2 Okt 2010

Matinya Pasar Ngesengan & Prospek “Pasar Gangsan”

Pendahuluan
Ilustrasi Pasar Hewan Ngesengan tempo dulu
Pasar Ngesengan berasal dari kata Ng+Seng+an, kurang lebih artinya Pasar yang bangunan Los Pasar-nya atapnya tebuat dari logam "Seng". Pasar Ngesengan dibuat pada jaman Belanda sekitar tahun 1930-an untuk mengakomodasikan transaksi jual beli masyarakat di daerah Desa Sawangan dan sekitarnya. Jika memperhatikan cerita para pinisepuh yang mengalami kehidupan zaman Pemerintahan Belanda, hampir di setiap Desa di Kecamatan Sawangan Kab. Magelang sudah dibangun Pasar dengan hari pasar yang hari pasarannya sudah disusun berurut rolling dari pasar yang satu dengan pasar lainnya. Pasar-pasar yang dibuat sebelum kemerdekaan RI yang beroperasi maupun yang sudah tinggal nama, sbb :

  1. Pasar Bengan posisinya di Kantor Desa Mangunsari dengan hari pasar “Wage” (tinggal nama);

  2. Pasar Ngesengan (Gangsan) posisi pasar di komplek Puskesmas dan Perumahan Camat Kec. Sawangan dengan hari pasar “Pon” (tinggal nama);

  3. Pasar Bulu di perempatan Dusun Bulu, pada zaman Pemerintah Desa Pak Rito (Gelap) dipindah ke Bengkok pojok Dsn Bulu, dengan hari Pasar Paing, (masih beroperasi sampai sekarang);

  4. Pasar Ngangkruk di Ngangkruk- Gunung Kuli, Desa Podosoko, lokasi masih ada, sekarang sudah berubah fungsi bukan pasar transit pagi dini hari;

  5. Pasar Banyu Temumpang (Tumpang), Desa Krogowanan merupakan transit menuju Pasar Talun di Kec. Dukun (masih berfungsi sampai sekarang);

  6. Pasar Nglumut posisi di Gedung SD Krogowanan, khusus pasar hewan dengan hari pasar “Pon” (tinggal nama).
Pasar Ngesengan adalah pasar besar yang dibangun untuk perdagangan umum meliputi pasar hewan, sayuran, sandang dan barang-barang sekunder. Pasar ini cukup ramai setingkat dengan Pasar Talun dan Pasar Mungkid di Blabak. Petani yang memasarkan hasil bumi dan Tengkulak serta pedagang lainnya banyak yang datang dari luar Kecamatan, walaupun akses jalan dari jalan Provinsi Magelang-Blabak-Muntilan belum beraspal tetapi sudah cukup lebar dan sudah diperkeras.   Mobil angkutan barang dari Muntilan yang mengangkut barang-barang hasil bumi dari  Pasar menuju Muntilan sudah berjalan lancar. Pasar hewan (sapi, kerbau, kambing dan kuda) sudah berjalan dan pada umumnya untuk diperdagangkan ke Pasar-pasar yang lebih besar di Pasar Kota Muntilan, Magelang dan Yogyakarta. Petani mengangkut hasil dagangan dari daerah Tegalan Sawangan bagian Timur Laut menggunakan Kuda Beban (kuda poni). Pengelolaan Pasar sudah berjalan sebagaimana layaknya pasar besar.

Kaum Chinese juga sudah ada di lokasi pasar Ngesengan yang terkenal disebut Bah Urip, yang semula menempati Pasar Blabak pasca tragedi “massacre” di Kota-kota Jawa Tengah tahun 1950-an sebagai dampak kebijakan Pemerintah Pusat tentang Alokasi Wilayah Usaha bagi Kaum Chinese. Bah Urip dan keluarganya sempat diselamatkan dari tragedi berdarah oleh anggota keamanan dan migrasi dari Blabak ke Pasar Bengan, kemudian pindah dan menetap di dekat Pasar Ngesengan hingga meninggal. Terakhir anak keturunan bah Urip menempati rumah sekaligus Toko di dekat Pasar Ngesengan pada tahun 1990 dan sekarang anak cucunya tersebar di Muntilan dan Magelang. Rumah yang sekaligus dijadikan Warung Kelontong pun sekarang sudah tidak berbekas, berpindah tangan dan dibangun menjadi Toko Swalayan dan Ruko.

Sekelumit Kisah Senjakala Pasar Ngesengan

Menjelang kemerdekaan RI tahun 1945, Pasar Ngesengan pernah menjadai sasaran serangan tentara Belanda. Pasar Ngesengan adalah salah satu konsentrasi massa yang tidak luput dari sasaran Agresi Militer Belanda pra proklamasi kemerdekaan dan pasca kemerdekaan untuk merebut kembali kekuasaannya di RI pada tahun 1949. Sudah tidak diragukan lagi komitmen nasionalisme "Wong Sawangan". Sejak pecahnya Mataram oleh intervensi Belanda menjelang Perjanjian Giyanti  pada hingga Perang Diponegoro, laskar pejuang kemerdekaan anak-anak muda Gangsan pun tidak tinggal diam dengan adanya agresi Belanda sampai ke kampung-kampung.
Pada suatu ketika ada seorang tentara Belanda memasuki daerah sekitar Pasar melakukan patroli terbunuh oleh Laskar yang notabene adalah anak-anak muda Gangsan. Mungkin kematian tentara Belanda ini tidak terdengar sampai ke Pemerintah Kabupaten waktu itu, sehingga tidak menjadi catatan sejarah. Identitas tentara Belanda yang terbunuh pun tidak diketahui. Jenazahnya dikubur di belakang Pasar Ngesengan dan tidak diketahui oleh siapa pun. Posisi kuburan tepatnya di belakang Gedung Olah Raga di depan Kantor Polsek Kec. Sawangan. Hingga sekarang, lokasi kuburan sering dibersihkan oleh Warga terdekat. Sekali waktu warga di sekitar lokasi kuburan diperlihatkan penampakan tentara Belanda yang terbunuh tersebut.

Cerita Perjuangan Laskar anak-anak muda Gangsan tersebut diatas adalah penyebab utama berangsur-angsur melorotnya wibawa dan karakter Pasar Ngesengan. Mulai saat itu Pasar yang semula dipadati pedagang dan pembeli berangsur-angsur meninggalkan arena transaksi mereka di pasar tsb.


Ilustrasi Pedagang Bumbu Dapur 
Pasar Ngesengan Tempo Dulu


Tahun 1971 saya masih duduk di bangku Kelas 6 SD masih terlihat 2 Los Pasar di sebelah selatan jalan yang kemudian dirubah menjadi Ruang Kelas SD Sawangan II dan 2 Los Pasar lagi di sebelah selatan jalan dirubah menjadi Gudang Garam dan Klinik Kesehatan yang ditunggu oleh Manteri Kesehatan (Bapak Dulhamid) dan Asisten Manteri  (Ramidi) serta banguan bekas loading hewan-hewan yang akan dinaikkan/diturunkan di sebelah timur lokasi pasar yang sekarang dilaihfungsikan menjadi Badan Kredit Kecamatan (BKK). Dua (2) Los Pasar di sebelah utara jalan masih ramai berfungsi sebagai layaknya pasar. Penjual bumbu dapur dan jajan pasar terbesar adalah Mbah Rus Bengan, Mbah Seni Gangsan, Mbah Urip Gangsan dan Bu Hadi, Bu Ajun membuat warung di sebelah barat dan utara diluar pasar. Bah Urip/Nyah Bunder berjualan lengkap barang-barang kelontong.

Versi lain awal mulanya kemerosotan Pasar Ngesengan adalah cerita mistik, bahwa Pada awal berdirinya pasar, ada "pamali"  tidak diperkenankan areal pasar digunakan untuk hal-hal yang berbau "porno". Suatu saat  pamali dilanggar, yaitu pasar hewan yang juga tempat menambatkan kuda-kuda pengangkut barang hasil bumi dari daerah tegalan digunakan untuk mengawinkan kuda. Acara mengawinkan kuda ini sempat menyedot perhatian bagi pengunjung pasar. 
Namun, terlepas dari cerita kepercayaan mistis dan pamali tersebut datas, pada kenyataannya Pasar Ngesengan tidak terdukung oleh faktor-faktor penunjang selayaknya lokasi transaksi dari penjual dan pembeli, yang akhirnya ditinggalkan oleh para peminat.



Terakhir tutupnya Pasar Ngesengan adalah tahun 1972, Pemerintah Kabupaten Magelang membangun mulai fasilitas Perumahan Camat dengan menggusur 2 (dua) Los Pasar di sebelah utara jalan dan pembangunan Puskesmas serta Perumahan Danramil dengan menggusur 2 (dua) Los Pasar di sebelah selatan jalan. TAMATLAH RIWAYAT PASAR NGESENGAN.
Penduduk di sekitar lokasi pasar yang menggantungkan hidupnya dari berjualan sayur mayur pada saat itu tidak tahu alasan Pemerintah Kabupaten menggusur Pasar tanpa pengganti lokasi pasar. Bisa jadi karena anggaran pembangunan pada awal PELITA-I, untuk Perumahan Camat, Danramil dan Puskesmas, sementara lokasi pembangunan belum ditentukan atau tidak dialokasikan anggaran untuk pembebasan tanah. Lahan yang mudah dan gratis dari biaya pembebasan adalah pasar, jadilah pembangunan di situ. Ini perkiraan saya sesuai pengalamannya menjadi Pemimpin Proyek APBN untuk penghijauan dan reboisasi di Sulsel tahun 1991.

Masa kesepian dari transaksi di pasar berlanjut selama kurang lebih 20 tahun hingga tahun 1993/1994 dengan penbangunan Pasar oleh Pemerintah Kabupaten yang terletak di sebelah utara Dusun Gangsan, sekitar 600 M di sebelah utara pasar Ngesengan.

Dapatkah Karakter Pasar Ditentukan Tanpa Upaya?
Ada keyakinan masyarakat setempat khususnya orang-orang tua, jika akan membangun pasar yang nantinya akan memakmurkan warga di sekitarnya maka harus bisa mencuri “lincak” bangku kecil yang terbuat dari bambu untuk tempat dasar orang jualan dari Pasar yang sudha Ramai, terserah dari pasar mana tidak ada prasyarat. Ganjil bin aneh dan tidak bisa dinalar maksudnya. Salah-salah jika ketahuan yang punya si pencuri lincak jadi bulan-bulanan massa, badan babak belur. Jelas persyaratan tersebut tidak akan dilakukan oleh warga di sekitar Lokasi Pasar Sawangan ini pada saat menjelang peresmian pasar oleh Bupati.
Ada pendapat lain, bahwa keberadaan Pasar adalah wahyu, maksudnya pasar tidak perlu ditentukan koordinat posisinya atau dibangun permanen, orang akan datang dengan sendirinya jika lokasi memang membawa rizki untuk transaksi jual beli. Contohnya pasar Tumpang dan Nglumut biarpun tidak dibangun permanen dengan anggaran Pemerintah, toh sudah masyarakat menjadikan lokasi tersebut sebagai pasar.   
Karakter pasar yang menurut rencana akan dijadikan Pasar Transit dengan fasilitas Kios dan Los Pasar, berangsur-angsur melorot.
Fakta menunjukkan bahwa pola perdagangan di pasar ini bahwa barang-barang dagangan yang ditawarkan kepada pembeli tidak disuplai dari hasil produksi warga sekitar. Tengkulak dari luar daerah tidak ada yang datang karena tidak ada komoditas yang diperdagangkan secara spesifik. Lihat, yang bertahan dan sukses adalah beberapa orang saja yang benar-benar mereka adalah pedagang tulen dari sejak usia anak-anak.


  • Yu Yati  memasarkan barang-barang konsumsi dapur yang dibeli dari Pasar Muntilan, bukan hasil produksi warga sekitar

  • Yu Mur memasarkan tahu, tempe dan barang-barang kebutuhan dapur yang dibeli dari luar warga sekitar;

  • Lik Ti / Lik Man melayani jasa parut kelapa, minyak tanah dan  barang-barang kelontong kebutuhan sehar-hari. 

  • Beberapa pedagang lain dengan barang dagangan kebutuhan dapur. 

  •    

    Pembeli barang-barang kebutuhan dapur didominasi oleh Ibu-ibu Karyawan Pemerintah setempat yang tidak sempat pergi ke sawah atau ibu-ibu yang lain dengan kesibukan yang tinggi.   

    Othak-athik Mathuk
    Jika masyarakat tedahulu berfikiran demikian, maka bagi masyarakat modern harus mengambil makna arti dari mencuri lincak dimaksud. Kira-kira kalau diothak-athik makna pencurian adalah tindakan mengambil sesuatu secara tidak sah atau tidak diketahui pemiliknya. Dalam hal ini mencuri ilmu dari pasar tetangga yang sudah ramai dikunjungi masyarakat bermakna mencuri sesuatu yang sudah dikerjakan oleh pasar tetangga untuk diterapkan di pasar yang baru. Apa yang dikerjakan oleh pasar tetangga harus bisa dilakukan di pasar yang baru, dilihat dari aspek managerialnya, adat-istiadatnya, pengelolaan fasilitasnya, dan lain sebagainya. Apakah penerapan ilmu per-pasar-an di Talun, Tumpang, atau Bulu sudah diterapkan di Pasar Gangsan? Jawabannya “Pasar Ngesengan tidak bisa mencuri menajemen dari pasar tetangga”. Yang ada adalah pengunjung semakin lama semakin sepi dan semakin sepi. Tentunya ada yang salah.

    Dimana Letak Salah Urusnya?
    Target prinsip adalah minimalisasi kendala dan memperkuat peluang.
    Menurut pengamatan saya dari jauh, kendalanya a.l

    • Kelengkapan fasilitas pasar, tidak dipagar sehingga keamanan barang yang disimpan oleh pedagang di Los Pasar atau Tuko tidak terjamin;

    • Manajemen Pasar tidak mengikuti perkembangan lingkungan pedagang dan petani khususnya ketersediaan fasilitas pendukung permodalan, mis : Bank Perkreditan atau lembaga serupa yang dibangun di Pasar.

    • Penghuni pasar bukan pedagang tulen. Sampai kapan pun jika penghuninya adalah sekedar orang punya duit yang bisa beli dagangan tetapi tidak bisa memasarkan, maka selamanya akan tidak berkembang.

    • Tidak mempunyai komoditas “Unggulan” yang menjadi daya tarik bagi tengkulak atau pembeli dari luar daerah Sawangan untuk datang ke Pasar. Komoditas tidak harus berupa barang hasil bumi, jasa dan produk handcraft tidak tersentuh sama sekali.

    • Tidak ada jaminan keamanan. Psikologis massa tidak merasa ada dalam keamanan dan kenyamanan dalam bertransaksi selayaknya pasar sebagai fasilitas transaksi. Maksudnya, sudah terlalu banyak dan meresahkan baik kalangan pedagang maupun pembeli yang “opyak” sering kehilangan uang tanpa adanya transaksi. Hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada bimbingan antisipasi dan solusinya. Awam yang menduga karena perbuatan “Thuyul” dls yang tidak masuk akal. Kalau memang benar, kenapa masih ada yang mampu berdagang hingga sekarang? Ada sesuatu yang salah pada sistem kemasyarakatannya barangkali atau daya pikir ybs. Masalah ini berlarut-larut tanpa ada solusi campurtangan Tokoh Masyarakat dan Aparat Keamanan dalam penyelesaian kasus ini....!!!  

    • Tidak ada yang bertanggungjawab terhadap maju dan mundurnya kemakmuran warga di sekitar Pasar atau Kemakmuran Pasar.

    Mampukah Mengatasi Kendala?
    Jika dilihat kendala tersebut diatas, fenomena yang sedang berjalan di masyarakat setempat adalah mereka tidak mau disibukkan dengan urusan orang banyak, tidak mau menambah pekerjaan yang tidak membawa keuntungan bagi dirinya. Dengan kata lain, rasa kegotongroyongan sudah pudar.  "APATIS" terhadap lingkungan sudah menggejala. Menurut pemikiran saya perlu dikaji lagi wacana dibawah.

    • Untuk meminimalisasi Kendala agar point-point tsb diatas diperhatikan, walaupun perlu waktu, tenaga dana yang tidak sedikit. Semua harus ikut bertangungjawab mencari jalan keluarnya secara bertahap.

    • Utamakan prioritas penanganan mulai yang berat sampai yang paling ringan. Misalnya, kalau yang terberat adalah keamanan, semua warga harus sepakat berperang melawan "ketidakstabilan". Tariklah kasus mistik menjadi kasus kriminal, sehingga Polisi pun nantinya bisa menyeret si pemilik thuyul dengan bukti-bukti yang kuat.

    • Berikan insentif bagi pedagang-pedagang, pelaku usaha tulen ke Pasar. Saya yakin pasar akan maju. Bisa dicoba mengundang Chinese satu orang saja (jangan banyak-banyak) nanti pedagang lokal kalah bersaing dan terdesak, justru akan menimbulkan masalah baru.

    • Beri kesempatan usaha bagi Pedagang Tulen dengan permodalan yang cukup.

    • Tolak para petualang masuk pasar, oknum seperti ini hanya akan memanfaatkan keuntungan semata, kios pasar dijadikan barang dagangan untuk dijual kembali kepada orang lain.
    • Hal khusus yang mengkhawatirkan dan masuk kategori "kondisi miskin secara struktural" adalah karena produktifitas warga yang rendah untuk melakukan upaya produksi yang berdampak pada daya beli masyarakat yang rendah.  Hal ini memerlukan pengentasan yang memerlukan penanganan berkelanjutan dengan dana yang cukup besar. 
    • Harus ada yang berdiri di depan "mandegani" untuk duduk bersama diantara semua pihak yang terlibat dengan kehidupan pasar dalam rangka mengidentifikasi masalah, mengorganisasikan pelaku pasar, merencanakan kegiatan, melangkah mencari solusi dan mengevaluasi kembali yang sudah dikerjakan.

    Demikian, sekedar tulisan kenangan dan wawasan, semoga bermanfaat.
    Oktober, 2010.

    Referensi :
    • Penuturan Pinisepuh Dsn Gangsan sebagai Pelaku Sejarah Berdirinya hingga tutupnya Pasar Ngesengan. 

    30 Sep 2010

    Pasar Ngangkruk & Gunung Kuli






    Pasar Dasaran, barang dagangan ditaruh terhampar
    Pasar Ngangkruk, berarti Pasar yang "ngangkruk-angkruk" berarti pasar yang terletak di dataran yang lebih tinggi daripada dataran di sekitarnya. Posisinya persis di bagian barat kaki Bukit Kuli (baca : ngGunung Kuli) di Desa Podosoko, Kec. Sawangan - Kab. Magelang - Jawa Tengah. Di sekitarnya memang datarannya terlihat lebih rendah. Lokasi Pasar di perempatan dari arah Tampir Kec. Candimulyo menuju Soronalan Kec. Sawangan dan arah Pager Kec. Candimulyo menuju Jambon Kec. Sawangan.

     Pasar ini tidak seperti pasar pada umumnya. Pada tahun 1970-an saya masih ingat, bahwa Pasar Nangkruk hanya berupa perempatan jalan yang mirip pelataran sekitar 0,5 Ha yang dibatasi dengan bangunan 2 warung sederhana.  Tidak ada bangunan Los Pasar, pagar, atau bangunan fasilitas sebagaimana Pasar pada umumnya. Masyarakat datang ke pasar hanya secara naluri bahwa lokasi tersebut adalah tempat transaksi jual beli bahan kebutuhan sehari-hari. Jenis transaksi didominasi oleh penjualan hasil bumi kepada tengkulak (bakul) yang akan memasarkan barang pembeliannya ke Pasar yang lebih besar di sekitarnya. Uniknya, Pasar ini mulai ramai pada jam 01.00 wib dan puncak keramaian pada jam 04.00 wib. Setelah jam 04.00 sedikit demi sedikit pengunjung yang sebagian besar adalah Pedagang/Bakul transit mulai meninggalkan lokasi Pasar dan pergi menuju Pasar Transit yang lebih besar di sekitarnya, seperti Pasar Bulu di bagian barat Desa Podosoko, pasar Ngesengan (Gangsan), Pasar Banyu Temumpang (Desa Krogowanan) dan Pasar Talun di Kec. Dukun. Jam 06.00 wib Pasar sudah kembali kosong melompong. Istilah populernya "Pasar Krempyeng".
    Kirab Gunungan

    Pasar Transit di Tlatar, 12 Km dari Psr Ngangkruk
    Menurut cerita Mbah Ali putri (Mbah saya dari Dsn. Gelap), pada jaman Belanda Pasar Ngangkruk menjadi pusat perhatian bagi tentara Belanda, karena menjadi lokasi berkumpulnya pedagang transit, sekaligus tempat pengungsian bagi Penduduk yang bermukim di sekitar Gunung Kuli jika suatu saat Belanda melancarkan agresi militer dengan menembakkan meriam dari Alun-alun Magelang yang jaraknya ± 10 Km. Penduduk sekitar Gunung Kuli mempercayai, kalau Gunung Kuli adalah tempat keramat, merupakan "paku bumi" dan umurnya lebih tua daripada G. Merapi dan G. Merbabu. Masyarakat (pada waktu itu) mempercayai bahwa G. Kuli juga dipercaya mempunyai hubungan dengan kekuasaan Nyi Roro Kidul yang kadang-kadang bertandang dari Laut Selatan menuju G. Kuli. Kuatnya kepercayaan itu, warga sekitar memanfaatkan lokasi G. Kuli sebagai tempat pengungsian pada saat diserbu tentara Belanda.

    Cerita lain sekitar hiruk pikuk keramaian Pasar Ngangkruk pada jaman Belanda melancarkan serangan pada malam hari pas ramai-ramianya orang di pasar menyusuri jalan rintisan dari Magelang menuju Desa-desa Kec. Candimulyo melintas ke arah selatan menuju Kec. Sawangan, maka penduduk di pasar lari tunggang langgang, sampai banyak pedagang bubur dan makanan terinjak-injak kualinya karena semua orang tidak begitu jelas pandangan pad malam hari dan penerangan hanya menggunakan "oncor" atau pelita bambu.

    Festival Gunungan, Podo Ds Podosoko, Agustus 2017
    Sekarang tahun 2010, selama 40 tahun sejak saya lihat pertama kali, kondisi pasar Pasar Ngangkruk belum banyak berubah baik fisik lokasi Pasar maupun fasilitas selayaknya Pasar. Perempatan jalan masih kurang lebih sama. Nama Pasar Ngangkruk masih melekat pada lokasi ini. Justru hiruk-pikuk penduduk sekitar untuk berdatangan ke pasar pada pagi dini hari sudah tidak nampak sama sekali. Jaringan akses jalan aspal antar Kecamatan (Candimulyo -  Sawangan) yang melewati Pasar Ngangkruk belum juga terwujud. Karakter Pasar sudah hilang. Penduduk sekitar lebih memilih memasarkan hasil bumi langsung ke Pasar Bulu dengan angkutan yang relatif murah ongkosnya yaitu sekitar Rp.5000,- sekali jalan. Kalau ke Pasar Talun atau Muntilan, maka hasil bumi yang dijual dengan jumlah terbatas, tidak akan menguntungkan para petani karena ongkos sudah mahal, sementara kenaikan harga pasaran hasil bumi yang berupa jagung, singkong, kelapa, daun pisang, sirih (inflasi nilai barang) tetap saja tidak bisa mengejar tingginya inflasi nilai rupiah.


    Akankah Pasar Ngangkruk hidup kembali?
    Mari kita belajar membaca fenomena yang terjadi di sekitar kita, untuk melihat prospek kedepan. Sekilas kita cermati tanpa menggunakan data-data hasil analisis qoestionair.
    Kondisi Pasar menunjukkan identitas masyarakat di sekitarnya. Bisa kita lihat, barang-barang yang diperdagangkan, tindak-tanduk pedagang dan peristiwa keseharian yang menyertai pasar,  itulah karakter dan kemakmuran masyarakat termasuk di dalamnya kondisi kesuburan tanah di sekitarnya.  Kita perhatikan, barang dagangan pasar yang terlihat di pasar Soko, Talun, Bulu, sungguh suatu karakter barang dagangan (hasil bumi) yang sudah dimasuki teknologi. Sayur mayur yang hijau kehitaman, ranum, beraneka rupa dan jenis serta dalam jumlah melimpah, itulah karakter masyarakat sekitarnya yang rajin bekerja, tanah subur, gethol menerima masukan teknologi dan pekerja yang tahan banting terhadap gejolak pasar secara luas bertaraf nasional. 
    Kebalikan karakter pasar di Tampir Wetan dan Klirip Kec. Candimulyo, barang dagangan yang terlihat di pasar adalah barang peralatan dari kota seperti bahan pangan awetan. Hasil bumi kurang segar, hijau agak kekuningan, tetapi singkongnya kekar-kekar, hiruk-pikuk agak kurang. Hal ini menunjukkan karakter masyarakat taninya secara umum menempati tanah yang kurang subur, kurang masukan teknologi atau permodalannya terkendala, sehingga hasil bumi yang diperdagangkan didominasi oleh barang-barang yang kurang diminati oleh masyarakat dari luar daerah. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk alih profesi dari petani menjadi peternak atau profesi non bahan pangan. Kondisi paling ekstrim, jika hasil pertanian sudah tidak mendukung kehidupannya bahkan cenderung untuk migrasi atau urbanisasi. 
    Contoh lain dengan karakter yang berbeda, Pasar Ngrajek didominasi dengan ikan dengan segala bentuk dan jenis yang diperjual belikan. Dominasi barang dagangannya adalah ikan-ikan yang terlihat gemuk-gemuk, bermacam-macam obat dan makanan ikan dipasarkan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa masyarakat di sekitranya menampati tanah-tanah dengan aliran air sepanjang masa, masyarakat yang mudah menerima masukan teknologi perikanan. Perikanan sudah membudaya di kalangan masyarakkat pada umumnya. Wergul berkepala hitam (pencuri ikan) pun bisa dikatakan sangat minimal terjadi. Kemakmuran masyarakat tani perikanan cenderung lebih cepat maju baik secara materi maupun tingkat pengetahuannya dibandingkan dengan masyarakat tani bahan pangan, disebabkan siklus panen dan jenis kegiatan di bidang perikanan lebih gesit dan lebih cepat dibandingkan pertanian bahan pangan. Masih banyak lagi karakter-karakter pasar yang menunjukkan karakter masyarakat di sekitarnya.
    Prospek Pasar Ngangkruk.
    Pasar Ngangkruk bisa menjadi pusat perdagangan di kawasan Gunung Kuli dan sekitarnya, jika dikelola secara profesional dan masayrakat memiliki produk unggulan yang berbeda dengan kawasan lain dan dikembangkan secara luas, dibimbing secara khusus oleh Tenaga Ahli yang profesional di bidangnya.
    Contoh : Katakanlah Telo Piji yang terkenal "mempur" bisa menjadi "ikon" magnet daya tarik bagi pedagang dan masyarakat dari luar untuk berduyun-duyun datang ke Ngangkruk, jika dikelola secara profesional. Apa sih bedanya telo pendem "Cilembu" dengan "Telo Nyonya Kunir" yang bisa menembus super market? Karena Cilembu dikembangkan secara besar-besaran, walaupun tidak dari kampung Cilembu.
    Kalau Pemerintah Desa/Kecamatan ingin daerahnya terkenal dan banyak devisa masuk ke Ngangkruk, bisa dicoba mengirim tenaga berpendidikan ke sentra-sentra produk pertanian terkenal khusus dari dataran tinggi seperti karalter tanah di sekitar Gunung Kuli. Introduksi tanaman baru pun bisa dijajagi dengan mempelajari dan mengirim tenaga magang di lokasi-lokasi yang memproduksi hasil bumi terkenal, mis : anggur, jeruk, dll. Jalan masih terbentang luas untuk mendulang devisa dari luar daerah demi kemakmuran rakyat di sekitar Gunung Kuli.
    Terbukanya jalur pariwisata "Solo-Selo-Borobudur" dengan ikon Ketep Pass adalah peluang yang sangat-sangat besar untuk meningkatkan produktifitas masyarakat melalui pemasaran hasil produk unggulan.  

    Kepala Desa Podosoko Edi Susilo dan Cita-citanya
    Kepala Desa Edi Susilo punya cita-cita ingin memajukan desanya dengan mencanangkan Desa Wisata, Budaya dan  Centra Peternakan. Pada tahun 2017 Edi Susilo memulai memunculkan identitas budaya yang sudah lama tersimpan yaitu Festival Gunung Kuli dengan icon "Supit Manggar" atau memotong malai bunga kelapa untuk ditoreh (deres) sebagai rasa sukur masyarakat semoga malai bunga kelapa akan mengeluarkan "nira" yang melimpah sehingga produksi gula kelapa di daerah Gunung Kuli dan sekitarnya melimpah atas ijin Tuhan Sang Penguasa Jagad Raya.

    Festival Supit Manggar diramaikan dengan Festival Gunungan Hasil Bumi untuk diperebutkan oleh masyarakat yang hadir sebagai ungkapan rasa sukur atas panen hasil bumi di daerah tersebut. Festival pun dihadiri oleh penampilan Seni Tradisional dari beberapa daerah sekitarnya a.l Jathilan Campur, Topeng Ireng.

    Potensi Devisa yang Belum Tergali


    Tegalan dengan pola tumpangsari Sengon - Palawija
    Ada beberapa potensi wisata yang perlu dipelajari lebih dalam untuk meningkatkan produktifitas masyarakat dalam rangka mendongkrak devisa desa seperti halnya : 
    1. Wisata Religi di sekitar petilasan Kyai Dipokusumo puncak Bukit Gunung Kuli. Wisata ini bisa dikembangkan kearah yang lebih profesional yang dikaitkan dengan usaha penginapan, pemasaran cenderamata, dll.
    2. Wisata Lingkungan dengan mengembangkan "Agroforestry" hutan pertanian. Wisatawan bisa disuguhi cara menanam pohon Sengon, memanen hasil kayu Sengon dan hasil ikutan seperti jahe, kapulaga, laos, dll.
    3.  Wisata Olahraga dengan mengembangkan penderes nira "badeg" menjadi kegiatan tambahan sebagai olahraga panjat kelapa atau "out bond" dengan dilengkapi sarana kelengkapan keselamatan memanjat. Kegiatan ini bisa dikaitkan dengan mensosialisasikan "budaya minum badeg" dan makanan "sego jagung" menjelang kegiatan dimulai.
    4. Wisata Kuliner. 
    • Masyarakat Bukit Gunung Kuli menyimpan budaya kuliner yang unik dan tidak ada di daerah lain. Hal ini terkait dengan industri "tempe benguk" yang sekarang sudah tidak pernah dikerjakan masyarakat, misalnya : "Sego Jagung dengan lauk Tempe Benguk", tentunya kuliner ini citarasanya perlu di-upgrade dengan campuran bahan-bahan yang lebih menarik dan bumbu yang lebih terasa, agar wisatawan lebih tertarik baik dari sisi warna, rasa dan penampilannya.  
    • Masih banyak jenis kuliner yang bisa diangkat, misalnya budaya makan sirih. Dalam hal ini bukan makan sirihnya tetapi memperkenalkan khasiat sirih yang sangat bermanfaat bagi kesehaan gigi dan gangguan kesehatan lambung. Daun sirih diekstrak dijadikan semacam kapsul atau minuman atau daun sirih goreng. Jika budaya mengkonsumsi sudah memasyarakat, maka penanaman sirih masyarakat pun akan membantu peningkatan pendapatan warga Podosoko. 
    • Singkong Piji sudah terkenal sampai keluar daerah bisa diperkenalkan kepada wisatawan betapa lezat "mempur"nya "Singkong Piji". Aneka jenis olahan singkong pun akan berkembang dengan sendirinya.  
    Bagaimana agar Industri Wisata Segera Terwujud dan Menghasilkan :
    1. Infrastrukur jalan untuk mengakses Kawasan Gunung Kuli harus bagus, layak dilalui kendaraan roda 2 dan roda 4 baik dari arah Selatan (Sawangan dan sekitarnya), Barat (Blabak, Tampir, Magelang), Utara (Candimulyo) dan dari arah Timur (Gerdu, Ketep, Soronalan)
    2. Penataan kembali Lokasi-lokasi tujuan wisata dan lokasi atraksi wisata dengan mengedepankan estetika (keindahan) dan kenyamanan wisatawan.
    3. Penunjukan Desk Khusus (Komisi) di Tingkat Desa, Kecamatan dan Kabupaten yeng khusus mengembangkan Wisata Gunung Kuli.
    4. Masyarakat setempat harus dipersiapkan untuk mendukung berbagai atraksi wisata. Perlu dilatih Pembicara untuk keperluan pemandu wisata religi Puncak Gunung Kuli, acara ritual Nyadran, Grebeg Sunatan Manggar dan Nderes Badeg.
    5. Pelatihan kreatifitas pengolahan berbagai bahan makanan untuk penyediaan makanan tradisional sebagai bagian dari akomodasi wisatawan.
    6. Pelatihan kreatifitas seni buah tangan (oleh-oleh) yang bahan bakunya dari daerah setempat dan nuansa seninya khas daerah setempat, misalnya Slepen (dompet) tikar pandan, Topi tikar pandan, Boneka mini penari Ndolalak berbahan tanah liat atau kayu sengon, Boneka mini penderes Badeg, dls.
    7. Menggandeng Pengelola Kelompok Seni atraksi budaya (Topeng Ireng, Kubrosiswo, Jathilan, Reog, dll).
    8. Berkolaborasi (minta gendong) dengan Lokasi-lokasi Wisata yang sudah lebih dahulu berkembang, mis : Pengelola Ketep Pass, Blondo Elo Tubing, Dadar Tubing, Borobudur dan Festival Durian Candimulyo.  
    9. Berkolaborasi dengan Tempat-tempat penginapan terdekat (Magelang, Blabak, Muntilan, Borobudur) untuk melakukan promosi, mengingat lokasi Gunung Kuli belum terbangun penginapan sekelas "Home Stay".
    10. Pendanaan :
    • Industri Wisata tidak bisa tumbuh dengan sendirinya sesuai dengan yang diharapkan yang memberikan banyak pemasukan devisa Desa setempat dan menjadi peluang kerja dan peluang berusaha. Diperlukan dana yang cukup untuk sarana pendukung dan prekondisi keterampilan dan kesadaran masyarakat. Kontribusi masyarakatsetempat akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, manakala arus investasi Pemerintah Daerah mulai mengalir dan Wisatawan mulai berdatangan.
    • Diperlukan pendampingan Lembaga profesional yang secara tidak langsung mendanai Proyek Wisata Gunung Kuli dengan memanfaatkan Dana Desa dan Dana-dana lain dari Pemerintah Kabupaten/Provinsi/Pusat.

    Demikian sekilas konsep Pengembangan Wisata Gunung Kuli, semoga bermanfaat.

    Jakarta, September 2010 dan diupdate Juni 2018.

    29 Sep 2010

    Posong Sagotrah (5)


    Penelusuran Trah Selar (Sulung) & Trah Tambeng
    Penelusuran Posong Sagotrah pada Trah Selar dan Trah Tambeng kuranglebih  sama dengan Petunjuk penelusuran Trah Kartowiryo yang sebagian besar berdomisili di dusun Magowangsan. Trah Selar berasal dari Jalur Induk Posong yang merupakan anak sulung dan Trah Tambeng adalah anak bungsu dari 6 (enam) orang anak Mbah Setro Saiman.

    Saya tulis ulang, generasi pertama Jalur Induk Posong :
    Jalur Kerabat mBah Setro Saiman (Margowangsan/Gangsan)
    (1)      mBah Selar (Gangsan) : Keluarga mbah Isah, Pak Guru Tris (Gangsan)
    (2)     mBah Darmin (Gondang Lor) : Keluarga Mbah Guru Suharto (Gondang Lor), Pak Darsono (Wonolobo)
    (3)     mBah Sri (Talaman) : Keluarga mBah Sri Help (Margowangsan) dari suami kedua Rambianak dan (pm, Kiyudan) dari suami pertama.
    (4)     mBah Kartowirya (Gangsan) : Keluarga Pak Guru Samidi (Gangsan)
    (5)     mBah Rus (Gangsan) : Hilang pada jaman perang kemerdekaan
    (6)     mBah Tambeng/Isteri Mabh Supo Taruno (Gangsan) : Keluarga mBah Supo/mBah Minem (Gangsan)

    1. Trah Selar :
    Trah Selar menempati keluarga paling besar di Kec. Sawangan. Mbah Selar mempunyai 3 (tiga) orang anak dan 18 (delapan belas) cucu, meliputi :

    a)    Famili Mbah Ali/Isah, mempunyai 10 orang anak meliputi :
    1.     Isah (Talaman), tidak ada anak
    2.    Dulsujak (Talaman), 7 anak (Jilin, Trimah, Tinah, Sarno, Ning, Heru, Kun)
    3.    Nah (Sukorini), Pm
    4.    Yaminah (Dukun), Pm
    5.    Suparto (Gangsan), 4 anak (Haryanto, Sri, Tutik, Tari)
    6.    Sutrisno (Gangsan), 4 anak (Heny, Yanjono, Agus, Rahmat)
    7.    Marsidah (Gangsan), 2 anak (Sis, Sus)
    8.    Sadiyah (Gngsan, almh), anak tunggal (Kantri)
    9.    Sukasah (Gangsan), 2 anak (Gunawan, Rini)
    10. Marisah (Sawangan), 3 anak (Anto, Wawan, Uut)

    b)   Famili Mbah Marjono, mempunyai anak tunggal yaitu Pak Suwito (Bdg).

    c)    Famili Mbah Marsan, mempunyai 7 orang anak meliputi :
    1.     Ahmad (Gangsan), 6 anak (Waliyah, Bitri, Budi, Wiwin, Ambar, Agus)
    2.    Turmudi (Gangsan), 5 anak (Widaryadi/Ti, Budi, Junaedi, Ning, Joko)
    3.    Sumadi/Sadiyah (Gangsan), anak tunggal (Kantri)
    4.    Din (Sumbar), anak tunggal (Sumi)
    5.    Dulrahman (Bendan), 3 anak (Arif, Nia, Rahman)
    6.    Sumrihati (Kiyudan), 3 anak (Ita, Agus, Risa)
    7.    Ari (Banjengan), 3 anak (Rin, Nanang, Andi)

    Periksa pohon keturunan (Silsilah Trah Selar).
    Silsilah Keluarga Mbah Selar
     Keluarga Mbah Selar dengan 3 anaknya ini sekarang sudah sangat banyak dan ntersebar mulai dari Dusun Gangsan sendiri, Talaman, Kiyudan, Banjengan (Dukun) dan Jakarta.


    B. Trah Tambeng/Supo Taruno
    Nama Tambeng diambil dari anak sulung yang bernama “Said” tetapi keluarga menyebutnya “Tambeng”, sehingga orangtuanya dipanggil Mbah Tambeng.

    Anak bungsu Mbah Setro Saiman ini mempunyai 6 (enam) anak dan sebagian besar merantau keluar dari Dusun Margowangsan, meliputi :

    a)    Famili Mbah Said atau Tambeng (Lampung) mempunyai 3 anak (Surti, Semarang), Sir (Semarang), Surahmat (Purwokerto), Siti (Semarang)
    Keluarga Mbah Said, jarang menengok kampong halamannya di Gangsan, sehingga dalam tulisan ini belum tertulis.
    b)   Famili Mbah Hilal (Muntilan), 2 anak (Din, Jumrodah) keduanya di Muntilan.
    c)    Famili Mbah Minem (Gangsan), anak tunggal (Teguh) di Madiun
    d)   Famili Mbah Tamyis (Salatiga), 3 anak yaitu Sumi (Gangsan), Tamyis (Salatiga), Dalmini (Gangsan).
    e)   Famili Nap (Madiun), 3 anak yaitu Tatik/Teguh (Madiun), Agus (Madiun), Singgih (Muntilan).

    Periksa pohon keturunan (Silsilah Trah Tambeng).

    Demikian penampilan Posong Sagotrah (5), kepada pemirsa yang secara kebetulan membaca dan ada sesuatu yang kurang sempurna pada tulisan dan Diagram Pohon Keturunan tersebut diatas, mohon koreksi untuk kesempurnaan tulisan. 


    Dari diagram Trah diatas, kami sangat berharap ada tanggapan yang bisa jadi salah tulis, kurang lengkap, dan lain-lain untuk menyempurnakan tulisan lebih lanjut.

    Kepada Bapak saya (Pak Guru Samidi), Pakde Turmudi di Tangerang, Mbah Minem di Gangsan dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penyusunan diagram silsilah, saya dan keluarga menyampaikan apresiasi yang tinggi dan mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.

    Semoga bermanfaat.
    Jakarta, September 2010 


    27 Sep 2010

    Posong Sagotrah (4)

    PENELUSURAN TRAH SELAR

    Penelusuran Posong Sagotrah pada Trah Selar sama dengan Petunjuk penelusuran Trah Kartowiryo yang sebagian besar berdomisili di Dusun Magowangsan. Trah Selar berasal dari Jalur Induk Posong yang merupakan anak sulung dari 6 (enam) orang anak Mbah Setro Saiman.

    Saya tulis ulang, generasi pertama Jalur Induk Posong :
    Jalur Kerabat mBah Setro Saiman (Margowangsan/Gangsan)
    (1)      mBah Selar (Gangsan) : Keluarga mbah Isah, Pak Guru Tris (Gangsan)
    (2)     mBah Darmin (Gondang Lor) : Keluarga Sarmadi bapaknya Hermanto (Wonolobo)
    (3)     mBah Sri (Talaman) : Keluarga mBah Jamal  (Talaman)
    (4)     mBah Kartowiryo (Gangsan) : Keluarga Pak Guru Samidi (Gangsan)
    (5)     mBah Rus (Gangsan) : Hilang pada jaman perang kemerdekaan
    (6)     mBah Tambeng (Gangsan) : Keluarga mBah Supo/mBah Minem (Gangsan)

    Trah Selar menempati keluarga paling besar di dusun Margowangsan dan Kecamatan Sawangan, yaitu Famili Mbah Ali/Isah adalah Keluarga Pak Guru Sutrisno, Bu Guru Sadiyah (almh), Bu Saidah (almh), Pak Guru Sukasah, Pak Sarno, Pak Suparto, periksa pohon keturunan (silsilah). Dari Famili Mbah Marsan adalah Pak Guru Sumadi, Pak Turmudi (Jkt), Pak Rahmat (alm) dan Nedi. Dari Famili Mbah Marjono adalah Pak Suwito (Bdg). Lainnya, berdomisili di Kiyudan, Talaman, Banjengan (Dukun).

    Keluarga Mbah Isah (Gangsan)


    Di Jakarta, Trah Selar meliputi brayat Mbah Marsan yaitu keluarga Pak Dulrahman (alm) di Bintaro, famili Pak Turmudi di Komplek Merpati Mas, Tangerang. Famili dari Mbah Ali adalah Tri Yanjono (Guru SMA Kemurnian, Cengkareng).

    Bersambung ke tulisan berikutnya.

    23 Sep 2010

    Kemiskinan, Sebuah Tinjauan Akademik & Fakta Lapangan


    Miskin, dalam pengamatan saya yang dibesarkan sebagai warga Wong nDeso ngGunung Merbabu (Merbabu Hill Tribes) pada masa kecil seumuran SMP dan SMA tahun 1970-an, masyarakat pedesaan kayaknya "tabu" mengatakan kata-kata miskin. Benar-benar fakta nih,  padahal  miskin bin menderita kondisinya. Salah satu ilustrasi kemiskinan tahun 1970-an kebawah, saya sering mendengar radio atau suratkabar, bahwa di dataran kritis sebelah selatan P. Jawa ada yang gantung diri atau sengaja ditabrak kereta karena kesulitan hidup yang tak tertahankan. Diskusi-diskusi di Pos Ronda sangat-sangat menghindari pembicaraan "miskin" . Mungkin takut menyinggung perasaan masyarakat Indonesia yang sudah lama menderita kemiskinan barangkali. Setelah Pelita III tahun 1980-an, mulai terdengar dari Presiden RI adanya Program Pengentasan Kemiskinan melalui pemerataan pembangunan. Istilah pengentasan sangat tepat karena bener-bener masyarakat terendam dalam kemiskinan berpuluh-puluh tahun lamanya. 
     
    Kemiskinan sudah sejak lama menjadi masalah bangsa Indonesia, dan hingga sekarang masih belum menunjukkan tanda tanda menghilang. Angka statistik terus saja memberikan informasi masih banyaknya jumlah penduduk miskin tahun 2008 yaitu sekitar 18 persen atau lebih-kurang 30 juta jiwaberada di bawah garis kemiskinan dan Tahun 2010 diperkirakan mencapai 17 % atau sekitar 50 juta jiwa. Angka fantastis untuk Negara super kaya bahan mineral dan lumbung biomass kekayaan alam yang bernilai ekonomi tinggi. Jika dibandingkan dengan Jepang yang serba terbatas sumber kekayaan alam ternyata Pemerintahnya mampu membuat sejahtera rakyatnya.

    Harus diakui, pemerintah mempunyai perhatian besar terhadap masalah  ini terbukti telah menjalankan berbagai program penanggulangan kemiskinan. Karena itu bukan berarti berprasangka buruk terhadap pemerintah, jika kitaberbicara mengenai masalah kemiskinan. Terlepas dari soal setuju atau tidak, kita tidak bisa memungkiri bahwa masalah kemiskinan memang ada di sekitar kita. Setiap mata pemirsa TV tiap kali timbul bencana alam yang terjadi, senantiasa terbelalak terbuka tabir masih adanya kemiskinan di kampung-kampung perkotaan maupun desa-desa yang terkena bencana. Taraf hidup di bawah garis kemiskinan, kondisi gizi yang rendah, pendidikan yang serba memprihatinkan, perikehidupan yang dilingkari kemelaratan, sering mewarnai daerah-daerah yang terkena bencana.
     
    Dalam dinamika pembangunan memang pada satu sisi telah mampu  men i ng katkan pendapatan sebagian penduduk, tetapi bersamaan dengan itu jugaterdapat penduduk miskin yang absolut. Ini berarti menjadi indicator bahwa pendapatan
    Nasional masih belum terdistribusi secara merata. Menurut Bank Dunia, proporsi pembagian pendapatan nasional di negara-negara berkembang senantiasa menunjukan ketidakberimbangan antara yang terbagi pada warga miskin yang jumlahnya banyak dengan yang terbagi pada penduduk kaya.

    Komposisinya adalah: 40 persen  rakyat dengan pendapatan terendah memperoleh hanya 15 persen dari pendapatan nasional; 40 persen dengan pendapatan di atasnya, memperoleh 32 persen dari pendapatan nasional; dan 20 persen dari golongan pendapatan tertinggi memperoleh 53 persen dari pendapatan nasional.

    Tinjauan akademik,  suatu factor penentu pemerataan bukan rate dari growth dan dengan demikian pula bagi masalah kemiskinan, namun pattern dari growth-lah yang relevan. Dengan kata lain, bukan kecepatan pertumbuhan yang menentukan pemerataan, melainkan pola pertumbuhannya. Maksudnya memacu pertumbuhan ekonomi, tanpa dibarengi dengan upaya menciptakan struktur sosial yang egaliter, hanya akan menampilkan fakta kesenjangan sosial yang kian melebar. Secara populer, sering terdengar ungkapan dalam pergaulan sosial: ”yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”

    Dalam studi akademik, penyebab kemiskinan meliputi tiga unsur:
    (1)     kemiskinan yang disebabkan oleh hambatan badaniah atau mental seseorang;
    (2)     kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam  dan
    (3)     kemiskinan buatan.

    Oscar Lewis menggambarkan suatu kebudayaan kemiskinan. Kemiskinan yang membudaya itu menurut Lewis disebabkan oleh perubahan social secara fundamental seperti transisi dari feodalisme ke kapitalisme, perubahan teknologi yang cepat, kolonialisme, detribalisme, system social dan politik Negara.

    Kemiskinan buatan  ini sering dikenal sebagai kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh manusia, dari manusia, dan terhadap manusia pula. Artinya, kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur buatan manusia,
    baik struktur ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Kemiskinan buatan itu timbul dan dimantapkan oleh berkembangnya sikap nrimo, sebagai nasib, dan sikap neglect, atau sikap tidak menghiraukan, menganggap enteng dan tidak penting.
    Sikap nrimo memandang kemiskinan sebagai nasib, bahkan sebagai takdir Tuhan, sehingga menimbulkan struktur ekonomi, politik dan sosial dan sebagainya.

    Kondisi tersebut diatas  telah menjadi komoditas politik Penguasa dalam penyajian jani-janji politik pada saat kampanye Pemilu Presiden, Gubernur, Bupati bahkan Pilkades sekalipun.  Tidal bisa dipungkiri bahwa arah kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesiabanyak dipengaruhi politik pemerintah mayoritas dan masyarakat donor.
    Akan tetapi hasilnya masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah bahwa konsekuensi strategi penanggulangan
    kemiskinan yang ada saat ini adalah tidak focus dan mempersamar substansi penanggulangan kemiskinan sehingga kurang membawahasil.

     Meski  tidak melihat bahwa penyebab kemiskinan bukan saja dari factor tingkat pendidikan, akan tetapi diakuinya bahwa interelasi kemiskinan dan pendidikan sangat penting dikaji secara mendalam. Sejauh diletakkan hanya dalam koridor linear (dengan mengabaikan peran variabel-variabel lain seperti budaya), di sana tercermin masalah saling-keterkaitan pada konteks yang lebih besar, yakni hubungan timbal-balik antara pendidikan dan masyarakat.

    Fakta bahwa pendidikan merupakan objek politik kekuasaan sedang mengemuka, hal ini ditandai ketika pendidikan menjadi semakin mahal sehingga warga miskin tidak dapat bersekolah, atau ketika banyak gedung sekolah ambruk, dana dari masyarakat yang seharusnya masuk lewat pajak ternyata nyangkut di Oknum tertentu sehingga menurunkan pendapatan Negara cukup besar,  kurikulum sarat beban dan mutu guru rendah. Konteks hubungan pendidikan dan masyarakat itu, interrelasi persoalan kemiskinan dan pendidikan dapat membuka tabir posisi ganda pendidikan, yakni sebagai driving force atau daya penggebrak transformasi masyarakat, dan sebagai objek politik kekuasaan. Pendidikan tidak mendorong mobilitas sosial dan kadang-kadang justru menjadi bagian dari proses pemiskinan maka hal ini sebenarnya sedang terjadi persoalan pada fungsi pendidikan sebagai driving force transformasi sosial masyarakat.

    Proses pendidikan sebaiknya tidak menitikberatkan pada pemerolehan ilmu pengetahuan, tetapi pemerolehan cara-cara dan sikap untuk memeroleh ilmu pengetahuan. Gampangnya, merujuk misi pendidikan global abad ke-21 yang digariskan UNESCO, proses pendidikan perlu diarahkan pada tiga prinsip: learning to learn, learning to do, learning to live together (Unesco,2008).
    Hanya dengan demikian daya gebrak pendidikan dapat dihidupkan untuk memutus rantai struktur-struktur sosial dan ketidakadilan yang masih membelenggu sebagian (besar) warga bangsa kita hingga hari ini (Depkominfo, 2008).

    Definisi ukuran miskin secara fisik seharusnya sudah direvisi. Pakar dari BPS ternyata mengukur angka kemiskinan menggunakan perhitungan ala Bangladesh, Vietnam, Gambia yang kondisi alam dan struktur masyarakatnya jauh berbeda dengan RI.  Perhatikan Harian Jakarta yang baru-baru ini menerbitkan judul "Berpendapatan Rp7.000 per Hari Dianggap Orang Mampu" (Media Indonesia 21 Sep 2010).
    Rata-rata nasional pendapatan penduduk yang tidak masuk kategori miskin yakni Rp211.726 per orang per bulan. Artinya, setiap orang yang penghasilannya sekitar Rp7.000 per hari sudah masuk kategori masyarakat mampu.

    Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan (2010), mengungkapkan, untuk mengukur angka kemiskinan, pihaknya menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, penduduk miskin memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

    Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per orang per hari. Jika dikonversi terhadap nilai uang, angka tersebut setara dengan Rp.155.615 per orang per bulan.

    Namun, itu juga masih ditambah dengan kebutuhan dasar nonmakanan senilai Rp.56.111 per orang per bulan. Artinya, total kebutuhan pokok rata-rata nasional sekitar Rp7.057.

    "Yang penghasilannya berada di bawah itu masuk dalam kategori masyarakat miskin," tukasnya.

    Kebutuhan pokok non-makanan merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Konsep ini tidak hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia. (ST/OL-5)

    Ok, beralih kepada fakta Kemiskinan Relatif di masyarakat, mereka melakukan itu sejak lahir. Kesempatan bekerja dan berusaha pada usia kerja sudah bersaing dengaan kelompok masyarakat yang lebih beruntung, dan lain-lain keterbatasan yang ada. Sikap fatalistik (menerima takdir) sudah membudaya di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, mereka tetap tabah menjalankan hidupnya dengan berbagai alternatif upaya yang ia lakukan. Pengukuran tingkat kemiskinan pada kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya sulit untuk mendefinisikannya. Riilnya, ukuran  materi yang terlihat tidak serta-merta menggambarkan tingkat penghasilannya yang mengakibatkan penyimpangan  dalam perhitungan kemiskinan secara akademik. Sebagai contoh, petani dengan tanah garapan 0,3 Ha bahkan buruh mencangkul sekalipun  sekaligus karyawan honorer dengan gaji Rp.600.000,-/bulan, bisa memiliki rumah tembok kokoh berikut sepeda motor 2 unit. Identifikasi unit kemiskinan seharusnya meliputi keompok jiwa, bukannya jiwa. Sebagai contoh, Seorang kakek bersama 1 orang anaknya pengangguran di daerah Gunung Kidul misalnya, pekerjaan riilnya adalah menampung devisa sebesar Rp.20 juta/bulan dari 4 anak-anak lainnya yang menjadi pedagang bakso di Ambon dan TKI di Irak (misalnya), maka tidak bisa 2 jiwa tsb secara akademik dikategorikan sebagai penderita miskin. Dan masih banyak contoh kasus yang lain perkecualian kesalahan perhitungan. Beberapa kasus tersebut diatas disebabkan adanya sifat masyarakat pedesaan yang super efisien dalam mengelola keuangan dan kemampuannya memproduksi segala kebutuhan primer yang berdampak mudah dan murah mendapatkannya. Dalam kalimat singkatnya masyarakat (Jawa) dengan tingkat produktifitas tinggi dan mampu menghindari hal-hal yang bersifat kontra produktif.  

    Masyarakat pedesaan lebih memilih kemapanan walaupun dalam kesehariannya dilakoni dengan sangat efisien dan  irit  daripada berpenghasilan besar tetapi diperoleh tidak setiap hari seperti halnya kehidupan Pedagang. Make tidak heran jika pembekalan perjuangan hidup sebagai Pedagang sangat tidak populer di masyarakat pada umumnya. Para orang tua lebih gigih memperjuangkan anaknya untuk menjadi “Amtenar” di Lembaga Pemerintah ketimbang jadi pedagang yang penuh tantangan untuk berhadapan dengan situasi “pasar bebas”.

    Wang Sinawang
    Filosofi  muncul dalam diskusi-diskusi kala snggang  diantara mereka. Yang pedagang memperhatikan petani hidupnya lebih enak ketimbang pedagang karena setiap hari bekerja dari jam 05.30 wib s/d 11.00 sudah beres. Si petani memperhatikan kehidupan karyawan perusahaan kayaknya lebih enak, ketimbang Pegawai Pemerintah karena setiap bulan membawa uang gajian lebih gede, dls. Celakanya yang tidak mendapatkan kesempatan berusaha dimanapun berada, sementara pola kehidupannya sudah terlanjur lebih mewah, sementara keterampilan dan agamanya sangat minimal, maka kesempatan ada kecenderungan untuk tindak kejahatan.

    Kembali kepada materi “gerundelan” adalah kemiskinan, dari pengamatan saya di India bagian Selatan (Keralla) , India Timur (Orissa) dan Tengah (Madya Pradesh), kondisi masyarakat disana jaauh lebih menderita dibandingkan dengan masyarakat miskin di Indonesia. Sesulit apapun kehidupan di Indonesia, apa lagi di Jawa, Kalimantan, Sumatera bisa digolongkan masyarakat (mendekati) Negara Maju ‘near to be advanced country” dalam arti mudahnya kesempatan memperoleh bahan pangan dan akses kesempatan berusahanya cukup besar dan mungkin.

    Satu hal yang harus menjadi komitmen bersama “HILANGKAN KORUPSI DI BUMI PERTIWI DAN BIMBINGLAH SETIAP WARGA MISKIN MEMILIKI AKSES USAHA”.   

    Modal harapan cerah untuk mencapai Pemerataan Kesempatan memperoleh kesejahteraan, masih ada yaitu  KETAQWAAN, dan KESABARAN rakyat miskin tetapi kaya keimanan. Program-program pengentasan kemiskinan harus mengarah ke alamat pendidikan keterampilan dan bersaing mendapatkan kualitas pribadi yang mampu bersaing di ajang penghidupan “pasar bebas” dalam lingkungan tradisional yang tetap terjaga filosofi peri kehidupan yang efisien, murah dan dapat dilaksanakan oleh mereka (applicable).  Rebutlah hati masyarakat miskin dengan berbagai program pe-ringan-an beban hidup dan jangan biarkan mereka masuk dalam perangkap Hegemoni Bangsa-bangsa lain yang menmperkenalkan “terorisme” sebagai salah satu bentuk alternatif “Kekecewaan peri Kehidupan" dengan dalih membela agama.



    Referensi :
    Tim Redaksi, Prof.DR. Musa Asy'arie, dkk, 2008, Mengurai Benang Kusut Kemiskinan di Indonesia, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, ISSN 1979 -3499, Edisi-3, DepKominfo, Jakarta