah, Bitri, Budi, Wiwin, Ambar, Agus)
2.    Turmudi (Gangsan), 5 anak (Widaryadi/Ti, Budi, Junaedi, Ning, Joko)
3.    Sumadi/Sadiyah (Gangsan), anak tunggal (Kantri)
4.    Din (Sumbar), anak tunggal (Sumi)
5.    Dulrahman (Bendan), 3 anak (Arif, Nia, Rahman)
6.    Sumrihati (Kiyudan), 3 anak (Ita, Agus, Risa)
7.    Ari (Banjengan), 3 anak (Rin, Nanang, Andi)

Periksa pohon keturunan (Silsilah Trah Selar).
 Keluarga Mbah Buyut Selar dengan 3 anaknya ini sekarang sudah sangat banyak dan ntersebar mulai dari Dusun Gangsan sendiri, Talaman, Kiyudan, Banjengan (Dukun) dan Jakarta.













B. Trah Tambeng/Supo Taruno
Nama Tambeng diambil dari anak sulung yang bernama “Said” tetapi keluarga menyebutnya “Tambeng”, sehingga orangtuanya dipanggil Mbah Tambeng.

Anak bungsu Mbah Setro Saiman ini mempunyai 6 (enam) anak dan sebagian besar merantau keluar dari Dusun Margowangsan, meliputi :

a)    Famili Mbah Said atau Tambeng (Lampung) mempunyai 3 anak (Surti, Semarang), Sir (Semarang), Surahmat (Purwokerto), Siti (Semarang)
Keluarga Mbah Said, jarang menengok kampong halamannya di Gangsan, sehingga dalam tulisan ini belum tertulis.
b)   Famili Mbah Hilal (Muntilan), 2 anak (Din, Jumrodah) keduanya di Muntilan.
c)    Famili Mbah Minem (Gangsan), anak tunggal (Teguh) di Madiun
d)   Famili Mbah Tamyis (Salatiga), 3 anak yaitu Sumi (Gangsan), Tamyis (Salatiga), Dalmini (Gangsan).
e)   Famili Nap (Madiun), 3 anak yaitu Tatik/Teguh (Madiun), Agus (Madiun), Singgih (Muntilan).

Periksa pohon keturunan (Silsilah Trah Tambeng).

Demikian penampilan Posong Sagotrah (5), kepada pemirsa yang secara kebetulan membaca dan ada sesuatu yang kurang sempurna pada tulisan dan Diagram Pohon Keturunan tersebut diatas, mohon koreksi untuk kesempurnaan tulisan. 


Dari diagram Trah diatas, kami sangat berharap ada tanggapan yang bisa jadi salah tulis, kurang lengkap, dan lain-lain untuk menyempurnakan tulisan lebih lanjut.

Kepada Bapak saya (Pak Guru Samidi), Pakde Turmudi di Tangerang, Mbah Minem di Gangsan dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penyusunan diagram silsilah, saya dan keluarga menyampaikan apresiasi yang tinggi dan mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.

Semoga bermanfaat.
Jakarta, September 2010  






Kumpul Brayat Lintas Generasi di Semarang, 
27 Desember 2014




Kumpul Brayat Trah Posong di rumah mbak Antin Jln. Imam Bonjol bulan Desember 2014 di rumah mbak Antin (Sundari) Semarang adalah kumppul brayat yang ke-4 (kurang faham). Luar biasa, kumpulan dihadiri sesepuh yang sudah sepuh-sepuh, generasi ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-5 dari Induk Trah Posong subhanallah.

Mbah Buyut Murman (putri) adalah  satu-satunya  generasi ke-2 dari Induk Trah yang masih sugeng. Saya menyebut mBah Buyut dengan beliau (foto disamping), alhamdulillah pinaringan yuswo 95 tahun dan kondisinya masih segar bugar dan paningalipun jernih. Beliau melahirkan 8 (delapan) putra dan putri  dan hadir pada kumpul-kumpul ini, sbb :
  1. Bu Titik (SMg)
  2. Bu Carolina (Bekasi)
  3. Romo Iwan (Smg)
  4. Bu Murtiningsih (Kebumen)
  5. Romo Riyo Mursanto (Smg)
  6. Bu Muryanti (Antin) (Smg)
  7. Pak Indro (Yogya)
  8. Mbah Muk dan Saya
  9. Bu Wulandari (Bu nDari,  Jkt) 
Kumpul brayat Posong kali bisa dikatakan kumpul Canggah Kartodiryo Generasi-I dari Induk Trah. Mengulang kembali tulisan terdahulu, Canggah Kartodiryo adalah anak ke-4 dari Induk Trah yang mempunyai 11 anak sbb :
  1. Mbah Buyut Rumini (Lampung)
  2. Mbah Buyut Mangun ndalan (Butuh)
  3. Mbah Buyut Mul (Mungkidan)
  4. Mbah Buyut Madi (Gunung Sewu -Tanggamus - Lampung)
  5. Mbah Buyut Parto (Posong)
  6. Mbah Buyut Sardi (Purworejo)
  7. Mbah Buyut Murman (Mgl)
  8. Mbah Buyut Muryam (Kebokuning)
  9. Mbah Buyut Samini (Tampir Kulon)
  10. Mbah Buyut Parinem/Mbah Guru (Posong)
  11. Mbah Buyut Suminem (Posong)
 Kumpul brayat di Semarang yang hampir lengkap kedua adalah Brayat Mbah Parinem, kecuali keluarga Mbah Widiyanto (alm) di Malang. Keluarga Mbah Parinem mempunyai 5 keturunan sbb : 
  1. Mbah Widiyanto (alm) Malang
  2. Keluarga Mbah Hariyanto (Smg)
  3. Keluarga Mbah Hartatik (Posong)
  4. Keluarga Mbah Hari (Smg)
  5. Keluarga Mbah Harjanto Slamet /Muk (Smg) 
 
Mbah Carilne & Kerabat Mbah Guru Parinem











Kembali ke pembicaraan ke Sorosilah Induk, bahwa Induk Trah Posong adalah 3 bersaudara dengan Induk Trah Kuncen dan Gading. Induk Trah Posong mempunyai 9 keturunan meliputi :
  1. Canggah Kartowiryo, 6 keturunan (Margowangsan, Gondang lor, Talaman)
  2. Canggah Joyo,  4 keturunan (Bendan, Butuh, Kebokuning)
  3. Canggah Kartodiryo, 11 keturunan (tsb diatas)
  4. Canggah Kartorejo, 5 keturunan (Posong, Bantul, Magelang, Purworejo)
  5. Canggah Popongan, 1 keturunan (Popongan)
  6. Canggah Mawungan, (belum terkonfirmasi sambungan dgn Mbah Sastro Rame Gunung Lemah)
  7. Canggah Niti Plalangan, (belum terkonfirmasi keberadaannya)
  8. Canggah Pawiro (Gading), 6 keturunan (Jetis Kaliwungu, Gading, Bengan Lor, Yogya) 
  9. Canggah Kartodimejo/Mbah Lurah, 3 keturunan (Ngaglik nduwur, Ngaglik ngisor, Talun)

Kumpul brayat tangggal 27 Desember 2014 di Semarang dihadiri 3 Canggah :
  1. Canggah Kartowiryo diwakili saya sendiri dari Brayat Canggah Kartowiryo - Buyut Setro Saiman, Mbah Ngadinem - Margowangsan.
  2. Canggah Mawungan (Pm Pak Sastro Rame - Gunung Lemah)
  3. Canggah Kartodiryo diwakili oleh 6 Buyut sbb :
  • Buyut Murman seperti tersebut diatas, 
  • Buyut Mul diwakili oleh Sapto (Mungkidan),
  • Buyut Parto : Keluarga Mbah Tris (Yogya), Nana, Joko (Jkt), 
  • Buyut Parinem : Keluarga Mbah Yan, Mbah Hari dan Mbah Muk (Smg), 
  • Buyut Samini :  Keluarga Mbah Rubiyoto(Tampir Kulon) dan 
  • Buyut Suminem : Keluarga Mbah Projo (Posong).

Semoga upaya "ngumpulke balung pisah" Trah Posong dapat terwujud, amin.


 Alon-alon sambil membina tali silaturohim, sambil mencari bentuk komunitas.

Keluarga Mbah Buyut Mul (Sapto), Buyut Setro Saiman (saya), dll

Keluarga Mbah Tris dan Mabh Suti Posong




Mbah Sutrisno & Mbah Hari



Foto Lintas Generasi, Buyut, anak, cucu,cicit


Keluarga MbahBuyut Parinem









Keluarga MbahBuyut Samini/Mbah Rubiyoto


Keluarga Mbah Sulisah/Pak Tikno Mertoyudan







 


Bulik Nana (Jkt), Nunu (GnLemah), dll

Catatan : 
  • Tulisan ini pasti banyak yang belum masuk, jauh dari lengkap. Sumonggo dipun koreksi untuk mnyambung dan mempererat tali silaturahim.
  • Kisah-kisah leluhur kalau ada yang punya, silahkan tentunya yang baik-baik saja. Seperti diketahui bersama bahwa Brayat Kartowiryo Margowangsan pernah mengalami masa heroik pada zamannya walaupun termasuk agak kurang etis ditampilkan (pernah saya singgung pada Tulisan sebelumnya).



Kumpul Brayat di Cilandak, Juni 2014



Kumpul Brayat Trah Posong baru dimulai beberapa bulan di tahun 2014. Saya bergabung dalam kumpul brayat dari anak keturunan Karto Diryo Posong yang mempunyai 11 anak. Posisi saya diluar brayat tsb karena saya berasal dari brayat Karto Wiryo Gangsan anak pertama dari Induk Trah Posong.

Kumpul Brayat di Cilandak kali ini sebagian besar dihadiri dari Brayat Karto Diryo Posong. Brayat lain yang hadir ada dari Brayat Kartowiryo Gangsan, Karto Dimejo Posong (Mas Eddy mBulu turunan Mbah Pawiro Gempol Ngaglik ngisor), Brayat Mbah Parinem, Mbah Parto, Mbah Murman, Mbah Muryam.

Kegiatan dalam bentuk Arisan yang dilaksankan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Foto diatas diambil pada saat  kumpulan di Rumah Bapak Riyadi / Mbak Nana putra mbak Suti wayah Mbah Parto Posong di Cilandak - Pasar Minggu tgl. 22 Juni 2014 yang dihadiri oleh 35 orang. 

Terus terang saya mengucapkan banyak terimakasih atas diundangnya saya dalam Kumpul Brayat kali ini. Betapa tidak, saya tidak faham satu dengan lainnya yang hadi kecuali dengan Mbak Nana dan Mas Edy Mbulu. Mungkin karena merasa satu darah, maka pertemuan yang dimulai dengan perkenalan seperti mengenal orang asing pun berubah menjadi percakapan "rinaketan sedulur cedak". Percakapan mulai dari mengurut nama orang tua, mbah-mbah, paman, sesepuh yang masih di kampung, tempat tinggal, posisi rumah di kampung, pekerjaan, saudara dan perkembangan kampung saat ini.  

Pembicaraan untuk pertama kali bertemu pasti masih memilih dan memilah mana yang sekiranya enak didengar dan santun diutarakan. Ada satu kata yang tersimpan dalam benak masing-masing yaitu niat ingin menyatukan sanak keluarga sedarah yang sudah terserak kemanpun arahnya "ngumpulke balung pisah" yang semula sudah tidak tahu dimana dan kemana mereka hidup dalam mencari penghidupan masing-masing. Tentunya hidup menuruti nasib adalah kehendak Yang Kuasa. Ada yang menjadi Pemimpin dan Tokoh Agama, ada yang menjadi Pejabat, ada yang berprofesi sebagai guru, pekerja atau karyawan dan lain sebagainya. Syukur alhamdulillah diantara mereka tidak ada yang merasa "aku" yang lebih baik darimu, tetapi aku adalah sedarah, nunggal Induk, Trah Posong.


Semoga dapat ngremboko dan dilestarikan oleh generasi sekarang dan berikutnya.

Amin. 



KEMPAL BRAYAT 14 JUNI 2015
DI RUMAH MBAK BUDI (LAMPUNG) DI BEKASI  

Kempal Brayat kali ini dilaksanakan di Rumah mBak Budi (Lampung) di Komplek Perumahan Pondok Pekayon Indah XI/30. Posisi rumah bisa ditempuh dari Tangerang melalui Tol dalam kota lanjut Tol Cikampek, keluar di pintu Bekasi Barat.  Begitu keluar tol ketemu prapatan di depan Mal Bekasi Raya belok kekanan melangkahi jalan Tol Cawang - Cikampek. Dari posisi itu ketemu prapatan belok kekanan lurus ketemu Naga Mall, lurus sekitar 200 M di sebelah kanan ada Gerbang Pondok Pekayon Indah. 

Begitu masuk komplek perumahan, jalan mentok ketemu Jln Ketapang XIII belok kekanan dan diurut sebelah kanan akan ketemu Ketapang XI, posisi rumah di Pojok Ketapang XI.   
 

Anggota yang hadir cukup banyak sekitar 30 orang.

Putro-wayah Brayat Kartowiryo : Saya sendiri

Putro-wayah Brayat Kartodiryo yang hadir :
Buyut Parto Posong         :  Keluarga Mbak Nana, Mas Joko (Jkt)
Buyut Murman Semarang : Keluarga Kanjeng Mami Carolina (Bekasi selatan); Mas Indro (Jakarta)
Buyut Mangun Butuh Kulon : Keluarga Supriadi (Tangerang)
Buyut Samini Tampir Kulon : Mbak Tutik dan Cs (Bogor)
Buyut Madi Lampung          : Mbak Budi (pemilik rumah)

Acara cukup meriah dengan acara pokok arisan, sekedar sarana pengikat saja.

Pada masa perintisan dengan misi "ngumpulke balung pisah", perlu kehati-hatian mengingat sebelumnya satu dengan yang lain tidak saling kenal. Bersyukur bahwa masing-masing menyadari tanpa paksaan berasal dari Trah Posong.

Ada modal dasar yang cukup kuat untuk dapat dikembangkan menjadi lebih besar dan bermakna dalam menjalin tali silaturahim, yaitu "pengakuan diri berasal dari Trah Posong". Tentunya  konsolidasi sampai ke tahap "terorganisasi" akan memakan waktu cukup lama. Acara guyon, sekedar ketemu, salaman kehadiran dan salaman selamat jalan adalah sederhana namun mempunyai makna yang cukup besar. Forum perlu mengambangkan "spirit hadir" pada setiap acara serupa dan acara-acara penting lainnya yang terjadi pada masing-masing warga.
 Sumonggo pelan-pelan, sambil memperbaiki sistem komunikasi lewat media sosial WhattsApp, Group BBM dan saling sapa per telepon, kita berdo'a semoga perkumpulan akan berkembang semakin besar dan lebih bermakna lagi. Insya allah.
Rahayu ingkang pinanggih wonten ing kempal brayat ingkang bade dhateng, wulan September 2015. 
Nuwun 

Kanjeng mami, Mbak Nana serius



Mbak Budi dan tamunya terlibat pembicaraan arisan















Mas Indro dan Pemilik rumah sdg negosiasi bisnis